Minggu, 11 November 2012

Tafsir Surat Al-Kafirun

Tafsir Surat Al-Kafirun

Surat
AL-KAFIRUN
(ORANG-ORANG KAFIR)
Surat 109: 6 ayat
Diturunkan di MAKKAH
سورة: الكافرون


1- Katakanlah: "Hai orang-orang kafir."

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
2- Aku tidaklah menyembah apa yang kamu sembah

لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
3- Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah.

وَلاَ أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
4- Dan aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah.

وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ
5- Dan kamu bukanlah pula penyembah sebagaimana aku menyembah.

وَلاَ أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
6- Untuk kamulah agama kamu dan untuk akulah agamaku.

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Sudah jelas, Surat ini diturunkan di Makkah dan yang dituju ialah kaum musyrikin, yang kafir, artinya tidak mau menerima seruan dan petunjuk ke­benaran yang dibawakan Nabi kepada mereka.
"Katakanlah," – olehmu hai utusanKu – kepada orang-orang yang tidak mau percaya itu: "Hai orang-orang kafir!" (ayat 1). Hai orang-orang yang tidak mau percaya. Menurut Ibnu Jarir panggilan seperti ini disuruh sampaikan Tuhan oleh NabiNya kepada orang-orang kafir itu, yang sejak semula berkeras menantang Rasul dan sudah diketahui dalam ilmu Allah Ta'ala bahwa sampai saat terakhir pun mereka tidaklah akan mau menerima kebenaran. Mereka menantang, dan Nabi s.a.w. pun tegas pula dalam sikapnya menantang penyem­bahan mereka kepada berhala, sehingga timbullah suatu pertandingan siapakah yang lebih kuat semangatnya mempertahankan pendirian masing-masing. Maka pada satu waktu terasalah oleh mereka sakitnya pukulan-pukulan itu, mencela berhala mereka, menyalahkan kepercayaan mereka.
Maka bermuafakatlah pemuka-pemuka Quraisy musyrikin itu hendak me­nemui Nabi. Mereka bermaksud hendak mencari, "damai". Yang mendatangi Nabi itu menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Said bin Mina – ialah al-Walid bin al-Mughirah, al-Ash bin Wail, al-Aswad bin al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka kemukakan suatu usul damai: "Ya Muhammad! Mari kita ber­damai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah, tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah, dan di dalam segala urusan di negeri kita ini, engkau turut serta bersama kami. Kalau seruan yang engkau bawa ini memang ada baiknya daripada apa yang ada pada kami, supaya turutlah kami merasakannya dengan engkau. Dan jika pegangan kami ini yang lebih benar daripada apa yang engkau serukan itu maka engkau pun telah bersama merasakannya dengan kami, sama mengambil bahagian pada­nya." – Inilah usul yang mereka kemukakan.
Tidak berapa lama setelah mereka mengemukakan usul ini, turunlah ayat ini; "Katakanlah, hai orang-orang yang kafir! "Aku tidaklah menyembah apa yang kamu sembah." (ayat 2).
Menurut tafsiran Ibnu Katsir yang disalinkannya dari Ibnu Taimiyah arti ayat yang kedua: "Aku tidaklah menyembah apa yang kamu sembah," ialah rnenafikan perbuatan (nafyul fi'li) Artinya bahwa perbuatan begitu tidaklah pemah aku kerjakan. "Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah." (ayat 3). Artinya persembahan kita ini sekali-kali tidak dapat diperdamaikan atau digabungkan. Karena yang aku sembah hanya Allah kan kalian menyembah kepada benda; yaitu kayu atau batu yang kamu perbuat sendiri dan kamu besarkan sendiri. "Dan aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah." (ayat 4). "Dan kamu bukanlah pula penyembah sebagaimana aku menyembah." (ayat 5). Maka selain dari yang kita sembah itu berlain; kamu menyembah berhala aku menyembah Allah Yang Maha Esa, maka cara kita menyembah pun lain pula. Kalau aku menyembah Allah maka aku melakukan shalat di dalam syarat rukun yang telah ditentukan. Sedang kamu menyembah berhala itu sangatlah berbeda dengan cara aku menyembah Allah. Oleh sebab itu tidaklah dapat pegangan kita masing-masing ini didamaikan; "Untuk kamu­lah agama kamu, dan untuk akulah agamaku." (ayat 6).
Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah di­damaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.
Syaikh Muhammad Abduh menjelaskan perbedaan ini di dalam tafsimya; "Dua jumlah kata yang pertama (ayat 2 dan 3) adalah menjelaskan perbedaan yang disembah. Dan isi dua ayat berikutnya (ayat 4 dan 5) ialah menjelaskan perbedaan cara beribadat. Tegasnya yang disembah lain dan Cara menyembah pun lain. Tidak satu dan tidak sama. Yang aku sembah ialah Tuhan Yang Maha Esa, yang bersih daripada segala macam persekutuan dan perkongsian dan mustahil menyatakan diriNya pada diri seseorang atau sesuatu benda. Allah, yang meratakan kurniaNya kepada siapa jua pun yang tulus ikhlas beribadat kepadaNya. Dan Maha Kuasa menarik ubun-ubun orang yang menolak kebenaranNya dan menghukum orang yang menyembah kepada yang lain. Sedang yang kamu sembah bukan itu, bukan Allah, melainkan benda. Aku menyembah Allah sahaja, kamu menyembah sesuatu selain Allah dan kamu persekutukan yang lain itu dengan Allah. Sebab itu maka menurut aku, ibadat­mu itu bukan ibadat dan tuhanmu itu pun bukan Tuhan. Untuk kamulah agama kamu, pakailah agama itu sendiri, jangan pula aku diajak menyembah yang bukan Tuhan itu. Dan untuk akulah agamaku, jangan sampai hendak kamu campur-adukkan dengan apa yang kamu sebut agama itu."
Al-Qurthubi meringkaskan tafsir seluruh ayat ini begini:
"Katakanlah olehmu wahai UtusanKu, kepada orang-orang kafir itu, bahwasanya aku tidaklah mau diajak menyembah berhala-berhala yang kamu sembah dan puja itu, kamu pun rupanya tidaklah mau menyembah kepada Allah saja sebagaimana yang aku lakukan dan serukan. Malahan kamu per­sekutukan berhala kamu itu dengan Allah. Maka kalau kamu katakan bahwa kamu pun menyembah Allah jua, perkataanmu itu bohong, karena kamu ada­lah musyrik. Sedang Allah itu tidak dapat dipersyarikatkan dengan yang lain. Dan ibadat kita pun berlain. Aku tidak menyembah kepada Tuhanku sebagai­mana kamu menyembah berhala. Oleh sebab itu agama kita tidaklah dapat diperdamaikan atau dipersatukan; "Bagi kamu agama kamu, bagiku adalah agamaku pula." Tinggilah dinding yang membatas, dalamlah jurang di antara kita."
Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang hak hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang. Oleh sebab itu maka Akidah Tauhid itu tidaklah mengenal apa yang dinamai Cynscritisme, yang berarti menyesuai-nyesuaikan. Misalnya di antara animisme dengan Tauhid, penyembahan berhala dengan sembahyang, menyembelih binatang guna pemuja hantu atau jin dengan membaca Bismillah.
Dan lain-lain sebagainya.
* * *
Pelengkap
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya:
Tersebut dalam Shahih Muslim, diterima dari Jabir bin Abdillah, bahwa Rasulullah s.a.w. membaca Surat al-Kafirun ini bersama Surat Qul Huwallaahu Ahad di dalam sembahyang sunnat dua rakaat sesudah tawaf.
Dalam Shahih Muslim juga, dari Hadis Abu Hurairah, bahwa Rasulullah s.a.w. membaca Surat ini dan Qul Huwallaahu Ahad pada sembahyang dua rakaat sunnat Fajar (sebelum sembahyang Subuh). Demikian juga menurut sebuah Hadis yang dirawikan oleh al-Imam Ahmad dari Ibnu Umar, bahwa Nabi membaca kedua Surat ini dua rakaat Fajar dan dua rakaat sesudah Maghrib, lebih dari dua puluh kali.
Sebuah Hadis dirawikan oleh al-Imam Ahmad dari Farwah bin Naufal al-Asyja'iy, bahwa dia ini meminta pertunjuk kepada Nabi s.a.w. apa yang baik dibaca sebelum tidur. Maka Nabi menasihatkan supaya setelah dia mulai ber­baring bacalah Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun, sebab dia adalah satu pernyataan diri sendiri bersih dari syirik.
Dan telah kita jelaskan bahwa Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun, sama dengan seperempat dari al-Quran. Surat ini mengandung larangan menyembah yang selain Allah, mengandung pokok akidah, dan segala perbuatan hati. Dia setali dengan Qul Huwallaahu (Surat al-Ikhlas) yang akan kita tafsirkan kelak; Insya Allah.

Tafsir Surat Al Fatihah

Tafsir Surat Al Fatihah

 Para pembaca yang dirahmati Allah suhanahu wata’ala, setiap hari umat Islam menjalankan ritual shalat yang merupakan salah satu bentuk peribadahan kepada Allah suhanahu wata’ala. Setiap kita melaksanakan shalat, kita diperintah untuk membaca surat Al Fatihah sebagai salah satu rukun shalat. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَصَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah)”. (HR. Abu Dawud no. 297 dan At Tirmidzi no. 230 dari shahabat Abu Hurairah dan ‘Aisyah)
Surat ini termasuk deretan surat Makkiyah (yang turun sebelum hijrah) dan terdiri dari tujuh ayat.
Nama Lain Surat Al Fatihah
Surat Al Fatihah memiliki banyak nama. Di antaranya; Fatihatul Kitab (pembuka kitab/Al Qur’an). Karena Al Qur’an, secara penulisan dibuka dengan surat ini. Demikian pula dalam shalat, Al Fatihah sebagai pembuka dari surat-surat lainnya.
Al Fatihah dikenal juga dengan sebutan As Sab’ul Matsani (tujuh yang diulang-ulang). Disebabkan surat ini dibaca berulang-ulang pada setiap raka’at dalam shalat.
Dinamakan juga dengan Ummul Kitab. Karena di dalamnya mencakup pokok-pokok Al Quran, seperti aqidah dan ibadah.
Keutamaan surat Al Fatihah
Surat Al Fatihah memiliki berbagai macam keutamaan dan keistimewaan dibanding dengan surat-surat yang lain. Di antaranya adalah;
Al Fatihah merupakan surat yang paling agung. Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al Mu’alla, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya):
“Sungguh aku akan ajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam Al Quran sebelum engkau keluar dari masjid? Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memegang tanganku. Disaat Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam hendak keluar dari masjid, aku bertanya: “Ya Rasulullah! Bukankah engkau akan mengajariku tentang surat yang paling agung dalam Al Quran? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: Ya (yaitu surat)
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Ia adalah As Sab’u Al Matsani dan Al Qur’anul ‘Azhim (Al Qur’an yang Agung) yang diwahyukan kepadaku.” (HR. Al Bukhari no. 4474)
Al Fatihah merupakan surat istimewa yang tidak ada pada kitab-kitab terdahulu selain Al Qur’an. Dari shahabat Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Maukah engkau aku beritahukan sebuah surat yang tidak ada dalam kitab Taurat, Injil, Zabur, dan demikian pula tidak ada dalam Al Furqan (Al Qur’an) surat yang semisalnya? Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberitakan surat itu adalah Al Fatihah”. (HR. At Tirmidzi no. 2800)
Al Fatihah sebagai obat dengan izin Allah suhanahu wata’ala. Al Imam Al Bukhari meriiwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu tentang kisah kepala kampung yang tersengat kalajengking. Lalu beberapa shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam meruqyahnya dengan membacakan surat Al Fatihah kepadanya. Dengan sebab itu Allah suhanahu wata’ala menyembuhkan penyakit kepala kampung itu.
Terkait dengan shalat sebagai rukun Islam yang kedua, Al Fatihah merupakan unsur terpenting dalam ibadah itu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى وَلَمْ يَقْرَأْ فِيْهَا أُمَّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ – ثَلاَثاً – غَيْرُ تَمَامٍ
“Barang siapa shalat dalam keadaan tidak membaca Al Fatihah, maka shalatnya cacat (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengulanginya sampai tiga kali) tidak sempurna.” (HR. Muslim no. 395, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Bahkan membaca Al Fatihah termasuk rukun dalam shalat, sebagaimana riwayat diatas.
Tafsir Surat Al Fatihah
Pembaca yang dirahmati Allah suhanahu wata’ala, berikut ini merupakan ringkasan tafsir dari surat Al Fatihah:
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin.”
Segala pujian beserta sifat-sifat yang tinggi dan sempurna hanyalah milik Allah suhanahu wata’ala semata. Tiada siapa pun yang berhak mendapat pujian yang sempurna kecuali Allah suhanahu wata’ala. Karena Dia-lah Penguasa dan Pengatur segala sesuatu yang ada di alam ini. Dia-lah Sang Penguasa Tunggal, tiada sesuatu apa pun yang berserikat dengan kuasa-Nya dan tiada sesuatu apa pun yang luput dari kuasa-Nya pula. Dia-lah Sang Pengatur Tunggal, yang mengatur segala apa yang di alam ini hingga nampak teratur, rapi dan serasi. Bila ada yang mengatur selain Allah suhanahu wata’ala, niscaya bumi, langit dan seluruh alam ini akan hancur berantakan. Dia pula adalah Sang Pemberi rezeki, yang mengaruniakan nikmat yang tiada tara dan rahmat yang melimpah ruah. Tiada seorang pun yang sanggup menghitung nitmat yang diperolehnya. Disisi lain, ia pun tidak akan sanggup membalasnya. Amalan dan syukurnya belum sebanding dengan nikmat yang Allah suhanahu wata’ala curahkan kepadanya. Sehingga hanya Allah suhanahu wata’ala yang paling berhak mendapatkan segala pujian yang sempurna.
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang.”
Ar Rahman dan Ar Rahim adalah Dua nama dan sekaligus sifat bagi Allah suhanahu wata’ala, yang berasal dari kata Ar Rahmah. Makna Ar Rahman lebih luas daripada Ar Rahim. Ar Rahman mengandung makna bahwa Allah suhanahu wata’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada seluruh makhluk-Nya, baik yang beriman atau pun yang kafir. Sedangkan Ar Rahim, maka Allah suhanahu wata’ala mengkhususkan rahmat-Nya bagi kaum mukminin saja. Sebagaimana firman Allah suhanahu wata’ala: “Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (Al Ahzab: 43)
مَالِكِ يِوْمِ الدِّيْنِ
“Yang menguasai hari kiamat.”
Para ‘ulama ahli tafsir telah menafsirkan makna Ad Din dari ayat diatas adalah hari perhitungan dan pembalasan pada hari kiamat nanti.
Umur, untuk apa digunakan? Masa muda, untuk apa dihabiskan? Harta, dari mana dan untuk apa dibelanjakan? Tiada seorang pun yang lepas dan lari dari perhitungan amal perbuatan yang ia lakukan di dunia. Allah suhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah”. (Al Infithar: 17-19)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنَ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolonga.”
Secara kaidah etimologi (bahasa) Arab, ayat ini terdapat uslub (kaidah) yang berfungsi memberikan penekanan dan penegasan. Yaitu bahwa tiada yang berhak diibadahi dan dimintai pertolongan kecuali hanya Allah suhanahu wata’ala semata. Sesembahan-sesembahan selain Allah itu adalah batil. Maka sembahlah Allah suhanahu wata’ala semata.
Sementara itu, disebutkan permohonan tolong kepada Allah setelah perkara ibadah, menunjukkan bahwa hamba itu sangat butuh kepada pertolongan Allah suhanahu wata’ala untuk mewujudkan ibadah-ibadah yang murni kepada-Nya.
Selain itu pula, bahwa tiada daya dan upaya melainkan dari Allah suhanahu wata’ala. Maka mohonlah pertolongan itu hanya kepada Allah suhanahu wata’ala. Tidak pantas bertawakkal dan bersandar kepada selain Allah suhanahu wata’ala, karena segala perkara berada di tangan-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah suhanahu wata’ala (artinya):
“Maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya”. (Hud: 123)
اهْدِنَا الصَّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
“Tunjukkanlah kami ke jalanmu yang lurus.”
Yaitu jalan yang terang yang mengantarkan kepada-Mu dan jannah (surga)-Mu berupa pengetahuan (ilmu) tentang jalan kebenaran dan kemudahan untuk beramal dengannya.
Al Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari shahabat An Nawas bin Sam’an radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah memberikan permisalan ash shirathul mustaqim (jembatan yang lurus), diantara dua sisinya terdapat dua tembok. Masing-masing memiliki pintu-pintu yang terbuka, dan di atas pintu-pintu tersebut terdapat tirai-tirai tipis dan di atas pintu shirath terdapat seorang penyeru yang berkata: “Wahai sekalian manusia masuklah kalian seluruhnya ke dalam as shirath dan janganlah kalian menyimpang. Dan ada seorang penyeru yang menyeru dari dalam ash shirath, bila ada seseorang ingin membuka salah satu dari pintu-pintu tersebut maka penyeru itu berkata: “Celaka engkau, jangan engkau membukanya, karena jika engkau membukanya, engkau akan terjungkal kedalamnya. Maka ash shirath adalah Al Islam, dua tembok adalah aturan-aturan Allah, pintu-pintu yang terbuka adalah larangan-larangan Allah. Penyeru yang berada di atas ash shirath adalah Kitabullah (Al Qur’an), dan penyeru yang berada didalam ash shirath adalah peringatan Allah bagi hati-hati kaum muslimin”.
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Yaitu jalannya orang-orang yang engkau beri kenikmatan.”
Siapakah mereka itu? Meraka adalah sebagaimana yang dalam firman Allah suhanahu wata’ala: “Dan barang siapa yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah sebaik-baik teman. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah dan Allah cukup mengetahui”. (An Nisaa’: 69-70
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِيْنَ
“Dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.”
Orang-orang yang dimurkai Allah suhanahu wata’ala adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran akan tetapi enggan mengamalkannya. Mereka itu adalah kaum Yahudi. Allah suhanahu wata’ala berfirman berkenaan dengan keadaan mereka (artinya):
“Katakanlah Wahai Muhammad: Maukah Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai oleh Allah”. (Al Ma’idah: 60)
Adapun jalan orang-orang yang sesat adalah bersemangat untuk beramal dan beribadah, tapi bukan dengan ilmu. Akhirnya mereka sesat disebabkan kebodohan mereka. Seperti halnya kaum Nashara. Allah suhanahu wata’ala memberitakan tentang keadaan mereka:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. (Al Ma’idah: 77)
At Ta’min
Pembaca yang dirahmati Allah suhanahu wata’ala, At Ta’min adalah kalimat “Amin” yang diucapkan setelah selesai membaca Al Fatihah dalam shalat dan bukan merupakan bagian dari surat tersebut, yang mempunyai arti “Ya Allah kabulkanlah do’a kami”.
Diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika membaca:
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِيْنَ
maka Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan Amin sampai orang-orang yang di belakangnya dari shaf pertama mendengar suaranya. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Barang siapa yang ta’minnya bersamaan dengan ta’min malaikat, maka Allah suhanahu wata’ala menjanjikan ampunan bagi dia. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika imam mengucapkan amin maka ikutilah, karena barang siapa yang ta’minnya bersamaan dengan ta’min malaikat, niscaya ia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun alaih)
Kandungan surat Al Fatihah
Pembaca yang dirahmati Allah suhanahu wata’ala, surat ini memiliki kandungan faidah yang banyak dan agung, berikut ini beberapa di antaranya yang dapat kami sebutkan:
1. Surat ini terkandung di dalamnya tiga macam tauhid:
• Tauhid Rububiyyah, yaitu beriman bahwa hanya Allah suhanahu wata’ala yang menciptakan, mengatur dan memberi rizqi, sebagaimana yang terkandung di dalam penggalan ayat: “Rabbul ‘alamin “.
• Tauhid Asma’ wa Shifat, yaitu beriman bahwa Allah suhanahu wata’ala mempunyai nama-nama serta sifat-sifat yang mulia dan sesuai dengan keagungan-Nya. Diantaranya Ar Rahman dan Ar Rahim.
• Tauhid Uluhiyyah, yaitu beriman bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah suhanahu wata’ala semata. Adapun sesembahan selain Allah suhanahu wata’ala adalah batil. Diambil dari penggalan ayat: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan memohon pertolongan”.
2. Penetapan adanya hari kiamat dan hari pembalasan, sebagaimana potongan ayat: “Penguasa hari pembalasan”.
3. Perintah untuk menempuh jalan orang-orang yang shalih.
4. Peringatan dan ancaman dari enggan untuk mengamalkan ilmu yang telah diketahui. Karena hal ini mendatangkan murka Allah suhanahu wata’ala. Demikian pula, hendaklah kita berilmu sebelum berkata dan beramal. karena kebodohan akan mengantarkan pada jalan kesesatan.
Penutup
Demikianlah ringkasan dari tafsir surat Al Fatihah. Semoga dapat mengantarkan kita kepada pemahaman yang benar di dalam menempuh agama yang diridhai oleh Allah suhanahu wata’ala ini. Amin, Ya Rabbal ‘Alamin. Sumber: Salafy.org

TENTANG SYIRIK



Oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin Al Atsari

Syirik (Mempersekutukan Sesuatu Dengan Allah)
Syirik merupakan bahaya yang terbesar dan penyakit yang paling berbahaya. Saya cantumkan pembahasan syirik dalam pembahasan penyakit hati ini karena sumber kesyirikan bermula dari keyakinan (i’tiqad) yang ada di dalam hati. Perlu pembaca ketahui bahwa ulama membagi jenis syirik menjadi dua bagian :
a) Syirik Akbar (besar)
- Yang tidak diampuni (apabila pelakunya mati dan belum bertaubat).
- Diharamkan baginya Surga.
- Kekal di dalam neraka.
- Membatalkan semua amalan-­amalan yang lalu.
b) Syirik Ashghar (kecil)
- Di bawah kehendak Allah. Kalau Allah ampuni pelakunya maka tidak diadzab dan kalau tidak diampuni, pelakunya masuk terlebih dahulu di neraka meskipun setelah itu dimasukkan ke dalam Surga.>
- Tidak kekal dalam neraka (kalau dia dimasukkan ke dalam neraka).
- Tidak membatalkan semua amalan tetapi sebatas yang dilakukan.
- Tidak diharamkan baginya Surga.
Penjelasan Syirik Akbar
Sebagaimana penjelasan di atas, syirik akbar merupakan dosa yang terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah apabila tidak bertaubat. Allah Ta’ala bberfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa’ : 48)[1]
Juga pelaku Syirik Akbar tempat kembalinya adalah neraka dan diharamkan baginya Surga.
Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya telah kafirlah orang­-orang yang berkata : ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam.’ Padahal Al Masih (sendiri) berkata : ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.’ Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang dhalim itu seorang penolong pun.” (Al Maidah : 72)
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa syirik akbar menggugurkan amalan-amalan adalah firman Allah Ta’ala : “Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am : 88)
Macam-Macam Syirik Akbar
Macam-macam dari Syirik Akbar ini sangat banyak sekali, tetapi bisa kita kelompokkan menjadi tiga bagian :
1) Syirik di dalam Al Uluhiyyah
Yaitu kalau seseorang menyakini bahwa ada tuhan selain Allah yang berhak untuk disembah (berhak mendapatkan sifat-sifat ubudiyyah). Yang mana Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam berbagai tempat dalam Kitab-Nya menyeru kepada hamba-Nya agar tidak menyembah atau beribadah kecuali hanya kepada-Nya saja. Firman Allah Ta’ala :
“Wahai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah : 21-22)
Perintah Allah dalam ayat ini agar semua manusia[2] beribadah kepada Rabb mereka dan bentuk ibadah yang diperintahkan antara lain syahadat, shalat, zakat, shaum, haji, sujud, ruku’, thawaf, doa, tawakal, khauf (takut), raja’ (berharap), raghbah (menginginkan sesuatu), rahbah (menghindarkan dari sesuatu), khusu’, khasyah, ­isti’anah (minta tolong), isti’adzah (berlindung), istighatsah (meratap), penyembelihan, nadzar, sabar dan lain lain dari berbagai macam ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di sisi lain ada kerancuan yang terdapat di kalangan umum dalam memahami ibadah. Mereka mengartikan ibadah dalam definisi yang sempit sekali seperti shalat, puasa, zakat, haji. Ada pun yang lainnya tidak dikategorikan di dalamnya.
Sungguh indah perkataan Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam mendefinisikan ibadah, beliau berkata :
“Ibadah itu ialah suatu nama yang mencakup semua perkara yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, apakah berupa perkataan ataupun perbuatan, baik dhahir maupun yang bathin.”
Inilah pengertian ibadah yang sesungguhnya, yaitu meliputi segala perkara yang dicintai dan diridlai Allah, baik itu berupa perkataan maupun perbuatan.
Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 21 di atas menyatakan sembahlah Rabb kamu, dimaksudkan untuk mendekatkan pemahaman kepada semua manusia bahwa Ar Rabb yang wajib disembah adalah yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, yang menciptakan langit dan bumi serta yang mampu menurunkan air (hujan) dari langit. Yang dengan air hujan itu dihasilkan segala jenis buah-buahan sebagai rezeki bagi kalian agar kalian mengetahui semua. Maka janganlah mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah dengan menyembah dan meminta rezeki kepada selain-Nya. Apakah kalian tidak malu dan berpikir bahwa Allah yang menghidupkan dan yang memberi rezeki kemudian kalian tinggalkan untuk beribadah kepada selain-Nya?
Firman Allah Ta’ala : “Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tak dapat memberi rezeki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi dan tidak berkuasa (sedikit jua pun). Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl : 73-74)
2) Syirik Di Dalam Ar Rububiyyah,
Yaitu jika seseorang meyakini bahwa ada selain Allah yang bisa menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan atau mematikan, dan yang lainnya dari sifat-sifat ar rububiyyah. Orang-orang seperti ini keadaannya lebih sesat dan lebih jelek daripada orang-orang kafir terdahulu.
Orang-orang terdahulu beriman dengan tauhid rububiyyah namun mereka menyekutukan Allah dalam uluhiyyah. Mereka meyakini kalau Allah satu-satunya Pencipta alam semesta namun mereka masih tetap berdoa, meminta pada kuburan-kuburan seperti kuburan Latta.
Sebagaimana Allah kisahkan tentang mereka :
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah.” Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (QS. Al Ankabut : 61)
Firman Allah Ta’ala : Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah.” Katakanlah : “Segala puji bagi Allah.” Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. Al Ankabut : 63)
Firman Allah Ta’ala : Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah.” Katakanlah : “Segala puji bagi Allah.” Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya. (QS. Luqman : 25)
Firman Allah Ta’ala : Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka akan menjawab : “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az Zukhruf : 9)
Ayat-ayat ini semua menunjukkan kalau orang-orang musyrik terdahulu mengakui Allah-lah satu­-satunya pencipta yang menciptakan langit dan bumi, yang menghidupkan dan mematikan, yang menurunkan hujan dan seterusnya. Akan tetapi mereka masih memberikan peribadatan kepada yang lainnya. Maka bagaimanakah dengan orang-orang yang tidak menyakini sama sekali kalau Allah-lah Penciptanya atau ada tuhan lain yang menciptakan, menghidupkan, dan mematikan, yang menurunkan hujaan dan seterusnya atau ada yang serupa dengan Allah dalam masalah-masalah ini. Tentu yang demikian lebih jelek lagi. Inilah yang dimaksud syirik dalam rububiyah.
3) Syirik Di Dalam Al Asma’ wa Ash Shifat
Yaitu kalau seseorang mensifatkan sebagian makhluk Allah dengan sebagian sifat-sifat Allah yang khusus bagi-Nya. Contohnya, menyakini bahwa ada makhluk Allah yang mengetahui perkara­-perkara ghaib.
Firman Allah Ta’ala : “(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.“ (QS. Al Jin : 26)
Lihat pembahasan selengkap­nya pada sub judul Keyakinan Adanya Makhluk Yang Mengetahui Hal Yang Ghaib di belakang tulisan ini.
Penjelasan Syirik Asghar
Meskipun dalam masalah ini ada khilaf (sebagaimana yang telah kita bahas di atas) akan tetapi wajib bagi setiap Muslim untuk berhati-hati terhadap penyakit ini dan jangan menganggap remeh. Pelakunya diwajibkan untuk bertaubat. Di antara yang dikategorikan dalam Syirik Ashghar antara lain :
a) Ar Riya’ (mengamalkan suatu ibadah supaya dilihat manusia dalam rangka mendapatkan popularitas). Meskipun syirik ini tidak membatalkan semua amalan secara keseluruhan namun ia membatalkan amalan yang diniatkan untuk manusia tersebut. Maka wajib bagi pelakunya untuk bertaubat.
Firman Allah yang menerang­kan bahwa riya’ itu membatalkan amalan yang disertai riya’ tersebut adalah sebagai berikut : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) seperti or­ang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan or­ang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah kemudian batu itu ditimpa hujan lebat lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak berkuasa sedikit pun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al Baqarah : 264)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : Diriwayatkan dari Mahmud bin Labid bahwa dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata : “Suatu ketakutan yang pal­ing aku takutkan dari kalian adalah syirik kecil.” Kemudian ditanyakan tentang syirik itu, beliau menjawab : “Riya’.” (HR. Ahmad)
Dan juga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Allah Ta’ala berfirman : ‘Barang siapa melakukan suatu amalan kemudian ia jadikan bersama Allah sekutu dalam amalan itu maka Allah tinggalkan amalan tersebut dan sekutunya.’” (HR. Muslim)
Dalam masalah membatalkan amalan, riya’ ini terbagi menjadi dua bagian :
1. Apabila riya’ sejak awal, yaitu bahwa orang tersebut dalam melakukan amalannya sudah mempunyai niat untuk riya’. Yang seperti ini membatalkan amalan.
2. Apabila datang dengan tiba-­tiba di tengah-tengah atau di akhir amalan dan orang tersebut berusaha untuk menolak atau menghilangkan dari hatinya. Maka yang seperti ini tidak sampai membatalkan amalannya.
b) Sum’ah (mengamalkan suatu ibadah supaya didengar orang lain dalam rangka mendapatkan popularitas). Pada hakekatnya sum’ah merupakan riya’ juga.
Dua penyakit ini yang sangat rawan dalam hati karena sangat samar tidak terlihat oleh mata sehingga seorang Muslim harus sangat berhati-hati. Ayat Al Qurr’an dalam surat Al Baqarah 264 serta hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari shahabat Mahmud bin Labid di atas menjadi perhatian bagi kita bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggil dengan panggilan ‘Wahai orang-­orang yang beriman’ dan Rasulullah mengkhawatirkan riya’ tersebut akan menimpa para shahabat. Hal ini menunjukkan bahwa orang Mukmin pun apabila tidak hati-hati akan terkena penyakit ini. Mudah-mudahan Al­lah selamatkan kita darinya.
Pembaca yang semoga dimuliakan Allah, Syirik Akbar dan Syirik Ashghar memiliki cabang yang sangat banyak dan memerlukan pembahasan yang sangat panjang. Tidak mungkin kita paparkan dalam satu kali ­pertemuan. Tetapi yang penting untuk kita ketahui adalah sifat atau ciri-ciri dari keduanya serta bahayanya sehingga kita berhati-­hati terhadap kedua-duanya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam salah satu di antara dua jenis syirik ini hendaknya ia segera bertaubat.
Firman Allah Ta’ala :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran : 133)
Firman Allah Ta’ala :
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih maka kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqan : 70)
Firman Allah Ta’ala :
Katakanlah : “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar : 53)
Keyakinan Adanya Makhluk Allah Yang Mengetahui Hal Ghaib
Meyakini adanya makhluk Al­lah yang mengetahui perkara­-perkara ghaib termasuk salah satu dari bentuk-bentuk kesyirikan. Karena salah satu dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah meyakini bahwa tidak ada satu pun dari makhluk Allah yang ada di langit (seperti malaikat) ataupun di bumi (seperti Nabi-Nabi dan manusia atau jin) yang mengetahui hal ghaib.
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan keyakinan Ahlus Sunnah ini adalah sebagai berikut :
1) Secara Umum Tidak Ada Satu Makhluk Pun Yang Mengetahui Hal Ghaib
Dalil-dalil yang menunjukkan secara umum tidak adanya satu makhluk pun yang mengetahui hal-hal ghaib. Seperti ucapan Allah dalam surat Hud : “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud : 123)
Dan firman Allah dalam surat Al Jin : “(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.” (QS. Al Jin : 26)
2) Malaikat Tidak Mengetahui Hal Yang Ghaib
Para malaikat walaupun mereka adalah makhluk Allah yang paling dekat dengan-Nya juga tidak mengetahui hal yang ghaib kecuali terhadap masalah-masalah yang Allah beritahukan kepada mereka. Di antara dalilnya adalah ucapan Allah dalam surat Al Baqarah 32 : Mereka menjawab : “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah : 32)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat As Saba’ 23 : Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diijinkan-Nya memperoleh syafaat itu. Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata : “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab : “(Perkataan) yang benar.” Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. As Saba’ : 23)
Dalam ayat ini dioceritakan bahwa malaikat bertanya-tanya tentang apa yang baru dikatakan oleh Rabbnya. Ini menunjukkan kalau malaikat pun tidak mengetahui yang ghaib.
3) Rasulullah Serta Para Nabi Tidak Mengetahui Tentang Hal Ghaib
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta para Nabi dan Rasul tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui hal ghaib kecuali perkara-perkara ghaib yang telah Allah beritakan kepadanya.
Adapun apa yang dikecualikan oleh Allah setelah ayat 26 dalam surat Al Jin di atas adalah tidak mutlak. Ketika Allah mengatakan kecuali Rasul yang diridlai artinya kecuali Rasul yang diberitahu sebagian tentang hal-hal ghaib. Adapun yang tidak diberitahukan oleh Allah kepadanya, Rasul pun tidak mengetahuinya. Dengan demikian Rasulullah tidak mengetahui hal yang ghaib secara mutlak. Yang mengetahui hal-hal ghaib secara keseluruhan dan mutlak hanyalah Allah. Tidak ada satupun makhluk yang mengetahuinya. Allah berfirman memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui hal yang ghaib : Katakanlah : “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al A’raf : 188)
Beliau hanya mengetahui apa-apa yang diberitakan oleh Allah dalam wahyu-Nya sebagaimana apa yang Allah katakan dalam firman­-Nya : Katakanlah : “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengetahui kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” Katakanlah : “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al An’am : 50)
Demikian pula ketika Allah Ta’ala berfirman menceritakan tentang ucapan Nabi Nuh ‘Alaihis Salam kepada kaumnya, juga meniadakan dari dirinya ilmu ghaib :
“Dan aku tidak mengatakan kepada kamu bahwa aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah dan tidak mengatakan bahwa aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu (( : sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka)). Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka, sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang dhalim.” (QS. Hud: 31)
4) Jenis Jin Pun Tidak Mengetahui Hal Ghaib
Bahkan makhluk dari jenis jin pun tidak mengetahui hal yang ghaib. Ini sebagai bantahan langsung dari Allah kepada para dukun-dukun yang mengaku mengetahui hal ghaib :
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (QS. Saba’ : 14)
5) Kahin (Dukun), Ahli Nujum, Dan Musya’widzin (Tukang Sihir) Tidak Mengetahui Hal Ghaib
Kalau kita sudah mengetahui bahwa malaikat-malaikat dan Nabi-Nabi kemudian jin-jin tidak ada yang mengetahui perkara ghaib apalagi para kahin[3], dukun-dukun, ahli nujum[4], tukang ramal, musya’widzin (tukang sihir), dan lain-lain.
Berikut ini firman Allah Ta’ala yang menerangkan bahwa mereka tidak mengetahui hal ghaib.
Firman Allah Ta’ala : “Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib.” (QS. Ali Imran : 179)
Firman Allah Ta’ala : “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh).” (QS. Al An’am : 59)
Firman Allah Ta’ala : “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan semua urusan. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud : 123)
Ayat-ayat ini semuanya mengajak bicara orang kedua dengan lafadh kamu tidak mengetahui atau tidak memperlihatkan kepadamu dan seterusnya. Ini menunjukkan kalau semua manusia tidak mengetahui hal yang ghaib termasuk dukun, tukang sihir, paranormal, dan lain-lain.
Bahkan manusia itu sendiri tidak mengetahui berapa lamanya ia tidur sebagaimana yang Allah kisahkan tentang ashabul kahfi yang tidur di dalam gua selama 309 ­tahun :
Katakanlah : “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua), kepunyaan-Nya-lah semua yang ghaib (tersembunyi) di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi : 26)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda berkaitan dengan masalah di atas : Dari Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Kunci-kunci keghaiban ada lima. Tiada yang mengetahui kelimanya kecuali Allah. Tiada seorang pun yang mengetahui apa-apa yang dalam rahim kecuali Allah dan tiada seorang pun yang mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati, tiada seorangpun yang mengetahui kapan datangnya hujan kecuali Allah dan tiada seorang pun yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat kecuali Allah.” (Telah mengeluarkan hadits ini, Al Bukhari dan Imam Ahmad dengan sanad yang shahih)
Maka para pembaca sekalian hendaknya mengambil pelajaran dan menyampaikannya kepada orang yang belum mengetahui bahwa kita tidak perlu datang ke dukun-dukun, tukang ramal, tukang sihir, ‘orang pintar’ atau ahli nujum, dan lain-lain dengan tujuan untuk mengetahui perkara-perkara ghaib seperti siapa jodohnya, darimana rezekinya, kapan ajalnya, dan seterusnya. Karena dua sebab :
Pertama, perbuatan itu sia-sia karena sesungguhnya kita telah menyakini bahwa tidak ada yang mengetahui hal-hal ghaib kecuali Allah.
Kedua, kita telah berbuat suatu kesyirikan karena meyakini adanya ‘alimul ghaibi atau yang mengetahui keghaiban selain Allah yang berarti menyamakan makhluk dengan khaliqnya dalam masalah mengetahui ilmu ghaib.­
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengancam : “Barangsiapa yang mendatangi dukun-dukun kemudian mempercayainya maka dia telah kafir dengan apa yang telah diturunkan pada Muhammad.”
Demikianlah, semoga Allah memberikan hidayah kepada kita dan seluruh kaum Muslimin kepada jalan yang lurus dan selamat. Selamat dari kesyirikan dan kesesatan di dunia dan selamat dari adzab Allah di akhirat.
(Dikutip dari Majalah SALAFY XXXVI/1421/2001, judul asli Membersihkan Diri Dari Noda Syirik. Ditulis oleh Al Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin Al Atsari dengan sedikit perubahan)

Catatan kaki:
[1] Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan secara mutlak (umum). Artinya, semua jenis syirik yang besar ataupun yang kecil kalau pelakunya mati dan tidak sempat bertaubat tidak akan diampuni dosanya. Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Yang benar adalah pendapatnya jumhur ulama yaitu membedakan antara syirik besar dan kecil. Sedang yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat ini adalah syirik akbar (besar). Adapun syirik ashghar (kecil) menurut mereka di bawah kehendak Allah (kalau Allah menghendaki mengampuni, pelakunya tidak akan diadzab tetapi kalau Allah menghendaki untuk mengadzab, ia harus dimasukkan terlebih dahulu ke dalam neraka meskipun setelahnya akan dimasukkan ke dalam Jannah). Wallahu a’lam. Syaikh Shalih Al Utsaimin berkata : “Meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan tetapi yang wajib bagi setiap individu adalah berhati-hati terhadap kedua-duanya (syirik besar maupun syirik kecil).”
[2] Manusia di sini mencakup yang Muslim ataupun yang kafir, pria ataupun wanita, tua atau pun muda.
[3] Kahin (dukun) yaitu orang yang selalu mengabarkan kepada manusia tentang sesuatu yang ghaib yang belum terjadi atau arraf (paranormal) yaitu yang selalu memberitahukan tentang tempat barang-barang yang hilang, sihir dan kecurian, atau nama pencurinya, siapa yang menyihir, dan lain-lainnya dari semua kejadian yang telah lewat dan manusia tidak mengetahuinya.
[4] Orang yang mengatakan dirinya tahu tentang hal yang ghaib melalui perbintangan dengan mempelajari gerak-geriknya untuk mengetahui kejadian-kejadian yang ada di bumi.
Sumber : http://salafiyunpad.wordpress.com