Sabtu, 17 November 2012

Memahami Pengertian Ibadah



Memahami tauhid tanpa memahami konsep ibadah adalah mustahil. Oleh karena itu mengetahuinya adalah sebuah keniscayaan. Penulis syarah Al-Wajibat menjelaskan, “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).

Adapun secara istilah syari’at, para ulama memberikan beberapa definisi yang beraneka ragam. Di antara definisi terbaik dan terlengkap adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah.
Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah.” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).

Dari keterangan di atas kita bisa membagi ibadah menjadi tiga; ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan. Dalam ibadah hati ada perkara-perkara yang hukumnya wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah dan adapula yang makruh atau haram.
Dalam ibadah lisan juga demikian, ada yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Begitu pula dalam ibadah anggota badan. Ada yang yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Sehingga apabila dijumlah ada 15 bagian.
Demikian kurang lebih kandungan keterangan Ibnul Qayyim yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majid.

Ta’abbud dan Muta’abbad bih
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya yang sangat bagus berjudul Al Qaul Al Mufid menjelaskan bahwa istilah ibadah bisa dimaksudkan untuk menamai salah satu diantara dua perkara berikut:

1.Ta’abbud
. Penghinaan diri dan ketundukan kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Dzat yang memerintah dan melarang (Allah ta’ala).

2. Muta’abbad bihi. Yaitu sarana yang digunakan dalam menyembah Allah. Inilah pengertian ibadah yang dimaksud dalam definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir)”.

Seperti contohnya sholat. Melaksanakan sholat disebut ibadah karena ia termasuk bentuk ta’abbud (menghinakan diri kepada Allah). Adapun segala gerakan dan bacaan yang terdapat di dalam rangkaian sholat itulah yang disebut muta’abbad bihi. Maka apabila disebutkan kita harus mengesakan Allah dalam beribadah itu artinya kita harus benar-benar menghamba kepada Allah saja dengan penuh perendahan diri yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Allah dengan melakukan tata cara ibadah yang disyari’atkan (Al-Qaul Al- Mufid, I/7).

Pengertian ibadah secara lengkap
Dengan penjelasan di atas maka ibadah bisa didefinisikan secara lengkap sebagai: ‘Perendahan diri kepada Allah karena faktor kecintaan dan pengagungan yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan oleh syari’at-Nya.’ (Syarh Tsalatsati Ushul, hal. 37).

Oleh sebab itu orang yang merendahkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan keislaman secara fisik namun tidak disertai dengan unsur ruhani berupa rasa cinta kepada Allah dan pengagungan kepada-Nya tidak disebut sebagai hamba yang benar-benar beribadah kepada-Nya. Hal itu seperti halnya perilaku orang-orang munafiq yang secara lahir bersama umat Islam, mengucapkan syahadat dan melakukan rukun Islam yang lainnya akan tetapi hati mereka menyimpan kedengkian dan permusuhan terhadap ajaran Islam.

Macam-macam penghambaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa penghambaan ada tiga macam:

Penghambaan umum.
Penghambaan khusus.
Penghambaan sangat khusus.

Penghambaan umum adalah penghambaan terhadap sifat rububiyah Allah (berkuasa, mencipta, mengatur, dsb). Penghambaan ini meliputi semua makhluk. Penghambaan ini disebut juga ‘ubudiyah kauniyah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi melainkan pasti akan datang menemui Ar Rahman sebagai hamba.” (QS. Maryam [19] : 93).

Sehingga orang-orang kafir pun termasuk hamba dalam kategori ini.
Sedangkan penghambaan khusus ialah penghambaan berupa ketaatan secara umum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al Furqan [25] : 63).  
Penghambaan ini meliputi semua orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya.
Adapun penghambaan sangat khusus
ialah penghambaan para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Hal itu sebagaimana yang Allah firmankan tentang Nuh ‘alaihissalam (yang artinya), “Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang pandai bersyukur.” (QS. Al Israa’ [17]: 3).
Allah juga berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan apabila kalian merasa ragu terhadap wahyu yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)…” (QS. Al Baqarah [2] : 23).
Begitu pula pujian Allah kepada para Rasul yang lain di dalam ayat-ayat yang lain. penghambaan jenis kedua dan ketiga ini bisa juga disebut ‘ubudiyah syar’iyah (Al-Qaul Al-Mufid I/16, Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 38-39).

Di antara ketiga macam penghambaan ini, maka yang terpuji hanyalah yang kedua dan ketiga. Karena pada penghambaan yang pertama manusia tidak melakukannya dengan sebab perbuatannya. Walaupun peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini (nikmat, musibah, dsb) yang menimpanya bisa juga menyebabkan pujian dari Allah kepadanya. Misalnya saja ketika seseorang memperoleh kelapangan maka dia pun bersyukur. Atau apabila dia tertimpa musibah maka dia bersabar. Adapun penghambaan yang kedua dan ketiga jelas terpuji karena ia terjadi berdasarkan hasil pilihan hamba dan perbuatannya, bukan karena suatu sebab yang berada di luar kekuasaannya semacam datangnya musibah dan lain sebagainya (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 38-39).

Sumber: www.muslim.or.id

THOHAROH



A. Definisi Thoharoh secara morfologi (bahasa): Thoharoh berarti An-Nazhofah (pembersihan) atau An-Nazahah (pensucian). Secara Etimologi (istilah): membersihkan diri dari najis (kotoran) dan hadats. Atau mensucikan diri dari segala macam sifat/ perangai/ akhlak/ perilaku yang kotor/ tidak terpuji.
B. Macam-Macam Thoharoh Thoharoh ada dua macam, yaitu:
1. Thoharoh Bathiniyah Ma’nawiyah (pensucian jiwa). Yaitu mensucikan diri, hati dan jiwa dari noda syirik, syak (keraguan), subhat (racun kebohongan) dan bentuk-bentuk perbuatan maksiat lainnya. Cara-caranya dengan: · Mengikhlaskan ibadah hanya kepada Alloh semata, dengan memfokuskan tujuan dan sasaran ibadah hanya kepada-Nya saja. · Mutaba’ah (mengikuti) Rosululloh saw dalam beramal, berperilaku, bermuamalah dan berakhlak, bahkan dalam segala hal yang kita anggap remeh sekalipun. · Membersihkan diri dari pengaruh dan noda hitam perbuatan maksiat, dosa-dosa dan segala bentuk penyimpangan dalam syari’at, dengan taubat nashuhah (sungguh-sungguh)
2. Thoharoh Dzohiroh Hissiyah Yaitu membersihkan diri dari khobats (kotoran luar) dan hadats (dari dalam). Khobats adalah najis (kotoran) yang dapat dihilangkan dengan air seperti kotoran yang melekat dibaju orang sholat, dibadan dan ditempat sholatnya. Sedangkan hadats adalah thoharoh dari kotoran yang khusus dan tertentu cara menghilangkannya yaitu dengan wudhu, mandi atau tayamum. (inilah yang menjadi bahasan dalam bab ini).
C. Jenis-Jenis Air Ada empat (4) jenis air yaitu:
1) Air Mutlaq. Yaitu air yang secara dzat / dzohirnya suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci (suci mensucikan). Diantaranya adalah:
a) Air hujan, salju atau es (hujan es), embun, mata air dan air sungai. Alloh swt berfirman: Artinya:"Dan Alloh menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengan hujan itu". (QS. Al Anfaal:11) Dari itu Alloh menurunkan air hujan dari langit kepada kalian agar dia sucikan kalian dengan air hujan itu dari hadats dan khobats. (lihat Taisir Al-Aziz Ar-Rohman: 278). Abu Huroiroh ra berkata tentang doa iftitah Rosululloh saw: ”اللَّهُمَّ باعِدْ بَيني وَبَيْنَ خَطايايَ كَما باعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّني مِنْ خَطايايَ كَما يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللّهُـمَّ اغْسِلْني مِنْ خَطايايَ، بِالثَّلْجِ وَالمـاءِ وَالْبَرَدِ“. "Ya Alloh jauhkanlah antara aku dengan kesalahan-kesalahan sebagaimana engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Alloh sucikanlah aku dari segala kesalahan sebagaimana disucikannya baju putih dari kotoran. Ya Alloh cucilah kesalahanku dengan air, air salju dan air embun". (HR. Bukhori: 1/181 dan Muslim: 1/419)
b) Air Laut Abu Huroiroh ra berkata: "seorang laki-laki bertanya kepada Rosululloh saw seraya berkata: ya Rosululloh, saya sedang brlayar dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu memakai air minum itu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Rosululloh saw bersabda: laut itu suci airnya dan halal bangkainya". (HR. At-Tirmidzi: 63, ia berkata ini hadits hasan shohih)
c) Air zamzam. أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ دَعَا بِسَجْلٍ مِنْ مَاءِ زَمْزَمٍ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأَ Ali ra berkata:" sesungguhnya Rosululloh saw minta satu ketel air zamzam, lalu beliau meminumnya dan berwudhu dengannya". (lihat Irwaul Gholil: 13, shohih)
d) Air yang tercampur, karena telah lama tergenang pada suatu tempat atau karena bercampur dengan benda yang dapat merubah dzat air tersebut seperti air yang dipeuhi oleh lumut atau ganggang atau bercampur dengan daun-daun (yang membusuk).
2) Air Must’mal. Yaitu air sisa wudhu atau mandi. Air jenis ini hukumnya sama dengan hukum air mutlak yaitu suci mensucikan. اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ فِيْ جَفْنَةٍ فَأَرَادَ رَسُوْلَ اللهِ أَنْ يَتَوَضَّأَ مِنْهُ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّيْ كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ: "إِنَّ المَاءَ لَا يَجْنِبُ". ”sebagian isteri-isteri Nabi saw mandi disatu bak. Kemudian Nabi Muhammad saw hendak berwudhu dari air tersebut. Maka isterinya berkata:"Ya Rosulalloh saya tadi junub. Beliau menjawab: sesungguhnya air tidak menjadi junub". (HR. At-Tirmidzi: 65, ia berkata: ini hadits hasan shohih) Hadits ini dijadikan dalil atas sucinya air musta’mal. Dan air tidak menjadi junub dengan mandinya orang junub dari air dikolam tersebut.
3) Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci Seperti bercampur dengan sabun, minyak zaitun, za’faron, tepung dan sesuatu lainnya yang dapat merubah dzat air. Hukum air ini adalah suci selama masih dianggap sebagai air murni. Dan apabila secara adat sudah tidak dapat dikatakan sebagai air maka ia pun tetap suci, namun tidak dapat digunakan untuk bersuci. Ummu Athiyah berkata: دَخَلَ عَلَيْنَا النَّبِيِّ وَ نَحْنُ نَغْسِلُ ابْنَتَهُ فَقَالَ: اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ مِنْ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ "Nabi saw memasuki kami saat kami memandikan anak putrinya. Beliau bersabda: mandikanlah tiga kali, lima kali atau lebih jika dipandang perlu dengan campuran air dan daun bidara….". (HR. Bukhori : 1253 dan Muslim: 939)
4) Air yang bercampur dengan sesuatu yang najis. Hal ini masih mempunyai dua kemungkinan, yaitu: a. Jika najis tersebut merubah dzat (rasa, warna dan bau) air, maka airnya tidak dapat digunaka untuk thoharoh. b. Jika najis tersebut tidak merubah salah satu dari dzat air, sehingga secara adat pun air tersebut masih dianggap sebagai air, maka hukumnya suci mensucikan.
D. Hukum-Hukum Bejana Diantara hukum-hukum yang berkaitan dengan bejana (mangkok, cangkir, piring dan lainya) yang patut diketahui adalah:
1) Hukum bejana yang terbuat dari emas dan perak. Diharamkan mengunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak untuk tempat makan dan minum, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Rosululloh saw bersabda: "وَلَا تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوْا فِيْ صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِيْ الدُّنْيَا وَلَنَا فِيْ الآخِرَةِ". ".... dan janganlah kalian minum pada bejana emas dan perak dan jangan pula makan pada piring yang terbuat dari keduanya. Kedua bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) didunia dan akan menjadi milik kita diakherat kelak". (HR. Bukhori:5426 dan Muslim:5/2067) Hadits diatas menjadi dalil bagi pengharaman bejana serta piring yang terbuat dari emas dan perak sebagai tempat makan dan minum. Baik dari emas murni maupun emas yang dicampur dengan perak. Diharamakannya makan dan minum dalam bejana dan piring emas dan perak, baik laki-laki maupun perempuan adalah karena keduanya digunakan untuk orang-orang kafir didunia.
2) Bejana dari kulit bangkai Sama dengan hukum bejana yang terbuat dari emas dan perak yaitu haram menggunakannya, karena kulit bangkai adalah najis. Adapun jika kulit bangkai tersebut sudah didibagh atau disamak (dikeringkan setelah dicuci bersih),maka telah suci dan boleh digunakan sebagai bejana untuk mekan dan minum. Rosululloh saw bersabda: "إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ". "Apabila kulit bangkai telah didibagh, maka ia telah suci". (HR.Bukhori dan Muslim)
E. Benda-Benda Najis Benda-benda yang tergolong najis diantaranya:
1)Ssesuatu yang keluar dari salah satu dari dua jalan yaitu dari qubul dan dubur, seperti: · Tinja (kotoran/ tahi) Abdulloh bin Mas’ud berkata tentang cara istinja’ Rosululloh saw: وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ: "إِنَّهَا رِجْسٌ". "beliau saw membuang tinja (kering) dan beliau bersabda: sesungguhnya itu adalah najis". (HR. Muslim: 156) ·
Air kencing Anas bin Malik ra berkata: جَاءَ أعْرَابيّ فَبَاَلَ في طَائِفَةِ المَسْجدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَضَى بَولَهُ، أمَرَ النبي صلى الله عليه وسلم بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فأهْرِيقَ عَلَيْهِ. "Seorang Arab badui berdiri dan buang air kecil didalas masjid. Maka orang-orang mencelanya, lalu Nabi saw melarang mereka, ketika selesai kencinya, Nabi saw menyuruh dengan satu ember air untuk menyiram air kecil tersebut…". (HR. Bukhori:220 dan Muslim: 283) ·
Madzi (cairan encer akibat rangsangan sahwat yang keluar dengan tidak sengaja) · Wadi (cairan putih encer setelah selesai buang air kecil atau saat mengalami kecapaian) Ali bin Abi Tholib ra berkata: فَأمَرْتُ المِقْدادَ بْنِ الأسْوَد إِلَى النَّبِيِّ فَسَأَلَهُ عَنِ المَذِيِّ يَخْرُجُ مِنَ الإِنْسَانِ كَيْفَ يَفْعَلُ بِهِ؟، فَقَاَل : "تَوَضأ وَاْنضَحْ فَرْجَكَ" . "Kami mengutus miqdad bin Aswad kepada Rosululloh saw untuk menanyakan tentang madzi yang keluar dari manusia, apa yang harus diperbuat? Beliau menjawab: Wudhulah dan bersihkan kemaluannya". (HR. Muslim:303,19) ·
Darah Haid dan Nifas Asma’ binti Abu Bakar ra berkata: "Seorang wanita bertanya kepada Rosululloh saw: Ya Rosulalloh, apa pendapatmu apabila salah seorang kami darah haidnya mengenai baju, apa yang harus dilakukan? Rosululloh saw menjawab: apabila darah haid mengenai baju, maka keriklah kemudian bersihkanlah dengan air kemudian baru gunakan untuk sholat". (HR. Bukhori: 307 dan Muslim: 29)

2) Kulit bangkai (akan tetapi boleh memanfaatkannya apabila sudah disamak/ dikeringkan) Abdulloh bin Abbas ra berkata: aku mendengar Rosulalloh saw bersabda: "إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ". "Apabila kulit bangkai telah didibagh, maka ia telah suci". (HR.Bukhori dan Muslim)

Pentingnya Berbakti Terhadap Kedua Orang Tua




Ada setumpuk bukti, bahwa berbakti kepada kedua orang tua –dalam wacana Islam- adalah persoalan utama, dalm jejeran hukum-hukum yang terkait dengan berbuat baik terhadap sesama manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala sudah cukup menegaskan wacana ‘berbakti’ itu, dalam banyak firman-Nya, demikian juga RasulullahSallallahu ’Alaihi Wa Sallam dalam banyak sabdanya, dengan memberikan ‘bingkai-bingkai’ khusus, agar dapat diperhatikan secara lebih saksama. Di antara tumpukan bukti tersebut adalah sebagai berikut: Allah Subhanahu Wata’alamenggandengkan’ antara perintah untuk beribadah kepada-Nya, dengan perintah berbuat baik kepada orang tua:
“Allah Subhanahu Wata’ala telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23) Allah Subhanahu Wata’alamemerintahkan setiap muslim untuk berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun mereka kafir
“Kalau mereka berupaya mengajakmu berbuat kemusyrikan yang jelas-jelas tidak ada pengetahuanmu tentang hal itu, jangan turuti; namun perlakukanlah keduanya secara baik di dunia ini.” (Luqmaan : 15) Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Ayat di atas menunjukkan diharuskannya memelihara hubungan baik dengan orang tua, meskipun dia kafir. Yakni dengan memberikan apa yang mereka butuhkan. Bila mereka tidak membutuhkan harta, bisa dengan cara mengajak mereka masuk Islam..” Berbakti kepada kedua orang tua adalah jihad.
Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam, Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim) Taat kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Surga.
Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallambersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah menua, namun tidak bisa membuatnya masuk Surga.” (Riwayat Muslim) Beliau juga pernah bersabda: “Orang tua adalah ‘pintu pertengahan’ menuju Surga. Bila engkau mau, silakan engkau pelihara. Bila tidak mau, silakan untuk tidak memperdulikannya.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan beliau berkomentar, “Hadits ini shahih.” Riwayat ini juga dinyatakan shahih, oleh Al-Albani.) Menurut para ulama, arti ‘pintu pertengahan’, yakni pintu terbaik. Keridhaan Allah Subhanahu Wata’ala, berada di balik keridhaan orang tua.
“Keridhaan Allah Subhanahu Wata’alabergantung pada keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan Allah Subhanahu Wata’ala, bergantung pada kemurkaan kedua orang tua.” Berbakti kepada kedua orang tua membantu meraih pengampunan dosa.
Ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam sambil mengadu, “Wahai Rasulullah! Aku telah melakukan sebuah perbuatan dosa.” Beliau bertanya, “Engkau masih mempunyai seorang ibu?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” “Bibi?” Tanya Rasulullah lagi. “Masih.” Jawabnya. Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda, “Kalau begitu, berbuat baiklah kepadanya.” Dalam pengertian yang ‘lebih kuat’, riwayat ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu, dapat membantu proses taubat dan pengampunan dosa. Mengingat, bakti kepada orang tua adalah amal ibadah yang paling utama. Perlu ditegaskan kembali, bahwa birrul waalidain (berbakti kepada kedua orang tua), lebih dari sekadar berbuat ihsan (baik) kepada keduanya. Namun birrul walidain memiliki nilai-nilai tambah yang semakin ‘melejitkan’ makna kebaikan tersebut, sehingga menjadi sebuah ‘bakti’. Dan sekali lagi, bakti itu sendiripun bukanlah balasan yang setara untuk dapat mengimbangi kebaikan orang tua. Namun setidaknya, sudah dapat menggolongkan pelakunya sebagai orang yang bersyukur. Imam An-Nawaawi menjelaskan, “Arti birrul waalidain yaitu berbuat baik terhadap kedua orang tua, bersikap baik kepada keduanya, melakukan berbagai hal yang dapat membuat mereka bergembira, serta berbuat baik kepada teman-teman mereka.” Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birrul waalidain atau bakti kepada orang tua, hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi tiga bentuk kewajiban: Pertama: Menaati segala perintah orang tua, kecuali dalam maksiat. Kedua: Menjaga amanah harta yang dititipkan orang tua, atau diberikan oleh orang tua. Ketiga: Membantu atau menolong orang tua, bila mereka membutuhkan. وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24) “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (DQ. Al-Isra: 23-24) Ini adalah perintah untuk mengesakan Sesembahan, setelah sebelumnya disampaikan larangan syirik. Ini adalah perintah yang diungkapkan dengan kata qadha yang artinya menakdirkan. Jadi, ini adalah perintah pasti, sepasti qadha Allah. Kata qadha memberi kesan penegasan terhadap perintah, selain makna pembatasan yang ditunjukkan oleh kalimat larangan yang disusul dengan pengecualian: “Supaya kamu jangan menyembah selain Dia…” Dari suasana ungkapan ini tampak jelas naungan penegasan dan pemantapan. Jadi, setelah fondasi diletakkan dan dasar-dasar didirikan, maka disusul kemudian dengan tugas-tugas individu dan sosial. Tugas-tugas tersebut memperoleh sokongan dari keyakinan di dalam hati tentang Allah yang Maha Esa. Ia menyatukan antara motivasi dan tujuan dari tugas dan perbuatan. Perekat pertama sesudah perekat akidah adalah perekat keluarga. Dari sini, konteks ayat mengaitkan birrul walidain (bakti kepada kedua orangtua) dengan ibadah Allah, sebagai pernyataan terhadap nilai bakti tersebut di sisi Allah: Setelah mempelajari iman dan kaitannya dengan etika-etika sosial yang darinya lahir takaful ijtima’I (kerjasama dalam bermasyarakat), saat ini kita akan memasuki ruang yang paling spesifik dalam lingkaran interaksi sosial, yaitu Birrul walidain (bakti kepada orang tua). “Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
Dengan ungkapan-ungkapan yang lembut dan gambaran-gambaran yang inspiratif inilah Al-Qur’an Al-Karim menggugah emosi kebajikan dan kasih sayang di dahati anak-anak. Hal itu karena kehidupan itu terdorong di jalannya oleh orang-orang yang masih hidup; mengarahkan perhatian mereka yang kuat ke arah depan. Yaitu kepada keluarga, kepada generasi baru, generasi masa depan. Jarang sekali kehidupan mengarahkan perhatian mereka ke arah belakang..ke arah orang tua..ke arah kehidupan masa silam..kepada generasi yang telah pergi! Dari sini, anak-anak perlu digugah emosinya dengan kuat agar mereka menoleh ke belakang, ke arah ayah dan ibu mereka. Sebelum masuk ke inti pembahasan, ada catatan penting yang harus menjadi perhatian bersama dalam pembahasan birrul walidain; ialah Islam tidak hanya menyeru sang anak untuk melaksanakan birrul walidain, namun Islam juga menyeru kepada para walidain (orang tua) untuk mendidik anaknya dengan baik, terkhusus dalam ketaan kepada Allah dan Rasulul-Nya. Karena hal itu adalah modal dasar bagi seorang anak untuk akhirnya menjadi anak sholih yang berbakti kepada kedua orangtuanya. Dengan demikian, akan terjalin kerjasama dalam menjalani hubungan keluarga sebagaimana dalam bermasyarakat.
Gaya bahasa yang digunakan al-Quran dalam memerintahkan sikap bakti kepada orang tua ialah datang serangkai dengan perintah tauhid atau ke-imanan, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia“ . Dalam artian setelah manusia telah mengikrakan ke-imanannya kepada Allah, maka manusia memiliki tanggungjawab kedua, yaitu “Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”.
Jika kita bertanya, mengapa perintah birrul walidain begitu urgen sehingga ia datang setelah proses penghambaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala?? Al-Quran Kembali menjawab حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا “Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”(Al-Ahqaf: 15) Ketika orangtua berumur muda, kekuatan fisik masih mengiringinya, sehingga ia bertanggungjawab untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Namuun saat mereka berumur tua renta, dan anaknya sudah tumbuh dewasa berbaliklah roda tanggungjawab itu.
Para pembantu mungkin mampu merawatnya, menunjukkan sesuatu yang tidak lagi bisa dilihatnya, mengambilkan sesuatu yang tidak lagi bisa diambilnya dan mengiringnya dari suatu temnpat ke tempat lain. Namun ada satu hal yang tidak pernah bisa diberikan oleh pembantu, ialah cinta dan kasih sayang. Hanya dari sang buah hatilah rasa cinta dan kasih sayang dapat diraihnya. Kedua orang tua secara fitrah akan terdorong untuk mengayomi anak-anaknya; mengorbankan segala hal, termasuk diri sendiri. Seperti halnya tunas hijau menghisap setiap nutrisi dalam benih hingga hancur luluh; seperti anak burung yang menghisap setiap nutrisi yang ada dalam telor hingga tinggal cangkangnya, demikian pula anak-anak menghisap seluruh potensi, kesehatan, tenaga dan perhatian dari kedua orang tua, hingga ia menjadi orang tua yang lemah jika memang diberi usia yang panjang. Meski demikian, keduanya tetap merasa bahagia! Adapun anak-anak, secepatnya mereka melupakan ini semua, dan terdorong oleh peran mereka ke arah depan. Kepada istri dan keluarga. Demikianlah kehidupan itu terdorong. Dari sini, orang tua tidak butuh nasihat untuk berbuat baik kepada anak-anak. Yang perlu digugah emosinya dengan kuat adalah anak-anak, agar mereka mengingat kewajiban terhadap generasi yang telah menghabiskan seluruh madunya hingga kering kerontang!
Dari sinilah muncul perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dalam bentuk qadha dari Allah yang mengandung arti perintah yang tegas, setelah perintah yang tegas untuk menyembah Allah. Usia lanjut itu memiliki kesan tersendiri. Kondisi lemah di usia lanjut juga memiliki insprasinya sendiri. Kataعندكyang artinya “di sisimu” menggambarkan makna mencari perlindungan dan pengayoman dalam kondisi lanjut usia dan lemah. “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka…” Ini adalah tingkatan pertama di antara tingkatan-tingkatan pengayoman dan adab, yaitu seorang anak tidak boleh mengucapkan kata-kata yang menunjukkan kekesahan dan kejengkelan, serta kata-kata yang mengesankan penghinaan dan etika yang tidak baik. “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Ini adalah tingkatan yang paling tinggi, yaitu berbicara kepada orang tua dengan hormat dan memuliakan. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan…” Di sini ungkapan melembut dan melunak, hingga sampai ke makhluk hati yang paling dalam. Itulah kasih sayang yang sangat lembut, sehingga seolah-olah ia adalah sikap merendah, tidak mengangkat pandangan dan tidak menolak perintah. Dan seolah-olah sikap merendah itu punya sayap yang dikuncupkannya sebagai tanda kedamaian dan kepasrahan .Itulah ingatan yang sarat kasih sayang. Ingatan akan masa kecil yang lemah, dipelihara oleh kedua orang tua. Dan keduanya hari ini sama seperti kita di masa kanak-kanak; lemah dan membutuhkan penjagaan dan kasih sayang. Itulah tawajuh kepada Allah agar Dia merahmati keduanya, karena rahmat Allah itu lebih luas dan penjagaan Allah lebih menyeluruh. Allah lebih mampu untuk membalas keduanya atas darah dan hati yang mereka korbankan. Sesuat yang tidak bisa dibalas oleh anak-anak. Belaian anak saat orang tua telah berumur lanjut ialah kenikmatan yang tak terhingga. Wajarlah kiranya al-Quran memberikan pengkhususan dalam birrul walidain ini saat kondisi mereka tua renta, yaitu: 1. Jangan mengatakan kata uffin (ah) 2. Jangan membentak 3. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. 4. Rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan 5.Dan do’akanlah mereka. Kata uffin dalam bahsa Arab berati ar-rafdu (menolak). Jadi janganlah kita mengatakan kata-kata yang mengandung makna menolak, terkhusus dalam memenuhi kebutuhan mereka. Karena pada umur lanjut inilah kebutuhan mereka memuncak, hampir pada setiap hitungan jam mereka membutuhkan kehadiran kita disisinya.
Sedimikian pentingnya perintah birrul walidain ini, sehingga keridhoan mereka dapat menghantarkan sang anak kedalam surga-Nya. Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang menajalani pagi harinya dalam keridhoan orang tuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju syurga. Barang siapa yang menjalani sore keridhoan orang tuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju syurga. Dan barang siapa menjalani pagi harinya dalam kemurkaan orangtuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju neraka. Dan barang siapa menjalani sore harinya dalam kemurkaan orangtuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju neraka ”.(HR. Darul Qutni dan Baihaqi) Dengan demikian merugilah para anak yang hidup bersama orang tuanya di saat tua renta namun ia tidak bisa meraih surga, karena tidak bisa berbakti kepada keduanya. Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallammengatakan tentang ihwal mereka عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِالْجَنَّةَ ». “Dari Suhaili, dari ayahnya dan dari Abu Hurairah. Rosulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda : ”Merugilah ia (sampai 3 kali). Para Shahabat bertanya : ”siapa ya Rosulullah?Rosulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda :“Merugilah seseorang yang hidup bersama kedua orang tuanya atau salah satunya di saat mereka tua renta, namun ia tidak masuk surga” (HR. Muslim). Terkait cara berbakti kepada orang tua, memulai dengan perkataan yang baik. Kemudian diiringi denganmeringankan apa-apa yang menjadi bebannya. Dan bakti yang tertinggi yang tak pernah dibatasi oleh tempat dan waktu ialah DOA. Do’a adalah bentuk bakti anak kepada orang tua seumur hidup-nya. Do’alah satu-satunya cara yang diajarkan Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallambagi anak-anak yang pernah menyakiti orangtuanya namun mereka meninggal sebelum ia memohon maaf kepadanya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallambersabda : “Bahwasanya akan ada seorang hamba pada hari kiamat nanti yang diangkat derajatnya, kemudian ia berkata “Wahai tuhanku dari mana aku mendapatkan (derajat yang tinggi) ini??. Maka dikatakanlah kepadanya “Ini adalah dari istighfar (doa ampunan) anakamu untukmu” (HR.Baihaqi) Adapun doa yang diajarkan, ialah sebagaimana termaktub dalam al-Quran : وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرً "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (Al-Isra’: 24). Itulah ingatan yang sarat kasih sayang. Ingatan akan masa kecil yang lemah, dipelihara oleh kedua orang tua. Dan keduanya hari ini sama seperti kita di masa kanak-kanak; lemah dan membutuhkan penjagaan dan kasih sayang. Itulah tawajuh kepada Allah agar Dia merahmati keduanya, karena rahmat Allah itu lebih luas dan penjagaan Allah lebih menyeluruh. Allah Subhanahu Wata’ala lebih mampu untuk membalas keduanya atas darah dan hati yang mereka korbankan. Sesuat yang tidak bisa dibalas oleh anak-anak. Al Hafizh Abu Bakar Al Bazzar meriwayatkan dengan sanadnya dari Buraidah dari ayahnya: “Seorang laki-laki sedang thawaf sambil menggendong ibunya. Ia membawa ibunya thawaf. Lalu ia bertanya kepada NabiSallallahu ’Alaihi Wa Sallam, “Apakah aku telah menunaikan haknya?” Nabi Sallallahu ’Alaihi Wa Sallammenjawab, “Tidak, meskipun untuk satu tarikan nafas kesakitan saat melahirkan.” Dalam ayat lain Al-Quran mengajar doa yang begitu indah, ialah doa yang mencakup bagi kita, orang tua dan keturunan kita : رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ "Ya Allah.., tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (Al-Ahqaf : 15). 
Wallahu a’lam.

MENGGAPAI RIDHA ALLAH




MENGGAPAI RIDHA ALLAH DENGAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang telah berkeluarga. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang sudah berkeluarga lalu mereka meninggalkan kewajiban ini. Mengingat pentingnya masalah berbakti kepada kedua orang tua, maka masalah ini perlu dikaji secara khusus.

Jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang tua adalah birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya.

Seperti tersurat dalam surat al-Israa’ ayat 23-24, Allah Ta’ala berfirman:

“Artinya : Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” [Al-Israa’ : 23-24]

Perintah birrul walidain juga tercantum dalam surat an-Nisaa’ ayat 36:

“Artinya : Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil [1], dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” [An-Nisaa’ : 36]

Dalam surat al-‘Ankabuut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua yang kafir jika mereka mengajak kepada kekafiran:

“Artinya : Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Al-‘Ankabuut (29): 8] Lihat juga surat Luqman ayat 14-15.



ANJURAN BERBUAT KEPADA KEDUA ORANG TUA BAIK DAN LARANGAN DURHAKA KEPADA KEDUANYA
Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang tua, yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan kepada keduanya. Menurut Ibnu ‘Athiyah, kita juga wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan syari’at), dan harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang (selama tidak melanggar batasan-batasan Allah ‘Azza wa Jalla).

Sedangkan ’uququl walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap keduanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan berupa perkataan, yaitu mengucapkan “ah” atau “cis”, berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci maki dan lain-lain. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar, seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak mempedulikan, tidak bersilaturrahim, atau tidak memberi nafkah kepada kedua orang tuanya yang miskin.

KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DAN PAHALANYA
[1]. Merupakan Amal Yang Paling Utama
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata.

“Artinya : Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ [2]

[2]. Ridha Allah Bergantung Kepada Ridha Orang Tua
Sesuai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disebutkan:

“Artinya : Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua” [3]

[3]. Berbakti Kepada Orang Tua Dapat Menghilangkan Kesulitan Yang Sedang Dialami
Yaitu, dengan cara bertawassul dengan amal shalih tersebut. Dalilnya adalah hadits riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma mengenai kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, dan salah seorangnya bertawassul dengan bakti kepada ibu bapaknya.
Haditsnya sebagai berikut:

“Artinya : ...Pada suatu hari tiga orang dari ummat sebelum kalian sedang berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi mulut gua. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: ‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan.’ Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawassul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu di antara mereka berkata: ‘Ya Allah, sesung-guhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan aku mempunyai isteri dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang sudah larut malam dan aku dapati orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anakku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah mulut gua ini.’ Maka batu yang menutupi pintu gua itu pun bergeser sedikit..”[4]

[4]. Akan Diluaskan Rizki Dan Dipanjangkan Umur
Sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan di-panjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyam-bung silaturrahimnya.” [5]

Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan adalah silaturahmi kepada orang tua sebelum kepada yang lain. Banyak di antara saudara-saudara kita yang sering berkunjung kepada teman-temannya, tetapi kepada orang tuanya sendiri jarang, bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil, dia selalu bersama orang tuanya. Sesulit apa pun harus tetap diusahakan untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tua, karena dekat kepada keduanya -insya Allah- akan dimudahkan rizki dan dipanjangkan umurnya.

[5]. Akan Dimasukkan Ke Surga Ooleh Allah ‘Azza wa Jalla
Berbuat baik kepada orang tua dan taat kepada keduanya dalam kebaikan merupakan jalan menuju Surga. Sedangkan durhaka kepada orang tua akan mengakibatkan seorang anak tidak masuk Surga. Dan di antara dosa-dosa yang Allah ‘Azza wa Jalla segerakan adzabnya di dunia adalah berbuat zhalim dan durhaka kepada orang tua. Dengan demikian, jika seorang anak berbuat baik kepada orang tuanya, Allah akan meng-hindarkannya dari berbagai malapetaka, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla dan akan dimasukkan ke Surga.

BENTUK-BENTUK DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUA
[1]. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua, baik berupa perkataan atau pun perbuatan yang mem-buat orang tua sedih atau sakit hati.
[2]. Berkata “ah” atau “cis” dan tidak memenuhi pang-gilan orang tua.
[3]. Membentak atau menghardik orang tua.
[4]. Bakhil atau kikir, tidak mengurus orang tuanya, bahkan lebih mementingkan yang lain daripada mengurus orang tuanya, padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.
[5]. Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, “kolot”, dan lain-lain.
[6]. Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua dan lemah. Tetapi, jika si ibu melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa, dan karena itu seorang anak harus berterima kasih dan membantu orang tua.
[7]. Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.
[8]. Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah, misalnya alat musik, mengisap rokok, dan lain-lain.
[9]. Lebih mentaati isteri daripada kedua orang tua. Bahkan ada sebagian orang yang tega mengusir ibunya demi menuruti kemauan isterinya.
Nas-alullaahas salaamah wal ‘aafiyah
[10]. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggal ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam itu adalah sikap yang sangat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.

BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
[1]. Bergaul bersama keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberi kegembiraan kepada seseorang mukmin termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberi kegembiraan kepada orang tua kita

[2]. Berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan adab ber-bicara antara kepada kedua orang tua dengan ke-pada anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua.

[3]. Tawadhu’ (rendah hati). Tidak boleh kibr (som-bong) apabila sudah meraih sukses atau memenuhi jabatan di dunia, karena sewaktu lahir, kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan, kita diberi makan, minum, dan pakaian oleh orang tua.

[4]. Memberi infaq (shadaqah) kepada kedua orang tua, karena pada hakikatnya semua harta kita adalah milik orang tua. Oleh karena itu berikanlah harta itu kepada kedua orang tua, baik ketika mereka minta ataupun tidak.

[5 ]. Mendo’akan kedua orang tua. Di antaranya dengan do’a berikut:
“Wahai Rabb-ku, kasihilah keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil.”

Seandainya orang tua masih berbuat syirik serta bid’ah, kita tetap harus berlaku lemah lembut kepada keduanya, dengan harapan agar keduanya kembali kepada Tauhid dan Sunnah. Bagaimana pun, syirik dan bid’ah adalah sebesar-besar kemungkaran, maka kita harus mencegahnya semampu kita dengan dasar ilmu, lemah lembut dan kesabaran. Sambil terus berdo’a siang dan malam agar orang tua kita diberi petunjuk ke jalan yang benar.


APABILA KEDUA ORANG TUA TELAH MENINGGAL
Maka yang harus kita lakukan adalah:
[1]. Meminta ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan taubat nashuha (jujur) bila kita pernah berbuat dur-haka kepada keduanya di waktu mereka masih hidup.
[2]. Menshalatkannya dan mengantarkan jenazahnya ke kubur.
[3]. Selalu memintakan ampunan untuk keduanya.
[4]. Membayarkan hutang-hutangnya.
[5]. Melaksanakan wasiat sesuai dengan syari’at.
[6]. Menyambung silaturrahim kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya.

Semoga dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam tersebut, kita dimudahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Aamiin.

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah

KEKUFURAN SERTA KESYIRIKAN YANG HARUS KITA KETAHUI, JAUHI, DAN WASPADAI !


Diantara jenis kekufuran serta kesyirikan yang harus kita ketahui, jauhi, serta waspadai!

Diantara jenis kekufuran serta kesyirikan yang harus kita ketahui, jauhi, serta waspadai! Berikut diantara bentuk kekufuran dan kesyirikan yang hendaknya kita ketahui, jauhi serta waspadai……
1. Menyandarkan atribut ketuhanan terhadap segala sesuatu selain Allah
Yaitu meyakini bahwa ada segala sesuatu selain Allah, adalah pencipta, pengatur, serta pemelihata alam semesta, dalam bentuk menyendiri atau banyak. Maka ini kufur akbar!
Sebagaimana sebagian kaum nashara yang menganggap bahwa Nabi ‘Isa itu adalah Allah itu sendiri, yang menitis kedalam tubuh nabi isa. Sungguh mengherankan, jika “tuhan” yang disembah memiliki KEBUTUHAN untuk dirinya; seperti tidur, makan, minum, bahkan buang hajat! Sedangkan Rabb yang sejati, tidaklah butuh tidur, tidaklah butuh makan, tidaklah butuh minum, tidak membutuhkan segala sesuatu bahkan Dia-lah yang dibutuhkan makhluqNya.
Termasuk dalam hal ini agama kaum pagan yang meyakini “dewa-dewa” yang mana masing-masing “dewa” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan.
Termasuk pula dalam hal ini meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan, mengatur serta memelihara alam semesta; AKAN TETAPI meyakini bahwa Allah memiliki anak-anakNya; sehingga anak-anakNya tersebut memiliki sifat seperti diriNya; yang juga memiliki hak untuk diibadahi sebagaimana diriNya. Sebagaimana dipahami kaum musyrikin mekkah (yang mengatakan bahwa malaikat itu anak-anak perempuan Allah), atau kaum nashara (yang mengatakan ‘Isa itu anak Allah), atau kaum yahudi (yang mengatakan ‘Uzayr itu anak Allah)! Sungguh ini KESYIRIKAN AKBAR, sebesar-besar kesyirikan, dan sedusta-dustanya ucapan!
Allah berfirman:

مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِن وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَٰهٍ إِذًا لَّذَهَبَ كُلُّ إِلَٰهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ

Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada sesembahan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu,
(Al-Mukminun: 91)
Dijelaskan maknanya oleh Imam al Qurthubiy:
“Dan barang siapa membolehkan untuk menjadikan malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah berarti ia menjadikan para malaikta itu sebagai yang serupa dengan Allah. Sebab anak itu sejenis dan serupa dengan bapaknya.”
Berkata al Alusiy:
Keterangan para ulama dan mufassir itu menjelaskan kepada kita sebuah kesimpulan bahwa tidak ada makna bagi keyakinan adanya anak bagi Allah kecuali juga dengan disertai keyakinan bahwa ‘Anak’ itu sejenis dengan ‘Bapak’. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifati.
Dan tidaklah ada arti bagi keykinan bahwa ‘Anak’ itu sejenis dengan ‘Bapak’ melainkan adanya keserupaan/mitsliyah. Dan tidak ada makna bagi keyakinan adanya mitsliyah melainkan jika diyakini bahwa ‘Anak’ itu memiliki pengaruh dalam penciptaan dan pengaturan. Sebab tidak mungkin mereka diyakini sebagai anak-anak perempuan Allah lalu mereka tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan selain hanya memintakan syafa’at kepada “Tuhan Bapak”.
Mereka adalah tuhan-tuhan yang disembah dan dimintai bantuan karena mereka adalah tuhan-tuhan yang memiliki kekuasaan luar biasa/khâriqah dan secara independen dari “Tuhan bapak”
(tafsir Rûh al Ma’âni, jilid X juz, 18/90; dari artikel ustadz firanda)
2. Meyakini segala sesuatu/seseorang selain Allah, memiliki kekuatan untuk dapat mendatangkan manfa’at atau menolak mudharat
Inilah dasar dari kesyirikan serta kekufuran… Tidaklah seseorang menyembah sesuatu, melainkan ia memiliki atribut ini dalam hatinya… Setiap penyembah itu meyakini apa yang disembahnya itu kekuatan untuk mendatangkan manfa’at atau menolak mudharat; sehingga mereka menyembahnya.
3. Beribadah kepada sesembahan selainNya
Yang mana ini merupakan konsekuensi dari point no. 2 diatas; karena mereka menganggap sesuatu tersebut memiliki kekuatan untuk memberi manfa’at serta menolak mudharat, sehingga mereka BERDOA (meminta/menyeru) kepada sesemabahannya tersebut agar dapat memberikan kepada mereka manfa’at, atau menghilangkan mudharat dari mereka.
Maka kita lihat mereka sangat CINTA kepada sesembahannya tersebut, dengan RAJIN berdoa kepada sesembahannya tersebut! Kemudian mereka SANGAT MENGHARAPKAN (dengan penuh ketundukan) agar doanya tersebut dikabulkan sesembahannya tersebut; serta SANGAT KHAWATIR (dengan penuh ketundukan) jika doa mereka tidak dikabulkan!
Doa merupakan INTI dari ibadah, dan dapat kita lihat dari mereka; bahwa aktifitas utama mereka terhadap sesembahan mereka adalah BERDOA (meminta) dengan segala permohonan kepada yang mereka sembah!
Dan untuk sesembahan mereka tersebut, maka mereka akan melakukan ritual-ritual penyembahan. Seperti menyembelih, sujud, ruku’ dan lain sebagainya; sebagai wujud KECINTAAN (yang disertai dengan ketundukan serta kepasrahan) mereka terhadap yang sesembahan yang mereka sembah. Dikarenakan mereka SANGAT TAKUT terhadap sesembahan mereka, jangan sampai sesembahan mereka tersebut itu murka kepada mereka (sehingga musibah melanda mereka); dan mereka SANGAT BERHARAP kasih-sayang sesembahannya agar tidak mendatangkan musibah, melainkan agar memelihara mereka dalam kedamaian.
Sebaliknya, termasuk pula dalam hal ini adalah kaum ATHEIS, yang mana mereka mengingkari point no. 1 dan point no. 2! Sehingga mereka hidup berdasarkan hawa nafsu (akal dan perasaan) mereka! Apa-apa yang baik atau apa-apa yang buruk; dihukumi berdasarkan akal/perasaan mereka; itulah hukum mereka. Sehingga mereka berkeliaran dimuka bumi bagaikan binatang, bahkan lebih buruk dari binatang!
4. Tidak dibenarkan pula beribadah kepada selainNya; meskipun niatnya untuk mencari kedekatan denganNya
Yaitu MENYEMBAH1 malaikat/nabi/orang shalih, kemudian BERTAWASSUL dengan penyembahan tersebut, agar malaikat/nabi/orang shalih tersebut mendekatkan diri mereka kepada Allah, atau agar orang-orang yang mereka sembah tersebut dapat memberikan syafa’at disisi Allah.
Dan inilah yang dilakukan kaum yahudi, (sebagian) kaum nashara, maupun kaum musyrikin mekkah dizaman Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam… Khususnya lagi kaum musyrikin mekkah; dimana Allah menyebutkan tentang mereka:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى، إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah2 mereka (sembahan-sembahan kami), melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta dan SANGAT BESAR KEKAFIRANNYA”
(QS az-Zumar:3)
Berkata Imam ath Thabariy tentang Tafsir az Zumar diatas:
“Allah ta’aala berkata : Dan orang-orang yang mengambil wali-wali selain Allah yang mereka berwalaa kepada para wali tersebut dan menyembah mereka selain Allah, mereka berkata kepada para wali tersebut : Kami tidaklah menyembah kalian wahai para sesembahan-semsembahan (selain Allah-pen) kecuali agar kalian mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya, mendekatkan kedudukan kami kepada Allah dan kalian memberi syafaat bagi kami di sisi Allah dalam (memenuhi-pen) hajat (kebutuhan) kami”
(Tafsiir At-Thobari 20 :156; dari artikel ustadz firanda)
Berkata Imam al Qurthubiy tentang ayat az Zumar diatas:
“Firman Allah ((Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah)) yaitu berhala-berhala… mereka berkata : ((Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya)). Qotadah berkata : Jika dikatakan kepada mereka : “Siapakah Rob kalian dan pencipta kalian?, siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan hujan dari langit?, mereka menjawab : Allah. Maka dikatakan kepada mereka : (Jika demikian-pen) maka apa makna (hakikat) ibadah kalian kepada berhala?. Mereka berkata : Agar berhala-berhala tersebut mendekatkan kami kepada Allah dan memberi syafaat bagi kami di sisi Allah”
(Tafsiir Al-Qurthubi 18/247; dari artikel ustadz firanda)
Berkata Imam Ibnu Katsiir dalam tafsirnya:
“Kemudian Allah Ta’aalaa mengabarkan tentang para penyembah berhala dari kaum musyrikin, bahwasanya mereka berkata “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”, yaitu hanyalah yang mendorong mereka untuk menyembah berhala-berhala tersebut adalah mereka membuat patung-patung di atas bentuk para malaikat yang mendekatkan (kepada Allah-pen) menurut persangkaan mereka.
Maka merekapun menyembah patung-patung berbentuk tersebut dengan menempatkannya sebagai peribadatan mereka kepada para malaikat, agar para malaikat memberi syafaat bagi mereka di sisi Allah dalam menolong mereka dan memberi rizki kepada mereka dan perkara-perkara dunia yang menimpa mereka…
Oleh karenanya mereka berkata dalam talbiyah mereka tatkala mereka berhaji di zaman jahiliyyah :

لبيك لا شريك لك ، إلا شريكا هو لك ، تملكه وما ملك

“Kami Memenuhi panggilanmu Ya Allah, tidak ada syarikat bagiMu kecuali syarikat milikMu yang Engkau memilikinya dan ia tidak memiliki”
Syubhat inilah yang dijadikan sandaran oleh kaum musyrikin zaman dahulu dan zaman sekarang. Dan datanglah para Rasul –’alaihimus salaam- membantah syubhat ini dan menafikannya dan mereka menyeru kepada mengesakan beribadah hanya untuk Allah tidak ada syarikat bagiNya dan (menjelaskan) bawahasanya perkara ini (syubhat ini-pen) hanyalah rekayasa kaum musyrikin yang mereka buat-buat dari mereka sendiri, Allah tidak mengizinkannya dan tidak meridhoinya, bahkan Allah membencinya dan melarangnya…”
(Tafsiir Al-Qur’aan Al-’Adziim 12/111-112)
[dari artikel ustadz firanda]
5. Menampakkan sebagai muslim, tapi hatinya mengingkari (kufur)
Maka ini adalah KEMUNAFIKAN (nifaq i’tiqadiy). Sebagaimana dilakukan kaum munaafiq dahulu sampai sekarang. Mereka ini KAAFIR, bukan MUSLIM. Tidaklah mereka bersyahadat, kecuali karena takut dibunuh. Tidaklah mereka shalat, kecuali karena ingin dibilang muslim, dan takut dibunuh. Tidaklah mereka zakat, kecuali karena takut dibunuh, dan ingin dipuji. Tidaklah mereka melakukan seluruh amalan shaalih; kecuali untuk riyaa’ atau sum’ah saja, tanpa sama sekali memiliki niat untuk beribadah kepada Allaah.
Allah berfirman tentang pengakuan iman mereka:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ . يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ . فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
(al Baqarah: 8-10)
Allah berfirman tentang shalat mereka:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.
(An-Nisaa: 142)
Allah berfirman tentang zakat/sedekah mereka:

وَالَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ

orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian
(Al baqarah: 264)
Allah berfirman tentang akhlaq mereka:

الَّذِينَ خَرَجُوا مِن دِيَارِهِم بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ

orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah.
(Al-Anfaal: 47)
Sebagaimana juga firmanNya:

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُم مِّن بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.
(At-Tawba: 67)
Allah mengancam mereka dihari kiamat:

يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِن نُّورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا

Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”
(al Hadid: 16)
Juga firmanNya:

يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلَا يَسْتَطِيعُونَ . خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ ۖ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ

Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.
(al Qalam: 42-43)
Juga firmanNya:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.
(An-Nisaa: 145)
6. Seorang muslim, yang dalam amalannya tercampuri oleh kufur akbar maupun syirik akbar
Kita sebagai MUSLIM -yang beriman kepada Allah, satu-satunya Rabb, satu-satunya sesembahan yang berhak disembah yang memiliki nama-nama dan shifat-shifat yang sempurna yang tiada sekutu, lagi tiada yang serupa denganNya- TIDAK BOLEH SAMA SEKALI juga mengadakan sesembahan selainNya, dengan menyembah selainNya (lihat empat perkara diatas)!
Maka cukuplah Allah bagi kita, cukuplah dia satu-satunya sesembahan bagi kita; tidak boleh kita menyembah selainNya disamping kita menyembahNya! Inilah hakekat syirik! Yaitu menyembah satu sesembahan, tapi disisi lain juga menyembah sesembahan yang lain!
Maka seluruh amalan ibadah kita HANYA KITA TUJUKAN KEPADA ALLAH SAJA, (Laa ilaaha illallaah) Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah! Maka tidak boleh ada satupun amalan hati maupun anggota badan yang kita tujukan kepada selainNya.
Tidak boleh pula kita menyerupai kaum atheis, yang hidup dengan aturan hawa nafsunya, ia jujur mengatakan bahwa “tidak percaya adanya Tuhan” sehingga ia tidak beribadah kepada siapapun. Ia menyembah hawa nafsunya. Maka tidak selayaknya kaum muslimin yang mengaku “penyembah Allah” tapi dalam realita, tidak pernah sedikitpun menyembah Allah!
Akan tetapi kaum muslimin:
1. Mereka BERIBADAH KEPADA ALLAH
2. Dan mereka tidak menyekutukanNya sedikitpun dalam segala peribadatan.
Contoh:
- Seorang yang mengaku muslim, tapi mengikuti cara hidup seorang atheis, yang TIDAK PERNAH BERIBADAH SAMA SEKALI (dari semenjak baligh atau semenjak mu’allaf) KEPADA ALLAH
Perkataan seorang yang dia mempersaksikan keesaan Allah, sehingga mempersaksikan bahwa dia PENYEMBAH ALLAH haruslah persaksian yang JUJUR datang dari hatinya; bukan persaksian yang dusta, sebagaimana dilakukan orang-orang munaafiqin.
Allah berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ

Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
(al Baqarah: 8)
Allah berfirman:

إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ

Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.
(Al-Munaafiqun: 1)
Jujur atau dustanya persaksian seseorang sebagai muwahhid (yang mempersaksikan keesaan Allah), maka akan TERLIHAT pada AMALANNYA. Adapun persaksian yang dusta, yaitu ketika amalan anggota badannya BERTOLAK BELAKANG dengan apa yang ia ucapkan dengan lisannya.
(berikut nukilan dari salah satu artikel ustadz aris)
Orang yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat haruslah beramal karena dalil-dalil yang memerintahkan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan barang siapa mengucapkannya maka dia adalah mukmin dengan memuat persyaratan. Jika persyaratan ini dipenuhi maka tidak mungkin tidak memiliki amal badan sama sekali.
Semisal sabda Nabi,

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

“Orang yang berbahagia karena mendapatkan syafaatku pada hari Kiamat nanti adalah orang yang mengucapkan laa ilaha illalloh dengan ikhlas dari lubuk hatinya atau dari jiwanya”
(HR Bukhari no 99 dari Abu Hurairah).
Kata-kata ‘dengan ikhlas’ dalam hadits di atas menuntut untuk meninggalkan kesyirikan karena ikhlas dan syirik adalah dua hal yang bertolak belakang. Barang siapa tidak memiliki amal badan maka dia adalah musyrik disebabkan dia menyembah setan dan berpaling dari agama Allah. Siapa saja yang berpaling dari agama Allah maka dia adalah orang yang kafir.
Dalam redaksi-redaksi hadits yang lain disebutkan persyaratan ‘tulus dari dalam hati’, ‘hatinya merasa yakin’ dan ‘kafir dengan segala sesembahan selain Allah’.
Dalam hadits-hadits ini disebutkan persyaratan iman bagi orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika persyaratan ini dipenuhi maka orangnya tidak mungkin meninggalkan amal badan secara total.
Maka barang siapa yang tidak memiliki amal badan sama sekali, berarti dia berpaling dari agama Allah; dan ini adalah salah satu bentuk kemurtadan. Jadi orang yang tidak memiliki amal badan sama sekali dan berpaling dari agama dengan tidak mau mempelajarinya serta enggan untuk menyembah Allah maka ini adalah salah satu pembatal Islam.
Jika seorang itu mengucapkan syahadat dalam keadaan hatinya yakin, dengan penuh keikhlasan dan tanpa keraguan maka pasti ada amal badan. Tidak mungkin ada orang yang mengucapkan kalimat tauhid dengan penuh ketulusan dan keikhlasan lantas tidak pernah shalat sama sekali padahal dia mampu melakukannya. Tidak pernah shalat sama sekali menunjukkan bahwa orang tersebut tidaklah mengucapkan syahadat dengan ikhlas, dengan tulus dan tidak ada keyakinan dalam hatinya. Andai ada yakin, ikhlas dan ketulusan tentu ada amal. Jika tidak punya amal badan sama sekali maka ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidaklah memiliki iman, yakin, ikhlad dan ketulusan bahkan menunjukkan ada keraguan di dalam hatinya. Kesimpulan ini tertera dengan jelas dalam berbagai dalil.
(Sumber artikel ustadz aris)
- Seseorang yang meninggalkan shalat!
Ketahuilah (menurut pendapat yang raajih), bahwa meninggalkan shalat adalah KUFUR AKBAR. Yang mana barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia TELAH KAAFIR3 (na’uudzubillah)!!
Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

”Perbedaan antara kami dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir.”
(HR. At Tirmidzi, lihat Shahih At Targhib no. 564)
Dalam riwayat lain:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ وَالشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya (pembeda) antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.”
(HR. Muslim no. 82)
Beliau juga bersabda:

لاَ تُشْرِكُ بَاللهِ شَيْئًا وَإِنْ قُطِعْتَ وَإِنْ حُرِقْتَ

“Janganlah kamu berbuat kesyirikan sedikit pun walaupun kamu dipenggal ataupun dibakar

وَلاَ تَتْرُكْ صَلاَةً مَكْتُوْبَةً مُتَعَمِّدًا فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمَّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ

dan jangan pula meninggalkan shalat dengan sengaja, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja sungguh lepas jaminan baginya…”
Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu:

فقد برئت منه ذمة الله

“Sungguh telah lepas jaminan dari Allah”,
sedangkan dalam riwayat Ummu Aiman dan Umayyah:

فقد برئت منه ذمة الله و رسوله

“Sungguh telah lepas jaminan dari Allah dan Rasul-Nya”.
(lihat Shahih At Targhib no. 567. 569)
Dan inilah apa yang dipahami oleh para shahabat!
‘Umar ibn al Khaththab:

لاَ حَظَّ فِي الإِسْلامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidak ada bagian (sedikit pun) dalam Islam bagi seseorang yang meninggalkan shalat.” (Al Mughni 3/355)
- Shåhabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata:

مَنْ لَمْ يُصَلِّ فَهُوَ كَافِرٌ

“Barangsiapa yang tidak shalat maka dia kafir.” (Al Mughni 3/355)
- Shåhabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhumaa berkata:

مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ فَلاَ دِيْنَ لَهُ

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (Shahih At Targhib no. 574)
- Berkata Jarir ibn ‘abdillaah radhiyallaahu ‘anhumaa:

من لم يصل فهو كافر

Barangsiapa yang tidak shalat, maka dia kaafir.
(diriwayatkan imam ibnu abdil barr juga imam al mundziriy)
- Abu Darda’ radhialallahu anhu berkata:

لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَلاَةَ لَهُ وَلاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ

“Tidak ada keimanan bagi yang tidak shalat, dan tidak ada (sah) shalat bagi yang tidak berwudhu’.”
(Shahih At Targhib no. 575)
- Ibnu Abbaas radhiyallaahu ‘anhumaa bahwa dia berkata:

من ترك الصلاة فقد كفر

Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia telah kaafir.
(diriwayatkan imam al Mawarziy)
Disimpulkan oleh Ibnu Syaqiq Råhimahullåh yang menyebutkan bahwa para sahabat sepakat ‘orang yang meninggalkan shalat itu kafir’ dan mereka tidak mensyaratkan ‘harus disertai dengan pengingkaran akan kewajibannya’ atau ‘menentang kewajiban shalat’. Karena yang mengatakan shalat itu tidak wajib, jelas sekali kekafirannya bagi semua orang.
(Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257, Tharhut Tatsrib 1/323, Nailul Authar 2/403)
Asy Syaukani rahimahullah (w: 1250H) berkata, ketika mengomentari atsar di atas:
“Yang terlihat jelas dari redaksi bahwa perkataan ini adalah kesepakatan para shahabat, karena perkataanya: “”Para shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam” adalah sebuah bentuk jama’ yang diidhafakan, dan hal ini mengisyaratkan akan hal itu”.
[Lihat Nail Al Awthar]
Berkata Imam al Mawarziy:
“Kita telah menyebutkan riwayat-riwayat berasal dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kufurnya orang yang meninggalkan shalat, dan keluar dari agama Islam dan dihalalkan berperang melawan orang yang melarang untuk mendirikannya, kemudian telah datang kepada kita juga riwayat-riwayat seperti itu dan tidak ada satu riwayatpun dari mereka yang sampai kepada kita yang menyelisihi hal itu”.
[Lihat Ta'zhim Qadr Ash Shalat]
Kapankah seseorang dikatakan kafir?
Para ulamaa’ berbeda pendapat akan hal ini; sebagian berpendapat bahwa dikatakan “kaafir” kalau meninggalkan “seluruh shalat”, sebagian yang lain berpendapat bahwa dikatakan “kafir” meskipun meninggalkan satu shalat! Dan yang kedua inilah yang benar.
Apa dalilnya?

من ترك صلاة العصر فقد حبط عمله

Barangsiapa yang meninggalkan shalat ashr, hapuslah seluruh amalnya.
(HR Bukhariy)
Lihatlah dalam hadits diatas disebutkan “meninggalkan shalat ashr” maka maknanya yaitu meninggalkan SATU SHALAT. Dan ini dipahami UMUM (tidka hanya shalat ashar saja).
Dan kemudian lihatlah pula dalam hadits diatas disebutkan “hapus semua amalnya” menandakan perbuatan ini adalah KUFUR AKBAR! Karena Allah berfirman:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

Apabila engkau berbuat kesyirikan, maka hapuslah seluruh amalmu
(az Zumar: 65)
Maka sebagaimana dalam ayat diatas bermakna SYIRIK AKBAR, maka demikian pula dalam hadits diatas, maka maknanya adalah KUFUR AKBAR, dan itulah yang dipahami sebagian besar para shahabat dan tabi’in!
Sebagaimana perkataan ‘Abdullah bin ‘Amru ketika mencela buruknya khamr :

إِنِّي إِذَا شَرِبْتُ الْخَمْرَ تَرَكْتُ الصَّلاةَ، وَمَنْ تَرَكَ الصَّلاةَ فَلا دِينَ لَهُ

“Sesungguhnya jika aku minum khamr, maka aku akan meninggalkan shalat. Dan barangsiapa yang meninggalkan shalat, tidak ada agama baginya”
(diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah)
Maka madzhab kebanyakan para shahabat, dan tabi’in adalah KAFIR-nya orang-orang yang meninggalkan SATU SHALAT, hingga habis waktunya, kemudian mereka menyengajakan untuk tetap tidak melaksanakannya ketika ingat (meskipun sudah diluar waktunya); Keliru jika menisbatkan perkataan mereka, kepada pemahaman “meninggalkan SELURUH SHALAT” karena TIDAK DEMIKIAN PEMAHAMAN MEREKA dalam masalah ini. Dan inilah yang dimana ulamaa’ mutaqaddimiin berpegang padanya, seperti: Ibraahiim An-Nakha’iy, Al-Hakam bin ‘Utbah, Ayyuub, Ibnul-Mubaarak, Ahmad, dan Ishaaq rahimahumullaah. Dan pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh ibn Baz rahimahullaah.
- Seseorang yang shalat lima waktu, zakat, haji… Tapi ia ragu, “benar nggak yah, kalau pencipta, pengatur, pemelihara alam semesta itu hanya Allah semata?”
Maka ini adalah keraguan yang kufur! Telah banyak bukti baik dari sisi nash (al qur’an maupun as sunnah yang shahiih) maupun dari sisi akal yang membuktikan bahwa Allah-lah pencipta, pengatur serta pemelihara alam semesata! Inilah kebenaran! Maka imanilah (dengan penuh keyakinan)!
Ibnu Mas’ud dalam penuturan beliau,
“Yakin adalah iman seluruhnya, agama kita seluruhnya adalah yakin kepada Allah, yakin kepada janji-janji Allah, yakin dengan semua yang disiapkan Allah untuk orang-orang yang bertakwa didalam syurga dan yang disiapan untuk orang-orang kafir di Neraka”.
(dari Ustadz Kholid)
- Seseorang yang shalat lima waktu, zakat, haji… Tapi masih menggunakan jasa-jasa ramalan bintang, pawang hujan, dukun-dukun; dan selainnya!
Bukankah engkau tahu bahwa Allah TELAH MENETAPKAN TAQDIR 50 RIBU TAHUN sebelum menciptakan langit dan bumi?! Kalau belum tahu, maka kuberitahu; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Sesungguhnya Allah telah menulis taqdir semua makhluk 50 ribu tahun sebelum langit dan bumi diciptakan
(HR. Muslim)
Berwasiat ‘Ubadah bin Shamit terhadap anaknya:
“Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan dapat merasakan lezatnya iman hingga engkau bisa memahami bahwa APA YANG TELAH DITAQDIKAN MENJADI BAGIANMU TIDAK AKAN MELESET DARIMU, DAN APA YANG TIDAK DITAQDIRKAN UNTUK MENJADI BAGIANMU TIDAK AKAN ENGKAU DAPATKAN.”
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ

“Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena, lalu Allah berfirman kepadanya:
اكْتُبْ
“Tulislah!”
pena itu menjawab,

رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ

“Wahai Rabb, apa yang harus aku tulis?”
Allah menjawab:

اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Tulislah semua takdir yang akan terjadi hingga datangnya hari kiamat.”
Wahai anakku, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي

“Barangsiapa meninggal tidak di atas keyakinan seperti ini maka ia bukan dari golonganku.”
(Shahiih; HR. Abu Dawud, at Tirmidiziy, Ahmad, dll.)
Lihatlah nasehat emas seorang ayah terhadap anaknya ini! Apakah orang-orang yang engkau sewa itu dapat mengubah taqdir yang sudah dituliskan Allah! Bahkan mereka pendusta! Sekafir-kafirnya makhluq!
Kalaulah dukun itu dapat melancarkan rezeki, niscaya ia akan menjadi orang terkaya di dunia! Kalaulah peramal itu dapat meramal nasibnya, niscaya ia tidak akan tertimpa musibah! Kalaulah pawang hujan itu dapat menurunkan hujan, maka suruhlah ia untuk menurunkan hujan ketika matahari terik menyinari tanpa ada awan atau embun saat itu juga! Kalaulah pawang hujan itu dapat menahan hujan, maka suruhlah dia menahan hujan, ketika langit telah gelap (yang pertanda akan turunnya hujan)! Dapatkah mereka melakukannya!? Sungguh mereka tidak akan mampu! Karena Allah-lah Rabb semesta alam, Rabb yang telah menetapkan taqdir dengan ilmu serta kebijaksanaanNya yang sempurna!
- Orang yang shalat lima waktu, zakat, haji… Tapi dalam hatinya menyimpan rasa harap, takut serta tawakkal terhadap selain Allah!
Sebagaimana kita dapati dari sebagian kaum muslimin, yang menggantungkan rasa harap, takut serta tawakkal-nya kepada jin-jin, jimat-jimat, batu-batu, keris, dan selainnya! Ketahuilah ini SYIRIK AKBAR!
Engkau TAHU bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu!? Tahukah engkau bahwa Allah al Qahhaar (Maha Mengalahkan), bahwa Allah al ‘Aziiz (Maha Perkasa), bahwa Allah al Qawiy (Maha Kuat). Masih ragukah engkau dengan kekuasaanNya, kekuataanNya, keperkasaanNya!? Apakah barang tersebut berkehendak? apakah barang tersebut dapat menolong dirinya ketika dilindas truk? Jika terhadap dirinya saja ia lemah bahkan ia benda mati, maka bagaimana ia memiliki kekuasaan terhadap yang hidup!
Allah berfirman:

وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah
(QS. al Baqarah: 102)
Jika AHLI-SIHIRnya (maupun jin yang menyertainya) TIDAK DAPAT memberi mudharat, kecuali dengan izin Allah, maka apalagi BARANG-BARANG tersebut!
- Orang yang shalat lima waktu, zakat, haji… Tapi menyeru kepada malaikat/nabi/wali!
Diantara kesalahan TERBESAR kaum muslimin saat ini, ketika mereka mengucapkan perkataa seperti:
“wahai malaikat/nabi/wali SELAMATKANLAH KAMI dari kemarau yang panjang dan BERIKANLAH kepada kami KEMAKMURAN dan lain sebagainya”
Maka ketahuilah yaa akhii ini adalah SYIRIK AKBAR! Yang dapat mengeluarkan seseorang dari keislaman, yang barangsiapa yang mati diatasnya maka HAPUSLAH SELURUH AMALnya!
Allah berfirman:

وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنجَيْتَنَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ . فَلَمَّا أَنجَاهُمْ إِذَا هُمْ يَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ

dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): “Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur”. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman (yaitu: KESYIRIKAN) di muka bumi tanpa (alasan) yang benar
(Yunus: 22-23)
Allah berfirman:

قُلْ مَن يُنَجِّيكُم مِّن ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَّئِنْ أَنجَانَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ . قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُم مِّنْهَا وَمِن كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنتُمْ تُشْرِكُونَ

Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan: “Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur””. Katakanlah: “Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya”.
(Al-An’aam: 63-64)
Lihatlah! Dahulu kaum musyrikin mekkah, apabila tertimpa kesusahan, maka mereka MENGIKHLASHKAN (memurnikan) doa mereka hanya semata-mata karena Allah. Akan tetapi ketika mereka diselamatkan Allah, maka mereka KEMBALI MENYEKUTUKAN ALLAH (dengan berdoa kepada patung-patung mereka!)… Tapi apa yang kita dapatkan dari KAUM MUSLIMIIN sekarang ini?! Bahkan mereka MENYERU KEPADA SESEMBAHAN SELAIN ALLAH dikala SENANG DAN SUSAH!!! Bukankah kesyirikann yang mereka lakukan LEBIH PARAH dari kaum musyrikin terdahulu?!!
Allah berfirman:

إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari KEMUSYRIKANMU dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.
(Faathir: 14)
Allah berfirman tentang orang yang mati diatas amalan seperti ini:

مِّن وَرَائِهِمْ جَهَنَّمُ وَلَا يُغْنِي عَنْهُم مَّا كَسَبُوا شَيْئًا وَلَا مَا اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Di hadapan mereka neraka Jahannam dan tidak akan berguna bagi mereka sedikitpun apa yang telah mereka kerjakan, dan tidak pula berguna apa yang mereka jadikan sebagai sembahan-sembahan (mereka) selain Allah. Dan bagi mereka azab yang besar.
(QS Jaatsiyah: 10)
Lihatlah jika mereka mati dalam keadaan demikian, maka TIDAK BERGUNA shalat 5 waktu yang dahulu ia kerjakan, zakat/sedekah yang ia infakkan, haji yang ia laksanakan; seluruh amalan shaalih yang ia kerjakan… semua sia-sia… dikarenakan ia telah mengadakan sesembahan selain Allah sehingga dengan sebab tersebut Allah menghapuskan seluruh amalan kebaikannya, sehingga jadilah ia penghuni neraka jahannam, ia kekal didalamnya! Na’uudzubillaah!
7. Seorang muslim yang amalannya TERKOTORI DENGAN SYIRIK ASHGHAR
Berbeda pada enam point sebelumnya, maka yang ini adalah SYIRIK ASHGHAR, yang tidak mengeluarkan seseorang dari agama.. Akan tetapi menghapuskan amalan yang ia campuri/kotori niatnya tersebut.. Dan ia pun BERDOSA BESAR karena mengamalkan ini, yang dosanya LEBIH BESAR daripada dosa-dosa besar yang sudah kita ketahui..
- Beribadah kepada Allah, tapi hanya mengharapkan pahala dunia.
Diantara contoh: shalat, shaum hanya untuk sehat saja; atau niatnya terdorong karena untuk sehat.. Atau zakat/sedekah hanya untuk kaya (balasan duniawi).. sama sekali tidak terdapat keinginan dalam hatinya untuk mengharapkan balasan akhirat.. jadi ia beribadah kepada Allah dengan ibadah tertentu, tapi yang ia inginkan balasan dari Allah adalah balasan dunia semata.
Lihatlah bagaimana Allah memfirmankan doa-nya para pendamba dunia tersebut:

فَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ

Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.
(al Baqarah: 200)
Allah juga berfirman tentangnya:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ . أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.
(Hud: 15-16)
Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الأَخِرَةِ لِلدُّنْيَا ، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الأَخِرَةِ نَصِيْبٌ

Barangsiapa di antara mereka melakukan amal akhirat untuk dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat”.
[HR Ahmad, V/134; dan Hakim, IV/318. Shahih, lihat Shahih Jami’ush Shaghiir, no. 2825]
Lantas bagaimana apabila seseorang menginginkan dua pahala (dunia dan akhirat) sekaligus dalam niatnya?
“…Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.
Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama.”
(Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133; dicopas dari rumaysho.com]
Atau ia beramal shalih, untuk mendapatkan pahala Allah tapi juga disisi lain, ia mengharapkan ketenaran, pujian manusia, kekuasaan, wanita dan selainnya.. maka ini pun niatnya rusak, amalannya yang ini tidak diterima Allah.. Dalam hal ini, terdapat beberapa amalan hati yang rusak: yaitu riyaa’, sum’ah, maupun ujub.
- RIYAA’
Yaitu orang yang bercabang niatnya, disatu sisi ia ingin meraih pahala dari Allah, tapi disisi lain ia ingin dilihat amalannya untuk mencari pahala (balasan) dari sisi manusia baik sebelum/sedang/setelah beramal..
Saat sebelum beramal contohnya;(ia mengharapkan wajahNya, tapi juga mencari muka manusia);
Ketika sedang beramal contohnya; (niat awalnya ia hanya kepada Allah saja, tapi dipertengahan tercampur riyaa’, tapi ia tidak menghilangkannya malah menikmatinya)
Ketika setelah beramal contohnya (ia berfoto-foto atau merekam ketika ia beramal (ketika itu ia tidak berniat untuk riyaa’); tapi dihari kemudian ia memperlihatkan fotonya atau videonya ketika beramal; bermasukd untuk riyaa’)
- SUM’AH
Hampir sama dengan riyaa’; jika riyaa’ ingin dilhat, tapi sum’ah ingin didengar.
Sebagaimana riyaa’ hal ini dapat terjadi saat sebelum/sedang/setelah beramal;
Contoh sebelum beramal, ia hendak membaca al qur’an, disamping mengharapkan pahala, ia juga mengharapkan agar didengar manusia agar ia dipuji
Contoh sedang beramal; ia sedang shalat; tadinya niatnya ikhlash; tapi dipertengahan ia tahu ada gurunya disekitarnya; maka ia mengeraskan bacaan shalatnya memperbagus bacaannya untuk menarik hati gurunya.
Contoh setelah beramal; ia sudah berusaha ikhlash; di kemudian hari, ia menyebut2 amalannya dengan maksud untuk dipuji atau tenar atau tujuan duniawi lainnya.
Tentang riyaa’ dan sum’ah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

وَأَمَّا مَنْ غَزَا فَخْرًا وَرِيَاءً وَسُمْعَةً وَعَصَى الْإِمَامَ وَأَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ فَإِنَّهُ لَمْ يَرْجِعْ بِالْكَفَافِ

Adapun orang yang berperang karena kebanggaan, riya`, sum’ah, membangkang/memberontak terhadap imam/penguasa yang sah dan merusak dimuka bumi maka ia tidak mendapatkan apa pun.”
(HR. Ahmad, an-Nasaa-iy, Abu Dawud, dll. Shahiih; dishahiihkan syaikh al-albaniy dalam shahiih abi dawud, shahiih an-Nasaa-iy; dll.)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ

“Barangsiapa yang memperdengarkan (sum’ah) maka Allah akan memperdengarkan tentangnya, dan barangsiapa yang memperlihatkan (riyaa’) maka Allah akan memperlihatkan tentang dia”
(HR Al-Bukhari no 6499)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

مَنْ سَمَّعَ النَّاسَ بِعَمَلِهِ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ سَامِعَ خَلْقِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَحَقَّرَهُ وَصَغَّرَهُ

“Barangsiapa yang dengan amalannya ia ingin didengar manusia, maka Allah akan memperdengarkannya kepada para pendengar dari hamba-Nya, dan Dia akan mengkerdilkan dan meremehkannya.”
(HR. Ahmad; dishahiihkan oleh Syaikh Ahmad Syaakir)
Diantara makna hadits ini sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar adalah :
Barangsiapa yang mengesankan bahwasanya ia telah melakukan suatu amal sholeh padahal ia tidak melakukannya maka Allah akan membongkar kebohongannya tersebut
(lihat Fathul Baari 11/337; http://firanda.com/index.php/artikel/aqidah/114-berjihad-melawan-riyaa)
- UJUB
Yaitu takjub dengan kelebihan (nikmat-nikmat) yang ada pada dirinya, lupa dalam mengingat dan mensyukuri Allah, tapi yang ada malah ia sandarkan kelebihan tersebut kepada dirinya.
Dapat terjadi ketika sedang/setelah beramal..
contoh sedang beramal, ketika ia shalat; ia merasa bangga bahwa ia bisa shalat; kemudian ia berkata dalam hatinya.. “Aku bisa shalat semata-mata karena kekuatanku”
atau setelah beramal; seperti orang yang sedang muraja’ah hafalan qur’an atau hadits ia berkata “aku dapat menghafal ini semata-mata karena kuatnya hafalanku dan kerajinanku” ia lupa bahwa ia tidak dapat melakukan itu semua melainkan karena kemudahan, kekuatan dan pertolongan dari Allah..
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

لَولَم تَكُونُو تَذْنِبُونَ خَشِيتُ عَلَيكم اكثَرَ من ذلك : العُجْبُ

kalau kalian tidak berbuat dosa, niscaya aku benar benar merasa takut atas kalian apa yang lebih berat dari itu: (yaitu) UJUB
(Hasan, HR al Bayhaqiy)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :

ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

“Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikui dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri”
(HR at-Thobroni dalam Al-Awshoth no 5452 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam as-shahihah no 1802)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Dan sering orang-orang menggandengkan antara riyaa’ dan ujub. Riyaa termasuk bentuk kesyirikan dengan orang lain (yaitu mempertujukan ibadah kepada orang lain-pen) adapun ujub termasuk bentuk syirik kepada diri sendiri (yaitu merasa dirinyalah atau kehebatannyalah yang membuat ia bisa berkarya-pen). Ini merupkan kondisi orang yang sombong.
Orang yang riyaa’ tidak merealisasikan firman Allah إيَّاكَ نَعْبُدُ “Hanya kepadaMulah kami beribadah”, dan orang yang ujub tidaklah merealisasikan firman Allah وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ “Dan hanya kepadaMulah kami memohon pertolongan”.
Barangsiapa yang merealisasikan firman Allah إيَّاكَ نَعْبُدُ maka ia akan keluar lepas dari riyaa’, dan barangsiapa yang merealisasikan firman Allah وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ maka ia akan keluar terlepas dari ujub”
(Majmuu’ Al-Fataawaa 10/277)
- Takabbur
Hal ini adalah konsekuensi dari UJUB,
Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

الْكِبْرَ مَنْ بَطَرَ الْحَقَّ وَغَمَصَ النَّاسَ

“Al-Kibr (sombong) adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
(HR. Ahmad, Bukhariy, Muslim, Abu Dawud, at Tirmidziy, Ibnu maajah, dan selainnya)
ia MENOLAK KEBENARAN:
- karena ia lebih mendahulukan keridhaan hawa nafsunya, daripada keridhaan Allah. dan ini adalah pembangkangan serta kesombongan yang nyata dihadapan Allah!
dan/atau ia MERENDAHKAN MANUSIA:
- karena ia menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain, baik dari sisi ilmu, amal, harta, atau selainnya. sehingga dengan anggapannya tersebut, maka ia menganggap rendah orang yang ia pandang lebih rendah/kurang dari apa yang ada pada dirinya.
Dan kebanyakan penolak kebenaran, memiliki salah satu dari dua sifat diatas, atau bahkan MENGGABUNGKAN DUA SIFAT diatas dalam diri mereka.
Ketahuilah orang-orang yang memiliki rasa sombong dalam hatinya, maka ia diancam diadzab Allah! sebagaimana sabda Rasuulullaah:

الْعِزُّ إِزَارُهُ وَالْكِبْرِيَاءُ رِدَاؤُهُ فَمَنْ يُنَازِعُنِي عَذَّبْتُهُ

“Kemuliaan adalah sarung-Nya dan al-kibriyaa’ (kesombongan) adalah selendang-Nya. (Allah berfirman:) Barangsiapa yang menyaingi-Ku (pada kedua sifat ini) maka Aku akan mengazabnya.”
(HR. Muslim)
Oleh karenanya, jika sifat ini dimiliki oleh seorang muslim dalam hatinya (meski hanya sebiji dzarrah) maka DIANCAM HARUS MAMPIR DULU KE NERAKA untuk diadzab karena sebab tersebut, sebagaimana sabda beliau:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga bagi seseorang yang di dalam hatinya terdapat sifat kibr, meskipun hanya sebesar biji atom.”
(HR. Ahmad, Bukhariy, Muslim, Abu Dawud, at Tirmidziy, Ibnu maajah, dan selainnya)
Ibnul Qayyim berkata :
“Sesungguhnya hati manusia dihadapi oleh dua macam penyakit yang amat besar jika orang itu tidak menyadari adanya kedua penyakit itu akan melemparkan dirinya kedalam kehancuran dan itu adalah pasti, kedua penyakit itu adalah riya dan takabur, maka obat dari pada riya adalah : (Hanya kepada-Mu kami menyembah) dan obat dari penyakit takabur adalah : (Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan)”.
[Madarijus Salikin 1/54; copas dari almanhaj]
Semoga Allah melindungi kita dari segala bentuk kekufuran maupun kesyirikan, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang nampak maupun tersembunyi.. Dan semoga Allah menetapkan kita diatas islaam dan sunnah; serta mematikan kita diatasnya.. aamiin..
Catatan Kaki
  1. Seperti:- Bernadzar yang dipersembahkan untuk mereka
    - Menyembelih yang dipersembahkan untuk mereka
    - dsb.
  2. Apakah “menyembah” dalam ayat ini, seperti perkataan:“wahai Nabi.. atau wahai syaikh fulaan (yang sudah mati)… doakan KEPADA ALLAH begini dan begitu” Ketahuilah, dalam hal ini maka ini KHILAF PARA ULAMAA’:
    - Sebahagian ulamaa’ hanaabilah, berpendapat hal ini termasuk tawassul yang disyari’atkan (tidak bid’ah dan tidak syirik)
    apa dalil mereka? qiyas. Mereka mengqiyaskan orang yang masih hidup dengan yang sudah mati. Mereka juga mengqiyaskan Nabi dan orang-orang shalih. Maka dijawab, dua qiyas ini baathil (baca: qiyas ma’al faariq, yaitu menggunakan dua hal yang tidak dapat diperbandingkan.) Dan bahkan termasuk MADZHAB SYAFI’IY (sebagaimana dikatakan ibnu katsiir dalam tafsirnya), adalah TIDAK ADA QIYAS DALAM MASALAH IBADAH.
    - Para ulamaa’ yang lain, berpendapat bahwa hal ini BID’AH dan SYIRIK.
    Kenapa mereka mengatakan hal ini bid’ah?
    karena para shahabat dahulu selepas wafatnya nabi, maka tidak diriwayatkan dari mereka yang bertawassul kepada nabi dalam doa-doa mereka. Kalaupun ada riwayatnya, maka ini riwayat-riwayat dengan SANAD YANG LEMAH, atau bahkan ada yang PALSU, atau bahkan ada yang TIDAK ADA SANAD-nya. Bahkan yang shahiih, ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu bertawassul kepada AL-ABBAAS (paman nabi) YANG MASIH HIDUP saat itu. Kalaulah bertawassul kepada nabi itu BENAR PEMAHAMANNYA, tentulah ‘Umar akan mendahulukan nabi daripada pamannya! Dan kalaulah para shahabat yang lain berpemahaman demikian, maka tentu mereka akan menyelisihi/mengingkari umar, karena kita lebih berhak mendahulukan nabi daripada selainnya. AKAN TETAPI, tidak ada para shahabat yang berpemahaman demikian, bahkan mereka menyetujui perbuatan umar tersebut!
    Kenapa dikatakan Syirik?
    Karena perkataaan “mohonkanlah kepada Allah” adalah SERUAN dan SERUAN bermakna “DOA”. barangsiapa yang menyeru/berdoa kepada selain Allah, maka ia telah melakukan kesyirikan.
    - Pendapat ketiga, hal ini BID’AH (lihat alasan diatas), TAPI BUKAN SYIRIK. dan inilah yang benar
    Alasannya? Tidak ada satupun perkataan diatas yang bermakna PENYEMBAHAN kepada orang yang sudah wafat tersebut! Adapun perkataan “menyeru” maka kita jawab: sesungguhnya seruan itu UMUM. Ada yang bermakna PENYEMBAHAN, adapula yang bermakna BUKAN PENYEMBAHAN.
    Adapun tawassul diatas, maka ini tidak ada bentuk penyembahan didalamnya. Sedangkan yang dimaksudkan oleh ayat diatas adalah seorang menyembah kepada selain Allah, kemudian agar sesuatu/seseorang yang mereka sembah tersebut dapat membantu mereka untuk lebih dekat disisi Allah atau membantu mengangkat derajat mereka disisi Allah. Seakan-akan orang-orang yang mereka sembah itu (meskipun malaikat atau nabi), memiliki hak untuk disembah, padahal tidak. Dan juga mereka mengira, dengan menyembah nabi/malaikat, adalah cara pendekatan diri kepada Allah; padahal tidak. Dan juga mereka mengira, dengan menyembah nabi/malaikat, maka kelak nabi/malaikat akan memberikan syafa’at kepada mereka disisi Allah; padahal tidak demikian.
    Tapi perkataan sebagian kaum muslimin yang berkata kepada penghuni kubur: “doakan aku agar Allah (begini dan begitu)” maka ini bukanlah bentuk penyembahan mereka kepada orang shalih tersebut, yaitu dengan maksud beribadah kepada mereka; bukan. Hal ini adalah KESALAHPAHAMAN mereka, bahwa orang yang mati dari kalangan nabi atau orang shalih, adalah termasuk tawassul yang disyari’atkan. Oleh karenanya hal ini dikatakan sebagai bid’ah karena tidak sesuai dengan pemahaman dan pengamalan Rasuulullaah dan para shahabatnya. Adapun mengatakan bahwa seruan tersebut adalah seruan penyembahan. Maka ini kekeliruan.
    Terkecuali, jika mereka memiliki salah satu dari tiga keyakinan berikut:
    “Jika amalan ini diiringi keyakinan syafaat syirkiyyah barulah amalan ini berstatus syirik besar pembatal Islam:
    Pertama, seorang yang menjadikan antara dirinya dengan Allah perantara dalam doa dan dia berkeyakinan bahwa Allah itu tidak akan menjawab doa orang yang memanjatkan doa kepada-Nya secara langsung karena harus ada perantara antara Allah dengan makhluk dalam doa.
    Kedua, atau menyakini bahwa Allah itu menjawab doa si perantara karena Allah itu membutuhkan perantara
    Ketiga, atau menyakini bahwa si perantara itu memiliki hak yang wajib Allah tunaikan”
    (Mudzakkirah al Aqidah al Islamiyyah hal 70-71; kutip dari ustadzaris)
    Wallaahu a’lam