Senin, 06 Desember 2010

KAIL PERAJUT BERKAH

Ibarat sebuah kail. Sangat kecil, bahkan terkesan sepele, dan tidak menggambarkan manfaat sedikit pun. Tapi kail tetap digunakan orang, terutama untuk memperoleh sesuatu yang jauh lebih besar. Kail baru dirasakan begitu penting, besar, dan tidak sepele setelah kail dapat memberikan hasil besar bagi penggunanya, atau bahkan jauh lebih besar dari apa yang dibayangkan sebelumnya. Orang baru tahu manfaat kail setelah kail itu memberikan hasil. Tapi orang tidak akan pernah tahu manfaat kail sebelum ia sendiri menggunakannya.
Inilah kail. Sebuah kenyataan yang sarat hikmah dan pelajaran. Tapi dalam tulisan ini kita tidak akan lebih jauh mendiskusikan kail. Kail hanyalah sebuah perumpamaan. Ibarat kail, zakat, infaq, dan shadaqah akan memberikan sesuatu yang lebih besar. Tapi hanya bagi pelakunya. Al-Qur’an sendiri menggambarkan kelipatan yang sangat besar dari jumlah yang dikeluarkan dalam berzakat, berinfaq, dan beshadaqah. Hingga tujuh ratus kali lipat dari tujuh dahan pohon. Al-Qur’an menjanjikan kelipatan balasan bagi orang yang menginfaqkan sebagian kecil hartanya.
Karena itu sejak awal Rasulullah mentradisikan zakat sebagai fasilitas ilahiyah dalam mendapatkan keuntungan baik dunia maupun akhirat. Nabi pun mulai memelihara ajaran zakat. Ajaran zakat sendiri, khususnya pada awal perkembangan masyarakat Islam di era Rasulullah, bukan saja merupakan salah satu perwujudan dari ketaatan pada perintah Allah dan Rasulnya, tapi juga sekaligus menjadi kekuatan sosial yang berfungsi memperkokoh bangunan kebersamaan di antara sesama. Tidak semua orang Makkah dan Madinah yang menjadi pengikut Nabi saat itu berasal dari lapisan masyarakat atas secara ekonomi. Banyak para hamba sahaya yang tulus menjadi pengikut Nabi, atau orang-orang fakir-miskin dan yatim-piatu, termasuk janda-janda shalihah yang ditinggal suaminya karena gugur di medan perang, dapat tertolong secara sosial oleh tegaknya ajaran zakat.
Tradisi Nabi dalam mengelola zakat untuk kepentingan sosial ini dilanjutkan oleh para shahabat dan tabi’in. Sejalan dengan semakin berkembangnya masyarakat muslim dari waktu ke waktu, pelaksanaan ajaran zakat pun menghadapi permasalahan yang tidak pernah muncul pada zaman Nabi dan para shahabatnya. Maka, karena tantangan munculnya berbagai persoalan seperti itulah hingga pada periode berikutnya lahir satu rumusan petunjuk pelaksanaan perintah Allah ini dalam bentuk yang sekarang disebut fiqh zakat. Berbagai ijtihad dilakukan untuk menemukan solusi pengelolaan zakat agar tetap mampu memelihara semangat sosial, sekaligus memberikan efek spiritual bagi para pelakunya.
Dengan mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan empirik sosiologis yang berkembang mengikuti perjalanan masyarakat Muslim dari zaman ke zaman itu pula, seorang pemikir Muslim kontemporer, Yusuf Qardhawi, merumuskan berbagai terobosan fiqhiyah dalam hal pelaksanaan zakat. Berbagai telaah tentang zakat menyebutkan bahwa untuk memelihara tujuan disyariatkannya (maqashid syar’iyah) perintah zakat, diperlukan ijtihad-ijtihad sosial yang akan memberikan efek produktif bagi kemaslahatan umat. Karena itu, untuk mengantisipasi kompleksitas pengelolaan zakat sejalan dengan semakin kompleksnya struktur masyarakat, salah satunya, diperlukan sistem kelembagaan zakat.
Karena tujuan besar dan mulia inilah, lembaga-lembaga zakat dibangun bukan saja berorientasi pada dimensi mustahiq, tapi juga pada dimensi muzakki. Melalui sistem kelembagaan ini, para amilin bukan saja akan berfungsi sebagai pengumpul dan pendistribusi zakat secara konvensional, tapi juga akan berfungsi sebagai jembatan kehidupan di antara lapisan-lapisan sosial yang sering tampak sangat senjang. Ia bukan hanya memikirkan pola pendistribusian yang cenderung konsumtif, tapi juga akan memasuki wilayah pemberdayaan para mustahiq secara lebih produktif.
Oleh karena itu, lahirnya lembaga-lembaga zakat seperti halnya Dompet Dhuafa, salah satunya, ingin membuka ruang produktifitas yang lebih besar dan akan memberikan dampak sosial yang lebih besar pula. Melalui fungsi kelembagaan ini, mekanisme zakat dapat berlangsung dalam alur administratif yang relatif lebih baik, sehingga perolehan serta penyalurannya dari tahun ke tahun dapat berjalan dengan tetap mengacu pada ketentuan normatif tentang muzakki dan mustahiq di satu pihak, dan di pihak lain, setiap muzakki dapat menunaikan kewajiban zakatnya melalui suatu lembaga secara lebih tertib, nyaman, dan mudah.
Jadi, inilah kail kehidupan, kail solidaritas, kail perajut berkah yang dapat membahagiakan ratusan kali lipat orang miskin untuk merasakan kebahagiaan bersama.
oleh: *Prof. Dr. KH. Miftah Faridl
*Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Bandung, Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa Jawa Barat

Mekah Bertabur Cahaya ( seri 1 )

* Penulis angggota FLP Jatinangor & Anggota LSPI (Lembaga Studi Politik Islam) UIN Bandung

“Hei … lelaki brengsek!!!” bentak seorang lelaki Bani Khuza’ah dengan sangat murka. Matanya merah menyala.
Oleh Jahar*
Lelaki yang dibentaknya itu sangat kaget. Dia berasal dari Bani Kinanah. Dia merasa gentar menyaksikan sorot mata lelaki yang berasal dari kabilah Khuza’ah itu. Dia merasa yakin bahwa lelaki tersebut akan membuat perhitungan terhadap dirinya. Dia menghiraukan bentakan itu dan segera melangkah secepatnya. Namun, langkahnya terhenti karena lelaki Bani Kinanah segera menghadangnya.
Sambil mencekik leher lelaki yang berada tepat dihadapannya itu, lelaki Bani Kinanah berkata dengan suara parau, “Dengar … lelaki brengsek, laknatullah alaik … terimalah perhitungan atas apa yang telah kau lakukan!”“Kau telah menghina Muhammad. Kau sengaja menghina orang yang paling mulia dan tinggi derajatnya. Kau akan mendapatkan dari balasan syairmu yang murahan dan kotor itu.”
Nyali lelaki Bani Kinanah langsung menciut. Wajahnya pusat pasi. Dalam hatinya tiba-tiba terbersit penyesalan atas tindakannnya yang telah mencela Rasulullah dalam syair-syair gubahannya. Tidak ada yang bisa membantunya, sehingga dengan mudah lelaki Bani Khuza’ah menyerangnya. Perkelahian pun terjadi dengan sengit sampai lelaki yang telah menghina Rasulullah itu tewas.
***
Sebuah malam yang pekat …Serangan balasan telah dipersiapkan dengan matang. Rencana penyerangan ini direstui oleh para pejabat Darunnadwah1. Bani Kinanah mendapatkan sokongan militer yang keberadaannya dirahasiakan. Militer bantuan itu bergabung dengan pasukan Bani Kinanah di sebuah tempat yang bernama Al-Watir.
Huru-hara tidak dapat dihindarkan. Militer gabungan itu menyerang tanpa belas kasihan. Mereka menyerang secara membabi buta demi melampiaskan dendam kesumat yang memuncak dalam dada mereka. Setelah puas, barulah mereka sadar bahwa mereka telah melanggar perjanjian dengan Nabi Muhammad. Mereka pun pulang dengan hati yang diliputi kecemasan, ketakutan dan rasa bersalah.
Amer bin Salim, pemimpin Bani Khuza’ah melelehkan air mata saat menyaksikan sekitar dua puluh orang warganya mati. Hatinya amat pedih. Dia segera menemui Rasulullah. Di hadapan Sang Utusan Allah, Amer berkata: “Sungguh aku memanggil Muhammad, wahai TuhankuSekutu orangtua kami dan orangtuanya duluTadinya kalian adalah anak, sedang kami adalah anakDi sana kami berdamai, dan kami tidak pernah mengubahTolonglah! Semoga sekarang juga kamu diberi pertolonganSerulah hamba-hamba Allah datang sebagai bala bantuanDi dalamnya ada Rasulullah yang tidak memihakkanNamun wajahnya akan berubah jika dihinakanDalam pasukan besar seperti laut yang menglair hingga buih dikeluarkanSesungguhnya kaum Quraisy mengingkari janjinya denganmuMelanggar perjanjian yang disepakatinya bersamamuDi Kada’ mereka mengincar untuk membunuhkuMereka mengira tak seorang pun yang bisa aku ajaknyaSedang mereka lebih hina dan lebih sedikit jumlahnyaMereka menyerang kami di Al-Watir saat kami bertahajjudDan membunuh kami ketika sedang ruku dan sujud” Setelah mendengar penjelasan Amer, Muhammad pun berdiri.
“Aku tidak akan ditolong jika aku tidak membantu kalian sebagaimana aku menolong diriku sendiri. Sesungguhnya awan mendung ini akan dimulai hujannya dengan kemenangan kalian”
***
Masyarakat Mekkah dihantui kecemasan. Satu-satunya harapan mereka adalah pimpinan mereka sendiri, yaitu Abu Sofyan Bin Harb. Harb pergi ke Madinah menemui Rasulullah untuk meminta perpanjangan gencatan senjata. Bagaimanapun negara Madinah sudah memiliki pengaruh dan posisi yang kuat di Jazirah Arab. Meskipun dia menyadari bahwa peluang itu sangat kecil, tetapi tiada salahnya hal tersebut dicoba, siapa tahu Muhammad yang pemurah itu mengabulkannya, pikir Harb.
Saat di perjalanan, ia berpapasan dengan Budail bin Warqa. Harb meyakini bahwa Budail telah menemui Rasulullah. “Dari manakah kamu, hai Budail?”
Budail tidak langsung menjawab. Dia berpikir tidak mungkin berkata jujur. Tak lama kemudian dia berkata, “Aku bersama orang-orang khuza’ah habis berjalan-jalan di pantai dan pedalaman lembah ini.”
“Hmmm… apakah kamu baru menemui Muhammad?” Harb berusaha menyelidik.
“Ah… tidak … aku tidak menemui Muhammad.”
Harb melihat kebohongan tidak bisa disembunyikan dari mata Budail. Kemudian dia pun mencari taktik lain untuk mengetahui apakah Budail telah menemui Rasulullah atau tidak. Harb mencuri-curi kesempatan untuk memeriksa kotoran unta yang ditunggangi Budail. Di dalam kotoran itu ia menemukan biji-biji Kurma. Akhirnya dia menyimpulkan bahwa Budail telah melakukan perjalanan dari Madinah.
Abu Sofyan makin cemas. Terbayang di pelupuk matanya sebuah perang dahsyat yang tak bisa terelakkan. Dalam perang tersebut, kaumnya mengalami kehancuran.
Bagaimanapun perang itu tidak boleh terjadi, tekadnya. Dia pun mempercepat perjalanannya agar segera sampai di negeri Madinah. Ketika sampai di Madinah, dia langsung menemui Rasulullah tetapi Rasulullah malah mendiamkannya. Lalu Harb menemui anaknya yang tidak lain adalah istri Rasulullah, Ummu Habibah. Dia bermaksud merayu putrinya itu agar berbicara kepada suaminya. Tetapi, ketika sudah sampai di rumah putrinya, Ummu Habibah malah melipat tikar yang akan diduduki ayahnya.
Abu Sofyan keheranan melihat tingkah putrinya itu.
“Putriku, aku tidak mengerti apakah kau senang dengan kedatanganku dan membenci tikar ini ataukah kau membenciku dan menyayangi tikarmu ini?”
“Tikar ini milik Rasulullah, sementara kau orang musyrik dan najis. Sungguh aku tidak rela engkau mendudukinya.”
Hati Harb sangat hancur karena merasa telah disia-siakan oleh anaknya.
“Wallahi. Sungguh kau telah menjadi jahat setelah lama berpisah denganku.”
Putrinya diam dan menunduk. Harb pun pulang dengan membawan kepedihan.
***
Abu Sofyan Bin Harb berharap pada Abu Bakar. Dia pun datang ke rumah Abu Bakar. Sampai di rumah abu Bakar ia mengungkapkan keinginannya.
“Aku tidak mau,” tolak Abu Bakar.
Abu Bakar terdiam. Dia tak tahu apa yang mesti dilakukannya. Kepada siapa lagi aku harus meminta bantuan, pikirnya. Dia tidak menyangka Abu Bakar akan setega itu. Dia kemudian berpikir sejenak. Mungkin Umar bisa membantuku, pikirnya lagi.
Dia pun bertolak ke rumah Umar dan mengatakan hal yang sama seperti kepada Abu bakar.
“Apa???” Umar terperanjat. Dia langsung berdiri dan memandangi Harb dengan tajam tanpa ada rasa simpati sedikit pun.
Dengan nada tinggi Umar kembali berkata, “aku harus menolong kalian di hadapan Rasulullah? Wallahi! Walau hanya dengan semut kecil, aku akan memerangimu dengan semut itu.”
***
“Hai Ali,” kata Harb, “engkaulah orang yang paling penyayang. Aku menemuimu untuk suatu kebutuhan. Tolong jangan biarkan aku pulang sia-sia. Bantulah aku menghadap Rasulullah.”
Ali menatap mata Abu Sofyan yang sayu. Dia tahu bahwa lelaki pemuka musyrikin Quraisy itu tidak punya cara lain selain meminta belas kasihan dari Rasulullah.
“Gawat! Demi Allah! Tekad Rasulullah sudah bulat. Kita tidak bisa bernegosiasi lagi dengan beliau. Rasul tidak akan pernah berkompromi dengan orang yang sering melanggar perjanjian.”
Harb menoleh ke arah Fatimah yang tengah mengasuh Hasan. Cucu Rasulullah tengah belajar merangkak. Harb menyimpan harapan pada putri Muhammad itu.
“Maukah kau menyuruh anak kecil ini menyelamatkan manusia dari hukuman yang akan dijatuhkan oleh ayahmu terhadap mereka?”
“Anakku tidak dapat menyelamatkan manusia. Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan mereka dari hukuman yang akan dijatuhkan Rasulullah.”
Abu Sofyan sangat frustrasi. Ia tidak tahu lagi langkah apa yang mesti ia lakukan. Ia tidak mau pulang ke hadapan warganya tanpa membawa hasil sesuai yang diharapkan mereka.
“Sungguh ini yang rumit. Tolong berilah aku saran wahai Abu Hasan”
“Aku tidak tahu. Sekarang lebih baik kau berdiri dan selamatkanlah manusia. Pulanglah ke tempat asalmu.”
“Apa itu bermanfaat untukku,” tukas Harb.
“Tidak sama sekali, namun aku tidak punya alternatif lain.”
Harb melaksanakan nasehat Ali. Dia pergi ke masjid. Di depan para sahabat dia berkata, “wahai manusia. Sungguh aku telah menyelamatkan manusia.” Orang-orang merasa aneh atas tingkah Harb. Mereka sama sekali tidak tertarik. Dengan tenaga yang masih tersisa, Harb kembali ke Mekkah dengan tangan hampa. ***Muhammad tengah mempersiapkan barisan militer kaum muslimin. Namun beliau tidak memberitahukan dengan siapakah mereka akan bertempur. Memang sudah menjadi kebiasaan beliau jika akan bertempur tidak memberitahukan lebih dini. Rasul duduk seorang diri di suatu tempat yang sunyi. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit dalam suasana yang khidmat dan agung.
Yaa Allah … tutuplah seluruh mata orang quraisy agar mereka tidak melihatku kecuali dengan tiba-tiba. Sementara Abu Bakar menemui putrinya, Aisyah. Lalu dia bertanya, “apakah Rasul memerintahkanmu mempersiapkan perbekalan yang dibutuhkan beliau?”
“Ya,” jawab Aisyah.
“Kemanakah beliau akan pergi?” selidik sang ayah.
“Aku tidak tahu,” ucap Aisyah sambil menggelengkan kepala. (bersambung...)

Mekah Bertabur Cahaya ( seri 2)

HATHIB mengetahui rencana Muhammad. Hatinya gusar. Dia teringat keluarganya di Mekkah. Seandainya Rasulullah benar-benar meluluhlantakkan Mekkah, bagaimanakah nasib keluargaku di sana? Pikirnya. Serta merta tangannya menulis. Dia berpikir inilah yang seharusnya ia lakukan.
Oleh Jahar*
Sesungguhnya Rasulullah telah memberangkatkan pasukan untuk menyerang kalian. Pasukan itu demikian besar. Mereka menerjang bagai air bah. Rasulullah telah bersumpah atas nama Allah, seandainya ia datang seorang diri, maka Allah pasti akan menganugerahkan kemenangan...
Hathib menugaskan Sarah untuk mengantarkan surat tersebut, Sarah adalah seorang budak Bani Abdul Muthalib yang mendapatkan kemurahan dari Rasul. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Sarah mendapatkan imbalan sebesar sepuluh dinar. Sarah sangat bahagia. Selain mendapatkan imbalan yang cukup besar itu, ia juga membayangkan hadiah yang lebih besar lagi tengah menunggunya di Mekkah. ***“Pergilah kalian secepatnya ke Raudhah Khakh,” ungkap Rasul, “di sana kalian akan menemukan seorang perempuan yang menunggangi unta. Dia membawa sebuah pesan dari Hathib untuk Musyrikin Quraisy. Ambil surat itu dan bebaskan perempuan tersebut. Kalau dia menolak memberikannya, bunuh saja dia.”
Ali, Miqdad, dan Zubair segera bergegas. Mereka memacu kuda untuk mengejar perempuan yang diceritakan oleh Rasullullah itu. Ternyata mereka dengan mudah dapat menemukan perempuan itu.
“Mana surat itu?” mereka bertiga serempak menggertak Sarah.
“Aku tidak punya surat apa pun,” ungkap sarah sambil berusaha menutupi rasa cemasnya.
Suara Ali makin meninggi. “Keluarkan surat itu. Jika tidak, kau akan kutelanjangi.”
Sarah memandang mata Ali yang sangat tajam. Nyalinya tiba-tiba menciut. Dia takut melihat sorot mata Ali. Dia merasa yakin Ali benar-benar akan melakukan ancamannya jika ia tidak menurutinya. Akhirnya ia pun menyerah.
“Baiklah,” ucap sarah. Dia memejamkan mata seraya menarik nafas. Dengan berat hati, ia melanjutkan ucapannya, “sekarang kalian berpalinglah dariku.”
Ketiga lelaki itu dengan segera membelakangi Sarah. Lalu perempuan itu mengurai gulungan rambutnya untuk mengambil surat yang ia sembunyikan di dalam gulungan rambutnya. ***“Hai Hathib, apa maksud suratmu ini,” tanya sang Nabi.
Hathib cemas. Keringat dingin meleleh di sekujur tubuhnya. Ia tak berani memandang wajah Nabi yang begitu mulia. Dia baru sadar akan kesalahan yang baru saja ia lakukan.
“Ya Rasulullah … jangan terburu-buru menghukum diriku …”
Dia kelu untuk berkata. Dia sangat malu dan menyesal telah berbuat demikian.
“Wallahi … ya Rasulullah … aku … aku … beriman kepada Allah dan Rasul-Nya … aku … tidak berubah … juga tidak murtad! Hanya saja aku tidak mempunyai silsilah di kabilah Quraisy, sementara keluargaku berada di lingkungan mereka. Aku ingin agar mereka melindungi keluargaku.”
Tiba-tiba Umar naik pitam. “Ya Rasul, izinkan aku memenggal leher orang ini. Dia benar-benar munafik!”
Namun Rasul dengan amat bijaksana berkata, “Engkau tidak tahu Umar. Sesungguhnya dia pernah ikut perang Badar. Mungkin Allah memandangnya sebagaimana para mujahid badar. Bukankah Allah telah berfirman: ‘kerjakanlah apa yang kalian inginkan karena aku telah mengampuni kalian.”
Tak lama kemudian Rasulullah menerima wahyu yang berbunyi:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” ***10 Ramadhan, tahun ke-8 Hijrah …
Rasul dan kaum muslimin tengah bergerak. Mereka berangkat dalam keadaan berpuasa. Panas matahari dan gurun bersatu membakar semangat mereka. Rasulullah merasa kasihan melihat umatnya. Maka beliau memutuskan untuk memberikan keringanan, yaitu dengan memerintahkan mereka untuk berbuka. Pasukan muslim berpapasan dengan seseorang yang berkuda. Orang tersebut rupanya Abbas, paman nabi yang hendak berhijrah menuju Madinah. “Paman, engkau adalah muhajirin terakhir seperti halnya diriku, nabi yang terakhir,” ucap nabi.
Lalu beliau memerintahkan beberapa orang untuk mengantarkan barang bawaannya ke Madinah. Sementara Abbas bergabung dengan nabi dan kaum muslimin. Nabi dan pasukannya dihadang oleh empat orang. Mereka dipimpin oleh Abu Sofyan Bin Harits. Orang inilah yang telah menyakiti Rasulullah dengan syair-syairnya dan juga pedangnya. Harits ditemani oleh anaknya yang bernama Ja’far, anaknya bibi Rasul yang bernama Abdullah Bin Abi Umayah, dan saudara laki-laki Ummu Salamah.
Abdullah Bin Abi Umayah, mendekati saudara perempuannya, Ummu Salamah.
“Hai Ummul mukminin mohonkan ampunan Rasulullah untuk kami”
Ummu Salamah melirik nabi seraya berkata, “Ya Rasul, anak pamanmu, anak bibimu, dan saudara iparmu tidak seharusnya celaka. Bagaimanapun juga mereka adalah keluargamu.”
Roman muka Nabi tiba-tiba berubah. Serta merta beliau membelakangi mereka.
“Aku tidak butuh mereka… anak pamanku telah menghinaku. Anak bibiku dan saudara iparku adalah orang-orang yang selalu mencelaku sewaktu di Mekkah.”***Harits, Ja’far dan Abdullah kembali menemui Rasulullah. Tetapi beliau tidak mau memandang mereka sedikit pun. Haris merubah posisinya agar bisa berhadapan dengan Rasul dan menatap wajahnya yang amat teduh bercahaya. Namun Rasul memalingkan muka lagi.
Tiba-tiba Harits teringat sebuah saran dari Ali. Kemudian ia menyitir ayat, “Mereka berkata: ‘Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).’”
Rasul sangat terenyuh. Ia membalasnya dengan berkata, ”Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang.”
Kemudian ketiga orang lelaki itu pun bersaksi, menyatakan kesetiaannya pada Nabi dan risalah yang diembannya. Rasulullah sangat bahagia. Sambil tersenyum ia berkata, “engkau dulu telah mengusirku … ”
Harits tertunduk. Ia merasa sangat malu sekaligus menyesal. Rasul melirik Ali sambil berkata, “Ajari saudara sepupumu ini cara berwudhu. Ajarkan pula kepadanya As-sunnah.”***Pasukan Muslim Terus Bergerak ….
Pasukan muslim berkemah di Murr Ad-Dhahran. Di tempat tersebut mereka menyalakan sepuluh ribu obor. Pasukan yang jumlahnya cukup besar itu telah diorganisir di bawah komando Nabi. Mereka terbagi ke dalam empat detasemen yang ditugaskan dari berbagai penjuru. Mereka direncanakan akan digabungkan dalam satu titik, yaitu kota Mekkah. Keempat kelompok tersebut masing-masing dikomandani oleh Khalid bin Walid, Zubair bin Awwam, Abi Ubaidah, dan Sa’ad bin Ubadah. Persiapan mereka sudah sangat matang, tinggal menunggu komando dari Rasul. Mereka membayangkan dengan amat yakin bahwa kemenangan ada di pihak mereka. Allah telah menjanjikannya.
Rasul memberikan keledainya yang berwarna putih kepada Abbas. Beliau memercayakan jalan diplomasi kepada pamannya. Pamannya pun segera bertindak dengan cepat. Setelah tiba di Al-Urak, dia berharap dapat menemukan salah seorang penjual kayu, penjual susu, atau orang yang berkepentingan ke Mekkah agar dapat memberitahukan berita mengenai Rasulullah kepada Quraisy. Dengan begitu mereka akan segera meminta suaka keamanan kepada Rasulullah.
Abbas terus berjalan menunggangi keledai. Hampir lama ia tak menemukan seorang pun. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, tiba-tiba ia mendengar suara riuh, seperti orang yang tengah berbincang-bincang. Dia segera mendekati suara itu sambil tetap waspada. Firasatnya mengatakan bahwa yang sedang berdialog itu adalah Abu Sofyan Bin Harb. Ternyata firasat Abbas benar. Dari jarak yang tidak terlalu jauh dan dipastikan aman, Abbas menyimak percakapan mereka.
“Aku belum pernah melihat api dan perkemahan seperti yang kulihat malam mini,” kata Harb.
“Sungguh itu adalah api yang dinyalakan oleh Bani Khuza’ah,” ungkap Budail.
“Tidak mungkin! Orang-orang Khuza’ah terlalu kecil untuk menyalakan api dan perkemahan sebesar itu.”
Abbas bergegas mendekati mereka. Keledai yang ditungganginya berpacu dan menyisakan debu beterbangan pada malam yang dingin dan pekat.
”Hai, Abu Sofyan!”“Abbas, kaukah itu?” Tanya Harb menebak-nebak. Malam yang gelap membuatnya kesulitan mengenali orang. Namun Harb yakin bahwa suara orang yang menyapanya tadi adalah suara Abbas.
“Ya betul. Aku Abbas.”
“Ada apa denganmu, Abbas?!”
“Gawat, Abu Sofyan! Itu adalah api dan perkemahan Rasulullah dan pasukannya. Pagi ini, kaum Quraisy harus berhati-hati.”
Harb tertegun. Hatinya menjadi sangat lemah. Rasa putus asa menyelinap di dadanya.
“Bagaimana cara menghindar dari ini semua?” tanya Harb terbata-bata.
“Jika Rasulullah berhasil menangkapmu, beliau pasti memenggal lehermu. Oleh karena itu, naiklah bersamaku. Aku akan membawamu menghadap Rasul. Aku akan meminta jaminan keamanan atasmu.”
Harb mengikuti perkataan Abbas. Dia duduk di belakang Abbas, di atas keledai putih Rasul. Keledai itu membawa mereka berdua melewati setiap perkemahan yang didirikan pasukan kaum muslimin. Sebagian pasukan muslim bertanya, “siapa orang ini?” Mereka mengetahui bahwa keledai itu milik Rasul. (bersambung...)

Mekah Bertabur cahaya ( seri 3 tamat)




“Oooh, paman Rasul sedang mengendarai keledai beliau,” kata mereka.
Abbas meneruskan perjalanan. Dia melewati perkemahan Umar Bin Khattab.
“Siapa orang ini?” selidik Umar sambil mendekati Abbas. Dia menyelidiki orang yang berada di belakang Abbas.
“Abu Sofyan!!!” teriak Umar, “Musuh Allah! Alhamdulilah, kau telah ditaklukkan tanpa perjanjian.”
Oleh Jahar*
Umar segera berlari menuju perkemahan Rasul. Abbas tidak kalah cepat. Dia memacu keledainya dan mengejar Umar. Mereka saling kejar. Mereka berlomba untuk menghadap Rasul paling pertama. Abbas ternyata menang. Dia lebih dulu datang kepada Rasul. Namun belum sempat ia berbicara, Umar sudah mendahuluinya.
“Wahai Rasul, ini Abu Sofyan. Allah telah menaklukkannya tanpa perjanjian. Ijinkan aku memenggal lehernya, ya Rasul!”
“Ya Rasul, aku telah melindungi Abu Sofyan.”
Abbas mendekati Rasul. Dia memandang Rasul dengan wajah yang penuh harap. Dia menghiba di hadapan Rasul.“Demi Allah! Pada malam ini tidak boleh ada yang berbicara denganmu selain diriku.”
Umar tidak mau berhenti berbicara. Dia tidak bosan meminta izin untuk memenggal Abu Sofyan. Abbas sangat kesal. Dia menilai Umar tidak memiliki belas-kasih sekaligus tidak menghargai usahanya untuk menghindari pertumpahan darah.
“Umar, diamlah! Jika Abu Sofyan berasal dari Bani Adi bin Ka’ab, tentu kau tidak akan berkata seperti ini.”
“Kau yang harus! Sungguh keislamanmu saat kau masuk Islam itu lebih kusukai daripada keislaman Khattab kalau ia masuk Islam.”
Rasulullah menengahi pertengkaran mereka. Beliau berkata, “Abbas, pergilah dengan Abu Sofyan ke tempat istirahatmu dan menghadaplah padaku besok pagi.”
Abbas tersenyum bahagia. Dia melirik Umar yang mukanya kelihatan kecut. Abbas merasa dirinyalah yang menang. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan rasul. Di tempat peristirahatannya, ia membujuk Harb untuk tunduk di bawah pimpinan dan kekuasaan Rasul.
Malam semakin larut. Dingin begitu menusuk sendi-sendi. Abbas sudah lelap. Sementara Harb masih tertegun. Dia memikirkan perkataan Abbas. Hatinya masih gamang. Suasana makin dingin. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh. Bunci keciprat air. Dia pun keluar karena penasaran. Dia melihat gerakan-gerakan aneh yang dilakukan oleh beberapa pasukan muslimin. Mereka membasuh beberapa anggota badannya dengan air. Apakah mereka tidak kedinginan? Kok mau-maunya menyentuh air malam-malam begini, pikirnya.
Tanpa sadar ia menikmatinya. Dia merasa senang melihat mereka. Kini mereka mulai bertakbir, mengangkat kedua tangan, ruku, dan sujud. Nikmat dan menenangkan sepertinya, pikirnya lagi. Dia memandangi wajah mereka satu per satu. Sangat menyenangakan. Ada pancaran cahaya dari wajah mereka yang teduh.
Tak jauh dari belakang Harb, Abbas sedari tadi terbangun dan memperhatikan Harb. Semoga kau mendapatkan cahaya Allah, kata tersebut mengalir dari hatinya yang terdalam. Dia segera melangkah untuk bersuci dan menghadap kepada Penguasa alam ini.***
“Celakalah kau, hai Abu Sofyan! Apakah belum tiba waktumu untuk mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?” ungkap Rasul.
“Engkau sungguh mulia, lembut, dan suka menyambung hubungan kekerabatan. Sungguh aku meyakini seandainya ada Tuhan selain Allah, maka tuhan tersebut pasti telah mencukupiku dengan sesuatu.”
“Celakalah kau, hai Abu Sofyan! Apakah belum tiba waktumu untuk mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah?” “Engkau sungguh mulia, lembut, dan suka menyambung hubungan kekerabatan. Mengenai hal ini, hatiku masih belum yakin hingga sekarang.”
“Abu Sofyan, masuk Islamlah dan bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah sebelum aku memenggal lehermu,” kata Abbas dengan tegas.
Jantung Abu Sofyan berdetak sangat kencang. Tubuhnya terasa lemas. Pikirannya membayangkan tentang kematian. Aku tidak mau mati sia-sia! Aku masih ingin hidup, ia berkata dalam hati.
“Ayolah, Abu Sofyan! Waktumu tidak begitu banyak.”
Abu Sofyan menyerah. Akhirnya ia melafadzkan syahadat. ***
“Ya Rasul, Abu Sofyan adalah orang yang senang dengan kebanggaan. Karena itu berikan sesuatu kepadanya.”
“Ya. Aku sudah memikirkan hal itu. Untuk itu, siapa saja yang memasuki rumah Abu Sofyan, maka ia aman, siapa saja yang menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan siapa saja yang memasuki masjid al-Haram, maka ia aman.”
Pasukan kaum muslim melakukan serangkaian aksi parade militer. Rasul memerintahkan Abbas untuk membawa Harb ke tempat yang tinggi. Sejumlah kabilah lewat mempertontonkan aksinya. Abu Sofyan tercengang menyaksikannya. Dia merinding ketakutan.
“Abbas, siapakah mereka itu?”
“Mereka itu kabilah Sulaim.”
“Apa urusanku dengan kabilah Sulaim?!” komentar Harb.
Kabilah lain pun lewat. Harb bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
“Mereka kabilah Muzainah,” Abbas menjawab lagi.
“Apa urusanku dengan Kabilah Muzainah?!”
Begitulah seterusnya hingga setiap kabilah lewat. Terakhir, batalion Rasul yang berwarna hijau. Harb menatapnya tanpa berkedip. Mereka semua dilindungi baju besi.
“Subhanallah, Abbas! Siapa mereka itu?”
“Itu Rasul bersama Muhajirin dan Anshar.”
“Tidak ada seorang pun yang mampu menghadapi kekuatan mereka. Sungguh, kekuasaan anak saudaramu besok pagi akan menjadi amat agung.”
“Itulah kenabian.”
“Ya, benar,” ungkap Harb dengan yakin. Dia mulai mantap dengan status keislamannya.***
Harb sampai di Mekkah. Dia lari tergopoh-gopoh. Napasnya terengah-engah. Semua orang yang berpapasan dengannya sangat penasaran.
“Hai orang-orang Quraisy!” teriaknya dengan amat keras.
“Sebentar lagi Muhammad datang kepada kalian dengan membawa pasukan yang tiada tandingannya. Karena itu, siapa saja yang masuk ke rumahku, maka kalian aman!”
Tiba-tiba Hindun, istrinya datang dan menjewer kumisnya. Harb mengaduh kesakitan. Dia berusaha menghindar. Tapi cengkeraman istrinya sangat kuat. Hindun menatap orang-orang Quraisy dengan tajam.
“Perangilah orang gendut ini! Sungguh buruk sekali orang yang ditugasi menjaga kalian ini,” teriak Hindun.
“Jangan dengarkan ucapan wanita ini! Ingatlah Muhammad dan pasukannya tidak tertandingi. Kita tidak akan mampu menghadapainya. Siapa saja yang masuk ke rumahku, maka ia aman.”
“Semoga Allah membunuhmu! Apa artinya rumahmu bagi kami?” teriak orang-orang Quraisy.
Harb baru sadar. Tidak mungkin rumahnya cukup untuk menampung seluruh masyrakat Mekkah. Kemudian ia teringat perkataan rasul.
“Siapa saja yang menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan siapa saja yang memasuki masjid Al-Haram, maka ia aman.”
Tanpa pikir panjang mereka mengikuti perkataan Harb. Mereka bubar mencari tempat perlindungan. Sebagian mereka masuk rumah masing-masing. Dan sebagian yang lain masuk ke pelataran masjid Al-Haram. Mereka menanti kedatangan Rasul yang telah mereka aniaya dengan harap-harap cemas. Antara ketakutan dan harapan berpadu menciptakan suasana yang tak menentu. Dalam hati mereka, terbit pula rasa sesal mengapa telah berlaku tidak adil pada Rasulullah dan para pengikutnya. ***
Dan Cahaya pun Merekah …
Rasul dan pasukannya sudah tiba di Mekkah. Mereka memasuki kota suci itu dengan penuh ketawadhuan. Posisi kaum Quraisy berada dalam dua pilihan, dibunuh atau mau tunduk kepada daulah Islam yang dipimpin Rasul.
Sesampainya di depan Ka’bah, Rasul mengambil kunci Ka’bah dari Utsman bin Thalhah. Dialah yang selama ini dipercaya oleh orang Quraisy untuk memegang kunci Ka’bah. Kemudian beliau memerintahkan untuk menghancurkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah. Setelah mereka berthawaf. Aura kemusyrikan perlahan-lahan sirna. Ka’bah dan sekelilingnya kini mulai bercahaya. Sinar-sinar keimanan saling memantul ke segala arah.
Seorang Quraisy bernama Fadhalah mengintai Rasul dan berusaha membunuh beliau. Rasul sudah mengetahuinya. Lalu, Rasul mendekatinya.
“Apakah engkau Fadhalah?”
“Ya, Benar.”
“Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?”
“Tidak ada yang kupikirkan. Aku hanya berdzikir kepada Allah.”
Rasul tertawa. “Fadhalah, beristighfarlah!”
Rasul memegang dada Fadhalah. Tiba-tiba hati Fadhalah menjadi damai dan cinta kepada Rasul terbit sebelum Rasul mengangkat tangannya dari dadanya. Kemudian beliau memerintahkan menangkap dan membunuh orang-orang yang selama ini selalu memprovokasi untuk memeranginya.
Suasana makin memanas. Siang makin terik. Detik-detik yang paling menegangkan. Setiap hati akan semakin gundah bila ingat masa-masa ketika ia kerap kali menyakiti Rasul, mengganggunya ketika Shalat, melemparinya dengan kotoran, menghinanya dengan julukan ‘si gila’ dan ‘penyihir’.
“Menurut kalian, apakah yang akan kuperbuat kepada kalian?” Tanya Rasul di depan ka’bah dengan suara lantang. Beliau menatap penduduk Mekkah yang demikian banyak. Mereka terhimpun di pelataran Ka’bah dan sekelilingnya.“Engkau akan berbuat baik, engkau saudara kami yang baik, kau anak saudara kami yang baik,” jawab sebagian mereka. Suara tidak begitu jelas. Suasana riuh. Terdengar mereka saling berbisik, mencoba menebak apa yang akan dilakukan oleh Rasul.
“Pergilah! Kalian semua kubebaskan.”
Wajah-wajah pun mengembangkan senyum. Mereka demikian bahagia. Semua mata tertuju kepada Rasul. Sungguh, betapa mulianya kau, mereka berkata dalam hati.
Ali datang menghadap Rasululah sambil memegang kunci Ka’bah.
“Ya Rasul, kumpulkan untuk kami penjaga Ka’bah dan para pemberi minum orang-orang yang tengah berhaji.”“Mana Utsman bin Thalhah? Panggilkan dia!”
Tak lama kemudian orang yang disebut rasul datang.
“Utsman, aku berikan kunci ini padamu. Hari ini adalah hari kebaikan dan hari pemenuhan janji”
Kemudian, sesuai dengan perintah Rasul, Bilal naik ke atas Ka’bah. Dia mengumandangkan Adzan dengan keras.
Allahu Akbar! Allah Maha Besar!Aku bersaksi tiada Tuhan Selain AllahAku bersaksi bahwa Muhammad Utusan Allah Mari menuju kemenangan …
Awan putih berarak menghiasi birunya langit Mekkah. Panas kini berganti kesejukan. Angin Surga berhembus penuh kedamaian dan menyelusup ke setiap hati penduduk Mekkah. Kota yang penuh kemusyrikan telah ditundukkan. Mekkah kini bertabur cahaya. Kemudian cahaya itu mereka rengkuh dengan berbondong-bondong.(TAMAT)