Menyelesaikan Hak-hak Allah SWT.
oleh Dr. Yusuf al
Qaradhawi
Syarat keabsahan taubat yang
berkaitan dengan masa lalu adalah: agar ia melayangkan padangannya kembali ke
masa lalunya, pada hari pertama ia mencapai usia baligh, kemudian ia meneliti
masa-masa lalu dari usianya itu tahun pertahun, bulan perbulan, hari perhari
dan setiap tarikan nafas yang telah ia lakukan. Kemudain ia melihat ketaatan
yang menjadi kewajibannya: apa yang tidak ia kerjakan? Kemudian kepada
kemaksiatan: apa yang telah ia lakukan dari kemaksiatan itu? Jika ia pernah meninggalkan shalat atau tidak melengkapi suatu syarat keabsahan shalat itu, hendaklah ia mengqadha shalatnya itu. Dan jika ia ragu bilangan shalat yang telah ia tinggalkan, maka ia dapat menghitung dari masa balighnya, kemudian menghitung yang yang telah ia tunaikan, dan mengqadha sisa shalat yang pernah ia tinggalkan. Dalam hal ini hendaknya ia mengambil prasangka kuatnya. Dan itu dapat dicapai dengan betul-betul meneliti dengan serius.
Sedangkan puasa, jika ia telah meninggalkan puasa itu dalam perjalanan atau saat ia sakit. Atau jika perempuan, ia membatalkan puasanya karena mengalami haidh (atau nifas) dan belum ia tunaikan, maka hendaknya ia menghitung jumlah yang telah ia tinggalkan itu dengan betul-betul, kemudian mengqadhanya. Tentang zakat, hendaknya ia menghitung seluruh hartanya dan bilangan tahun dia mulai memiliki harta itu -- tidak dari masa balighnya, karena zakat itu telah wajib semenjak dimilikinya harta itu, meskipun orang itu adalah seorang bayi [Ini adalah pendapat jumhur imam-imam dan ini pula yang aku rajihkan dalam kitabku: Fiqhu Zakat.] -- kemudian ia menunaikan apa yang ia yakini sebagai kewajibannya.
Sedangkan masalah hajji, jika ia pernah memiliki kemampuan untuk menunaikan hajji itu dalam beberapa tahun yang lalu, namun saat itu ia tidak mengerjakannya, sedangkan saat ini ia tidak memiliki harta yang cukup, maka ia tetap harus mengerjakannya. Jika ia tidak mampu karena hartanya memang sudah habis, maka harus mengusahakannya dengan usaha yang halal sekadar biaya hajji itu. Jika ia tidak memiliki pekerjaan, juga harta, maka ia hendaknya meminta kepada manusia agar memberikan jatah dari zakat atau shadaqah sehingga ia dapat menunaikan hajji. Dan jika ia mati sebelum melaksanakan hajji maka ia mati dalam keadaan maksiat. Karena ketidak mampuan yang datang setelah adanya kemampuan untuk hajji itu, tidak menghapus kewajiban hajji baginya. Inilah cara ia meneliti kewajiban yang menjadi tugasnya serta bagaimana menebusnya.
Tentang kemaksiatan, ia harus meneliti dari awal balighnya: kemaksiatan apa yang dilakukan oleh pendengarannya, matanya, lidahnya, perutnya, tangannya, kakinya, kemaluannya, dan seluruh anggota badannya. Kemudian ia teliti seluruh jam dan waktu-waktu yang telah ia lewati, kemudian ia menguraikan secara terperinci kemaksiatan yang pernah dilakukannya. Baik yang kecil maupun yang besar.
Kemudian di antara kemaksiatan yang dia lakukan itu, ia menelitinya kembali; jika kemaksiatan yang ia lakukan itu adalah antara dia dan Allah SWT saja serta tidak berkaitan dengan kezaliman kepada manusia, seperti melihat wanita bukan mahram, duduk di masjid dalam keadaan junub, menyentuh mushaf tidak dengan wudhu, beri'tiqad dengan i'tiqad bid'ah, meminum khamar, mendengarkan perkataan yang buruk dan lainnya yang tidak berkaitan dengan kezhaliman kepada manusia;
Taubat untuk kemaksiatan ini adalah dengan menyesal dan merasa rugi atas perbuatannya itu, dan dengan mengukur kadar kebesaran dan masa yang telah ia lakukan, kemudian ia melakukan bagi setiap kemaksiatan itu suatu kebaikan yang setarap dengannya. Dan ia melakukan kebaikan itu sesuai dengan jumlah kemaksiatan yang telah ia lakukan. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw :
"Bertaqwalah kepada Allah SWT di manapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk (dosa) dengan perbuatan yang baik niscaya ia akan menghapusnya" [Hadits diriwaytkan oleh Tirmizi dari Abi Dzar dan ia mensahihkannya dan sebelumnya hadits ini telah disebut.]
Juga firman Allah SWT :
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)perbuatan-perbuatan yang buruk"[QS. Huud: 114.].
Dosa mendengar sesuatu yang haram, dapat dihapuskan dengan mendengarkan al Qur'an dan majlis dzikir. Dosa duduk di mesjid dalam keadaan junub dihapuskan dengan beri'tikaf di dalamnya sambil beribadah. Dosa menyentuh mushaf dengn tanpa wudhu ditebus dengan memuliakan mushaf dan banyak membacanya. Juga dengan menulis mushaf dan memberikan wakaf mushaf. Dosa meminum khamar ditebus dengan bersadaqah dengan minuman yang halal yang lebih baik dan lebih ia sukai.
Menyebutkan seluruh kemaksiatan adalah tidak mungkin di sini. Namun yang dimaksud adalah mengerjakan kebaikan yang sebaliknya dengan dosa itu. Karena suatu sakit diobati dengan lawannya. Dan suatu kegelapan yang bercokol dalam hati karena kemaksiatan yang ia kerjakan tidak dapat dihapus kecuali oleh cahaya yang naik ke hati itu dengan kebaikan yang sebaliknya. Dan yang sebaliknya itu adalah lawan yang sejajar keburukan itu. Oleh karena itu, setiap keburukan harus dihapuskan dengan kebaikan yang sejenisnya, namun yang sebaliknya.
Karena sesuatu yang putih dihilangkan dengan warna hitam, bukan dengan dingin atau panas. Cara seperti ini, jika dilaksanakan dengan tekun untuk menghapus dosa, maka akan mempunyai kesempatan besar untuk berhasil. Dibandingkan hanya menekuni satu macam bentuk ibadah tertentu, meskipun itu juga dapat turut menghapus dosamya. Ini adalah hukum antara dia dengan Allah SWT. Sebagai dalil bahwa sesuatu dihapuskan dengan lawannya adalah: cinta dunia adalah pangkal seluruh kesalahan. Dan pengaruh cinta dunia dalam hati adalah: menyenangi dunia itu serta merindukannya. Maka tidak aneh jika suatu kesulitan yang membebani seorang muslim sehingga hatinya membenci dunia, menjadi kaffarat (penghapus) cinta dunia itu. Karena dengan kesulitan dan kesusahan itu hatinya akan menjauh dari dunia.
* * *
Berlaku Zhalim Kepada Manusia
Secara Etika, Seperti Ghibah dan Mencerca
Tadi kita berbicara tentang
taubat dari pelanggaran atas hak-hak harta orang lain. Kemudian bagaimana kita
bertaubat dari hak-hak maknawi dan etis mereka. Seperti melakukan penghinaan
terhadapnya dengan ghibah, qadzaf (menuduh zina), mengecam, mencela,
menghinanya atau tindakan lainnya. Apakah taubat dalam dosa seperti ini
disyaratkan agar memberitahukan orang yang ia zalimi itu, atau ia meminta maaf
dan ampunan darinya?. Ataukah juga ia memberitahukannya bahwa ia telah berbuat
zalim kepadanya, namun tidak disyaratkan menyebutkan secara detail
kezhalimannya itu?. Ataukah kedua hal tadi tidak disyaratkan untuk mencapai
taubat dalam dosa seperti ini, namun cukup ia bertaubat kepada Allah SWT tanpa
memberitahukan dan tanpa meminta maaf kepada orang yang ia tuduh dan ia kecam
itu?Dalam hal ini ada tiga pendapat:
Dari imam Ahmad ada dua riwayat pendapatnya dalam masalah hukum qadzaf. Apakah orang yang menuduh zina (qadzif) itu ketika bertaubat disyaratkan melakukan hal ini: memberitahukan tindakannya kepada orang yang ia tuduhkan, dan kemudian meminta maaf dari perbuatannya itu atau tidak? Dan nantinya disimpulkan pula dari kedua hal itu tentang cara taubat orang yang berghibah dan mencela
Dalam mazhab Syafi'i, Abi Hanifah dan Malik, disyaratkan untuk memberitahukan detail kezhalimannya dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Seperti disebutkan oleh sahabat-shahabat mereka dalam kitab-kitab mereka.
Orang yang mensyaratkan pemberitahuan dan meminta maaf itu berdalil: karena dosa itu adalah hak manusia, maka hak itu tidak hilang kecuali dengan meminta maaf dari dosa tertentu itu dan meminta dibebaskan darinya.
Kemudian kelompok ulama yang tidak menganggap sah pembersihan diri tanpa menjelaskan detail kesalahannya itu, mensyaratkan agar ia memberitahukan masalahnya secara jelas. Seperti ia berkata: aku telah mengecam dan mencela dirimu, aku telah mengejekmu, atau juga aku telah berghibah dan menyebut keburukanmu. Terutama jika orang yang melanggar hak orang lain itu mengetahui kadar haknya, maka ia harus memberitahukan orang yang ia zhalimi itu kadar haknya itu. Karena orang itu mungkin tidak akan memaafkanya jika ia tahu kadar kejahatan yang telah dilakukan orang itu terhadapnya. Dan ia berkata kepadanya: aku telah berlaku zalim kepadamu dan aku telah mengghibah dirimu selama sepuluh tahun. Ia mungkin dapat memaafkannya atas ghibahnya sekali atau beberapa kali, namun ia tidak dapat memaafkannya jika ia mengghibahnya sampai bertahun-tahun.
Mereka berdalil atas pendapat itu dengan sabda Rasulullah Saw : "Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada suadaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar dan dirham, kecuali kebaikan dengan keburukan".
Mereka berkata: karena dalam suatu dosa ada dua hak: hak Allah SWT dan hak manusia. Maka taubat dari dosa itu adalah dengan meminta maaf kepada manusia karena hak orang itu atasnya; dan dengan menyesali perbuatan itu untuk menghapus dosa di hadapan Allah SWT, karena hak Allah SWT atasnya.
Mereka berkata: oleh karena itu, dosa orang yang membunuh tidak dapat sempurna kecuali dengan memberikan dirinya kepada wali korbannya; jika mereka mau, mereka dapat mengqishashnya; dan jika tidak, mereka dapat memaafkannya. Demikian juga taubat perampok.
Pendapat yang lain mengatakan: tidak disyaratkan dalam taubat itu memberitahukan kejahatan apa yang telah ia lakukan kepadanya, apakah itu tentang kehormatan diri, mengqazafnya atau mengghibahnya. Namun ia cukup bertaubat kepada Allah SWT, kemudian menyebutkan orang yang pernah ia ghibahkan atau ia qadzaf dengan kebalikan ghibah dan qadzaf itu, sehingga ghibahnya berganti dengan pujian, dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Dari qadzaf berganti menjadi menyebut kebersihan dirinya, dan menjaga kehormatan dirinya, serta ia memintakan istighfar baginya sesuai dengan kadar ghibahnya atasnya.
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiah.
Orang yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil bahwa dengan memberitahukannya hanya akan membawa kemafsadatan yang lebih besar, dan tidak pula menjamin akan tercapai kemaslahatan, karena hal itu hanya akan menambah kesal dan sakit hati saja. Barangkali orang itu berada dalam ketentraman sebelum mendengar itu, namun ketika ia mendengarnya, justru ia menjadi gelisah dan marah hingga tidak mampu menahannya, dan akhirnya membuat bahaya bagi diri dan tubuhnya.
Jika demikian, maka syari'ah tidak membenarkannya, apalagi sampai mewajibkan dan memerintahkannya.
Mereka berkata:
Dapat juga keterusterangannya itu akan menjadi pangkal permusuhan antara dia dengan orang yang membeberkan kesalahannya itu, dan ia tidak akan ridha terhadapnya selama-lamanya. Dari tahunya itu akan melahirkan permusuhan dan kemarahan yang mengakibatkana kejahatan yang lebih besar dari kejahatan ghibah dan qadzaf. Ini tentu bertentangan dengan tujuan syari'ah untuk menyatukan hati dan saling kasih- sayang antara mereka.
Mereka berkata: perbedaan antara hak itu dengan hak-hak harta dan hak atas tubuh ada dua segi:
Pertama: ia dapat mengambil manfaat darinya jika dikembalikan kepadanya, oleh karena itu tidak boleh disembunyikan darinya, karena itu adalah haknya, dan harus diberikan kepdanya. Berbeda dengan ghibah dan qadzaf, dalam hal ini tidak ada yang dapat memberikan manfaat baginya, malah akan membuatnya sulit dan sakit hati saja. Dan jika di antara keduanya dilakukan qiyas, itu adalah qiyas yang paling buruk.
Kedua: karena tentang harta itu, jika ia memberitahukan orang yang berhak itu, maka itu tidak membuatnya teraniaya, serta tidak pula menimbulkan marah dan sakit hati, malah itu dapat membuatnya gembira dan senang. Berbeda halnya jika ia memberitahukannya apa yang merobek harga dirinya sepanjang usinya, siang dan malam, seperti qadzaf, ghibah dan celaan. Maka mengukur masalah terakhir ini dengan yang pertama adalah tidak benar. Ini adalah pendapat yang benar dari dua pendapat. Wallahu a'lam. (Madarij Salikin: 1/289, 291).
* * *
Kezhaliman
Kepada Manusia
Sedangkan kezhaliman kepada
manusia, di dalamnya juga terdapat kemaksiatan dan pelanggaran terhadap hak
Allah SWT. Karena Allah SWT juga melarang melakukan kezhaliman kepada manusia.
Yang berkaitan dengan hak Allah SWT dapat dihapuskan dengan penyesalan,
merasakan kerugian, serta tidak akan melakukan perbuatan semacama itu lagi
nantinya. Kemudian ia mengerjakan kebaikan yang menjadi lawan keburukan itu.
Tindakan aniaya yang ia lakukan terhadap manusia dihapus dengan berbuatan baik
kepada mereka. Dan tindakan mengambil harta mereka dihapuskan dengan bersadaqah
dengan hartanya yang halal. Ghibah dan celaan yang ia lontarkan atas mereka
diganti dengan memuji mereka. Serta menampilkan kebaikan mereka dan orang-orang
semacamnya. Membunuh manusia ditebus dengan membebaskan budak, karena itu
adalah suatu bentuk penghidupan. Karena hamba yang menjadi budak adalah: ia
hilang bagi dirinya sendiri dan ada bagi tuannya. Pembebasan budak adalah suatu
pengadaan yang dapat dilakukan oleh manusia, dan ia tidak dapat melakukan yang
lebih dari itu. Pelenyapan ditebus dengan pengadaan yang telah ditentukan.Dari ini diketahui, cara penghapusan dosa dengan melakukan kebalikannya itu, mempunyai landasan syari'atnya. Yaitu syari'at memerintahkan menghapus dosa membunuh dengan membebaskan budak. Kemudian jika ia telah melakukan itu semua, tetap tidak mencukupi untuk menebus dosanya jika ia belum mengeluarkan hak orang lain yang ada padanya akibat kezaliman yang ia lakukan. Kezaliman terhadap orang lain itu dapat berupa jiwa, harta, kehormatan diri, dan hati, maksudnya tindakan aniaya.
Sedangkan jiwa, jika ia melakukan pembunuhan dengan tidak sengaja, maka taubatnya itu adalah dengan memberikan diyat [Dosa ini juga mempunyai cara penghapusan yang lain, yaitu membebaskan hamba sahaya yang mu'min, dan jika ia tidak menemukan hamba itu maka ia dapat pula melakukan puasa sebanyak dua bulan berturut-turut.], dan menyampaikan diyat itu kepada orang yang berhak. Diyat itu dikeluarkan darinya atau dari keluarganya. Dan ia masih belum bebas selama diyat itu belum sampai kepada yang berhak. Namun jika pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja dan mengharuskan ia diqishash maka penebusan itu adalah dengan qisas. Jika ia tidak diketahui, maka ia harus mengakuinya kepada keluarganya, dan meminta agar mereka menghukumnya. Jika mereka mau maka mereka memaafkannya, dan jika mereka mau dapat pula mereka membunuhnya. Dan tanggungannya itu tidak jatuh kecuali dengan cara itu, dan ia tidak boleh menyembunyikan diri.
Tidak demikian halnya jika ia berzina, atau minum minuman keras, mencuri, merampok, atau melakukan tindakan yang mewajibkannya menanggung had Allah SWT. Dalam hal seperti ini, ketika ia ingin taubat, ia tidak harus membuka rahasia pribadinya itu, kemudian meminta kepada pihak yang berwenang untuk menunaikan hak Allah SWT. Namun sebaliknya, ia harus menutupi dirinya itu, dan melakukan hukum Allah atas dirinya sendiri dengan berbagai macam mujahadah dan penyiksaan diri. Karena ampunan dari pelanggaran terhadap hak-hak Allah SWT amat dekat dengan orang-orang yang menyesal dan bertaubat.
Namun jika perbuatannya itu kemudian ia laporkan kepada pihak yang berwenang, dan ia kemudian dikenakan had sebagai hukumannya, maka taubatnya menjadi sah dan diterima oleh Allah SWT. Dengan dalil dari hadits sahih bahwa Ma'iz bin Malik datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: wahai Rasulullah Saw, aku telah berlaku zhalim terhadap diriku dan aku telah berzina, saat ini aku ingin agar baginda membersihkan saya! Kemudian Rasulullah Saw menyuruhnya pulang. Pada keesokan harinya ia kembali berkata: wahai Rasulullah Saw, aku telah berzina! Kemudian Rasulullah Saw kembali menyuruhnya pulang. Dan pada kesempatan yang ketiga Rasulullah Saw memerintahkan agar menggali sebuah lobang dan merajamnya. Saat itu manusia mempunyai dua pendapat: satu kelompok berpendapat: ia telah binasa, dan kesalahannya itu menghancurkannya! Sementara pihak yang lain berkata: tidak ada taubat yang lebih lurus dari taubatnya. Kemudian Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya ia telah bertaubat dengan taubat yang jika dibagi kepada seluruh umat niscaya akan mencukupinya " [Hadits dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Buraidah bin Khashib]
Kemudian tentang qishash dan had qadzaf (menuduh zina orang baik-baik), harus diteliti orang yang berhak atas had itu.
Dan jika yang ia lakukan berkaitan dengan harta, seperti melakukan ghashab, khianat atau menipu dalam berjual beli dengan bermacam cara pengelabuan, seperti beriklan dengan tidak benar, menutupi kekurangan barang yang ia jual, mengurangi bayaran terhadap orang yang ia sewa atau tidak memberikan uang lelahnya sama sekali... seluruh perkara itu harus ia teliti kembali, tidak dari masa balighnya, tapi dari awal keberadaannya di muka bumi. Maka jika ada suatu kewajiban yang terdapat dalam harta seorang anak kecil, maka saat baligh kewajiban itu harus ia tunaikan, jika orang yang menjadi walinya tidak melaksanakannya.
Jika ia tidak menunaikannya maka ia menjadi orang yang zalim dan terus harus menunaikannya. Karena dalam masalah harta, hak orang dewasa dengan anak-anak adalah sama. Maka ia harus menghitung hingga harta sekecil biji beras sekalipun, dari semenjak awal kehidupannya hingga hari taubatnya. Sebelum ia ditanyakan di hari kiamat nanti. Hendaklah ia berdialog secara terbuka dengan dirinya sendiri sebelum ia diteliti nanti. Siapa yang tidak memperhitungkan dirinya di dunia, maka perhitungannya itu akan dijalankan di akhirat.
Jika ia telah mencapai suatu pendapat yang kuat, disertai semacam ijtihad sedapat mungkin, maka hendaklah ia menulisnya, dan menulis orang-orang yang mempunyai hak atasnya satu-persatu. Kemudian ia mencari mereka ke seluruh penjuru dunia, dan meminta maaf serta meminta dihalalkan oleh mereka, atau ia menunaikan hak-hak mereka. Taubat seperti ini sulit untuk dilakukan oleh orang yang biasa berlaku zhalim, juga bagi para pedagang, karena mereka tidak dapat meminta maaf kepada seluruh orang yang berinteraksi dengan mereka, juga kepada para ahli warisnya. Namun masing-masing mereka dapat melakukan sejauh apa yang mereka dapat kerjakan. Dan jika mereka tidak dapat melakukannya maka tidak ada jalan lagi baginya, kecuali hanya dengan memperbanyak kebaikan, hingga pada hari kiamat nanti kebaikan itu dapat diambil oleh orang-orang yang ia zalimi. Dan hendaknya kebaikannya itu sebanyak kezaliman yang telah ia lakukan. Karena jika kebaikan itu tidak mencukupi untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan, maka ia akan dibebani dengan dosa orang-orang yang ia zalimi itu, maka ia pun binasa karena keburukan orang lain itu!!
Inilah cara seluruh orang yang melakukan taubat dalam mengembalikan kezaliman yang mereka kerjakan. Dan itu akan menghabiskan seluruh usia mereka untuk melakukan kebaikan, jika usianya memang panjang, sesuai dengan panjangnya masa dan luasnya kezaliman mereka. Padahal ia tidak tahu kapan ia mati? Dan barangkali ajalnya sudah dekat? Usaha keras dia untuk melakukan kebaikan itu amat dituntut, karena waktu yang ia miliki amat sempit, dibandingkan waktu saat ia melakukan keburukan. Ini adalah hukum kezaliman yang masih berada dalam tanggungannya.
Sedangkan harta yang saat ini ada di tangannya, hendaklah ia kembalikan kepada pemiliknya, jika ia mengetahui siapa pemiliknya. Dan jika ia tidak mengetahuui siapa pemiliknya, maka hendaklah ia mensedekahkan harta itu. Jika yang halal bercampur dengan yang haram, maka hendaklah ia mengetahui kadar harta yang haram semampu dia. Kemudian mensedekahkan jumlah itu seperti telah dijelaskan dalam buku al halal wa al haram.
Sedangkan kesalahan menyakiti hati orang adalah dengan meminta maat kepada orang yang ia sakiti atau ia bicarakan keburukannya (ghibah). Hendaklah ia meminta maaf kepada semua orang yang ia telah sakiti dengan lidahnya, atau ia sakiti hatinya dengan suatu perbuatannya, secara satu persatu. Sedangkan orang yang telah mati atau tidak ia temukan, maka ia hanya dapat menutup kesalahannya kepada mereka itu dengan memperbanyak kebaikan, dan nnantinya kebaikan itu akan diambil sebagai ganti tindakan aniayanya oleh orang yang ia aniaya tadi, pada hari kiamat. Sedangkan orang yang dapat ia temukan, kemudian orang itu memaafkannya dengan ridha, maka ia telah mendapatkan penghapus kesalahannya. Dan ia harus memberitahukan kesalahan yang telah ia lakukan kepadanya. Karena meminta maaf dari kesalahan yang tidak jelas adalah tidak cukup. Karena kalau ia tahu tindakan buruk dan aniaya yang ia lakukan kepadanya, barangkali orang itu tidak akan memaafkannya. Dan ia akan menyimpan itu pada hari kiamat, hingga nanti ia mengambil kebaikan orang yang berbuat jahat kepadanya itu atau ia nanti membebani kesalahannya.
Sedangkan kesalahan kepada orang lain yang jika ia beritahukan akan membuat orang lain itu teraniaya, seperti ia telah berzina dengan budaknya, atau keluarganya, atau ia menyebutkan salah satu aibnya yang tersembunyi, yang akan membuatnya amat marah, maka pintu untuk maaf kepadanya baginya telah tertutup. Namun ia tetap harus mendapatkan maafnya, dan kezaliman yang ia lakukan itu ia tebus dengan amal kebaikan, seperti kezaliman terhadap orang yang telah mati atau tidak ada.
Sedangkan jika ia menyebutnya dan mengakuinya, itu akan menjadi keburukan baru yang harus ia mintakan maaf lagi. Meskipun ia telah menyebutkan kesalahannya dan ia mengakuinya kepada orang yang telah menjadi korbannya, kemudian orang itu tidak memaafkannya maka ia tetap menanggung kesalahan itu. Karena itu adalah haknya, dan ia harus siap menghadapinya. Dan berusaha untuk menjalankan kepentingan dan tujuannya. Serta menunjukkan cinta dan sayang kepadanya, sehingga hatinya senang. Karena manusia adalah hamba dari kebaikan. Orang yang lari dari keburukan akan mendekat karena kebaikan. Dan jika hatinya telah senang karena ia telah berusaha terus berbuat baik kepadanya, maka dirinya dapat memaafkannya. Jika ia terus tidak memaafkan, maka usaha berbaik-baik dengannya itu akan menjadi bagian dari kebaikan yang mungkin dapat menebus kesalahannya pada hari kiamat nanti. Dan usaha untuk berbuat baik dengannya itu hendaklah sama dengan kadar usaha yang telah ia lakukan untuk membuatnya teraniaya. Sehingga keduanya ditimbang, dan keburukannya masih lebih banyak, maka Allah SWT akan mengambil kebaikannya itu sebagai ganti keburukan pada hari kiamat nanti. Seperti orang yang telah mencuri harta orang lain, kemudian ia ingin mengganti dengna jumlah yang sama, namun orang yang ia curi tidak mau menerima dan tidak pula memaafkannya, maka hakim memutuskan baginya untuk menangkap orang yang mencuri itu. Baik ia mau atau tidak. Begitu pula hukum pada hari kiamat nanti oleh Allah Yang Mengadili dan Yang Maha Adil.
Sedangkan tekad yang berkaitan dengan masa depan, adalah ia berjanji kepada Allah SWT dengan janji yang kuat, serta bersumpah dengan setinggi-tinggi sumpah, bahwa ia tidak akan kembali menjalankan dosa itu atau sejenisnya. Seperti orang yang tahu saat ia sakit bahwa apel akan membuat sakitnya makin parah, maka ia bertekad untuk tidak memakan apel itu selama ia sakit. Dan tekad itu ia pancangkan saat itu juga, meskipun ia tahu bahwa ia dapat dikalahkan oleh syahwatnya untuk memakannya. Namun orang tidak mungkin bertaubat jika ia belum sepenuhnya bertekad saat itu juga [Ihya Ulumuddin: juz 4 hal. 34-38, dengan sedikit peringkasan dalam pengutipan]
Penjelasan al Ghazali tentang perkara yang berkaitan dengan hak-hak hamba, secara global dapat diterima bersama. Namun Ibnu Qayyim mempunyai penjelasan terperinci tentang beberapa hal, seperti akan kami sebutkan nanti.
Sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak Allah SWT, ada pendapat lain berkaitan dengan shalat, dan qadhanya. Menurut pendapat madzhab yang empat: harus diqadha shalat yang telah ia tinggalkan itu, meskipun telah lewat puluhan tahun, ia mengqadhanya sebanyak yang telah ia tinggalkan sepanjang waktu itu.
Pendapat kedua mengatakan: shalat yang dapat diqadha adalah shalat yang ia tinggalkan karena tidur atau terlupa saja, seperti disebutkan dalam hadits sahih. Sedangkan shalat yang sengaja ia tinggalkan, maka ia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengqadhanya. Ia hanya dapat menebusnya dengan memperbanyak shalat sunnah, menjalankan shalat waktu dengan baik sesuai dengan yang disenangi Allah SWT, dalam ruku', sujud dan khusyu'.
Pendapat ini melihat orang yang baru mulai shalat setelah lama tidak mengerjakannya, seperti orang yang baru masuk Islam. Ia memulai lembaran barunya dengan Allah SWT, dan mengejar untuk melakukan perbuatan baik, serta dengan segera mencapai ampunan Rabbnya dan surga yang seluas langit dan bumi.
Tentang masalah ini terdapat banyak pendapat. Dapat dilihat pada juz 1 dari kitab "madarij Salikin" karya Ibnu Qayyim. Ibnu Qayyim dan syeikhnya Ibnu Taymiah menguatkan pendapat yang mengatakan tidak dapat diqadha. Dan pendapat itu pula yang aku condong untuk memilihnya, bagi orang yang telah telah menghabiskan usianya yang panjang namun ia tidak pernah melakukan shalat.
Kemudian mari kita teliti sejenak tentang hak-hak manusia.
* * *
Taubat Dari Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Manusia
Karena beratnya hak-hak manusia, dan biasanya ia terjadi diiringi pertengkaran dan permusuhan, maka taubat dari dosa ini dilakukan dengan dua cara: pertama ia mengembalikan hak itu kepada orangnya, jika orang itu masih haidup, atau kepada pewarisnya, jika ia telah mati. Cara kedua adalah dengan meminta dihalalkan olehnya, setelah ia memberitahukannya, jika itu adalah hak harta, aniaya atas tubuhnya atau tubuh orang yang ia warisi. Seperti disabdakan oleh Rasulullah Saw:"Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada saudaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar dan dirham, kecuali amal kebaikan dengan tanggungan dosa keburukan. (Hadits diriwayatkan oleh Bukhari)
Taubat Orang yang Tidak Dapat Mengembalikan Hak-hak Harta
Orang yang memegang hak harta orang lain, ia harus mengembalikan harta itu kepada mereka, atau kepada ahli warisnya. Jika ia tidak memiliki harta yang cukup untuk itu, hendaklah ia berusaha untuk mencari gantinya, sepanjang hidupnya, sesuai kemampuannya. Tiap kali ia mendapatkan suatu harta, hendaklah ia segera membayarkan sebagian dari kewajibannya itu. Setiap orang sesuai dengan haknya. Barangsiapa yang menanggung hutang harta, kemudian ia bertaubat dan menyesal dari perbuatannya itu, maka ia harus mengembalikannya kepada para pemiliknya, atau kepada ahli warisnya.Kemudian, jika ia tidak mengetahui mereka, atau mereka telah wafat, atau karena masalah lain, maka taubat dalam kasus seperti ini berbeda aturannya:
Satu kelompok ulama berpendapat: tidak ada taubat baginya, kecuali dengan mengembalikan kezaliman ini kepada para pemiliknya. Jika ia tidak dapat melakukan itu maka taubatnya pun tidak dapat ia raih. Dan nantinya pada hari kiamat, menanti balasan dengan diambilnya kebaikannya untuk menebus keburukannya itu. Tidak ada jalan lain.
Mereka berkata: ini adalah hak manusia yang tidak sampai kepadanya. Dan Allah SWT tidak membiarkan satu hak hamba untuk dilanggar oleh orang lain sedikitpun. Dan Dia menyampaikan hak masing-masing orang kepada orang tersebut. Dia sama sekali tidak membiarkan suatu kezaliman manusia kepada manusia lain terjadi tanpa konsekwensi. Maka Dia akan mengambil hak orang yang dizalimi dari orang yang menzaliminya, meskipuin itu sebuah tamparan, kata-kata atau satu lemparan batu.
Mereka berkata: tindakan yang paling mudah dilakukan untuk menutupi kesalahannya itu adalah dengan memperbanyak kebaikan, sehingga ia dapat membayar kejahatannya pada hari kiamat nanti dengan kebaikannya itu. Dan tindakan yang paling bermanfaat baginya adalah bersabar atas kezaliman dan aniaya yang dilakukan orang lain kepadanya, serta ghibah dan qadzaf (tuduhan zina) yang dilontarkan mereka kepadanya. Hendaklah ia tidak meminta haknya dari mereka di dunia, serta tidak menemuinya, sehingga musuhnya itu akan menutupi kekurangan timbangannya nanti di akhirat, jika memang kebaikannya telah habis. Karena jika ia akan diambil kebaikannya untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang lain, maka iapun akan dibayarkan dari orang lain atas kezaliman yang dilakukan mereka kepadanya. Sehingga diharapkan itu dapat memenuhi kekurangannya, atau malah akan menambah timbangannya.
Kemudian mereka berselisih pendapat tentang orang yang memegang uang yang didapatkan dari hasil kezaliman.
Sekelompok ulama berkata: hendaknya ia tetap menyimpan uang itu, dan tidak boleh menggunakannya sama sekali.
Sekelompok ulama yang lain berkata: hendaknya ia berikan uang tersebut kepada imam atau pejabat yang berwenang, karena ia adalah wakil dari rakyatnya, sehingga ia menyimpankannya untuk mereka. Dan hukum harta itu menjadi harta yang ditemukan dijalan (luqathah).
Sementara sekelompok ulama yang lain berkata: pintu taubat masih terbuka bagi orang ini, dan tidak ditutup oleh Allah SWT baginya serta bagi orang yang berdosa. Taubat orang ini adalah dengan mensedekahkan harta itu kepada orang-orang yang berhak, seperti kepada para fakir-miskin, orang-orang yang membutuhkan, lembaga-lembaga sosial, dan untuk kepentingan kaum muslimin.
Di antaranya adalah untuk: pasukan jihad fi sabilillah dan pusat-pusat dakwah. Jika nanti datang hari pembalasan hak-hak, maka para pemilik uang dapat memilih antara memaafkan apa yang diperbuatnya itu, dan pahala sedekah itu untuk mereka. Atau mereka tidak memaafkannya, sehingga mereka mengambil dari kebaikannya menurut jumlah uang mereka, dan pahala sedekah itu untuknya sendiri. Karena Allah SWT tidak membatalkan pahala sadaqahnya itu. Dan Allah SWT tidak menyatukan antara pengganti dan yang digantikan. Kemudian dimintakan kepadanya, dan Allah SWT menjadikan pahala sedekah itu bagi mereka, atau juga dengan mengambil dari kebaikannya sesuai dengan kadarnya untuk diberikan kepada orang yang pernah dizhaliminya itu.
Ibnu Qayyim berkata:
Ini adalah mazhab sekelompok shahabat, seperti diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah dan Hajjaj bin Sya'ir.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud membeli seorang hamba sahaya wanita dari seseorang, kemudian ia masuk untuk menimbang harganya, namun ketika ia kembali pemilik budak itu telah pergi, dan iapun menunggunya hingga ia lemas menunggu, maka iapun mensadaqahkan harga itu dan berkata: ya Allah, sadaqah ini bagi pemilik hamba sahaya ini, jika ia merelakannya maka pahala sadaqah itu untuk saya, dan jika ia tidak rela maka pahalanya untuk saya, dan ia dapat mengambil dari kebaikan saya sesuai dengan haknya.
Seorang laki-laki telah berlaku curang terhadap ghanimah, kemudian ia bertaubat, dan membawa ghanimah yang telah ia curi itu kepada kepala tentara, namun ia menolak untuk menerimanya, dan berkata: "bagaimana aku dapat menyampaikannya kepada seluruh tentara itu, padahal mereka telah berpencar dan pulang ke rumah masing-masing?" Kemudian orang itu mendatangi Hajjaj bin Sya'ir, dan ia pun berkata kepadanya: "Hai bung, sesungguhnya Allah SWT mengetahui tentara itu serta nama mereka dan keturunan mereka. Maka berikanlah seperlima harta itu kepada orang-orang yang berhak atasnya, kemudain sedekahkan sisanya dan pahalanya diniatkan untuk mereka, karena Allah SWT akan menyampaikan itu kepada mereka", dan orang itupun melakukan nasehat itu. Ketika Mu'awiyah diberitahukan tentang hal itu ia berkata: "aku berfatwa dengan fatwa itu lebih aku senangi dari pada setengah kerajaanku!"
Mereka berkata: demikian juga halnya dengan barang temuan jika tidak ditemukan pemiliknya, setelah diumumkan, sementara ia tidak ingin memilikinya, maka ia dapat mensedekahkannya, dan jika kemudian datang pemiliknya ia dapat memberikan pilihan antara mendapatkan pahalanya atau diganti.
Mereka berkata: hal ini karena, dalam syari'ah, orang yang tidak diketahui dianggap seperti orang yang tidak ada. Jika pemiliknya tidak ada maka itu seperti tidak ada pemiliknya. Ini berkaitan dengan harta yang tidak diketahui siapa pemiliknya dengan pasti. Sementara harta itu tidak boleh disia-siakan. Karena itu akan menciptakan mudarat bagi pemiliknya, para fakir-miksin, dan orang yang berada dalam tanggungannya. Bagi pemiliknya, itu akan membuat mudarat baginya karena manfaatnya tidak sampai kepadanya. Demikian juga bagi para fakir miskin. Sedangkan bagi orang yang berada dalam tanggungannya: karena ia tidak dapat membebaskannya dari dosanya, sehingga ia dituntut diakhirat tanpa mengambil manfaat darinya, dan itu tidak dibenarkan oleh syari'ah, apalagi sampai memerintahkannya dan mewajibkannya. Karena syari'ah berdasarkan pada "menghasilkan" kemaslahatan sedapat mungkin dan menyempurnakannya. Serta menahan kemafsadatan sedapat dan sedikit mungkin. Dengan menyia-nyiakan uang itu, tidak memanfaatkannya dan melarang orang untuk mempergunakannya adalah kemafsadatan yang jelas, dan tidak ada kemaslahatan sama sekali.
Seperti diketahui --sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim-- orang yang tidak mendapatkan hartanya yang seharusnya menjadi miliknya di dunia, tentu ia akan amat senang ketika mendapatkan manfaat dari hartanya itu di akhirat. Tentu ia akan amat tidak senang jika ia kemudian tidak dapat memanfaatkan hartanya itu di dunia dan akhirat. Jika pahala hartanya itu sampai di akhirat, tentu kebahagiaannya akan lebih dari pada kebahagiaannya saat mendapatkannya di dunia. Maka mengapa ada yang berpendapat: maslahat tidak mempergunakan harta ini -- bagi orang yang telah meninggal, orang-orang miskin dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya-- lebih besar dari maslahat menginfakkannya secara syar'i? Bahkan apa maslahatnya bagi agama atau dunia dalam penyia-nyiaan harta tersebut? Bukankah tindakan penyia-nyiaan itu semata suatu kemafsadatan?
Ibnu Taimiah pernah ditanya seorang tua: "aku lari dari tuanku saat aku berusia kecil, dan hingga saat ini aku tidak mendengar khabarnya lagi. Aku adalah seorang hamba sahaya, dan takut terhadap azab Allah SWT atas perbuatanku itu. Aku ingin terbebas dari hak tuanku atas diriku. Aku telah bertanya kepada sekelompok mufti, dan mereka berkata kepadaku: pergilah dan duduklah di gudang!" Mendengar hal itu Ibnu Taimiah tertawa dan berkata: "hendaklah engkau bersedekah --sebisa dan sedapat mungkin -- dan pahalanya untuk tuanmu itu, dan engkau tidak perlu ke gudang, duduk tanpa menghasilkan manfaat, serta memberi mudarat bagi engkau, serta menghalangi maslahat engkau. Sedangkan tuanmu juga tidak mendapatkan manfaat dari tindakanmu berdiam di gudang itu, juga tidak bagimu dan bagi kaum muslimin. Wallahu a'lam." (Lihat: Madarij as Salikin: 1/387 - 390).
Orang-orang yang Mendapatkan Uang dari Transaksi yang Haram
Masalah ketiga: jika ia memperoleh uang dari orang lain dengan cara yang haram, dan saat itu ia memegang uang tersebut -&endash;seperti uang yang didapatkan oleh seorang pelacur dari langganannya, seorang penyanyi dari hasil nyanyiannya, penjual khamar dari pembelinya, orang yang memberikan saksi palsu dari penyogoknya, dan semacamnya-- kemudian ia taubat, dan uang yang ia dapatkan dengan cara haram itu masih berada pada dirinya; kemana seharusnya ia berikan uang tersebut?Satu kelompok ulama berkata: uang agar dikembalikan kepada orang yang memberikannya semula, karena itu memang hartanya, dan ia tidak dapat memilikinya dengan izin dari Allah SWT, dan pemberinya pun tidak mendapatkan manfaat yang halal dari uang yang ia berikan itu.
Satu kelompok ulama lainnya berkata: taubatnya adalah dengan bersedekah dengan harta itu, dan ia tidak memberikannya kepada orang yang telah memberikannya. Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh syeikh IbnuTaimiah, dan itu adalah pendapat yang paling bagus. Karena jika ia tetap memegangnya, seharusnya uang itu ia dapatkan dari pemberinya sebagai pemberian tanpa pamrih dan suka rela, bukan sebagai pembayaran sesuatu yang haram. Lantas bagaimana mungkin ia mengembalikan uang itu kepada si pemberinya, yang nantinya dapat dipergunakan oleh orang itu untuk bermaksiat kepada Allah SWT, dan mengembalikannya uangnya itu kepadanya akan membantunya untuk melakukannya untuk kedua dan ketiga kalinya? Bukankah itu berarti membantunya untuk melakukan dosa dan pelanggaran syari'at? Apakah sesuai dengan kebaikan syari'at jika: para pelacur diperintahkan untuk mengembalikan seluruh penghasilannya yang ia dapatkan dari pelacuran kepada para lelaki hidung belang yang pernah mengajaknya tidur dan membayarnya, dan si hidung belang diperbolehkan untuk mengambil kembali uang itu dari si pelacur dengan cara baik-baik maupun paksaan?
Katakanlah harta itu tidak dimiliki orang yang mengambilnya, namun kepemilikan si pemiliknya yang pertama telah hilang ketika ia memberikannya kepada orang yang bertransaksi dengannya secara haram itu, dan ia pun sudah mendapatkan apa yang ditransaksikan itu. Lantas bagaimana mungkin setelah itu ada yang mengatakan bahwa kepemilikkan si orang pertama itu masih tetap ada dalam harta itu, dan uang itu harus dikembalikan kepadanya? Ini berbeda halnya jika ia mensedekahkan uang tersebut. Karena ia mendapatkan uang itu dari pemiliknya dengan suka rela, dan pemiliknya itu pun bisa tidak keberatan jika uang itu kemudian ia sedekahkan, dan tidak dikembalikan kepadanya. Dengan demikian, dalam kasus seperti ini, cara yang paling benar adalah: agar harta tersebut dipergunakan untuk suatu kemaslahatan yang dapat diambil manfaatnya oleh orang yang memegangnya, dan dapat mengurangi dosanya, yakni dengan mensedekahkannya, dan tidak digunakan untuk membantu si pembuat dosa untuk melakukan perbuatan dosanya. Dengan begitu, berarti ia telah mencapai dua kemaslahatan sekaligus.
Demikianlah taubat orang yang hartanya bercampur antara yang halal dan haram, yang keduanya tidak dapat ia bedakan: yaitu dengan mensedekahkan kadar harta yang haram yang berada padanya, dan menggunakan harta sisanya yang halal untuk dirinya. Wallahu a'lam.
Taubat dari Suatu Dosa Sambil Tetap Melakukan Dosa yang Lain
Di antara pertanyaan yang penting yang menuntut untuk dijawab dan dijelaskan hukumnya di sini adalah pertanyaan: apakah taubat dari suatu dosa sah, jika sambil tetap melakukan dosa yang lain?Dalam hal ini ada dua pendapat ulama, dan keduanya adalah dua riwayat dari imam Ahmad. Orang yang mengatakan di situ ada ijma', tidak mengetahui ikhtilaf pendapat yang terjadi, seperti an-Nawawi yang berpendapat lain dan ulama lainnya.
Abu Thalib al Makki dalam kitabnya "Qutul Qulub" meriwayatkan pendapat berikut ini dari beberapa ulama: orang yang telah taubat dari sembilan puluh sembilan dosa, namun ia tidak bertaubat dari satu dosa, maka ia menurut kami bukan kelompok orang yang bertaubat" [Qutul Qulub: 1/191]
Imam Ibnu Qayyim berkata: Masalah ini pelik, dan memiliki kerumitan tersendiri. Namun perlu memilih salah satu pendapat itu dengan diperkuat oleh dalil. Mereka yang mengabsahkan taubat seperti itu berdalil bahwa keislaman seseorang jelas sah --dan keislaman itu adalah taubat dari kekafiran-- meskipun ia masih tetap melakukan maksiat yang ia belum bertaubat darinya. Maka demikian pula halnya dengan taubat dari suatu dosa sambil masih tetap melaklukan dosa yag lain.
Sedangkan kelompok ulama yang lain berkata: keislaman itu lain masalahnya dari yang lain, karena kekuatannya, serta keislaman itu dapat terjadi --dengan keislaman kedua orang tuanya atau salah satunya-- bagi anak kecil.
Sementara kelompok ulama yang lain lagi berdalil, bahwa taubat itu adalah kembali kepada Allah SWT dari melanggar aturan-Nya menuju ketaatan-Nya. Maka bagaimana ia dapat dikatakan kembali jika ia hanya taubat dari satu dosa, sementara masih terus melakukan seribu dosa lainnya?
Mereka berkata: Allah SWT tidak menghukum orang yang telah bertaubat karena orang itu telah kembali kepada ketaatan dan penghambaanNya, serta telah taubat dengan taubat nasuha. Sedangkan orang yang masih terus melakukan dosa lain yang sejenisnya --atau malah lebih besar lagi-- tidak dapat dikatakan telah kembali kepada ketaatan, dan tidak pula telah taubat dengan taubat nasuha.
Mereka berkata: karena orang yang bertaubat kepada Allah SWT, darinya telah hilang cap "pelaku maksiat", seperti orang kafir ketika ia masuk Islam yang hilang cap "kafir" itu darinya. Sedangkan orang yang tetap melakukan dosa lain selain dosa yang ia mintakan taubat itu, maka cap "maksiat" masih tetap melekat padanya, sehingga taubatnya tidak sah. Rahasia masalah ini adalah: taubat itu memiliki macam-macam bagian, seperti kemaksiatan, sehingga ia dapat taubat dari satu segi, tidak pada segi lainnya, seperti antara keimanan dengan keislaman
Pendapat yang kuat adalah: taubat itu dipecah-pecah, seperti perbedaan dalam pelaksanaannya. Demikian juga dalam jumlahnya. Maka jika seorang hamba telah menjalankan suatu kewajiban dan meninggalkan kewajiban yang lain, ia akan menerima hukuman atas yang ditinggalkan itu tidak atas kewajiban yang telah dilakukannya. Demikian juga halnya orang yang telah bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain. Karena taubat adalah kewajiban dari dua dosa. Maka ia telah melakukan satu dari dua kewajiban dan meninggalkan yang lain. Sehingga apa yang ditinggalkannya tidak membuat batal apa yang telah dikerjakannya. Seperti orang yang tidak melaksanakan hajji, namun menjalankan shalat, puasa dan zakat.
Kelompok yang lain berkata: taubat adalah satu pekerjaan. Maknanya adalah meninggalkan apa yang dibenci oleh Allah SWT serta menyesal dari perbuatannya yang buruk, dan kembali kepada ketaatan kepada Allah SWT. Maka jika ia tidak melengkapinya, taubatnya itu tidak sah, karena ia adalah satu kesatuan ibadah. Maka melaksanakan sebagian taubat sementara meninggalkan taubat yang lain adalah seperti orang yang melakukan sebagian ibadah dan meninggalkan bagian lainnya. Dan ikatan bagian-bagian suatu ibadah satu sama lain lebih kuat dari ikatan ibadah-ibadah yang bermacam-macam, satu sama lain.
Dan kelompok yang berpendapat lain berkata: setiap dosa memiliki taubat yang khusus baginya, dan taubat itu wajib dilakukannya. Namun taubat itu tidak berkaitan dengan taubat dari perbuatan lainnya. Seperti tidak ada kaitan antara satu dosa dengan dosa lainnya.
Ibnu Qayyim berkata: menurutku dalam masalah ini adalah: suatu taubat atas suatu dosa tidak sah jika orang itu tetap menjalankan dosa lainnya yang sejenis. Sedangkan taubat dari satu dosa sambil masih melakukan dosa lain yang tidak mempunyai hubungan dengan dosa pertama, juga bukan dari jenisnya, taubat itu sah. Seperti orang yang bertaubat dari riba, dan belum bertaubat dari meminum khamar misalnya. Karena taubatnya dari riba adalah sah. Sedangkan orang yang bertaubat dari riba fadhl, kemudian ia tidak bertaubat dari riba nasi'ah dan terus menjalankan riba ini, atau sebaliknya, atau orang yang taubat dari menggunakan obat bius dan ia masih tetap minum minuman keras, atau sebaliknya, maka taubatnya ini tidak sah. Ini adalah seperti orang yang bertaubat dari berzina dengan seorang wanita, namun ia masih tetap berzina dengan wanita-wanita lainnya, maka tidak sah taubatnnya. Demikian juga orang yang bertaubat dari meminum juice anggur yang memambukkan, namun ia masih terus meminum minuman lainnya yang memabukkan juga, maka orang ini sebetulnya belum bertaubat. Namun ia hanya bnerpindah dari satu macam ke macam lainnya.
Berbeda dengan orang yang meninggalkan satu jenis maksiat, sambil menjalankan maksiat jenis lainnya. Karena dosanya lebih ringan, atau karena dorongannya baginya lebih kuat, serta kekuatan syahwat untuk melakukan itu amat kuat baginya atau juga faktor-faktor yang mendorongnya untuk terus melakukan itu masih tetap ada, tidak perlu dicari. Berbeda dengan maksiat yang butuh dicari dahulu perangkatnya untuk mengerjakannnya, atau juga karena teman-temannya memilikinya, dan mereka tidak membiarkannhya untuk bertaubat darinya, dan ia memiliki kehormatan di hadapan mereka, maka jiwanya tidak membiarkannya untuk merusak penghormatan mereka atasnya itu dengan melakukan taubat [Madarij Salikin: 1/273-275]
Pendapat yang aku pilih dalam masalah ini adalah: seluruh orang yang bertaubat dari suatu dosa dengan taubat yang benar, maka diharapkan Allah SWT menerima taubatnya, dari dosa itu. Meskipun ia masih terus menjalankan dosa yang lain. Barangsiapa yang bertaubat dari perbuatan kaum Luth (homoseksual) dengan benar, niscaya Allah SWT akan menerima taubatnya, meskipun ia masih berat untuk bertaubat dari zina. Orang yang bertaubat dari riba nasi'ah, maka Allah SWT akan menerima tabatnya, meskipun ia masih menjalankan riba fadhl. Atau ia taubat dari ghibah (menceritakan keburukan orang) dan namimah (mengadu domba), meskipun ia masih sering menghina orang, berbohong ketika bicara atau dosa lidah lainnya.
Taubat itu sah karena taubat pada dasarnya adalah hasanah (kebaikan), bahkan kebaikan yang besar. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisiNya pahala yang besar" [an Nisa: 40]
Kemudian Allah SWT berjanji akan menerima taubat hamba-hamba-Nya secara umum. Dan tidak mengkhususkan satu dosa dari dosa lainnya. Seperti dalam firman Allah SWT:
"Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan" [QS. asy-Syuura: 25].
Orang ini telah bertaubat dari dosanya, dan ia berhak untuk diterima taubatnya oleh Allah SWT dan dimaafkan.
Kemudian ini cocok dengan keluasan rahmat dan maghfirah Allah SWT yang mencakup seluruh orang yang berdosa dan seluruh orang yuang bertaubat. Seperti firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Allah SWT mengampuni dosa-dosa seluruhnya".
Kemudian itu juga akan mengobati kelemahan manusia, dan menuntunnya secara bertahap, dan membuka kesempatan baginya meningkat setahap demi setahap. Sehingga ia dapat meninggalkan maksiat sedikit demi sedikit, dan dari satu fase ke fase selanjutnya. Hingga pada akhirnya Allah SWT memberikan hidayah kepadanya untuk meninggalkan seluruh kemaksiatan itu. Dalam hadits sahih disabdakan:
"Kalian diutus hanya untuk memberi kemudahan dan tidaklah kalian diutus untuk membuat kesulitan".
Pendapat yang mengatakan diterimanya taubat seseorang yang taubat ketika ia masih berbuat dosa lagi, dan ia kemudian kembali bertaubat, didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Seorang hamba melakukan dosa, dan berdo'a: Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa maka ampunilah aku. Tuhannya berfirman: hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dan menghapus dosanya, maka Aku ampuni hamba-Ku itu. Kemudian waktu berjalan dan orang itu tetap seperti itu hingga masa yang ditentukan Allah SWT, hingga orang itu kembali melakukan dosa yang lain. Orang itupun kembali berdo'a: Ya Tuhanku, aku kembali melakukan dosa, maka ampunilah dosaku. Allah SWT berfirman: Hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan menghapus dosanya, maka Aku ampuni hamba-Ku itu. Kemudian ia terus dalam keadaan demikian selama masa yang ditentukan Allah SWT, hingga akhirnya ia kembali melakukan dosa. Dan ia berdo'a: Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa, maka ampunilah daku. Allah SWT berfirman: Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan menghapus dosanya. Maka Aku telah berikan ampunan kepada hamba-Ku, (diulang tiga kali) dan silahkan ia melakukan apa yang ia mau" [Hadits Muttafaq alaih: lihat: al Lu'lu wa al Marjan (1754) dan lihatlah: Fathul Bari juz 13 hal. 46 dan setelahnya].
Al Qurthubi berkata dalam kitabnya "al Mufhim fi syarhi Muslim": Hadits ini menunjukkan kebesaran faedah istighfar, dan keagungan nikmat Allah SWT, keluasan rahmat-Nya serta sifat pemaaf dan pemurah-Nya. Namun istighfar ini adalah permohonan taubat yang maknanya tertanam dalam hati sambil diiringi dengan ucapan lidah, sehingga ia tidak lagi menjalankan dosa itu, dan ia merasa menyesal atas perbuatan masa lalunya. Sehingga itu adalah ungkapan praktekal atas taubat. Seperti dikatakan oleh hadits: orang yang paling baik dari kalian adalah setiap orang yang terfitnah (sehingga melakukan dosa) dan sering bertaubat". Maknanya: yaitu orang yang terulang dosanya dan mengulang taubatnya. Setiap kali ia jatuh dalam dosa ia mengulang taubatnya. Bukan orang yang berkata dengan lidahnya: aku ber istighfar kepada Allah SWT, namun hatinya masih terus ingin menjalankan maksiat itu. Inilah istighfar yang masih membutuhkan kepada istighfar lagi!
Al Hafizh ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari ketika memberi komentar atas hadits itu, sebagai berikut: hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dari hadits Ibnu Abbas secara marfu':
"Orang yang bertaubat adalah seperti orang yang tidak mempunyai dosa, dan orang yang meminta ampunan dari dosa, sementara ia masih tetap melakukan dosa, adalah seperti orang yang mengejek Tuhannya".
Ia berkata: yang rajih adalah: redaksi dari "wal mustaghfir... hingga akhirnya, adalah mauquf. Atau dari perkataan Ibnu Abbas, bukan hadits Nabi. Yang pertama menurut Ibnu Majah dan Thabrani, dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan sanadnya hasan.
Al Qurthubi berkata: faedah hadits ini adalah: kembali berbuat dosa adalah lebih buruk dari ketika pertama kali melakukan dosa itu, karena dengan kembali berdosa itu ia berarti melanggar taubatnya. Tapi kembali melakuian taubat adalah lebih baik dari taubatnya yang pertama, karena ia berarti terus meminta kepada Allah SWT Yang Maha Pemurah, terus meminta kepada-Nya, dan mengakui bahwa tidak ada yang dapat memberikan taubat selain Allah SWT.
Imam an Nawawi berkata: dalam hadits itu, suatu dosa --meskipun telah terulang sebanyak seratus kali atau malah seribu dan lebih-- jika orang itu bertaubat dalam setiap kali melakukan dosa-- niscaya taubatnya diterima, atau juga ia bertaubat dari seluruh dosa itu dengan satu taubat, maka taubatnya juga sah. Dan redaksi: "perbuatlah apa yang engkau mau" -- atau "Maka silakan ia berbuat apa yang ia mau" - maknanya: selama engkau masih melakukan dosa maka bertaubatlah, niscaya Aku akan ampuni dosamu" [Lihat: Fathul Bari: 14/ 471. Cetakan: Darul Fikr al Mushawirah An Salafiyah]
Benar, taubat yang sempurna adalah taubat dari seluruh dosa. Dan itulah yang akan membawa kepada keberuntungan yang disinyalir dalam firman Allah SWT:
"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" [QS. an-Nur: 31]
Taubat seperti itulah yang akan menghapus seluruh keburukan, dan menghilangkan seluruh dosa, dan orangnya akan masuk dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari Allah SWT tidak mengcewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya.
Inilah yang akan menarik cinta Allah SWT kepadanya, juga kesenangan dan senyum-Nya terhadap mereka.
Juga taubat yang sempurna adalah taubat yang tidak hanya mencegah orang itu untuk kembali melakukan maksiat saja, namun ia adalah taubat yang mendorongnya untuk melakukan ketaatan, menjalankan perbuatan yang saleh, serta mematuhi hukum-hukum syari'ah dan adab-adabnya, secara zahir dan bathin, antara dia dengan Rabbnya, antara dirinya dengan dirinya sendiri, serta antara dirinya dengan seluruh makhluk. Sehingga ia dapat mencapai keberuntungan di dunia dan akhirat, dan mendapatkan kemenangan surga serta selamat dari neraka.
Oleh karena itu,
kita harus membedakan antara taubat yang menyeluruh yang akan mengantarkan
orang itu kepada kemenangan mendapatkan surga dan selamat dari neraka, dengan
taubat yang parsial yang memberikan keuntungan kepada orang yang taubat itu
serta membebaskannya dari suatu dosa tertentu, meskipun ia tetap terikat dengan
dosa yang lain. Kedua macam taubat itu mempunyai ketentuan hukumnya
masing-masing.
Taubat Orang yang Tidak Dapat
Melakukan Maksiat
Di antara pertanyaan yang timbul
di sini adalah: apa hukum orang yang berbuat maksiat, jika saat bertaubat ia
sudah tidak dapat lagi melakukan kemaksiatan yang ia taubatkan itu, atau ia
sudah telah melemah sehingga tidak mungkin lagi melakukannya; apakah taubatnya
itu sah?Seperti orang yang berbohong, yang mengqadzaf orang lain, dan orang yang memberikan kesaksian palsu, jika lidah orang itu telah terpotong (karena suatu kecelakaan dan sebagainya). Orang yang berzina jika ia telah kehilangan nafsu untuk berzina. Penguasa yang zalim jika ia telah diberhentikan dari kedudukannya, dan ia tidak mampu lagi berbuat zhalim. Dan seluruh orang yang telah sampai pada titik ia tidak mempunyai dorongan lagi untuk berbuat maksiat.
Ibnu Qayyim berkata: dalam
masalah ini ada dua pendapat.
Satu kelompok ulama berkata: taubatnya tidak sah.
Karena taubat itu seharusnya dilakukan oleh orang yang masih mungkin
menjalankan atau meninggalkan perbuatan maksiat yang ia taubatkan itu. Taubat
dilakukan terhadap sesuatu yang dapat dikerjakan, bukan terhadap sesuatu yang
mustahil dikerjakan. Oleh karena itu tidak dapat dibayangkan taubat atas
memindahkan gunung dari tempatnya, mengeringkan lautan, terbang di udara tanpa
alat atau sejenisnya.Mereka berkata: karena taubat adalah mengalahkan dorongan nafsu, dan mengikuti panggilan kebenaran. Sementara dalam masalah tadi tidak ada dorongan nafsu lagi, karena ia tahu tidak akan mampu mengerjakannya.
Mereka berkata: ini adalah seperti orang yang dipaksa untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan, dan ditugaskan secara paksa pula. Orang yang seperti ini tidak sah taubatnya.
Mereka berkata: yang diterima fitrah dan akal manusia adalah, taubat orang yang pailit dan yang kejepit, adalah taubat yang tidak dapat diterima, dan tidak terpuji. Malah mereka menamakannya sebagai taubat orang pailit dan taubat orang kejepit.
Seorang penyair berkata: "Maka segera ku tanyakan tentang taubatnya ku dapati ternyata taubatnya adalah taubat orang yang pailit"!
Mereka berkata: ini juga menunjukkan bahwa teks-teks yang banyak dan jelas menunjukkan bahwa taubat yang dilakukan ketika datang maut adalah tidak bermanfaat. Karena itu adalah taubat orang yang kepepet dan tidak memiliki pilihan lain: Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." [QS. an Nisa: 17-18]
Dan "al-jahalah" di sini maksudnya adalah: ketidak tahuan kerja, meskipun ia tahu akan keharaman itu. Qatadah berkata: para sahabat Rasulullah Saw berijma' bahwa seluruh perbuatan yang di dalamnya Allah SWT dimaksiati adalah kebodohan. Baik secara sengaja atau tidak. Dan seluruh orang yang maksiat kepada Allah SWT adalah orang yang bodoh. Sedangkan taubat secepatnya adalah: menurut mayoritas mufassir, taubat itu adalah taubat sebelum orang itu menghadapi ajalnya. Ikrimah berkata: ia adalah taubat sebelum mati. Dhahhak berkata: ia adalah taubat sebelum menjumpai malaikat maut. As-Sudi dan al Kulabi berkata: yaitu agar orang bertaubat pada waktu sehatnya dan sebelum ia sakit menjelang matinya.
[Sayyid Rasyid Ridha memberikan komentar atas pendapat-pendapat itu: manusia banyak tertipu dengan zhahir pendapat-pendapat ini dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran dan hadist-hadits itu, membuat mereka banyak menunda taubat, dan terus melakukan kemaksiatan, sehingga kemaksiatan itu melekat kuat dalam hati mereka, dan nafsu mereka menyenanginya. Hal itu kemudian menjadi instink dan kebiasaan yang tidak dapat --atau sulit-- untuk mereka lepaskan, kecuali dalam kasus yang langka saja. Hingga datang ajal mereka, sementara mereka masih bergelimang dalam nafsu mereka. Makna ayat itu bukanlah: bahwa taubat yang diridhai dan dijamin diterima oleh Allah SWT adalah taubat atas kemaksiatan yang terus dilakukan oleh seseorang hingga menjelang sakratul maut, hingga beberapa jam atau beberapa menit sebelumnya. Namun yang dimaksudkan adalah: bertaubat tidak lama setelah melakukan sesuatu dosa, sambil tidak mengulanginya lagi, seperti disebutkan pada ayat yang lain. Dan barangkali yang dimaksudkan Ikrimah, Dhahhak dan yang lainnya untuk menyesuaikan dengan makna hadits; bahwa Allah SWT akan menerima taubat seseorang yang berbuat maksiat selama orang itu belum sekarat. Maksudnya, seandainya ia bertaubat pada suatu waktu, sebelum datang sakratul maut dan ajal tiba, niscaya taubatnya akan diterima. Dan itu tidak bertentangan dengan ayat. Karena manusia mungkin ada yang datang keinginan taubatnya beberapa saat sebelum sakratul maut atau ajalnya tiba, terhadap dosanya yang belum lama ia lakukan, namun jarang ada orang yang bertaubat dari dosa yang telah ia lakukan semenjak lama dan terus menerus, dan jikapun ia bertaubat dari macam dosa yang disebut terakhir itu, maka jarang sekali orang seperti itu dapat memperbaiki apa yang telah ia rusak, disebabkan dosa yang ia lakukan secara terus menerus itu. Sesuai dengan firman Allah SWT: "Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar. Kesimpulannya: Yang dimaksudkan adalah terus menerus melakukan dosa dan menunda-nunda untuk bertaubat adalah berbahaya, meskipun taubat dari dosa semacam itu masih dapat diterima jika dilakukan dalam waktu ikhtiar (sebelum sakratul maut tiba), namun biasanya orang mati dalam keadaan sebagaimana ia sehari-harinya, selama ini, oleh karena itu orang-orang yang tertipu dengan menunda-nunda taubatnya hendaknya ia berhati-hati ]
Dalam musnad dan kitab lainya dari Ibnu Umar dari Nabi Saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT akan menerima taubat seorang hamba selama ia belum sekarat mati " .
Dalam naskah darraj dari Abi Sa'id secara marfu' disebutkan:
"Sesungguhnya syaitan berkata: demi kemuliaan-Mu ya Tuhan, aku akan terus berusaha menggoda hamba-hamba-Mu selama ruh mereka berada dalam tubuh mereka. Allah SWT berfirman: demi Kemuliaan-Ku, Keagungan-Ku dan Ketinggian kedudukan-Ku, Aku akan terus memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Ku selama mereka meminta ampunan kepada-Ku." [Hadits ini dha'if, karena ia merupakan riwayat Darraj, dan dia adalah dha'if, terutama riwayatnya dari Abi Haitsam.]
Ini adalaah orang yang bertaubat secepatnya. Sedangkan orang yang bertaubat saat sekarat, dan ia berkata: saat ini aku bertaubat! Maka taubatnya tidak dapat diterima. Karena itu adalah taubat terpaksa bukan karena dorongan kesadararn diri. Ia adalah seperti taubat setelah matahari terbit dari Barat, pada hari kiamat, dan ketika menemui ajal.
Mereka berkata: karena hakikat taubat adalah: mencegah diri dari mengerjakan sesuatu yang dilarang. Dan tindakan itu dilakukan oleh orang yang mampu mengerjakannya,. Sedangkan orang yang tidak mungkin mengerjakannya, adalah tidak masuk akal jika nafsu dicegah untuk melakukan itu. Juga karena taubat adalah dengan membebaskan diri dari dosa, dan orang yang memang tidak dapat lagi mengerjakan dosa itu, bagaimana mungkin ia kemudian mencegah dirinya dari menjalankan dosa itu.
Mereka berkata: karena dosa adalah keinginan kuat untuk mengerjakan sesuatu yang diharamkan, serta diikuti dengan kemampuannya. Dan taubat darinya berarti: tekad yang kuat untuk meninggalkan perbuatan dosa yang dapat ia kerjakan itu, dilanjutkan dengan meninggalkannya. Sedangkan tekad untuk mengerjakan sesuatu yang tidak dapat ia kerjakan adalah mustahil. Karena tekad untuk meninggalkan perbuatan yang memang ia tidak mampu mengerjakannya ini adalah sesuatu yang pasti terjadi, bukan tekad sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan. Itu tidak lebih dari semisal meninggalkan keinginan terbang di udara, memindahkan gunung dan sebagainya.
Pendapat kedua: (pendapat yang benar) adalah taubatnya itu diterima, mungkin dan dapat terjadi. Karena rukun-rukun taubat masih ada padanya. Yang dapat ia lakukan dari perbuatan itu adalah penyesalan. Dalam musnad Ahmad secara marfu' diriwayatkan hadits: "Penyesalan adalah taubat.
Maka jika ia telah menyesal atas dosanya, serta mencela dirinya sendiri, itu adalah taubat. Mengapa kemudian hak taubat itu diambil darinya, meskipun ia telah amat menyesal atas dosanya, dan telah berulang kali menyalahkan dirinya sendiri. Apalagi jika ia juga menangis, sedih dan takut, serta bertekad kuat dan berniat jika ia sehat dan ia mempunyai kemampuan untuk mengerjakan perbuatan dosa itu ia tidak akan mengerjakannya.
Juga karena dalam syari'at, orang yang tidak dapat melakukan ketaatan dikelompokkan dalam golongan orang yang mengerjakan ketaatan itu, jika niatnya benar. Seperti dalam hadits sahih:
"Jika seorang hamba sakit atau melakukan musafir, maka baginya ditulis pahala amal yang biasa ia lakukan saat sehat dan diam di rumah."
Dan dalam hadits sahih lainnya dari Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya di Madinah adalah sekelompok orang yang jika kalian melakukan perjalanan dan menelusuri lembah ngarai niscaya mereka juga bersama kalian. Para sahabat bertanya: "Dan saat itu mereka berada di Madinah"?. Rasulullah Saw menjawab: mereka berada di Madinah, dan tidak dapat ikut bersama kalian semata karena mereka mempunyai uzur".
Banyak lagi terdapat hadits sejenis. Maka meletakkan orang yang tidak dapat melakukan maksiat, yang meninggalkan maksiat itu secara terpaksa (sambil ia berniat akan meninggalkan kemaksiatan itu secara suka rela jika ia mempunyai kemampuan) pada posisi seperti orang yang meninggalkan sesuatu kemaksiatan dengan pilihan dan tekadnya sendiri, adalah lebih utama.
Ia menjelaskan: kemafsadatan dosa yang diancam akan diberikan hukuman itu kadang timbul dari keinginannya, atau dari mengerjakannya. Dan kemafsadatan itu tidak terdapat dalam orang yang tidak dapat melakukan maksiat itu, baik tekad atau mengerjakannya langsung. Dan hukuman adalah mengikuti mafsadat itu.
Jika orang ini tidak dapat melakukannya, ia masih dapat menghayalkan dan menginginkannya. Dan di antara niatnya adalah: Jika ia sehat ia akan melakukannya. Maka taubatnya itu adalah dengan membersihkan dirinya dari keinginan dan khayalannya itu. Keinginan untuk terus melakukan dosa itu masih terdapat dalam dirinya tentunya, kemudian ia berkeinginan untuk melakukan yang sebaliknya, maka itu adalah taubatnya. Itu baginya lebih mungkin dan dapat terjadi daripada berkeinginan untuk terus menjalankan maksiat. Ini amat jelas.
Perbedaan antara orang seperti ini dengan orang yang sedang menghadapi kematiannya serta orang yang sedang menghadapi hari kiamat adalah: beban (taklif) telah terputuskan ketika datang kematian dan saat hari kiamat datang. Sedangkan taubat itu masih dalam masa taklif (beban). Dan orang yang lemah ini tidak terputus baginya taklif. Maka perintah dan larangan masih melekat padanya. Mencegah berbuat dosa masih dapat ia lakukan, daripada menginginkan dan merindukan kemaksiatan itu, serta menyesal tidak dapat melakukannya. Kemudian ia mengganti semua itu dengan penyesalan dan kesedihan karena ia telah melakukannya. Wallahu a'lam. [Madarij Salikin: 1 / 283 - 286.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar