WEJANGAN DAN KEUTAMAAN IMAM ALI AS
Makalah-makalah
ini dikutip dari situs Thariqah Hasan wa Husein
Wejangan
Tentang Akal
Wejangan
Spiritual Imam Ali bin Abi Thalib as.
Kekayaan yang paling besar adalah akal.
Akal (kecerdasan) tampak melalui pergaulan, sedangkan kejahatan seseorang
diketahui ketika dia berkuasa.
Akal adalah raja, sedangkan tabiat adalah rakyatnya. Jika akal lemah untuk
mengatur tabiat itu, maka akan timbul kecacatan padanya.
Akal lebih diutamakan daripada hawa nafsu karena akal menjadikanmu sebagai
pemilik zaman, sedangkan hawa nafsu memperbudakmu untuk zaman.
Makanan pokok tubuh adalah makanan, sedangkan makanan pokok akal adalah hikmah.
Maka, kapan saja hilang salah satu dari keduanya makanan pokoknya, binasalah
ia dan lenyap.
Duduklah bersama orang-orang bijak, baik mereka itu musuh atau akal bertemu
dengan akal.
Tidak ada harta yang lebih berharga daripada akal.
Pertalian yang paling berharga adalah akal yang berpasangan dengan kemujuran.
Adab adalah gambaran dari akal.
Jika akal dibiarkan menjadi kendali, tidak tertawan oleh hawa nafsu, atau
melampaui batas agama, atau fanatik terhadap nenek moyang, niscaya hal itu akan
mengantarkan pelakunya pada keselamatan.
Jika engkau hendak menutup sebuah kitab, maka hendaklah engkau teliti kembali
kitab itu. Karena sesungguhnya yang kau tutup adalah akalmu.
Jika Allah hendak menghilangkan nikmat dari seorang hamba-Nya, maka yang
pertama kali diubah dari hamba-Nya itu adalah akalnya.
Akal adalah naluri, sedangkan yang mengasuhnya adalah berbagai pengalaman.
Akal adalah buah pikiran clan pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui.
Ruh adalah kehidupan badan, sedangkan akal adalah kehidupan ruh.
Akal adalah rekaman terhadap berbagai pengalaman.
Rasulmu adalah juru terjemah akalmu.
Pahamilah kabar jika kalian mendengarnya dengan akal yang penuh dengan
pemahaman, bukan akal yang sekadar meriwayatkan. Sesungguhnya periwayat ilmu
banyak jumlahnya, sedangkan yang memahaminya sedikit.
Orang yang berakal bersaing dengan orang-orang saleh agar dapat menyusul mereka,
clan dia ingin sekali dapat berserikat dengan memka karena kecintaannya
terhadap mereka-meskipun amalnya tidak mampu menyamai mereka.
Orang berakal, jika berbicara dengan suatu kalimat, maka ikut bersamanya
hikmah dan nasihat.
Orang yang paling bijak akalnya dan yang paling sempurna keutamaannya adalah
yang mengisi hari-harinya dengan perdamaian, bergaul dengan saudara-saudaranya
dengan rekonsiliasi, dan menerima kekurangan zaman.
Tidaklah patut bagi orang yang berakal kecuali berada dalam salah satu dari dua
kondisi ini, yaitu berada dalam cita-cita yang paling (hubungan individu dengan
masyarakat) tinggi untuk mencari dunia, atau berada dalam cita-cita yang paling
tinggi untuk meninggalkannya.
Tidaklah layak bagi seorang yang berakal untuk menuntut ketaatan orang lain
(terhadapnya), sedangkan ketaatannya terhadap dirinya sendiri ditolak.
Orang yang berakal adalah orang yang mencurigai pendapatnya sendiri dan tidak
mempercayai apa yang dipandang baik oleh dirinya.
Orang yang berakal adalah yang menjadikan pengalaman-pengalaman (hidup)
sebagai nasihat baginya.
Sesungguhnya perkataan orang-orang berakal, jika benar, maka ia adalah obat
namun jika salah, maka ia adalah penyakit.
Permusuhan orang-orang pintar adalah permusuhan yang paling berat dan paling
berbahaya karena ia hanya terjadi setelah didahului dengan hujah dan
peringatan, clan setelah tidak mungkin lagi ada perdamaian di antara keduanya.
Sesungguhnya sesuatu yang tidak disukai (kesialan) memiliki batas yang pasti
akan berakhir. Oleh karena itu, seorang yang berakal hendaknya bersikap tenang
sampai kesialan itu hilang (berlalu dengan sendirinya). Sebab, menghindar
darinya sebelum habis waktunya hanya akan menambah kesialannya.
Orang yang paling disukai oleh orang berakal adalah musuhnya juga berakal.
Sebab, jika musuhnya itu berakal, maka dia akan merasa aman dari kejahatannya.
Celaan orang-orang yang berakal lebih berat daripada hukuman seorang penguasa.
Permulaan pendapat orang berakal adalah akhir pendapat orang bodoh.
Bagi orang yang berakal, hidup dalam kesusahan bersama orangorang berakal
lebih disenangi daripada hidup dalam kelapangan bersama orang-orang bodoh.
Rukun-rukun Islam
Wejangan
Spiritual Imam Ali bin Abi Thalib as.
Allah mewajibkan
iman untuk menyucikan diri dari kemusyrikan. (Mewajibkan) shalat untuk
membersihkan diri dari kesombongan. Zakat sebagai sebab mendatangkan rezeki.
Puasa sebagai ujian untuk keikhlasan seorang hamba Allah. Haji sebagai sar-ana
pendekatan diri kepada agama. Jihad untuk kemuliaan Islam. Mengajak kepada
kebaikan sebagai kemaslahatan untuk orang banyak (masyarakat). Melarang
perbuatan mungkar untuk mencegah kejahatan orangorang bodoh. Menyambung silaturahim
untuk menambah bilangan penduduk. Qishash untuk mencegah pembunuhan.
Pelaksanaan hudud (hukuman) untuk memuliakan hal-hal yang dilarang.
Meninggalkan minuman khamar untuk menjaga akal. Menjauhkan diri dari pencurian
untuk menjaga kehormatan diri. Meninggalkan zina untuk membentengi nasab.
Kesaksian untuk mengalahkan bantahan. Meninggalkan dusta untuk mensyariatkan
kebenaran. Perdamaian sebagai keamanan dari ancaman. Menyampaikan amanat
sebagai peraturan bagi umat. Ketaatan sebagai pengagungan atas kepemimpinan.
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian beberapa kewajiban (keagamaan),
maka janganlah kalian menyia-nyiakannya. Dia telah menentukan kepada kalian
hukum, maka janganlah kalian melanggarnya. Melarang atas kalian beberapa
perkara, maka janganlah kalian memberanikan diri menceburkan diri ke dalamnya.
Dan Dia telah mendiamkan bagi kalian banyak hal, bukan karena lupa, maka
janganlah kalian menyusahkan diri kalian dengan membahasnya.
Shalat adalah sarana pedekatan (kepada Allah) bagi setiap orang yang bertakwa,
sedangkan haji adalah jihad setiap orang yang lemah. Bagi segala sesuatu ada
zakatnya, sedangkan zakat badan adalah puasa. Dan jihad kaum wanita adalah
setia kepada suaminya.
Tidak ada pendekatan diri (kepada Allah) dengan melaksanakan ibadah yang sunnah
jika hal itu memudaratkan ibadah yang wajib.
Sesungguhnya bagi hati ada saat-saat menerima (giat) dan ada pula saat-saat
malas. Maka, ketika ia sedang menerima, bebankanlah padanya ibadah-ibadah yang
sunnah. Akan tetapi, ketika ia malas, cukupkanlah padanya ibadah-ibadah yang
wajib.
Wejangan Tentang Introspeksi
Wejangan
Spiritual Imam Ali bin Abi Thalib as.
Barangsiapa yang mengintrospeksi dirinya, maka dia telah beruntung dan
barangsiapa yang lalai akan dirinya, maka dia telah merugi. Barangsiapa yang
takut (akan siksa Allah), maka. dia akan aman (dari siksa-Nya). Barangsiapa
yang mau mengambil pelajaran, maka dia akan terbuka pandangannya. Barangsiapa
yang telah terbuka pandangannya, maka dia akan memahami. Dan barangsiapa yang
telah memahami, maka dia akan mengetahui.
Semoga Allah merahmati seorang hamba yang takut kepada Tuhannya, menasihati
dirinya, menyegerakan tobatnya, dan mengalahkan hawa nafsunya. Sebab,
sesungguhnya ajalnya tersembunyi darinya, angan-angannya menipunya, sedangkan
syetan menyertainya (berupaya menyesatkannya).
Sebaik-baik kehidupan adalah yang tidak menguasaimu dan tidak pula mengalihkan
perhatianmu (dari mengingat Allah Ta’ala).
Ingatlah kalian akan berakhirnya segala kesenangan dan yang tersisa adalah
pertanggungjawaban.
Amal-amal hamba terjadi dalam dunia ini, seimbang dengan perhitungannya kelak
di akhirat.
Lihatlah wajahmu setiap waktu di cermin. jika wajahmu itu bagus, anggaplah ia
buruk karena engkau menambahkannya dengan perbuatan. yang buruk, yang dengannya
engkau telah memberi noda padanya. Dan jika (engkau dapati bahwa) wajahmu itu
buruk, anggaplah. ia memang buruk karena engkau telah menggabungkan dua
keburukan (buruk rupa dan amal).
Didiklah dirimu dengan apa yang engkau tidak suka pada orang lain.
Ketika seseorang mencela terhadap dirinya sendiri secara terang-terangan adalah
diam-diam ia memuji dirinya.
Tidaklah kemaluanmu akan berzina jika engkau memejamkan pandanganmu.
Syetan setiap orang adalah (sepadan dengan keadaan) dirinya sendiri.
Wejangan Tentang Hati
Wejangan
Spiritual Imam Ali bin Abi Thalib as.
Yang paling menakjubkan pada diri manusia adalah hatinya, padahal ia merupakan
sumber hikmah sekaligus lawan kontranya :
Jika timbul harapan, maka ia ditundukkan ketamakan, ia akan dibinasakan oleh
kekikiran.
Jika ia telah dikuasai keputus-asaan, penyesalan akan membunuhnya.
Jika ditimpa kemarahan, menjadi keras kepalalah ia.
Jika sedang puas, ia alpa menjaganya.
Jika dilanda ketakutan, dia disibukkan oleh kehati-hatian.
Jika sedang dalam kelapangan (kaya), bangkitlah kesombonganya.
Jika mendapatkan harta, kekayaan menjadikannya berbuat sewenang-wenang.
Jika kefakiran menimpa, ia tenggelam dalam kesusahan.
Jika laparnya menguat, kelemahan menjadikannya tidak mampu berdiri tegak.
Dan jika terlampau kenyang, perutnya akan mengganggu kenyamanannya.
Sesungguhnya
setiap kekurangan akan membahayakan dan setiap hal yang melampaui batas akan
merusak dan membinasakan.
Ada empat hal yang mematikan hati, yaitu: dosa yang bertumpuk-tumpuk,
(mendengarkan) guyunon orang tolol, banyak bersikap kasar dengan kaum perempuan
dan duduk bersama orang-orang mati.Mereka bertanya , “Siapakah orang-orang mati
itu, wahai Amirul Mu’minin?”Imam ‘Ali, kw, menjawab, “Yaitu setiap hamba yang
hidup bergelimang dalam kemewahan.”
Ketahuilah! Sesungguhnya diantara bencana ada kefakiran, yang lebih berat
daripada kefakiran adalah penyakit badan dan yang lebih berat daripada penyakit
badan adalah penyakit hati. Ketahuilah! Sesungguhnya di antara kenikmatan
adalah banyak harta, yang lebih utama daripada banyak harta adalah kesehatan badan
dan yang yang lebih utama daripada kesehatan badan adalah ketaqwaan hati.
Tanyalah hati tentang segala perkara karena sesungguhnya ia adalah saksi yang
tidak akan menerima suap.
Sebaik-baik hati adalah yang paling waspada menjaganya.
Nyalakan hatimu dengan adab, sebagaimana nyalanya api dengan kayu bakar.
Harta simpanan yang paling bemanfaat adalah cinta hati.
Sesungguhnya hati memiliki keinginan, kepedulian, dan keengganan. Maka,
datangilah ia dari arah kesenangan dan kepeduliannya. Sebab jika hati itu
dipaksakan, ia akan buta.
Sesungguhnya hati mengalami kejemuan, sebagaimana jemunya badan. Maka,
berikanlah padanya anekdot-anekdot hikmah.
Jika engkau ragu dalam hal kecintaan seseorang, maka tanyakanlah hatimu.
Wejangan Tentang Hati
Wejangan
Spiritual Imam Ali bin Abi Thalib as.
Yang paling menakjubkan pada diri manusia adalah hatinya, padahal ia merupakan
sumber hikmah sekaligus lawan kontranya :
Jika timbul harapan, maka ia ditundukkan ketamakan, ia akan dibinasakan oleh
kekikiran.
Jika ia telah dikuasai keputus-asaan, penyesalan akan membunuhnya.
Jika ditimpa kemarahan, menjadi keras kepalalah ia.
Jika sedang puas, ia alpa menjaganya.
Jika dilanda ketakutan, dia disibukkan oleh kehati-hatian.
Jika sedang dalam kelapangan (kaya), bangkitlah kesombonganya.
Jika mendapatkan harta, kekayaan menjadikannya berbuat sewenang-wenang.
Jika kefakiran menimpa, ia tenggelam dalam kesusahan.
Jika laparnya menguat, kelemahan menjadikannya tidak mampu berdiri tegak.
Dan jika terlampau kenyang, perutnya akan mengganggu kenyamanannya.
Sesungguhnya
setiap kekurangan akan membahayakan dan setiap hal yang melampaui batas akan
merusak dan membinasakan.
Ada empat hal yang mematikan hati, yaitu: dosa yang bertumpuk-tumpuk,
(mendengarkan) guyunon orang tolol, banyak bersikap kasar dengan kaum perempuan
dan duduk bersama orang-orang mati.Mereka bertanya , “Siapakah orang-orang mati
itu, wahai Amirul Mu’minin?”Imam ‘Ali, kw, menjawab, “Yaitu setiap hamba yang
hidup bergelimang dalam kemewahan.”
Ketahuilah! Sesungguhnya diantara bencana ada kefakiran, yang lebih berat
daripada kefakiran adalah penyakit badan dan yang lebih berat daripada penyakit
badan adalah penyakit hati. Ketahuilah! Sesungguhnya di antara kenikmatan
adalah banyak harta, yang lebih utama daripada banyak harta adalah kesehatan
badan dan yang yang lebih utama daripada kesehatan badan adalah ketaqwaan hati.
Tanyalah hati tentang segala perkara karena sesungguhnya ia adalah saksi yang
tidak akan menerima suap.
Sebaik-baik hati adalah yang paling waspada menjaganya.
Nyalakan hatimu dengan adab, sebagaimana nyalanya api dengan kayu bakar.
Harta simpanan yang paling bemanfaat adalah cinta hati.
Sesungguhnya hati memiliki keinginan, kepedulian, dan keengganan. Maka,
datangilah ia dari arah kesenangan dan kepeduliannya. Sebab jika hati itu
dipaksakan, ia akan buta.
Sesungguhnya hati mengalami kejemuan, sebagaimana jemunya badan. Maka,
berikanlah padanya anekdot-anekdot hikmah.
Jika engkau ragu dalam hal kecintaan seseorang, maka tanyakanlah hatimu.
Wejangan tentang Shalat
Wejangan
Spiritual Imam Ali bin Abi Thalib as.
Perbedaan
antara seorang Mukmin dan kafir adalah shalat. Barang- siapa yang
meninggalkannya, lalu dia mengaku sebagai Mukmin, maka perbuatannya itu telah
mendustakannya, dan dirinya pun menjadi saksi akan hal itu.
Lakukanlah shalat subuh ketika hari masih gelap, niscaya (kelak) engkau akan
bertemu dengan Allah Ta’ala dengan wajah yang putih.
Jagalah urusan shalat, peliharah ia, perbanyaklah mengerjakannya, dan
dekatkanlah dirimu (kepada Allah) dengan shalat itu. Sebab, sesungguhnya shalat
adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang yang beriman (QS 4:103).
Apakah kalian tidak mendengarkan jawaban para penghuni neraka ketika mereka
ditanya, 'Apakah yang memasukkan kamu kedalam Saqar(neraka)?" Merekan
menjawab, "Kami dahulu tidak termasuk orang~orang yang mengerjakan shalat
" (QS 74:42-43).
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. ketika beliau mengutusku ke Yaman,
"Bagaimana aku harus mengimani mereka shalat (berjamaah)?" Maka,
beliau menjawab, "Imamilah mereka shalat (berjamaah) seperti shalatnya
orang yang paling lemah di antara mereka, dan jadilah orang yang amat penyayang
terhadap orang-orang yang beriman."
Barangsiapa yang tidak mengambil persiapan shalat sebelum tiba waktunya, maka
dia tidak menghormati shalat.
Bapak Para Sufi - Imam Ali bin Abi Thalib kw
Di antara sekian
banyak sahabat Nabi, hanya Ali bin Abi Thalib-lah yang diberikan sebutan
karamallahu wajhah; sebuah sebutan yang juga berarti doa "Semoga Allah
memuliakan wajahnya" atau "Allah telah memuliakan
wajahnya." Semua ulama sepakat bahwa doa itu hanya dikhususkan untuk
Imam Ali saja seperti halnya sebutan shalallahu 'alaihi wa alihi wassalam untuk
Nabi Muhammad.
Ada beberapa riwayat
yang menjelaskan hal ini. Salah satu riwayat diantaranya menjelaskan alasan
tentang doa itu. Pertama, di antara semua sahabat Nabi saw, hanya Ali bin Abi
Thalib yang tidak pernah menyembah berhala. Dia masuk Islam dalam usia yang
masih kecil sehingga tak sempat beribadah kepada berhala. Artinya, wajahnya tak
pernah disujudkan kepada berhala. Ali kecil langsung sujud kepada Allah swt.
Alasan kedua, Imam Ali adalah orang yang dikenal tak pernah melihat aurat, baik
aurat dirinya sendiri maupun aurat orang lain. Konon, dalam sebuah pertemuan di
Shiffin, pasukan Imam Ali bertemu dengan pasukan Muawiyah. Sebelum perang
berkecamuk, biasanya diadakan mubarazah atau duel antara dua orang yang
mewakili pasukan yang akan bertempur. Imam Ali menantang Muawiyah ber-mubarazah
namun Muawiyah tak berani dan Amr bin Ash menggantikannya. Dalam duel itu, Amr
terdesak dan mengalami kekalahan. Ketika Imam Ali hendak memukulkan pedangnya
ke kepala Amr, Amr lalu membuka auratnya sehingga Imam Ali segera berbalik
memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amr. Karena Imam Ali tak mau melihat
aurat, selamatlah Amr.
Semasa hidupnya, Imam Ali dikenal sebagai seorang pria yang gagah dan tampan.
Banyak hadis yang meriwayatkan Imam Ali memiliki kepala yang agak botak
sehingga orang yang tak senang pada Imam Ali memberikan julukan ashla yang
berarti "Si Botak". Umar bin Khattab pernah berkata, "Sekiranya
tak ada si ashla, celakalah Umar!"
Ketika banyak sahabat lain mengecam Imam Ali dengan memberikan julukan ashla,
Rasulullah saw berkata, "Janganlah kalian mengecam Ali karena ia sudah
tenggelam dalam kecintaan kepada Allah."Imam Ali sering menjadi fana
atau larut dalam kecintaannya kepada Allah. Pernah suatu hari, Abu Darda
menemukan Ali terbujur kaku di atas tanah seperti sebongkah kayu di sebuah
kebun kurma milik seorang penduduk Mekkah. Dengan tergopoh-gopoh, Abu Darda
mendatangi Fathimah untuk berbelasungkawa, karena ia mengira Ali telah
meninggal dunia. Fathimah hanya berkata, "Sepupuku, Ali, tidak mati
melainkan ia pingsan karena fana dalam ketakutannya kepada Allah. Ketahuilah,
kejadian itu sering menimpanya."
Bagi Imam Ali, salat juga tidak merupakan peristiwa biasa. Baginya, salat
adalah pertemuan agung dengan Allah swt. Imam Al-Ghazali mengisahkan hal ini
dalam kitab Ihya Ulumuddin: Suatu hari, menjelang waktu salat, seorang sahabat
menemukan Imam Ali dalam keadaan tubuh yang berguncang dan wajah yang pucat
pasi. Ia bertanya, "Apa yang telah terjadi, wahai Amirul Mukminin?"
Imam Ali menjawab, "Telah datang waktu salat. Inilah amanat yang pernah
diberikan Allah kepada langit, bumi, dan gunung tetapi mereka menolak untuk
memikulnya dan berguncang dahsyat karenanya. Sekarang, aku harus
memikulnya." Dengan sikapnya itu, Imam Ali ingin mengajarkan sahabatnya
bahwa salat bukanlah kejadian biasa. Salat adalah amanat yang di dalamnya
mengandung perjanjian mulia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Alangkah
anehnya bila kita masih belum merasakan kekhusukan itu di dalam salat kita.
Tuhan berfirman, "Sungguh beruntung orang-orang mukmin itu; yaitu
mereka yang khusyuk di dalam salatnya. (QS. Al-Mukminun; 1)
Imam Ali juga dikenal karena salatnya yang khusyuk. Banyak sahabat yang memuji
salat Ali sebagai salat yang mirip dengan salat Rasulullah saw. Puluhan tahun
sejak kematian Rasulullah, seorang sahabat bernama 'Umran bin Husain, salat di
belakang Imam Ali di Basrah. 'Umran berkata, "Lelaki itu mengingatkan
aku pada salat yang dilakukan Rasulullah saw." 'Umran terkesan akan
salat Ali bukan karena gerakan-gerakan lahiriahnya melainkan karena kekhusyukannya.
Ibn Abi Al-Hadid, bercerita tentang ibadah Imam Ali. Ia menyebutkan Ali sebagai
orang yang paling taat beribadah dan yang paling banyak salat dan puasanya
sehingga dari Ali-lah orang banyak belajar tentang salat malam. Selain itu, Ali
senantiasa melazimkan wirid dan menunaikan ibadah-ibadah nafilah. Dalam Perang
Shiffin, Al-Hadid bercerita, "Di tengah-tengah perang yang berkecamuk,
Ali masih mendirikan salat. Sesudah salat, ia membaca wirid. Dalam kesibukan
perangnya, ia tak meninggalkan wiridnya padahal anak panah melintas di antara
kedua belah tangan dan di antara kedua daun telinganya."
Banyak hadis meriwayatkan kehidupan Imam Ali yang teramat sederhana. Ali
bekerja keras membanting tulang untuk nafkah keluarganya. Istrinya, Fathimah,
setiap hari menggiling gandum sampai melepuh tangannya. Suatu saat, setelah
memenangkan sebuah peperangan, kaum muslimin memiliki banyak tawanan perang.
Fathimah berkata pada Ali,"Bagaimana jika kita meminta salah seorang
tawanan kepada Rasulullah untuk menjadi pembantu kita?" Imam Ali
enggan menyampaikan permohonan ini pada Rasulullah karena merasa sangat malu.
Ia meminta Fathimahlah yang memintakan hal itu.
Pergilah Fathimah menemui Rasulullah saw. Begitu ia berada di hadapan Nabi yang
mulia, Fathimah tak kuasa menyampaikan maksudnya. Ia pulang lagi ke rumahnya.
Imam Ali lalu pergi untuk menyampaikan hal itu dan ia pun tak kuasa
mengutarakan keinginan itu dan kembali lagi. Akhirnya keduanya memutuskan untuk
pergi bersama-sama ke tempat Rasulullah. Disampaikanlah hajat itu tapi
Rasulullah tak menjawab permintaan mereka. Keduanya pulang dengan perasaan malu
dan takut akan kemurkaan Rasulullah.
Malam harinya Nabi datang ke rumah Ali. Nabi menyaksikan Ali hanya
berselimutkan sarung yang amat pendek padahal malam teramat dingin. Jika
selimut itu ditarik ke atas, terbukalah bagian bawah dan jika selimut itu
ditarik ke bawah, terbukalah bagian atas. Rasulullah terharu melihat
kesederhanaan Ali. Ia berkata kepada keluarga mulia itu, "Maukah kalian
aku berikan pembantu yang lebih baik dari seluruh isi langit dan bumi?"
Rasulullah saw kemudian memberikan wirid untuk dibacakan oleh keluarganya itu
seusai salat. Wirid itu berisi 33 kali tasbih, tahmid, dan takbir.Begitu
setianya Imam Ali dengan wiridnya itu, ia tak pernah meninggalkannya bahkan
saat perang sekali pun. Ia melazimkannya dalam setiap keadaan. Di masa
kekuasaan Muawiyah, karena kebencian Muawiyah pada Imam Ali, para khatib Jumat
diperintahkan untuk mengakhiri setiap khutbahnya dengan kecaman kepada Ali. Cacian
dan makian ini berlangsung selama hampir puluhan tahun. Ketika Umar bin Abdul
Aziz berkuasa, perintah ini dihapuskan. Namun meskipun Muawiyah begitu membenci
Ali, ia harus mengakui keutamaan sifat-sifat Ali.
Suatu saat, Darar bin Dhamrah Al-Khazani diminta Muawiyah untuk bercerita
tentang Imam Ali kw. Ia tak mau memenuhi permintaan itu. Ia takut, bila ia
menceritakan keadaan Ali apa adanya, ia akan dianggap sebagai orang yang
mengutamakan Ali, dan ia akan dihukum. Oleh sebab itu Darar hanya berkata, "Ampunilah
aku, wahai Amirul Mukminin! Jangan perintahkan aku untuk mengungkapkan hal itu.
Perintahkan aku untuk melakukan hal lain saja." "Tidak," ujar
Muawiyah, "aku takkan mengampunimu." Akhirnya Darar bercerita
tentang Ali dalam bahasa Arab yang teramat indah. Terjemahannya sebagai
berikut:
"Ali adalah seorang yang cerdik cendekia dan gagah perkasa. Ia
berbicara dengan jernih dan menghukum dengan adil. Ilmu memancar dari kedalaman
dirinya dan hikmah keluar dari sela-sela ucapannya. Ia mengasingkan diri dari
dunia dengan segala keindahannya untuk kemudian bertemankan malam dengan
seluruh kegelapannya, di sisi Allah. Air matanya senantiasa mengalir dan
hatinya selalu tenggelam dalam pikiran. Ia sering membolak-balikkan tangannya
dan berdialog dengan dirinya. Ia senang dengan pakaian yang sederhana dan
makanan yang keras."
"Demi
Allah, ia dekat kepada kami dan kami senang berdekatan dengannya. Ia menjawab
bila kami bertanya. Namun betapa pun ia dekat dengan kami, kami tak sanggup
menegurnya karena kewibawaannya. Jika tersenyum, giginya tampak bagai untaian
mutiara. Ia memuliakan para ahli agama dan mencintai orang miskin. Orang kuat
tak berdaya di hadapannya karena keadilannya sementara orang yang lemah tak
putus asa di sisinya."
"Aku bersaksi demi Allah, aku sering melihatnya berada di mihrab pada
sebagian tempat ibadatnya. Malam telah menurunkan tirainya dan gemintang tak
tenggelam, saat itu ia memegang janggutnya dan merintih dengan rintihan orang
yang sakit. Ia menangis dengan tangisan orang yang menderita. Seakan-akan
kudengar jeritannya Ya Rabbana, ya Rabbana....."
"Ia menggigil di hadapan kekasihnya lalu berkata pada dunia: Kepadaku
kau datang mencumbu. Kepadaku kau merayu. Enyahlah dan pergi! Tipulah orang
selain aku. Aku telah menjatuhkan talak tiga kepadamu. Usiamu pendek, posisimu
rendah. Betapa sedikitnya bekal dan betapa jauhnya perjalanan, dan betapa
sepinya perantauan."
Muawiyah mendengar Darar yang bercerita dengan penuh perasaan. Meskipun ia amat
membenci Ali, tapi ia tak kuasa menahan tangisan begitu mendengar penuturan
Darar. Pada kesempatan lain, Darar pernah ditanya,"Bagaimana
kerinduanmu kepada Ali?"Darar menjawab,"Aku rindu kepadanya
seperti kerinduan seorang perempuan yang kekasihnya disembelih di pangkuannya.
Air matanya takkan pernah kering, dukanya panjang dan takkan pernah usai."
Imam Ali selalu mengisi malamnya dengan tangisan dan orang-orang yang
mengenalnya akan mengisi kisah Ali dengan tangisan pula. Dalam tasawuf,
menangis termasuk salah satu hal yang harus dilatih. Imam Ali berkata,"Salah
satu ciri orang yang celaka adalah ia yang memiliki hati yang keras. Dan ciri
hati yang keras adalah hati yang sukar menangis." Nabi saw bersabda,"Jika
engkau membaca Al-Quran, menangislah. Jika tidak bisa, berusahalah agar engkau
menangis."
Pada salah satu doanya yang teramat indah, Imam Ali memohon :
"Tuhanku, berilah daku kesempurnaan ikatan kepada-Mu. Sinarilah
bashirah ; hati kami dengan cahaya karena melihat-Mu sehingga kalbu kami
menorehkan tirai cahaya dan sampailah ia pada sumber kebesaran; arwah kami
terikat pada keagungan kesucian-Mu. Air mata tidak mengering kecuali karena
hati yang keras dan hati takkan keras kecuali karena banyaknya dosa."
Belia Kufah
Pembawa Pesan Ukhuwah
Lebih dari seribu tahun yang lalu di perbatasan Basrah berhenti sebuah kafilah
pasukan para sahabat Nabi yang mulia, Kuda-kuda ditambatkan. pejalan-pejalan
kaki diistirahatkan. tapi, lihat apa yang dilakukan sang Komandan, ia turun
dari kudanya berdiri menghadap Ka'bah yang berada di seberang sahara. Ia mengangkat
tangannya berkali-kali ..Allahu Akbar Allahu Akbar.. duduk dan berdiri, rukuk
dan sujud.
Ia rebahkan pipinya air mata mengalir membasahi pasir yang kering dalam desah
nafas dan isakan kepedihan
"Ya Allah Pemelihara langit dan yang dinaunginya pemelihara bumi dan
yang ditumbuhkannya Pemilik Arasy yang Agung. Inilah Basrah, kumohon kebaikan
kota ini, lindungi aku dari kejelekannya, masukkan aku ke tempat yang baik.
Bukankah Engkau sebaik-baiknya yang menempatkan orang. Ya Allah Mereka berontak
kepadaku, mereka tentang aku Mereka putuskan bai'at kepadaku. Ya Allah
Peliharalah darah kaum Muslimin."
Ali bin Abi Thalib bukan komandan baru pasukan mukminin. Di Badar, Uhud,
Khaibar dan lain-lain ia tak pernah ragu dalam menyerbu ia tak pernah mundur,
karrar ghair farrar.
Di setiap pertempuran tubuhnya penuh luka sayatan pedang, ia tidak pernah
menangis, ia tegar kekar sebagai Haidar Sang Singa.
Tapi kini ia menangis ia pandangi Basrah seakan melihat Kota Musibah, ia
gumamkan kata-kata duka "Tuhan, peliharalah darah kaum muslimin."
Pasukan pembangkang datang dengan gemerincing tombak dan pedang. Ali berdiri
mematung pedangnya bergantung, ia tidak segera menyambut musuh, Ali yang tegar
kini ragu dan lesu "Temui mereka ajak bersatu kembali hindari
pertumpahan darah," katanya kepada Abdullah bin Abbas.
Ke tengah-tengah musuh yang meradang Ali meneriakkan pesan perdamaian Ia
mengangkat Al-Qur'an memandangi pengikutnya, dan air mata itu masih menggelegak
di pelupuk matanya,
"Adakah di antara kalian yang mau membawa mushaf ini ke tengah-tengah
mereka Sampaikan pesan perdamaian atas nama Al-Qur'an. Jika pedang memotong
tangannya yang satu peganglah Al-Qur'an dengan tangan yang lain, jika tangan
itupun terpotong gigit Al-Qur'an dengan gigi-giginya sampai ia terbunuh
Sampaikan pesan perdamaian atas nama Al-Qur'an"
Seorang pemuda Kufah bangkit menawarkan dirinya dengan kepolosan remaja belia.
Ali yang tegar kini ragu dan lesu, ia mencari yang lebih tua tetapi tidak ada.
Ia serahkan Al-Qur'an ke tangan yang lembut dan indah"Bawalah
Al-Qur'an ini ke tengah-tengah mereka Sampaikan pesan perdamaian atas nama
Al-Qur'an, katakan jangan tumpahkan darah kami dan darah kalian."
Ia melejit ke depan musuh mengangkat Al-Qur'an dengan kedua tangannya "Atas
nama Al-Qur'an pelihara darah kami dan darah kalian."Di depan pasukan
demi pasukan ia mengangkat Al-Qur'an"Atas nama Al-Qur'an pelihara
darah kami dan darah kalian."
Pedang menebas tangan kanannya ia angkat Al-Qur'an dengan tangan kirinya "Atas
nama Al-Qur'an pelihara darah kami dan darah kalian." Pedang menebas
tangan kirinya ia ambil Al-Qur'an dengan gigi-giginya Matanya yang jernih masih
menyorotkan pesan perdamaian atas nama Al-Qur'an Dagunya diangkat ke atas dan
darah menyiram seluruh tubuhnya, pedang menebas lehernya, darah membasahi
tubuhnya, Al-Qur'an dan tanah di bawahnya. Pejuang perdamaian dan ukhuwah
terbujur bersimbah darah Ali menggumamkan doa pilu di sampingnya "Ah,
sampai juga saatnya kita harus berperang."
Sejak itu, abad demi abad kaum muslimin dicabik-cabik perpecahan, bahkan tak
jarang darah dengan sia-sia ditumpahkan..
Kisah Imam Ali & Sayyidina Umar
Pada
masa pemerintahan Umar bin Khathab,. terjadilah suatu peristiwa yang menyangkut
diri seorang wanita. Wanita itu didapati melahirkan anak, padahal, menurut
pengakuannya, ia baru hamil 6 bulan.
Mendengar, penutuan itu, Umar tidak percaya begitusaja. Umar berpendapat bahwa
wanita tersebut pasti telah berbohong.
“Mana mungkin orang yang baru menikah melahirkan anak dari kandungan yang
berumur 6 bulan?” begitu ia berfikir, barangkali Karenanya, Umar berpendapat
bahwa wanita tersebut pastilah telah hamil terlebih dahulu sebelum menikah,
alias telah berzinah. Atas dasar pertimbangan itu, Khalifah memutuskan untuk
menghukum rajam wanita tersebut.
Sebelum hukuman dilaksanakan, Imam Ali yang secara kebetulan sedang lewat,
menghentikan langkahnya karena melihat orang-orang sedang berkerumun, termasuk
didalamnya adalah Umar. Kepada Imam Ali diceritakanlah kasus yang terjadi.
Mendengar penuturan Umar, Imam Ali kemudian berkata: “Astaga…apakah engkau akan
menentang firman Allah yang berkata:”Ibunya mengandung dan menyusui selama tiga
puluh bulan.’ Pada ayat lain Allah berfirman: ‘Dan hendaklah para ibu itu
menyusui anaknya dua tahun lamanya, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusunan.”
Kalau mengandung dan menyusui adalah tiga puluh bulan, sedang menyusui saja
adalah dua tahun, alias dua puluh empat bulan, maka orang yang melahirkan anak
dengan usia kandungan enam bulan adalah mungkin terjadi berdasarkan firman
Allah tersebut, yakni tiga puluh dikurangi dua puluh empat bulan. Sungguh tepat
sekali usia kandungan wanita itu!”
Semua yang hadir tertegun mendengar penuturan Imam Ali tersebut. Mereka merasa
lega karena belum sampai menjatuhkan hukuman secara salah. Umar sendiri menjadi
orang yang paling lega karena terhindar dari kesalahan yang besar. Dan wanita
itu pun dibebaskan.
Kisah Imam Ali - Sang Ahli Matematika
Dua
orang sehabat melakukan perjalanan bersama. Disuatu tempat, mereka berhenti
untuk makan siang. Sambil duduk, mulailah masing-masing membuka bekalnya. Orang
yang pertama membawa tiga potong roti, sedang orang yang kedua membawa lima
potong roti.
Ketika keduanya telah siap untuk makan, tiba-tiba datang seorang musafir yang
baru datang ini pun duduk bersama mereka.
“Mari, silakan, kita sedang bersiap-siap untuk makan siang,”kita salah seorang
dari dua orang tadi.
“Aduh…saya tidak membawa bekal,” jawab musafir itu.
Maka mulailah mereka bertiga menyantap roti bersama-sama. Selesai makan,
musafir tadi meletakkan uang delapan dirham di hadapan dua orang tersebut
seraya berkata: “Biarkan uang ini sebagai pengganti roti yang aku makan tadi.”
Belum lagi mendapat jawaban dari pemilik roti itu, si musafir telah minta diri
untuk melanjutkan perjalanannya lebih dahulu.
Sepeninggal si musafir, dua orang sahabat itu pun mulai akan membagi uang yang
diberikan.
“Baiklah, uang ini kita bagi saja,” kata si empunya lima roti.
“Aku setuju,”jawab sahabatnya.
“Karena aku membawa lima roti, maka aku mendapat lima dirham, sedang bagianmu
adalah tiga dirham.
“Ah, mana bisa begitu. Karena dia tidak meninggalkan pesan apa-apa, maka kita
bagi sama, masing-masing empat dirham.”
“Itu tidak adil. Aku membawa roti lebih banyak, maka aku mendapat bagian lebih
banyak”
“Jangan begitu dong…”
Alhasil, kedua orang itu saling berbantah. Mereka tidak berhasil mencapai
kesepakatan tentang pembagian tersebut. Maka, mereka bermaksud menghadap Imam
Ali bin Abi Thalib r.a. untuk meminta pendapat.
Di hadapan Imam Ali, keduanya bercerita tentang masalah yang mereka hadapi.
Imam Ali mendengarkannya dengan seksama. Setelah orang itu selesai berbicara,
Imam Ali kemudian berkata kepada orang yang mempunyai tiga roti: “Terima
sajalah pemberian sahabatmu yang tiga dirham itu!”
“Tidak! Aku tak mau menerimanya. Aku ingin mendapat penyelesaian yang
seadil-adilnya, “Jawab orang itu.
“Kalau engkau bermaksud membaginya secara benar, maka bagianmu hanya satu
dirham!” kata Imam Ali lagi.
“Hah…? Bagaimana engkau ini, kiranya.
Sahabatku ini akan memberikan tiga dirham dan aku menolaknya. Tetapi kini
engkau berkata bahwa hak-ku hanya satu dirham?”
“Bukankah engkau menginginkan penyelesaian yang adil dan benar?”
“Ya”
“Kalau begitu, bagianmu adalah satu dirham!”
“Bagaimana bisa begitu?” Orang itu bertanya.
Imam Ali menggeser duduknya. Sejenak kemudian ia berkata:”Mari kita lihat.
Engkau membawa tiga potong roti dan sahabatmu ini membawa lima potong roti.”
“Benar.”jawab keduanya.
“Kalian makan roti bertiga, dengan si musafir.”
‘Benar”
“Adakah kalian tahu, siapa yang makan lebih banyak?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, kita anggap bahwa setiap orang makan dalam jumlah yang sama
banyak.”
“Setuju, “jawab keduanya serempak.
“Roti kalian yang delapan potong itu, masing-masingnya kita bagi menjadi tiga
bagian. Dengan demikian, kita mempunyai dua puluh empat potong roti, bukan?”
tanya Imam Ali.
“Benar,”jawab keduanya.
“Masing-masing dari kalian makan sama banyak, sehingga setiap orang berarti
telah makan sebanyak delapan potong, karena kalian bertiga.”
“Benar.”
“Nah…orang yang membawa lima roti, telah dipotong menjadi tiga bagian mempunyai
lima belas potong roti, sedang yang membawa tiga roti berarti mempunyai
sembilan potong setelah dibagi menjadi tiga bagian, bukankah begitu?”
“Benar, jawab keduanya, lagi-lagi dengan serempak.
“si empunya lima belas potong roti makan untuk dirinya delapan roti, sehingga
ia mempunyai sisa tujuh potong lagi dan itu dimakan oleh musafir yang
belakangan. Sedang si empunya sembilan potong roti, maka delapan potong untuk
dirinya, sedang yang satu potong di makan oleh musafir tersebut. Dengan begitu,
si musafir pun tepat makan delapan potong roti sebagaimana kalian berdua,
bukan?”
Kedua orang yang dari tadi menyimak keterangan Imam Ali, tampak sedang mencerna
ucapan Imam Ali tersebut. Sejenak kemudian mereka berkata:”Benar, kami
mengerti.”
“Nah, uang yang diberikan oleh di musafir adalah delapan dirham, berarti tujuh
dirham untuk si empunya lima roti sebab si musafir makan tujuh potong roti
miliknya, dan satu dirham untuk si empunya tiga roti, sebab si musafir hanya
makan satu potong roti dari milik orang itu”
“Alhamdulillah…Allahu Akbar,” kedua orang itu berucap hampir bersamaan. Mereka
sangat mengagumi cara Imam Ali menyelesaikan masalah tersebut, sekaligus
mengagumi dan mengakui keluasan ilmunya.
“Demi Allah, kini aku puas dan rela. Aku tidak akan mengambil lebih dari
hak-ku, yakni satu dirham,” kata orang yang mengadukan hal tersebut, yakni si
empunya tiga roti.
Kedua orang yang mengadu itu pun sama-sama merasa puas. Mereka berbahagia,
karena mereka berhasil mendapatkan pemecahan secara benar, dan mendapat
tambahan ilmu yang sangat berharga dari Imam Ali bin Abi Thalib as.
Imam Ali Pemimpin Para Shiddiqin