"Al Islam adalah agama Allah yang diperintahkan mempelajari aqidah dan syariatnya kepada Nabi Muhammad dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada manusia, serta mengajak mereka untuk menganutnya. "Aqidah artinya sesuatu yang menjadi pengikat hati dan batin manusia. "Syari'at adalah undang-undang yang diturunkan Allah yang mengatur hubungan Allah dengan manusia, mengatur hubungan sesama muslim,dgn manusia lainnya, dgn kehidupan dan alam semesta.
Senin, 06 Desember 2010
Mekah Bertabur cahaya ( seri 3 tamat)
“Oooh, paman Rasul sedang mengendarai keledai beliau,” kata mereka.
Abbas meneruskan perjalanan. Dia melewati perkemahan Umar Bin Khattab.
“Siapa orang ini?” selidik Umar sambil mendekati Abbas. Dia menyelidiki orang yang berada di belakang Abbas.
“Abu Sofyan!!!” teriak Umar, “Musuh Allah! Alhamdulilah, kau telah ditaklukkan tanpa perjanjian.”
Oleh Jahar*
Umar segera berlari menuju perkemahan Rasul. Abbas tidak kalah cepat. Dia memacu keledainya dan mengejar Umar. Mereka saling kejar. Mereka berlomba untuk menghadap Rasul paling pertama. Abbas ternyata menang. Dia lebih dulu datang kepada Rasul. Namun belum sempat ia berbicara, Umar sudah mendahuluinya.
“Wahai Rasul, ini Abu Sofyan. Allah telah menaklukkannya tanpa perjanjian. Ijinkan aku memenggal lehernya, ya Rasul!”
“Ya Rasul, aku telah melindungi Abu Sofyan.”
Abbas mendekati Rasul. Dia memandang Rasul dengan wajah yang penuh harap. Dia menghiba di hadapan Rasul.“Demi Allah! Pada malam ini tidak boleh ada yang berbicara denganmu selain diriku.”
Umar tidak mau berhenti berbicara. Dia tidak bosan meminta izin untuk memenggal Abu Sofyan. Abbas sangat kesal. Dia menilai Umar tidak memiliki belas-kasih sekaligus tidak menghargai usahanya untuk menghindari pertumpahan darah.
“Umar, diamlah! Jika Abu Sofyan berasal dari Bani Adi bin Ka’ab, tentu kau tidak akan berkata seperti ini.”
“Kau yang harus! Sungguh keislamanmu saat kau masuk Islam itu lebih kusukai daripada keislaman Khattab kalau ia masuk Islam.”
Rasulullah menengahi pertengkaran mereka. Beliau berkata, “Abbas, pergilah dengan Abu Sofyan ke tempat istirahatmu dan menghadaplah padaku besok pagi.”
Abbas tersenyum bahagia. Dia melirik Umar yang mukanya kelihatan kecut. Abbas merasa dirinyalah yang menang. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan rasul. Di tempat peristirahatannya, ia membujuk Harb untuk tunduk di bawah pimpinan dan kekuasaan Rasul.
Malam semakin larut. Dingin begitu menusuk sendi-sendi. Abbas sudah lelap. Sementara Harb masih tertegun. Dia memikirkan perkataan Abbas. Hatinya masih gamang. Suasana makin dingin. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh. Bunci keciprat air. Dia pun keluar karena penasaran. Dia melihat gerakan-gerakan aneh yang dilakukan oleh beberapa pasukan muslimin. Mereka membasuh beberapa anggota badannya dengan air. Apakah mereka tidak kedinginan? Kok mau-maunya menyentuh air malam-malam begini, pikirnya.
Tanpa sadar ia menikmatinya. Dia merasa senang melihat mereka. Kini mereka mulai bertakbir, mengangkat kedua tangan, ruku, dan sujud. Nikmat dan menenangkan sepertinya, pikirnya lagi. Dia memandangi wajah mereka satu per satu. Sangat menyenangakan. Ada pancaran cahaya dari wajah mereka yang teduh.
Tak jauh dari belakang Harb, Abbas sedari tadi terbangun dan memperhatikan Harb. Semoga kau mendapatkan cahaya Allah, kata tersebut mengalir dari hatinya yang terdalam. Dia segera melangkah untuk bersuci dan menghadap kepada Penguasa alam ini.***
“Celakalah kau, hai Abu Sofyan! Apakah belum tiba waktumu untuk mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?” ungkap Rasul.
“Engkau sungguh mulia, lembut, dan suka menyambung hubungan kekerabatan. Sungguh aku meyakini seandainya ada Tuhan selain Allah, maka tuhan tersebut pasti telah mencukupiku dengan sesuatu.”
“Celakalah kau, hai Abu Sofyan! Apakah belum tiba waktumu untuk mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah?” “Engkau sungguh mulia, lembut, dan suka menyambung hubungan kekerabatan. Mengenai hal ini, hatiku masih belum yakin hingga sekarang.”
“Abu Sofyan, masuk Islamlah dan bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah sebelum aku memenggal lehermu,” kata Abbas dengan tegas.
Jantung Abu Sofyan berdetak sangat kencang. Tubuhnya terasa lemas. Pikirannya membayangkan tentang kematian. Aku tidak mau mati sia-sia! Aku masih ingin hidup, ia berkata dalam hati.
“Ayolah, Abu Sofyan! Waktumu tidak begitu banyak.”
Abu Sofyan menyerah. Akhirnya ia melafadzkan syahadat. ***
“Ya Rasul, Abu Sofyan adalah orang yang senang dengan kebanggaan. Karena itu berikan sesuatu kepadanya.”
“Ya. Aku sudah memikirkan hal itu. Untuk itu, siapa saja yang memasuki rumah Abu Sofyan, maka ia aman, siapa saja yang menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan siapa saja yang memasuki masjid al-Haram, maka ia aman.”
Pasukan kaum muslim melakukan serangkaian aksi parade militer. Rasul memerintahkan Abbas untuk membawa Harb ke tempat yang tinggi. Sejumlah kabilah lewat mempertontonkan aksinya. Abu Sofyan tercengang menyaksikannya. Dia merinding ketakutan.
“Abbas, siapakah mereka itu?”
“Mereka itu kabilah Sulaim.”
“Apa urusanku dengan kabilah Sulaim?!” komentar Harb.
Kabilah lain pun lewat. Harb bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
“Mereka kabilah Muzainah,” Abbas menjawab lagi.
“Apa urusanku dengan Kabilah Muzainah?!”
Begitulah seterusnya hingga setiap kabilah lewat. Terakhir, batalion Rasul yang berwarna hijau. Harb menatapnya tanpa berkedip. Mereka semua dilindungi baju besi.
“Subhanallah, Abbas! Siapa mereka itu?”
“Itu Rasul bersama Muhajirin dan Anshar.”
“Tidak ada seorang pun yang mampu menghadapi kekuatan mereka. Sungguh, kekuasaan anak saudaramu besok pagi akan menjadi amat agung.”
“Itulah kenabian.”
“Ya, benar,” ungkap Harb dengan yakin. Dia mulai mantap dengan status keislamannya.***
Harb sampai di Mekkah. Dia lari tergopoh-gopoh. Napasnya terengah-engah. Semua orang yang berpapasan dengannya sangat penasaran.
“Hai orang-orang Quraisy!” teriaknya dengan amat keras.
“Sebentar lagi Muhammad datang kepada kalian dengan membawa pasukan yang tiada tandingannya. Karena itu, siapa saja yang masuk ke rumahku, maka kalian aman!”
Tiba-tiba Hindun, istrinya datang dan menjewer kumisnya. Harb mengaduh kesakitan. Dia berusaha menghindar. Tapi cengkeraman istrinya sangat kuat. Hindun menatap orang-orang Quraisy dengan tajam.
“Perangilah orang gendut ini! Sungguh buruk sekali orang yang ditugasi menjaga kalian ini,” teriak Hindun.
“Jangan dengarkan ucapan wanita ini! Ingatlah Muhammad dan pasukannya tidak tertandingi. Kita tidak akan mampu menghadapainya. Siapa saja yang masuk ke rumahku, maka ia aman.”
“Semoga Allah membunuhmu! Apa artinya rumahmu bagi kami?” teriak orang-orang Quraisy.
Harb baru sadar. Tidak mungkin rumahnya cukup untuk menampung seluruh masyrakat Mekkah. Kemudian ia teringat perkataan rasul.
“Siapa saja yang menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan siapa saja yang memasuki masjid Al-Haram, maka ia aman.”
Tanpa pikir panjang mereka mengikuti perkataan Harb. Mereka bubar mencari tempat perlindungan. Sebagian mereka masuk rumah masing-masing. Dan sebagian yang lain masuk ke pelataran masjid Al-Haram. Mereka menanti kedatangan Rasul yang telah mereka aniaya dengan harap-harap cemas. Antara ketakutan dan harapan berpadu menciptakan suasana yang tak menentu. Dalam hati mereka, terbit pula rasa sesal mengapa telah berlaku tidak adil pada Rasulullah dan para pengikutnya. ***
Dan Cahaya pun Merekah …
Rasul dan pasukannya sudah tiba di Mekkah. Mereka memasuki kota suci itu dengan penuh ketawadhuan. Posisi kaum Quraisy berada dalam dua pilihan, dibunuh atau mau tunduk kepada daulah Islam yang dipimpin Rasul.
Sesampainya di depan Ka’bah, Rasul mengambil kunci Ka’bah dari Utsman bin Thalhah. Dialah yang selama ini dipercaya oleh orang Quraisy untuk memegang kunci Ka’bah. Kemudian beliau memerintahkan untuk menghancurkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah. Setelah mereka berthawaf. Aura kemusyrikan perlahan-lahan sirna. Ka’bah dan sekelilingnya kini mulai bercahaya. Sinar-sinar keimanan saling memantul ke segala arah.
Seorang Quraisy bernama Fadhalah mengintai Rasul dan berusaha membunuh beliau. Rasul sudah mengetahuinya. Lalu, Rasul mendekatinya.
“Apakah engkau Fadhalah?”
“Ya, Benar.”
“Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?”
“Tidak ada yang kupikirkan. Aku hanya berdzikir kepada Allah.”
Rasul tertawa. “Fadhalah, beristighfarlah!”
Rasul memegang dada Fadhalah. Tiba-tiba hati Fadhalah menjadi damai dan cinta kepada Rasul terbit sebelum Rasul mengangkat tangannya dari dadanya. Kemudian beliau memerintahkan menangkap dan membunuh orang-orang yang selama ini selalu memprovokasi untuk memeranginya.
Suasana makin memanas. Siang makin terik. Detik-detik yang paling menegangkan. Setiap hati akan semakin gundah bila ingat masa-masa ketika ia kerap kali menyakiti Rasul, mengganggunya ketika Shalat, melemparinya dengan kotoran, menghinanya dengan julukan ‘si gila’ dan ‘penyihir’.
“Menurut kalian, apakah yang akan kuperbuat kepada kalian?” Tanya Rasul di depan ka’bah dengan suara lantang. Beliau menatap penduduk Mekkah yang demikian banyak. Mereka terhimpun di pelataran Ka’bah dan sekelilingnya.“Engkau akan berbuat baik, engkau saudara kami yang baik, kau anak saudara kami yang baik,” jawab sebagian mereka. Suara tidak begitu jelas. Suasana riuh. Terdengar mereka saling berbisik, mencoba menebak apa yang akan dilakukan oleh Rasul.
“Pergilah! Kalian semua kubebaskan.”
Wajah-wajah pun mengembangkan senyum. Mereka demikian bahagia. Semua mata tertuju kepada Rasul. Sungguh, betapa mulianya kau, mereka berkata dalam hati.
Ali datang menghadap Rasululah sambil memegang kunci Ka’bah.
“Ya Rasul, kumpulkan untuk kami penjaga Ka’bah dan para pemberi minum orang-orang yang tengah berhaji.”“Mana Utsman bin Thalhah? Panggilkan dia!”
Tak lama kemudian orang yang disebut rasul datang.
“Utsman, aku berikan kunci ini padamu. Hari ini adalah hari kebaikan dan hari pemenuhan janji”
Kemudian, sesuai dengan perintah Rasul, Bilal naik ke atas Ka’bah. Dia mengumandangkan Adzan dengan keras.
Allahu Akbar! Allah Maha Besar!Aku bersaksi tiada Tuhan Selain AllahAku bersaksi bahwa Muhammad Utusan Allah Mari menuju kemenangan …
Awan putih berarak menghiasi birunya langit Mekkah. Panas kini berganti kesejukan. Angin Surga berhembus penuh kedamaian dan menyelusup ke setiap hati penduduk Mekkah. Kota yang penuh kemusyrikan telah ditundukkan. Mekkah kini bertabur cahaya. Kemudian cahaya itu mereka rengkuh dengan berbondong-bondong.(TAMAT)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar