POLA-POLA DASAR ISTINBATH HUKUM EMPAT
IMAM MAZHAB
A. IMAM ABU
HANIFAH
1.
Kehidupan Imam
Abu Hanifah
Abu Hanifah
merupakan imam pertama dari keempat imam dan yang paling dahulu
lahir juga wafatnya, ia mampu memeperoleh kedudukan yang terhormat dalam
masyarakat yang menghimpun factor-faktor positif dan factor-faktor negative,
sehingga tidak heran ia di juluki Imam A’zham (pemimpin terbesar), ia juga
dikenal sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ra’y (Imam Aliran Rasional)
Beliau
dilahirkan di kota Kuffah, pada tahun 80 H (699 M), beliau benama asli Nu’mam
bin Tsabit Bin Zhauth Bin Mah, ayah beliau keturunan bangsa persi ( Kabul
Afganistan) yang menetap di Kuffah, tsabit bapak dari abu hanifah lahir sebagai
seorang muslim dan diriwayatkan dia berasal dari bangsa anbar. Adapula ia mukim
di tirtmidz, ada lagi yang mengatakan ia bermukim di Nisa, bisa jadi ia
bermukim di tiap-tiap kota
itu sementara waktu. Ia adaalah seorang pedagang yang kaya dan taat beragama,
sebagai mana ia pernah berttemu dengan ali bin Abi Thalib, lalu sang imam
mendoakan dan keturunananya dengan kebaikan dan keberkahan.
2. Pendidikan
Imam abu Hanifah
pada masa abu
hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas bin Malik, Abdullah bin Abu
Aufa, Sahl bin Sa’ad dan Abu Thufail, mereka adalah sahabat-sahabta yang paling
akhir wafat, namun abu Hanifah tidak Berguru kepada mereka.
Mengapa tidak
berguru kepada mereka?, mungkin diantara mereka ada yang sudah wafat sedang abu
hanifah masih kecil, seperti Abdullah bin Aufa yang meninggal pada tahun 87
hijriyah sehinggga umur abu hanifah pada waktu itu baru 7 tahun, dan
seperti abu Sahl bin Sa’ad yang wafat tahun 88 atau 91 hijriyah dan umur Imam
Hanafi baru berumur 11 tahun. Sementara Anas bin Malik wafat pada tahun 90 atau
92 atau 95 hijriyah dank ala itu abu Hanifah berumur 15 tahun dan belum mulai
mencari ilmu, ketika itu beliau masih berdagang.
3. Dasar-Dasar
Istinbath Mazhab Imam Abu Hanifah
Mazhab abu
Hanifah adalah gambaran yang hidup dan jelas bagi relevansi Hukum Islam dengan
tuntutan masyarakat, beliau mendasarkan mazhabnya pada :
b. Hadits:
Hadits merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat umum.
c. Aqwalus
shahabah (Ucapan Para Sahabat): ucapan para sahbat menurut Imam hanafi itu
sangat penting karena menurut beliau para sahabat meupakan pembawa ajaran rasul
setelah generasinya.
d. Qiyas:
beliau akan menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam Nash Al-Qur’an,
Hadits, maupun Aqwalus shahabah.
e. Istihsan:
merupakan kelanjutan dari Qiyas. Epnggunaan Ar-Ra’yu lebih menonjol
lagi,istihsan menurut bahasa adalah “menganggap lebih baik”, menurut
ulama Ushul Fiqh Istihsan adalah meninggalkan ketentuan Qiyas yang jelas
Illatnya untuk mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.
f.
Urf, beliaua mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan
lari dalam kebutuhan srta memeperhatikan muamalh manusia dan apa yang
mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau menggunakan segala urusan (bila tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah dan Ijma’ atau Qiyas ), beliau akan
menggunakan Istihsan, jika tidak bisa digunakan dengan istihsan maka beliau
kembalikan kepada Urf manusi
4.
Pendirian Imam Abu Hanifah tentang Taqlid
Sebagai seorang
ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta[4]
dengan beliau (tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga
kepada para Ulama beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam menerima
fatwa dalam ajaran agama. Bahakan beliau pernah berkata “Tidak Halal bagi
seorang yang ating fatwa dengan perkataanku, selam ia belum mengerti dari mana
perkataanku”.
Dalam
mengistinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada kitabullah, bila
tifdak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak ditemukan pula dalam
sunnah beliau melihat kepada perkataan para sahabat, lalu beliau menggunakan
jalan pikiran untuk mengambil pendapat mana yang sesuai dengan jala pikiran dan
ditiggal mana yang tidak sesuai.
B.
IMAM MALIK
1.
Kehidupan Imam Malik
Imam malik
dilahirkan dikota Dzu Al-muruwah di selatan kota madinah, lalu pindah ke aqiq
dan kemudian pindah ke madinah, menurut riwayat beliau dilahirkan diamdinah
pada tahun 93 H, namun ada yang mengatakan pula pada tahun 91 H,94 H, 95 H, 96
H, bahkan ada pula yang mengatakan tahun 97 H. diriwayatkan ibunya mengandung
beliau selama dua tahun, ada lagi yang mengatakan tiga tahun, beliau bernama
asli malik bin Anas bin Malik bin Abu amir bin amr bin ghaimah bin Khutsail bin
amr bi Harits ia termasuk bani taim bin Murrah.
Kakek keduanya,
abu Amir bin Amr adalah seorang sahabat Rasulullah SAW, sedangkan kakek
pertamanya, malik bin Abu Amir adalah salah satu tokoh Tabi’in.
2.
Pendidikan Imam Malik
Imam Malik
berguru kepada banyak guru diantaranya adalah Abdurrahman ibnu hurmuz, Rabi’ah
bi Abdurrahman Farrukh, ati’ budak Abdullah bin Umar, Ja’far bin Muhammad
Baqir, Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, Abdurrahman Dzakwan, Yahya bin Sa’id
Al-Anshari, Abu hazim Salamah bin Dinar, dan guru-gurunya yang lain dari
kalangan tabi’in, seperti yang di ungkapkan oleh An-Nawawi.
Imam malik
menurut riwayat An-Nawawi bahwa imam Malik berguru kepada pada 900 guru, 300
dari kalangan tabi’in, dan 600 dari kalangan tabi’it tabi’in yang terdiri dari
ulama yang ia pilih, ia akui agamanya, fiqihnya, pemenuhan kewajiban
periwayatan dan syarat-syaratnya, serta ia percaya.
3.
Dasar-Dasar Istinbath Mazhab Imam Malik
Mazhab Imam
Malik adalah sebagai berikut:
a.
Al-qur’an: Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam
pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan
petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada
Al-Qur’an.
b.
Sunnah rasul yang beliau pandang sah.
c.
Ijma’ para Ulama Madinah, tetapi beliau kadang-kadang menolak hadits
apabila nyata-nyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.
d.
Qiyas : Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata
itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan
sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.
e.
Mashalihul Mursalah[5]
(Istislah): Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata,
yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal
dari kata bahasa arab sholaha- yasluhu menjadi sholhan
atau mashlahatan yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan,
sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga
menjadi isim maf’ul, yaitu: arsala- yursilu- irsalan- mursalan yang
berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi
“maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang
dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan
yang mengandung nilai baik (manfaat).
4. Pendirian Imam Malik tentang Taqlid
Imam Malik, imam
penduduk Madinah, berkata :
Sesungguhnya
saya adalah manusia biasa, yang dapat salah dan dapat juga benar. maka perhatikan
secara kritis pendapatku. Jika sesuai dengan kitab dan Sunnah ambillah, dan
setiap pendapat yang tidak sesuai dengan kitab dan Sunnah tinggalkanlah.
Setiap orang sesudah Nabi dapat diambil ucapannya dan dapat pula ditinggalkan, kecuali, Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam.
Setiap orang sesudah Nabi dapat diambil ucapannya dan dapat pula ditinggalkan, kecuali, Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam.
C.
IMAM AS-SYAFI’I
1.
Kehidupan Imam Syafi’i
Syafi’I lahir di
Gaza, palestina pada tahun 150 Hijriyah inilah pendapat paling masyhur
dikalangan ulama namun ada juga riwayat ynag mengatakan bahwa imam syafi’I
lahir di daerah Asqalan, sebuah daerah yang berjarak kuarang lebih tiga Fasakh
(8KM) dari Gaza dan sejauh dua atau tiga marhala[6],
dari Baitul maqdis, bahka ada juga yang mengatakan bahwa beliau dilahirkan di
Yaman. Namun menurut An-Nawawi “pendapat paling masyhur yang dipegang oleh
jumhur ulama bahwa imam Syafi’I lahir di Gaza”
Nama lengkap
beliau adalah: Abu Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin
Syafi’I bin Sa’id bin Ubaid bin abu Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdu
Manaf, nasabnya samapai kepada rasulullah saw, pada kakeknya Abdu Manaf, oleh
karena itu ia dikatakan tentang Syafi’I, “cucu sepupu Nabi saw”.
2.
Pendididkan Imam Syafi’I
Imam Syafi’I
hafal Al-qur’an ketika umurnya masih belia, kemudian beliau juga menghafal
hadist dan berhasil menghafalnya, ubeliau sangat ertarik kepada kaidah-kaidah
Arab dan kalimat-kalimtnya, demi hal itu ia pergi ke pedalaman dan tinggal bersama
kabilah Hudzail sekitar sepuluh tahun.
Pertama beliau
berguru kepada Syaikhnya, Muslim Khalid Az-Zinzi dan imam-imam makkah lainnya
lalu belia pergi ke Madinah kala berusia 13 tahun, ia tetap berguru kepada
malik hingga ia wafat.
Diantara
guru-guru syafi’I di makkah antara lain: Muslim bin Khalid Az-Zinzi, Sufyan bin
Umayah, Sa’id bin Salim Al-Qidah, Daud bin Abdurrhaman Al-Athar, dan Abdul
Hamid bin Abdul Aziz bin Abu Daud.
Dan diantara
guru-gurunya di Madinah antara lain: Malik bin Anas (Imam Malik), Ibrahim bin
Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Ad-darawardi, Ibrahim bin Yahya
Al-asami, Muhammad bin Sa’id bin Abdu Fadik, dan Abdullah bin Nafi Ash-Shaigh.
3.
Dasar-Dasar Mazhab Imam Syafi’I
Mazhab Imam
adalah sebagai berikut:
a.
Al-qur’an: Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir
zaman.
b.
Hadits; Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW.
Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka
As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an
c.
Ijma’ Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW
seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum
dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
d.
Qiyas
e.
Istishab;[7]
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan
sesuatu.[8]
4. Pendirian
Imam Syafi’I terhadap Taqlid
Beliuselalu
member peringatan terhadap murid-muridnya agar tidak begitu saja menerima
apa-apa yang disampaikan oleh beliau samapikan dalam masalah agama, yang tidak
ada nashnya dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Diantara nasiat
beliau tentang talid buta, beliau pernah berkata kepada muridnya yaitu Imam
Ar-Rabi : “Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaklid kepadaku, dalam
tiap-tiap yang apa aku atinga, dan pikirkanlah benar-benar bagi dirimu sendiri
karena ia adalah urusan agama”.
Dari pernyataan
tersebut di atas kiranya cukup jelas pendapat imam Syafi’I tentang taklid buta
sungguh beliau melarang taklid buta kepada beliau dan kepada para ulama lainnya
dalam urusan hokum-hukum agama.
D. IMAM
IBNU HANBAL
1.
Kehidupan Ibnu
Hanbal
Ibnu hanbal
lahir pada tahun 164 hijriyah di Baghdad setelah
ibunya membawanya pindah keyika ia masih dalam kandungan dari kota marwa tempat tinngal ayahnya kekota
bagdad.
Ia adalah Abu
aabdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasit bin Mazin bin
Syaiban Al-Marwazi lalu Al-Baghdadi, nasab ibnu hanbal sampai kepada rasulullah
saw, pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Penisbatan Inbu
Hanbal yang terkenal adalah kepada kakeknya Hanbal, maka orang-orang mengatakan
Ibnu Hanbal.
2. Pendidikan Ibnu Hanbal
Ibnu Hanbal
hafal Al-Qur’anul Karim, mempelajari Ilmu Bahsa, dan belajar membaca dan
menulis di diwan (tempat belajar dan menulis). Ibnu Hanbal pertama kali belajar
kepada Abu yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Qadhi, murid abu hanifah kepadanya ia
belajar hadist dan fiqih, karenanya Abu Yusuf dikenal sebagai guru pertama Ibnu
Hanbal.
Namun pengaruh
Abu Yusuf tidak begitu kuat tertanam dalam jiwa Ibnu Hanbal sehingga ada yang
berpendapat bahwaa Abu Yusuf bukan guru pertamanya. Sementara guru pertamanya
adalah Hasyim bin Basyir bin Kazim Al-Wasiti, karena ia adalahguru yang palin
kuat pengaruhnya kepada Inbu Hanbal, Ibnu Hnbal berguru kepadanya selama empat
tahun.
Disela-sela
berguru kepada Hasyim, Ibnu Hanbal juga berguru kepada Umair bin Abdullah
bin Khalid, Abdurrahman bin Mahdi, dan Abu bakar bin Iyasy. Imam Syafi’I adalah
salah satu guru dari Ibnu Hanbal, bahkan ada yang mneganggap bahwa Syafi’I
merupakan guru kedua dari ibnu hanbal setelah Hasyim. Muhammad bin ishaq bi
Khuzaimah mangatakan “Ahmad bin Hanbal tidak lain hanyalah merupakan salah
satu pelayan Syafi’I”. ia juga berguru kepada Ibrahim bin Sa’ad, Yahya
Al-Qathan, Waki’ juga berguru kepada Sufyan bin Uyainah (pengganti Imam Malik).
3.
Dasar-Dasar Mazhab Imam Ibnu Hanbal
Mazhab Imam Ibnu
Hanbal adalah sebagai berikut:
a.
Al-qur’an dan Hadits: yakni beliau jika telah mnemukan nahs dalam
Al-Qur’an maupun Al-Hadits maka beliau tidak memperhatikan dalil-dalil yang
lain dan juga kepada pendapat para sahabat yang menyalahinya.
b.
Fatwa Shahaby: yaitu ketika beliau tidak mendapatkan nash dan
beliau mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada
yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak
memenadang bahwa pendapat itu merupakan ijma’.
c.
Pendapat Sebagian Sahabat yaitu mengambil pendapat yang lebih
dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terrkadang beliau tidak memberikan fatwa
jika tidk memperoleh Pentarjih atas suatu pendapat.
d.
Hadits Mursal atau Da’if: Mursal menurut bahasa
merupakan isim maf’ul yang berarti dilepaskan. Sedangkan hadits mursal menurut
istilah adalah hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in. Seperti
bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
begini atau berbuat begini”.
e.
Qiyas: akan dipakai jika benar-benar tidak ada
ketentuan-ketentuan hukumnya dari poin a-d tersebutd di atas, namun Qiyas ini
mendapat posisi yang kecil dalam penentuan Hukum (pada masa tersebut), namun
tidak menutup kemunkinan Qiyas akan menjadi penting di masa yang akan datang.
4.
Pendirian Imam Ibnu Hanbal terhadap taklid
Imam Ibnu Hanbal
merupakan seorang ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras terhadap
penggunaan ra’yu, maka demikian Imam Ibnu Hanbal pailng keras terhadap taqlid
buta dan orang yang bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau yang
seperti itu dapat dibuktikan dengan ucapannya yang beliau sampaikan kepada
salah atu muridnya seperti Imam Abu Dawud pernah mendengar bahwa Imam Ibnu
Hanbal Berkata “janganlah engkau bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam
Syafi’I, dan janganlah pula kepada Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana
mereka Itu mengambil”. Dari perkataan beliau, jelas ras terhadap beliau
melarang keras terahadap taqlid, dan beliau memerinntahkan supaya orang
mengambil segala sesuatu dari sumbber yang telah mereka ambil (para Imam)
A. KESIMPULAN
Pola dasar yang digunakan oleh para imam secara umum.
Pola dasar yang digunakan oleh para imam secara umum.
Scara umum dapat
kita simpulkan bahwa para imam mnggunakan Al-Qur’an sebagai sumberhukun yang
pertama. Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum.
Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat
manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’a.
Sumber kedua
dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang
berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat
kedua setelah Al-Qur’an. Dan para Imam pu sepakat akan hal ini. Namun dalam
menggunakan klasifikasi hadist disini terdapat perbedaan pendapat terhadap
penggunaa Hadits Mursal. Jumhur (mayoritas) ahli hadits dan ahli fiqih
berpendapat bahwa hadits mursal adalah dla’if dan menganggapnya sebagai bagian
dari hadits mardud (tertolak), karena tidak diketahui kondisi perawinya.
Bisa jadi perawi
yang gugur dari sanad adalah shahabat atau tabi’in. Jika yang gugur itu
shahabat, maka tidak mungkin haditsnya ditolak, karena semua shahabat adalah
‘adil. Jika yang gugur itu adalah tabi’in, maka sangat dimungkinkan hadits
tersebut adalah dla’if. Namun dengan kemungkinan seperti ini, tetap tidak bisa
dipercaya atau dipastikan bahwa perawi yang gugur itu seorang yang ‘adil. Dan
meskipun diketahui bahwa sang tabi’in tidak akan meriwayatkan kecuali dari
orang yang tsiqah, maka hal ini pun tidak cuckup untuk mengangkat ketidakjelasan
kondisi si perawi.
Pendapat lain
mengatakan bahwa hadits mursal adalah shahih dan dapat dijadikan sebagai
hujjah, terlebih lagi jika si tabi’in tidak meriwayatkan hadits kecuali dari
orang-orang yang tsiqah dan dapat dipercaya. Pendapat ini masyhur dalam madzhab
Malik, Abu Hanifah, dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad.
Imam Syafi’I
berpendapat bahwa hadits-hadits mursal para tabi’in senior dapat diterima
apabila terdapat hadits mursal dari jalur lain, atau dibantu dengan perkataan
shahabat (qaulush-shahaby).
Yang disebut
Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan
hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan
kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
a. Ijma’ Bayani
ialah apabila
semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan
yang menunjukan kesepakatannya.
b.
Ijma’ Sukuti
ialah apabila
sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang
diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.
Dalam ijma
sukuti ini Ulama masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan
sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu
hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati.
Karena para
Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang
dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil
Amri Minkum
Dan para Sahabat
pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam
Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat
Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam.
Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hukum, seperti
dalam
Hadits
Nabi: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan
perlindungan Allah beserta orang banyak.
Qiyas menurut
bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa.
Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam
hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam:
al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya
gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok
(al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an
dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau
alasan hukumnya karena makanan pokok.
Dengan demikian,
hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan
begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak
dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai
makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam.
2. Analisis Taqlid
Taqlid buta,
atau taqlid kepada sembarang orang tentu dilarang oleh agama. Bagi mereka yang
ada kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang
dipergunakan oleh para fuqaha'. Namun, untuk mencapai derajat mujtahid
barangkali sulit, walaupun kemungkinan selalu ada.
Namun, Bagi
orang awam taqlid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama
secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan
kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam. Allah SWT berfirman :
“Tidak
pantas orang beriman pergi ke medan perang semua, hendaknya ada sekelompok dari
tiap golongan dari mereka ditinggal untuk memperdalam agama dan memberikan
peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, mudah-mudahan
mereka itu takut.” (QS At-Taubah: 122)
Dalam ayat ini
jelas Allah SWT menyuruh kita untuk mengikuti orang yang telah memperdalam
agama. Dalam ayat lain secara lebih tegas Allah SWT berfirman:
“Maka
hendaknya kamu bertanya kepada orang-orang yang ahli Ilmu Pengetahuan jika kamu
tidak mengerti.” (An-Nahl: 43)
Kepada siapakah
kita bertaqlid? Kita bertaqlid kepada salah satu dari madzhab empat yang telah dimaklumi
oleh seluruh Ahli Ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih.
Di samping itu
telah dimaklumi pula ketinggian akhlaq dan taqwa mereka yang tidak akan
menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang takut kepada Allah SWT dan telah meletakkan
hukum bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas. Namun, ketika
kita boleh bertaqlid, bukan kemudian kita bertaqlid kepada sembarang orang yang
belum mutawatir kemasyhurannya. Tentu taqlid semcam itu justru akan membawa
kesesatan. Kita bertaqlid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlaq dan
sikapnya sehari-hari, di mana fatwa mereka diyakini berasal dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Namun harus
dipahami pula bahwa kita jangan sekali- kali Ta’asub Mazhab. Karena ini dapat
menimbulkan perpecahan interen dalam Islam, dalam hal ini Imam Syafi’I
berpesan “ Bendapatku adalah benar, namun tidak menutup kemungkinan salah. Dan
pendapat imam yang lain itu salah, dan tidak menuup kemungkinan benar”, dari
pesan yang disampaikan oleh Imam Syafi’I ini dapat kita simpulkan bahwa kita
dilarang untuk fanatic kepada salah satu mazhab.
Apapun mazhab
kita, dimanapun tempat tinggal kita dan apapun organisasi kita marilah kita
jaga persatuan dan kesatuan serta toleransi dan saling tafahum antara sesama
umat islam. Tinggalkan pertikaian dan perselisihan yang hanya disebabkan oleh
mazhab-mazhab yang berbeda, mari kita beramal sesuai dengan ilmu yang kita
miliki dan berbuatlah sesuatu atas dasar pengetahuan kita yang dilandasi oleh
Al-Quran dan Sunnah. Mudah-mudan Allah swt memberikan hidayah-Nya kepada
kita sehingga bisa memahami dan menghargai pendapat orang lain dan tidak mudah
untuk menyalahkan pendapat orang lain, supaya kita bisa terhindar dari
pertikaian dan perbedaan yang menyebabkan perpecahan antara sesama muslim.
[1] Kontektual disetiap waktu dan tempat
[2] fanatik kepada satu mazhab saja
[3] Al-Qur’an; menurrut Syeikh Gazlan Beik: kalam
Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, secara
mutawatir(berangsur-angsur), dan sebagai mu’jizat terbesar baginya, dan
bernilai ibadah kepada yang membacanya.
[4] Tidak mengetahui dalil yang digunakan
[5]
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah
menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma,
berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan syariat dan
dibatalkan syariat.
[6]
Perjalanan satu hari, satu malam.
[7] [7]
1. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah
penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).”
2. Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar