Jumat, 22 November 2013

BEBERAPA WASIAT PENTING..!!!!

BEBERAPA WASIAT PENTING..!!!!

WASIAT AL IMAM AL KHATIB AL BAGHDADI KEPADA PARA PENUNTUT ILMU

Saya berwasiat kepadamu wahai penuntut ilmu, agar selalu mengikhlaskan  niat dalam menuntut ilmu, dan bersungguh-sungguh mengamalkan tuntutan dari ilmu tersebut. Karena ilmu itu ibarat pohon, sedang amal adalah buahnya. Seseorang belum dianggap berilmu selama belum mengamalkan ilmunya.
-          Janganlah kamu melakukan suatu amal selama kamu belum mengetahui ilmunya. Begitu pula jangan pernah mempelajari suatu ilmu selama kamu masih meninggalkan amal. Gabungkanlah diantara keduanya meskipun hanya sedikit bagian yang kamu peroleh
-         Ilmu dimaksudkan untuk diamalkan. Sebagaimana amal dimaksudkan untuk keselamatan. Maka jika amalan lebih sedikit dari ilmu yang dipelajarinya maka ilmu tersebut akan menjadi beban bagi orang yang berilmu.
-         Semoga Allah Subhanahu wataala melindungi kami dari ilmu yang berbalik menjadi bebab sehingga mewariskan kehinaan, dan melindungi kami pula dari ilmu yang membuat leher pemiliknya terbelenggu.
-         Seorang ahli hikmah berkata : “ ilmu adalah pelayan amal niscaya ilmu tidak akan dicari dan kalau saja bukan karena ilmu, amal tidak akan diminta  pertanggungjawabannya. Saya lebih suka suatu kebenaran tidak diketahui daripada saya membiarkannya  tidak diamalkan.”
-         Sahl bin Muzahim berkata : “ Perkara ( ilmu dan amalan ini ) lebih sulit bagi seorang alim dari menghitung bilangan sembilan puluh dengan jari tangan karena orang jahil tidak akan diterima udzur kebodohannya. Tetapi  alim akan menerima siksaan teramat pedih, jika ia membiarkan ilmunya tidak diamalkan.
-         Asy Syeikh (penulis) berkata : “ Tidaklah para Salafush Shalih memperoleh derajat yang tinggi kecuali dengan niat ikhlas, amal shalih dan kezuhudan yang tegar dari kenikmatan dunia yang menyilaukan mata.”
-         Dan tidaklah orang bijak ( terdahulu ) memperoleh kebahagiaan yang agung kecuali dengan bekerja keras, ridha dengan apa yang ia peroleh, dan menyedahkan harta yang melebihi kebutuhannya kepada orang yang membutuhkannya.
-         Perumpamaan orang yang mengumpulkan buku-buku ilmu seperti orang yang mengumpulkan emas dan perak. Orang yang rakus terhadap buku-buku ilmu tersebut seperti orang yang tamak dan loba terhadap emas dan perak, orang tertambat hatinya dan mencintai buku-buku tersebut, bagaikan orang yang menumpuk emas dan perak. Sebagaimana harta hanya akan bermamfaat apabila diinfakkan, begitu pula ilmu hanya akan bermamfaat bila diamalkan dan dipelihara kewajiban-kewajibannya.


Abu Yusuf Al-Bazzar berkata,
Riyah Al-Qaisi menikahi seorang wanita, lalu ia membangun rumah tangga dengannya. Ketika pagi hari, wanita ini beranjak menuju adonannya.
Maka, Riyah berkata, “Seandainya Engkau mencari seorang wanita yang dapat mengerjakan pekerjaanmu ini….”
Istrinya menjawab, “Aku hanyalah menikah dengan Riyah Al-Qaisi dan aku tidak membayangkan menikah dengan orang yang sombong dan ingkar.”
Pada malam harinya, Riyah tidur untuk menguji istrinya. Ternyata istrinya tersebut bangun pada seperempat malam pertama kemudian memanggilnya seraya berkata, “Bangun (untuk ibadah/shalat malam-ed), wahai Riyah!”
Riyah menjawab, “Aku akan bangun.” Namun, ia tidak bangun juga.
Lalu, istrinya bangun lagi pada seperempat malam berikutnya, kemudian memanggilnya lagi seraya berkata, “Bangun, Wahai Riyah!”
Dia menjawab, “Aku akan bangun.” Akan tetapi, ia masih tidak bangun.
Maka, istrinya tersebut akhirnya berkata,
“Malam-malam telah berlalu dan orang-orang yang berbuat kebajikan meraih keuntungan, sedangkan Engkau tidur. Duhai siapa yang tega menipuku hingga aku menikah denganmu, wahai Riyah?”
Akhirnya, Riyah pun bangun pada seperempat waktu yang tersisa. (Shifatus-Shafwah, IV/43-44, pasal ذكر المصطفيات من عابدات البصرة المعروفات بغيرهن , nomor 613)
‘Amr bin Murrah, dia berkata
من طلب الآخرة أضر بالدنيا، ومن طلب الدنيا أضر بالآخرة، فأضروا بالفاني للباقي
“Orang yang mencari akhirat akan merugikan dunia. Adapun orang yang mencari dunia, akan merugikan akhirat. Maka, korbankanlah yang fana untuk meraih yang baqa (kekal). Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’
Dzun Nun berkata
دع المصوغات من ماء ومن طين واشغل هواك بحور خرد عين “
Tingalkan wanita-wanita yang terbuat dari air dan tanah! Sibukkan hawa nafsumu dengan bidadari!” (dikutip Ibnul Jauzi dalam ذم الهوى, hal. 89)
Al Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah memberikan nasehat yang patut direnungkan oleh setiap kita yang mempelajari ilmu syar’i. Beliau berkata dalam kitab الداء و الدواء / الجواب الكافي لمن سال عن الدواء الشافي , terbitan دار الكتب العلمية hal. 185:

و من العحب أن الإنسان يهون عليه التحفظ و الاحترام من أكل الحرام و الظلم و الزنى و السرقة و شرب الخمر, و من النظر المحرم و غير ذلك, و يصعب عليه التحفظ من حركت لسانه, حتى ترى الرجل يشار إليه بالدين و الزهد, و العباد, و هو يتكلم بالكلمات من سخط الله لا يلقي لها بالاً ينزل بالكلمات الواحدة منها أبعد مما بين المشرق و المغرب

و كم ترى من رجل متورع الفواحش و الظلم, و لسانه يفرى في أعراض الأحياء و الأموات و لا يبالي ما يقول


  • Termasuk keanehan bahwasannya seseorang mudah dalam menjaga diri dari memakan barang haram, berbuat zhalim, berzina, mencuri, minum khamr, melihat perkara yang tidak dibolehkan, dan sebagainya, tetapi dia sangat sulit dalam menjaga gerak lisannya. Akibatnya, kamu melihat seseorang yang dijadikan panutan dalam agama, zuhud, dan ibadah, berbicara dengan kalimat-kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah tanpa ambil peduli, padahal satu kalimat saja bisa membuatnya jatuh dengan jarak yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.
  • Berapa banyak kamu melihat seseorang yang menjaga diri dari kedzalimah dan perbuatan keji, mencela kehormatan orang-orang yang sudah mati maupun yang masih hidup, tanpa sedikit pun peduli terhadap apa yang dikatakannya. http://alashree.wordpress.com
“Akan datang suatu masa kepada umat manusia, dimana pada masa itu hati2 manusia dipenuhi oleh kecintaan thd dunia sehingga hati2 tsb tidak dapat dimasuki oleh rasa takut terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Imam Sufyan Ats Tsauri)
“Jika luka & kecewa akan menjadi masa lalu pada akhirnya, maka mengapa mesti dibiarkan meracuni jiwa, sedang ketabahan & kesabaran adalah lebih utama bagimu.” (Ummu Nisa al atsariyyah)
” Wahai anak adam,sejatinya dirimu hanyalah potongan2 masa yg berupa hari.Jika berlalu satu hari,hilanglah pula sepotong hidupmu.” (Hasan al Bashri)
“ketahuilah bahwa ilmu itu adalah cahaya & cahaya Allah tdk akan diberikan kepada orang yg bermaksiat.” (Imam al Waqi’)
“Barangsiapa yg menginginkan akhirat maka dia akan mengorbankan dunianya & barangsiapa yg menginginkan dunia maka dia akan mengorbankan akhiratnya.Wahai kaum, korbankanlah yg fana/dunia demi sesuatu yg abadi/akhirat.” (Ibnu Mas’ud )
Dzun-Nun berkata, “Sesungguhnya apabila seorang beriman kepada Allah dan memantapkan imannya, maka ia akan merasa takut kepada Allah. Jika ia merasa takut (khauf) kepada Allah, maka lahirlah harapan (raja’) dari ketaatan. Jika ia mencapai tingkatan harapan, maka lahirlah rasa cinta (mahabbah) dari harapan tersebut. Jika seluruh makna cinta menancap kuat di dalam hatinya, maka ia akan mencapai tingkatan rindu (syauq). Jika ia merasa rindu kepada Allah, maka kerinduan itu akan membuatnya merasa akrab dengan Allah. Jika ia merasa akrab dengan Allah, maka ia akan merasa tenteram dengan Allah. Dan jika merasa tenteram dengan Allah, maka ia akan menjalani malam harinya, siang harinya, kesendiriannya dan keramainnya dalam kenikmatan.”
Sirri As-Saqthi berkata, “Ada lima hal yang tidak bisa digabungkan dengan yang lain: takut kepada Allah semata, berharap kepada Allah semata, cinta kepada Allah semata, malu kepada Allah semata, dan akrab dengan Allah semata.”
Ali bin Abi Thalib berkata, “Hendaklah kamu lebih memperhatikan diterimanya amal daripada amal itu sendiri, karena amal tidak bisa diterima kecuali disertai dengan takwa, dan betapa sedikitnya amal yang diterima.”
Abu Idris Al-Khaulani berkata, “Hati yang bersih di dalam baju yang kotor lebih baik daripada hati yang kotor di dalam baju yang bersih.”
Al-Fudhail berkata, Allah سبحا نه و تعالى berfirman, “Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2). Maksudnya, yang paling ikhlas dan paling benar. Jika amal itu ikhlas tapi tidak benar, maka tidaklah diterima. Pun jika amal itu benar tapi tidak ikhlas, maka tidak akan diterima sampai dilakukan secara ikhlas. Ikhlas artinya dilakukan karena Allah. Sedangkan benar artinya sesuai dengan Sunnah (tuntunan yang diberkan oleh Rasulullah صلى الله عليه و سلم)
Ia juga berkata, “Meninggakan amal karena manusia adalah riya’ (pamer). Dan beramal karena manusia adalah syirik (menyekutukan Allah).”
Dan ia pun berkata, “Barangsiapa menghindari lima hal, maka ia terhindar dari keburukan dunia Akhirat; Ujub (bangga diri, merasa lebih baik dari orang lain), riya’ (pamer), sombong, memandang rendah orang lain, dan syahwat.” >[Hilyatul ‘Auliya’]


Di dalam Al Muwaththo -karya Imam Malik- disebutkan : Lukman berkata kepada anaknya : “Wahai anakku duduklah kamu bersama para ulama dan dekatilah mereka dengan kedua lututmu (bergaul dengan mereka), maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta`ala menghidupkan hati-hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana menghidupkan (menyuburkan) bumi dengan hujan yang deras.” (Kitab Al Ilmu Fadluhu wa Syarfuhu hal 228)
Sebagian orang-orang yang arif berkata : “Bukankah orang yang sakit akan mati tatkala tercegah dari makanan, minuman dan obat-obatan?” Maka dijawab : “Tentu saja,” Mereka mengatakan : “Demikian pula halnya dengan hati jika terhalang dari ilmu dan hikmah maka akan mati.”

Sebagian salaf berkata : “Tidaklah seseorang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala sehingga (menyebabkan) hilang akalnya.”
Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman : “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al Muthaffifin : 14), Sebagian salaf menafsirkan ayat tersebut, yaitu : “Dosa yang dilakukan terus menerus (dosa di atas dosa).”Berkata Al Hasan : yaitu “Dosa di atas dosa hingga membutakan hati.” (Meriwayatkan darinya (Al Hasan) Abd Ibnu Hamid sebagaimana dalam (Ad Durul Mantsur : 8/447) (Ad Da`u wad Dawa` hal 95-96)

Al Imam Syafi`i pernah mengatakan : Aku pernah mengeluh kepada Imam Waqi` tentang jeleknya hafalanku. Maka beliau membimbingku untuk meningggalkan maksiat, Dan beliau berkata : “Ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan manhaj Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya manhaj Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran.” (Al Fatawa 4/149)

Berkata Hasan Al Bashri : “Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasihati kalian, dan bukan berarti aku orang yang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya. Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya. Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati-hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan. Maka terus meneruslah berada pada majelis-majelis dzikir (majelis ilmu), semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni kalian. Bisa jadi ada satu kata yang terdengar dan kata itu merendahkan diri kita namun sangat bermanfaat bagi kita. Bertaqwalah kalian semua kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.”
Pada suatu hari beliau rahimahullah pergi menemui murid-muridnya dan mereka tengah berkumpul, maka beliau rahimahullah berkata:
“Demi Allah ‘Azza wa Jalla, sungguh! Andai saja salah seorang dari kalian mendapati salah seorang dari generasi pertama umat ini sebagaimana yang telah aku dapati, serta melihat salah seorang dari Salafus Shalih sebagaimana yang telah aku lihat, niscaya di pagi hari dia dalam keadaan bersedih hati dan pada sore harinya dalam keadaanberduka. Dia pasti mengetahui bahwa orang yang bersungguh-sungguh dari kalangan kalian hanya serupa dengan orang yang bermain-main di antara mereka. Dan seseorang yang rajin dari kalangan kalian hanya serupa dengan orang yang suka meninggalkan di antara mereka. Seandainya aku ridha terhadap diriku sendiri pastilah aku akan memperingatkan kalian dengannya, akan tetapi Allah ‘Azza wa Jalla Maha Tahu bahwa aku tidak senang terhadapnya, oleh karena itu aku membencinya.” (Mawai’zh lilImam Al-Hasan Al-Bashri, hal.185-187).

2.Beberapa Aqwal Ulama’

1 Al Imam Mujahid Rahimahullah
Tidaklah seorangpun dari mahluk Allah melainkan yang diambil pendapatnya atau bisa pula ditolak kecuali Rasulullah Shallahu “Alaihi Wasallam
2  Ahmad bin masud Radhiallahu Anhu
Ikutilah jejak kami janganlah kamu mengadakan kebid’ahan. Sungguh agama Islam telah mencukupi bagi kehidupan kalian
3  Al Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah
Prinsip-prinsip sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan ajaran para shahabat Rasulullah dan mencontoh mereka
4 Al Imam Az Zuhri rahimahullah
Ulama kami terdahulu selalu mengingatkan, bahwa berpegang teguh dengan As Sunnah itu adalah keselamatan
5 Al Imam Al Barbahari Rahimahullah
Pondasi Al jama’ah adalah para shahabat rasulullah, mereka adalah ahlussunah wal jama’ah, siapa saja yang tidak mengambil ilmu dari mereka sungguh telah sesat dn terjatuh dalam kebid’ahan
6  Wahab bin Munabbih – rahimahullah
Akan lahir dari ilmu: kemuliaan walaupun orangnya hina, kekuatan walaupun orangnya lemah, kedekatan walaupun orangnya jauh, kekayaan walaupun orangnya fakir, dan kewibawaan walaupun orangnya tawadhu’
7 Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
“Orang yang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimanaia menyembunyikan amal keburukannya“(Tazkiyatus An-Nafs, 17)

8  Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata:
“Berapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niat, dan berapa banyak pulaamalan besar menjadi kecil karena niat” (Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam,12)
9 Said bin Jubair rahimahullah berkata :
“Celakalah orang yang tidak mengetahui sesuatu lalu ia mengatakan ‘saya
mengetahuinya’” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah,II/65)
10 Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :
“Kalaulah bukan karena ulama tentulah manusia seperti binatang”
(Minhaju Al Qashidin,12)
11 Imam Al Barbahary rahimahullah
Jika kamu lihat seseorang mencela salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka ketahuilah bahwa sesungguhya dia telah mengucapkan kata-kata yang buruk dan termasuk ahli ahwa. (Syarhus Sunnah 115 nomor 133)

12 Imam Al Auza’i Rahimahulloh
Berpeganglah dengan atsar Salafus Shalih meskipun seluruh manusia menolakmu dan jauhilah pendapatnya orang-orang (selain mereka) meskipun mereka menghiasi perkataannya terhadapmu. (Asy Syari’ah 63)
13 Mundzir , dari Rabie’ bin Khutsaim
“Segala sesuatu yang dilakukan tidak untuk mencari wajah (dan keridhaan) Allah, Pasti sia-sia” (Shifatush Shafwah III:61)
14 Muhammad bin Waasi’ Al Bahsri
“Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan ceramah yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri,sesungguhnya peringatan (nasehat) itu jika keluarnya (ikhlas) dari dalam hati maka (akan mudah) masuk ke dalam hati (orang yang mendengarnya)”. Tahdziibul kamaal” (26/576)  Siyaru a’laamin nubala(6/119)

Semoga Bermanfaat
Wallohu Ta’ala A’lam

Penyebab Hati Menjadi Mati

Penyebab Hati Menjadi Mati

10 Penyebab Hati Menjadi Mati
Apabila Hati Sudah Mati , Maka ia tidak akan mampu membedakan perbuatan baik dan buruk, tidak tau lagi mana itu dosa dan mana itu pahala.
Ibarat Jazad yang mati maka jasad sudah tidak merasakan bila tubuhnya disakiti.
Begitu Pula Hati bila mati maka hati tidak bisa lagi mengontrol sikab dan perbuatan kita.
Maka kenalilah hatimu…???
Jangan sampai hatimu  menjadi keras lalu menjadi mati,
10 Perkara Penyebab Hati Mati
10 Perkara Penyebab Hati Mati
Hati Kalian bisa Mati Karena Sepuluh Perkara

Suatu ketika, Ibrahim bin Adham melewati sebuah pasar di kota Basrah, lalu orang-orang mengerumuninya dan bertanya, Wahai Abu Ishaq, Allah Subhanahu wata’ala berfirman di dalam kitab suci-Nya,
Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan doamu”.
(Q.S. Ghaafir: 10)
Sementara kami selalu berdoa semenjak lama, tetapi tidak kunjung dikabulkan.
Lalu, Ibrahim berkata,
Wahai warga Basrah, hati kalian sudah mati oleh sepuluh perkara, :
1.    Kalian mengenal Allah Subhanahu wata’ala, tetapi tidak mau menunaikan hak-Nya.
2.    Kalian membaca kitabullah, tetapi tidak mau mengamalkannya
3.    Kalian mengaku cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi kalian meninggalkan sunnahnya.
4.    Kalian mengaku bermusuhan dengan setan, tetapi kalian akur dengannya. Kalian mengakui setan adalah musuh yang nyata bagimu, namun kalian bersekutu dengannya dan bersahabat dengannya.
5.    Kalian mengatakan cinta kepada surga, tetapi tidak mau beramal menuju ke sana.
6.    Kalian mengatakan takut kepada neraka, tetapi kalian malah menggadaikan diri kalian kepadanya.
7.    Kalian mengatakan bahwa kematian itu benar adanya, tetapi kalian tidak mau mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
8.    Kalian sibuk mencari aib saudara kalian, tetapi mengabaikan aib kalian sendiri.
9.    Kalian memakan karunia Rabb kalian, tetapi kalian tidak mensyukurinya.
10.                       Kalian sering mengubur orang mati, tetapi tidak mau mengambil pelajaran darinya.
Maka 10 perkara ini menyebabkan hati kalian mati dan bagaimana mungkin doa kalian bisa terkabul jika kalian tidak memperbaiki diri..??

Semoga bermanfaat,

Wahai Manusia, Ketahuilah 4 Kalimat yang Mulia ini..!!

Wahai Manusia, Ketahuilah 4 Kalimat yang Mulia ini..!!

Keutamaan Empat Kalimat Mulia

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
 
Dzikir adalah ibadah yang sangat mulia. Di antara fadilahnya adalah bisa lebih menenangkan jiwa. Fadilah lainnya pun amat banyak. Di antara dzikir yang bisa dirutinkan setiap saat, dibaca agar lisan terus basah dengan dzikrullah adalah empat kalimat mulia, yaitu (1) subhanallah, (2) alhamdulillah, (3) laa ilaha illallah, (4) Allahu akbar”.
Berikut beberapa hadits yang membicarakan keutamaan dzikir tersebut:
Pertama:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَحَبُّ الْكَلاَمِ إِلَى اللَّهِ أَرْبَعٌ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ. لاَ يَضُرُّكَ بَأَيِّهِنَّ بَدَأْتَ.
Dari Samuroh bin Jundub, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada empat ucapan yang paling disukai oleh Allah: (1) Subhanallah, (2) Alhamdulillah, (3) Laa ilaaha illallah, dan (4) Allahu Akbar. Tidak berdosa bagimu dengan mana saja kamu memulai” (HR. Muslim no. 2137).
Kedua:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ ».
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Sesungguhnya membaca “subhanallah walhamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan Allah Maha Besar)” adalah lebih aku cintai daripada segala sesuatu yang terkena sinar matahari.” (HR. Muslim no. 2695).
Al Munawi rahimahullah mengatakan, “Segala sesuatu yang dikatakan antara langit dan bumi, atau dikatakan lebih baik dari sesuatu yang terkena sinar matahari atau tenggelamnya, ini adalah ungkapan yang menggambarkan dunia dan seisinya.”[1] Dari sini menunjukkan bahwa keempat kalimat tersebut lebih baik daripada dunia seisinya.
Ketiga:
عَنْ أُمِّ هَانِئٍ بِنْتِ أَبِى طَالِبٍ قَالَ قَالَتْ مَرَّ بِى ذَاتَ يَوْمٍ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى قَدْ كَبِرْتُ وَضَعُفْتُ – أَوْ كَمَا قَالَتْ – فَمُرْنِى بِعَمَلٍ أَعْمَلُهُ وَأَنَا جَالِسَةٌ. قَالَ « سَبِّحِى اللَّهَ مِائَةَ تَسْبِيحَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ رَقَبَةٍ تُعْتِقِينَهَا مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاحْمَدِى اللَّهَ مِائَةَ تَحْمِيدَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ فَرَسٍ مُسْرَجَةٍ مُلْجَمَةٍ تَحْمِلِينَ عَلَيْهَا فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَكَبِّرِى اللَّهَ مِائَةَ تَكْبِيرَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ بَدَنَةٍ مُقَلَّدَةٍ مُتَقَبَّلَةٍ وَهَلِّلِى اللَّهَ مِائَةَ تَهْلِيلَةٍ – قَالَ ابْنُ خَلَفٍ أَحْسِبُهُ قَالَ – تَمْلأُ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلاَ يُرْفَعُ يَوْمَئِذٍ لأَحَدٍ عَمَلٌ إِلاَّ أَنْ يَأْتِىَ بِمِثْلِ مَا أَتَيْتِ بِهِ ».
Dari Ummi Hani’ binti Abu Thalib dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatiku pada suatu hari, lalu saya berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, saya sudah tua dan lemah, maka perintahkanlah kepadaku dengan amalan yang bisa saya lakukan dengan duduk.” Beliau bersabda: “Bertasbihlah kepada Allah seratus kali, karena itu sama dengan kamu membebaskan seratus budak dari keturunan Isma’il. Bertahmidlah kepada Allah seratus kali karena itu sama dengan seratus kuda berpelana yang memakai kekang di mulutnya, yang kamu bawa di jalan Allah. Bertakbirlah kepada Allah dengan seratus takbir karena ia sama dengan seratus unta yang menggunakan tali pengekang dan penurut. Bertahlillah kepada Allah seratus kali.” Ibnu Khalaf berkata; saya mengira beliau bersabda: “Karena ia memenuhi di antara langit dan bumi, dan pada hari ini tidaklah amalan seseorang itu diangkat kecuali akan didatangkan dengan semisal yang kamu lakukan itu.” (HR. Ahmad 6/344. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Ash Shilsilah Ash Shohihah no. 1316)
Keempat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا عَلَى الأَرْضِ رَجُلٌ يَقُولُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ إِلاَّ كُفِّرَتْ عَنْهُ ذُنُوبُهُ وَلَوْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ »
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang di muka bumi ini mengucapkan: Laa ilaha illallah, wallahu akbar, subhanallah, wal hamdulillah, wa laa hawla wa laa quwwata illa billah, melainkan dosa-dosanya akan dihapus walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Ahmad 2/158, sanadnya hasan)
Kelima:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَقِيتُ إِبْرَاهِيمَ لَيْلَةَ أُسْرِىَ بِى فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَقْرِئْ أُمَّتَكَ مِنِّى السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الْجَنَّةَ طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ عَذْبَةُ الْمَاءِ وَأَنَّهَا قِيعَانٌ وَأَنَّ غِرَاسَهَا سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ »
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam bersabda, “Aku pernah bertemu dengan Ibrahim pada malam ketika aku diisra`kan, kemudian ia berkata, ‘Wahai Muhammad, sampaikan salam dariku kepada umatmu, dan beritahukan kepada mereka bahwa Surga debunya harum, airnya segar, dan surga tersebut adalah datar, tanamannya adalah kalimat: Subhaanallaahi wal hamdu lillaahi laa ilaaha illaahu wallaahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Maha Besar).” (HR. Tirmidzi no. 3462. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Keenam:
« إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى مِنَ الْكَلاَمِ أَرْبَعاً سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ فَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ عِشْرِينَ حَسَنَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ عِشْرِينَ سَيِّئَةً وَمَنْ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ فَمِثْلُ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَمِثْلُ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ كُتِبَتْ لَهُ ثَلاَثُونَ حَسَنَةً وَحُطَّ عَنْهُ ثَلاَثُونَ سَيِّئَةً
Dari Abu Sa’id Al Khudri dan Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih empat perkataan: subhanallah (Maha suci Allah) dan alhamdulillah (segala puji bagi Allah) dan laa ilaaha illa allah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dan Allahu akbar (Allah maha besar). Barangsiapa mengucapkan subhaanallah, maka Allah akan menulis dua puluh kebaikan baginya dan menggugurkan dua puluh dosa darinya, dan barangsiapa mengucapkan Allahu Akbar, maka Allah akan menulis seperti itu juga, dan barangsiapa mengucapkan laa Ilaaha illallah, maka akan seperti itu juga, dan barangsiapa mengucapkan alhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin dari relung hatinya maka Allah akan menulis tiga puluh kebaikan untuknya dan digugurkan tiga puluh dosa darinya.” (HR. Ahmad 2/302. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya shahih)
Maksud Dzikir Empat Kalimat Mulia
Yang dimaksud bacaan tasbih (subhanallah = Maha Suci Allah) adalah menyucikan Allah dari segala kekurangan yang tidak layak bagi-Nya.
Yang dimaksud bacaan tahmid (alhamdulillah = segala puji bagi Allah) adalah menetapkan kesempurnaan pada Allah dalam nama, shifat dan perbuatan-Nya yang mulia.
Yang dimaksud bacaan tahlil (laa ilaha illallah = tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) adalah berbuat ikhlas dan mentauhidkan Allah serta berlepas diri dari kesyirikan.
Yang dimaksud bacaan takbir (Allahu akbar = Allah Maha Besar) adalah menetapkan keagungan atau kebesaran pada Allah Ta’ala dan tidak ada yang melebihi kebesarannya.[2]
Empat kalimat mulia tersebut bisa berfaedah jika bukan hanya di lisan, namun direnungkan maknanya di dalam qolbu, dalam hati yang paling dalam.
Semoga amalan yang sederhana ini bisa jadi rutinitas kita sehingga lisan ini selalu basah dengan dzikrullah, dzikir pada Allah.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Wallohu Ta’ala A’lam

Burungpun Bisa Sadar Kenapa KITA TIDAK..!!

Burungpun Bisa Sadar Kenapa KITA TIDAK..!!

BURUNG KECIL PINDAH RUMAH
****
Seekor burung kecil sedang sibuk untuk persiapan pindah
rumahnya, lalu bertemu siburung ini dengan tetangganya.
Tetangganya bertanya:
“Kamu mau ke mana?”
Burung kecil menjawab:
“Saya mau pindah ke hutan yang berada di sebelah timur.”
Tetangga bertanya lagi:
“Di sini kamu hidupnya lumayan baik,
mengapa mau pindah?”
Burung kecil pun menjawab,
“Tidakkah kamu mengetahuinya,
bahwa Semua orang di sini tidak suka dgn suaraku,
Mereka mengatakan bahwa suara saya sangat jelek,
jadi saya harus pindah rumah.”
Tetangganya pun berkata:
“Sebenarnya kamu tidak perlu pindah, tapi kamu hanya perlu
mengubah suara nyanyianmu.
Jika kamu tidak bisa mengubah /memperbaiki suara saat
bernyanyi, maka
Walaupun kamu pindah ke hutan yang berada di sebelah
timur atau sebelah manapun.
Mereka yang di sana tetap tidak
akan suka padamu.”
Burung kecil itupun menangis dan akhirnya menyadari kesalahannya.
***
Cerita di atas, mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan sehari-hari perlu ada introspeksi diri.
Jangan selalu
menyalahkan lingkungan kita,
maupun mengkritik orang lain tidak cocok dengan kita, atau
kita tidak cocok dengan orang
tertentu.
Sekali waktu, kita perlu melihat ke dalam diri sendiri.
Pepatah bijak
mengatakan:
“Betapa bernilainya kesadaran diri”.
Oleh karena itu, orang yg tidak bisa introspeksi diri, ke mana
pun orang tersebut pergi, dia akan menemukan masalah yang sama, dan akhirnya dia
akan kelelahan dan tidak tahu
harus pergi ke mana lagi.

Introspeksi Diri, Akhlak yang Terlupa

Introspeksi Diri, Akhlak yang Terlupa



Dalam perjalanan hidup di dunia, tentunya seorang muslim tidak akan lepas dari kesalahan dan dosa sebagai akibat hawa nafsu yang diperturutkan. Selain itu, buah pemikiran yang dihasilkan manusia, yang dibangga-banggakan oleh pemiliknya, tidak jarang yang menyelisihi kebenaran, tidak sedikit yang bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karenanya, seiring waktu yang diberikan Allah kepada manusia di dunia, sepatutnya dipergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang dia miliki, sehingga mendorongnya untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih baik.

Introspeksi, Pintu untuk Mengoreksi Diri

Di dalam kitab Shahih-nya, imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan perkataan Abu az-Zinad,
إن السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا على خلاف الرأي
Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” [HR. Bukhari].
Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa seringnya seseorang enggan menerima kebenaran karena bertentangan dengan pendapat dan tendensi pribadi. Bukankah dakwah tauhid yang ditawarkan nabi kepada kaum musyrikin, ditolak karena bertolak belakang dengan keinginan pribadi mereka, terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum musyrikin?
Tidak jarang seseorang tidak mampu selamat dari hawa nafsu dan terbebas dari kekeliruan pendapat karena bersikukuh meyakini sesuatu dan tidak mau menerima koreksi. Hal ini tentu berbeda dengan kasus seorang mujtahid yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at menerangkan bahwa seorang mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad yang dilakukannya, hal ini bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata dari kesalahan ijtihad dan bersikukuh memegang pendapat jika telah nyata akan kekeliruannya. Betapa banyak ahli fikih yang berfatwa kemudian rujuk setelah meneliti ulang fatwanya dan melihat bahwa kebenaran berada pada pendapat pihak lain.
Kita bisa mengambil pelajaran dari penolakan para malaikat terhadap kalangan yang hendak datang ke al-Haudh (telaga rasulullah di hari kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-Haudh dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah jelas di hadapan mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan kepada nabi,
إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ، وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، فَأَقُولُ: أَلَا سُحْقًا، سُحْقًا
Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku: “Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” [Shahih. HR. Ibnu Majah].
Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan kepada mereka, karena enggan untuk melakukan introspeksi, enggan melakukan koreksi dengan menerima kebenaran yang ada di depan mata. Oleh karenanya, evaluasi diri merupakan perantara untuk muhasabah an-nafs, sedangkan koreksi diri merupakan hasil yang pengaruhnya ditandai dengan sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu pendapat dan perbuatan.

Sarana-sarana untuk Mengevaluasi Diri

Diantara sarana yang dapat membantu seseorang untuk mengevaluasi diri adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak menutup diri dari saran pihak lain
Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar kepada Abu Bakr radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-Quran. Tatkala itu Abu Bakr menolak usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau dan mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun menerima dan mengatakan,
فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” [HR. Bukhari].
Abu Bakr tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat berbeda.
Kedua, bersahabat dengan rekan yang shalih
Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di jalan yang benar adalah meminta rekan yang shalih untuk menasehati dan mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya tentang solusi terbaik bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli untuk saling mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak lebih benar dan terarah daripada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari].
Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam dalam perilaku kaum mukminin, maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi diri kita yang akan mendorong kita berlaku konsisten. Oleh karena itu, dalam menentukan jalan dan pendapat yang tepat, anda harus berteman dengan seorang yang shalih. Anda jangan mengalihkan pandangan kepada maddahin (kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan saudaranya.
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ
Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu jika dirinya ingat” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar murka dan hendak memukul Uyainah bin Husn karena bertindak kurang ajar kepada beliau, maka al-Hur berkata kepada Umar,
يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»
Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya, “Berikan maaf, perintahkan yang baik dan berpalinglah dari orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh”. Perawi hadits ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak menentang ayat itu saat dibacakan karena ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap al-Quran.” [HR. Bukhari].
Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan perannya.
Ketiga, menyendiri untuk melakukan muhasabah
Salah satu bentuk evaluasi diri yang paling berguna adalah menyendiri untuk melakukan muhasabah dan mengoreksi berbagai amalan yang telah dilakukan.
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, beliau mengatakan,
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi].
Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,
لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi].
Jika hal ini dilakukan, niscaya orang yang melaksanakannya akan beruntung. Bukanlah sebuah aib untuk rujuk kepada kebenaran, karena musibah sebenarnya adalah ketika terus-menerus melakukan kebatilan.

Faedah Mengintrospeksi Diri  

Mengintrospeksi diri memiliki beberapa faedah, yaitu:
Pertama, musibah terangkat dan hisab diringankan
Pada lanjutan atsar Umar di atas disebutkan bahwa sebab terangkatnya musibah dan diringankannya hisab di hari kiamat adalah ketika seorang senantiasa bermuhasabah. Umar radhiallahu anhu mengatakan,
وَإِنَّمَا يَخِفُّ الحِسَابُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا
Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia” [HR. Tirmidzi].
Ketika berbagai kerusakan telah merata di seluruh lini kehidupan, maka jalan keluar dari hal tersebut adalah dengan kembali (rujuk) kepada ajaran agama sebagaimana yang disabdakan nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Apabila kamu berjual beli dengan cara inah (riba), mengambil ekor-ekor sapi (berbuat zhalim), ridha dengan pertanian (mementingkan dunia) dan meninggalkan jihad (membela agama), niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada ajaran agama
Dalam riwayat lain, disebutkan dengan lafadz,
حتى يراجعوا دينهم
Hingga mereka mengoreksi pelaksanaan ajaran agama mereka” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Anda dapat memperhatikan bahwa rujuk dengan mengoreksi diri merupakan langkah awal terangkatnya musibah dan kehinaan.
Kedua, hati lapang terhadap kebaikan dan mengutamakan akhirat daripada dunia
Demikian pula, mengoreksi kondisi jiwa dan amal merupakan sebab dilapangkannya hati untuk menerima kebaikan dan mengutamakan kehidupan yang kekal (akhirat) daripada kehidupan yang fana (dunia). Dalam sebuah hadits yang panjang dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “Suatu ketika seorang raja yang hidup di masa sebelum kalian berada di kerajaannya dan tengah merenung. Dia menyadari bahwasanya kerajaan yang dimilikinya adalah sesuatu yang tidak kekal dan apa yang ada di dalamnya telah menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah. Akhirnya, dia pun mengasingkan diri dari kerajaan dan pergi menuju kerajaan lain, dia memperoleh rezeki dari hasil keringat sendiri. Kemudian, raja di negeri tersebut mengetahui perihal dirinya dan kabar akan keshalihannya. Maka, raja itupun pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang raja pun berkata kepadanya, “Kebutuhan anda terhadap ibadah yang anda lakukan juga dibutuhkan oleh diriku”. Akhirnya, sang raja turun dari tunggangannya dan mengikatnya, kemudian mengikuti orang tersebut hingga mereka berdua beribadah kepada Allah azza wa jalla bersama-sama” [Hasan. HR. Ahmad].
Perhatikan, kemampuan mereka berdua untuk mengoreksi kekeliruan serta keinginan untuk memperbaiki diri setelah dibutakan oleh kekuasaan, timbul setelah merenungkan dan mengintrospeksi hakikat kondisi mereka.
Ketiga, memperbaiki hubungan diantara sesama manusia
Introspeksi dan koreksi diri merupakan kesempatan untuk memperbaiki keretakan yang terjadi diantara manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تُفْتَحُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوهُمَا حَتَّى يَصْطَلِحَا ” مَرَّتَيْنِ
Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, di kedua hari tersebut seluruh hamba diampuni kecuali mereka yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan, “Tangguhkan ampunan bagi kedua orang ini hingga mereka berdamai” [Sanadnya shahih. HR. Ahmad].
Menurut anda, bukankah penangguhan ampunan bagi mereka yang bermusuhan, tidak lain disebabkan karena mereka enggan untuk mengoreksi diri sehingga mendorong mereka untuk berdamai?
Keempat, terbebas dari sifat nifak
Sering mengevaluasi diri untuk kemudian mengoreksi amalan yang telah dilakukan merupakan salah satu sebab yang dapat menjauhkan diri dari sifat munafik. Ibrahim at-Taimy mengatakan,
مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي إِلَّا خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذِّبًا
Tidaklah diriku membandingkan antara ucapan dan perbuatanku, melainkan saya khawatir jika ternyata diriku adalah seorang pendusta (ucapannya menyelisihi perbuatannya).
Ibnu Abi Malikah juga berkata,
أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ، مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ
Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, merasa semua mengkhawatirkan kemunafikan atas diri mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan bahwa keimanannya seperti keimanan Jibril dan Mikail” [HR. Bukhari].
Ketika mengomentari perkataan Ibnu Abi Malikah, Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Baththal yang menyatakan,
إِنَّمَا خَافُوا لِأَنَّهُمْ طَالَتْ أَعْمَارُهُمْ حَتَّى رَأَوْا مِنَ التَّغَيُّرِ مَا لَمْ يَعْهَدُوهُ وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى إِنْكَارِهِ فَخَافُوا أَنْ يَكُونُوا دَاهَنُوا بِالسُّكُوتِ
“Mereka khawatir karena telah memiliki umur yang panjang hingga mereka melihat berbagai kejadian yang tidak mereka ketahui dan tidak mampu mereka ingkari, sehingga mereka khawatir jika mereka menjadi seorang penjilat dengan sikap diamnya” [Fath al-Baari 1/111].
Kesimpulannya, seorang muslim sepatutnya mengakui bahwa dirinya adalah tempatnya salah dan harus mencamkan bahwa tidak mungkin dia terbebas dari kesalahan. Pengakuan ini mesti ada di dalam dirinya, agar dia dapat mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sehingga pintu untuk mengoreksi diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah ta’ala berfirman,
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka mengubahnya sendiri” (Al-Ra`d 11).
Manusia merupakan makhluk yang lemah,  betapa seringnya dia memiliki pendirian dan sikap yang berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya mereka yang dinaungi ajaran agama dengan mengevaluasi diri untuk berbuat yang tepat dan mengoreksi diri sehingga melakukan sesuatu yang diridhai Allah. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran merupakan perilaku orang-orang yang kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.
Disadur dari artikel al-Muraja’ah wa at-Tashhih

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id