Minggu, 20 Januari 2013

Perjalanan Ruh Manusia



Perjalanan Ruh Manusia


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgS8Eah5DA-ldtsaskDsJe9a2Uzaug3WKDvLEBqZ6e_MMhGTkX4YVwCjr6P-8lSTAaxZ5TpJZ4-ju3UQzNPVrNAY8uDMOyNl0hzwvQ4rQW_91FQGjErcPmVx5oCMP_KDfvBDYRR44u374Y/s1600/maut.jpg
Pernahkah anda hadir di sisi seseorang yang tengah menghadapi sakaratul maut, hingga jasadnya dingin, terbujur kaku, tak bergerak, karena ruhnya telah berpisah dengan badan? Lalu apa perasaan anda saat itu? Adakah anda mengambil pelajaran darinya? Adakah terpikir bahwa anda juga pasti akan menghadapi saat-saat seperti itu? Kemudian, pernahkah terlintas tanya di benak anda, ke mana ruh itu pergi setelah berpisah dengan jasad?

Hadits yang panjang dari Rasul yang mulia Shallalallahu Álaihi wa Sallam di bawah ini memberi ilmu kepada kita tentang hal itu. Simaklah…!

Sahabat Rasulullah Shallalallahu Álaihi wa Sallam, Al-Bara` bin ‘Azib Radhiyallahu Ánhu berkisah, “Kami keluar bersama Rasulullah Shallalallahu Álaihi wa Sallam untuk mengantar jenazah seorang dari kalangan Anshar. Kami tiba di pemakaman dan ketika itu lahadnya sedang dipersiapkan. Rasulullah Shallalallahu Álaihi wa Sallam duduk. Kami pun ikut duduk di sekitar beliau dalam keadaan terdiam, tak bergerak. Seakan-akan di atas kepala kami ada burung yang kami khawatirkan terbang. Di tangan Rasulullah Shallalallahu Álaihi wa Sallam ketika itu ada sebuah ranting yang digunakannya untuk mencocok-cocok tanah. Mulailah beliau melihat ke langit dan melihat ke bumi, mengangkat pandangannya dan menundukkannya sebanyak tiga kali. Kemudian bersabda, “Hendaklah kalian meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Taála dari adzab kubur,” diucapkannya sebanyak dua atau tiga kali, lalu beliau berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur,” pinta beliau sebanyak tiga kali.

Setelahnya beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba yang mukmin apabila akan meninggalkan dunia dan menuju ke alam akhirat, turun kepadanya para malaikat dari langit. Wajah-wajah mereka putih laksana mentari. Mereka membawa kain kafan dan wangi-wangian dari surga. Mereka duduk dekat si mukmin sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut  hingga duduk di sisi kepala si mukmin seraya berkata, “Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan dan keridhaan dari Allah Azza wa Jalla.”

Ruh yang baik itu pun mengalir keluar sebagaimana mengalirnya tetesan air dari mulut wadah kulit. Malaikat maut mengambilnya. (Dalam satu riwayat disebutkan: Hingga ketika keluar ruhnya dari jasadnya, seluruh malaikat di antara langit dan bumi serta seluruh malaikat yang ada di langit mendoakannya. Lalu dibukakan untuknya pintu-pintu langit. Tidak ada seorang pun malaikat yang menjaga pintu malaikat kecuali mesti berdoa kepada Allah Subhanahu wa Taála agar ruh si mukmin diangkat melewati mereka). Ketika ruh tersebut telah diambil oleh malaikat maut, tidak dibiarkan sekejap matapun berada di tangannya melainkan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah putih. Mereka meletakkan/membungkus ruh tersebut di dalam kafan dan wangi-wangian yang mereka bawa. Dan keluarlah dari ruh tersebut wangi yang paling semerbak dari aroma wewangian yang pernah tercium di muka bumi. Kemudian para malaikat membawa ruh tersebut naik. Tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat kecuali mesti ditanya, “Siapakah ruh yang baik ini?” Para malaikat yang membawanya menjawab, “Fulan bin Fulan,” disebut namanya yang paling bagus yang dulunya ketika di dunia orang-orang menamakannya dengan nama tersebut. Demikian, hingga rombongan itu sampai ke langit dunia. Mereka pun meminta dibukakan pintu langit untuk membawa ruh tersebut. Lalu dibukakanlah pintu langit. Penghuni setiap langit turut mengantarkan ruh tersebut sampai ke langit berikutnya, hingga mereka sampai ke langit ke tujuh. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Tulislah catatan amal hamba-Ku ini di ‘Illiyin dan kembalikanlah ia ke bumi karena dari tanah mereka Aku ciptakan, ke dalam tanah mereka akan Aku kembalikan, dan dari dalam tanah mereka akan Aku keluarkan pada kali yang lain.”

Si ruh pun dikembalikan ke dalam jasadnya yang dikubur dalam bumi/tanah. Maka sungguh ia mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarnya ke kuburnya ketika mereka pergi meninggalkannya. Lalu ia didatangi dua orang malaikat yang sangat keras hardikannya, keduanya menghardiknya, mendudukkannya lalu menanyakan padanya, “Siapakah Rabbmu?

Ia menjawab, “Rabbku adalah Allah Subhanahu wa Taála.”

Ditanya lagi, “Apa agamamu?

Agamaku Islam,” jawabnya.

Siapakah lelaki yang diutus di tengah kalian?” tanya dua malaikat lagi

Dia adalah Rasulullah Shallalallahu Álaihi wa Sallam,” jawabnya

Apa amalmu?” pertanyaan berikutnya

Aku membaca Kitabullah, lalu aku beriman dan membenarkannya,” jawabnya.

Ini adalah fitnah/ujian yang akhir yang diperhadapkan kepada seorang mukmin. Dan Allah Subhanahu wa Taála mengokohkannya sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

Allah menguatkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang tsabit/kokoh dalam kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat.” (Ibrahim: 27)

Terdengarlah suara seorang penyeru dari langit yang menyerukan, “Telah benar hamba-Ku. Maka bentangkanlah untuknya permadani dari surga. Pakaikanlah ia pakaian dari surga, dan bukakan untuknya sebuah pintu ke surga!

Lalu datanglah kepada si mukmin ini wangi dan semerbaknya surga serta dilapangkan baginya kuburnya sejauh mata memandang. Kemudian ia didatangi oleh seseorang yang berwajah bagus, berpakaian bagus dan harum baunya, seraya berkata, “Bergembiralah dengan apa yang menggembirakanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu.

Si mukmin bertanya dengan heran, “Siapakah engkau? Wajahmu merupakan wajah yang datang dengan kebaikan.”

Aku adalah amal shalihmu. Demi Allah, aku tidak mengetahui dirimu melainkan seorang yang bersegera menaati Allah Subhanahu wa Taála dan lambat dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Taála. Semoga Allah Subhanahu wa Taála membalasmu dengan kebaikan,” jawab yang ditanya

Kemudian dibukakan untuk sebuah pintu surga dan sebuah pintu neraka, lalu dikatakan, “Ini adalah tempatmu seandainya engkau dulunya bermaksiat kepada Allah Azza wa Jalla, lalu Allah Azza wa Jalla menggantikan bagimu dengan surga ini.” Maka bila si mukmin melihat apa yang ada dalam surga, ia pun berdoa, “Wahai Rabbku, segerakanlah datangnya hari kiamat agar aku dapat kembali kepada keluarga dan hartaku.”

Dikatakan kepadanya, “Tinggallah engkau.”

Rasulullah Shallalallahu Álaihi wa Sallam melanjutkan penuturan beliau tentang perjalanan ruh. Beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba yang kafir (dalam satu riwayat: hamba yang fajir) apabila akan meninggalkan dunia dan menuju ke alam akhirat, turun kepadanya dari langit para malaikat yang keras, kaku, dan berwajah hitam. Mereka membawa kain yang kasar dari neraka. Mereka duduk dekat si kafir sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut hingga duduk di sisi kepala si kafir seraya berkata, “Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju kemurkaan dan kemarahan dari Allah Subhanahu wa Taála.”

Ruh yang buruk itu pun terpisah-pisah/berserakan dalam jasadnya, lalu ditarik oleh malaikat maut sebagaimana dicabutnya besi yang banyak cabangnya dari wol yang basah, hingga tercabik-cabik urat dan sarafnya. Seluruh malaikat di antara langit dan bumi dan seluruh malaikat yang ada di langit melaknatnya. Pintu-pintu langit ditutup. Tidak ada seorang pun malaikat penjaga pintu kecuali berdoa kepada Allah l agar ruh si kafir jangan diangkat melewati mereka. Kemudian malaikat maut mengambil ruh yang telah berpisah dengan jasad tersebut, namun tidak dibiarkan sekejap mata pun berada di tangan malaikat maut melainkan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah hitam lalu dibungkus dalam kain yang kasar. Dan keluarlah dari ruh tersebut bau bangkai yang paling busuk yang pernah didapatkan di muka bumi. Kemudian para malaikat membawa ruh tersebut naik. Tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat kecuali mesti ditanya, “Siapakah ruh yang buruk ini?” Para malaikat yang membawanya menjawab, “Fulan bin Fulan,” disebut namanya yang paling jelek yang dulunya ketika di dunia ia dinamakan dengannya. Demikian, hingga rombongan itu sampai ke langit dunia, mereka pun meminta dibukakan pintu langit untuk membawa ruh tersebut, namun tidak dibukakan.”

Rasulullah Shallalallahu Álaihi wa Sallam kemudian membaca ayat:

Tidak dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk ke dalam surga sampai unta bisa masuk ke lubang jarum.” (Al-A’raf: 40)

Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Tulislah catatan amalnya di Sijjin, di bumi yang paling bawah.’ Lalu ruhnya dilemparkan begitu saja.”

Rasulullah Shallalallahu Álaihi wa Sallam kemudian membaca ayat:

Dan siapa yang menyekutukan Allah maka seakan-akan ia jatuh tersungkur dari langit lalu ia disambar oleh burung atau diempaskan oleh angin ke tempat yang jauh lagi membinasakan.” (Al-Hajj: 31)

Si ruh pun dikembalikan ke dalam jasadnya yang dikubur dalam bumi/tanah. Lalu ia didatangi dua orang malaikat yang sangat keras hardikannya. Keduanya menghardiknya, mendudukkannya dan menanyakan kepadanya, “Siapakah Rabbmu?

Ia menjawab, “Hah… hah… Aku tidak tahu.

Ditanya lagi, “Apa agamamu?

Hah… hah… Aku tidak tahu,” jawabnya.

Siapakah lelaki yang diutus di tengah kalian?” tanya dua malaikat lagi.

Kembali ia menjawab, “Hah… hah… aku tidak tahu.

Terdengarlah suara seorang penyeru dari langit yang menyerukan, “Telah dusta orang itu. Maka bentangkanlah untuknya hamparan dari neraka dan bukakan untuknya sebuah pintu ke neraka!

Lalu datanglah kepadanya hawa panasnya neraka dan disempitkan kuburnya hingga bertumpuk-tumpuk/tumpang tindih tulang rusuknya (karena sesaknya kuburnya). Kemudian seorang yang buruk rupa, berpakaian jelek dan berbau busuk mendatanginya seraya berkata, “Bergembiralah dengan apa yang menjelekkanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu.”

Si kafir bertanya dengan heran, “Siapakah engkau? Wajahmu merupakan wajah yang datang dengan kejelekan.”

“Aku adalah amalmu yang jelek. Demi Allah, aku tidak mengetahui dirimu ini melainkan sebagai orang yang lambat untuk menaati Allah Subhanahu wa Taála, namun sangat bersegera dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Taála. Semoga Allah Subhanahu wa Taála membalasmu dengan kejelekan,” jawab yang ditanya.

Kemudian didatangkan kepadanya seorang yang buta, bisu lagi tuli. Di tangannya ada sebuah tongkat dari besi yang bila dipukulkan ke sebuah gunung niscaya gunung itu akan hancur menjadi debu. Lalu orang yang buta, bisu dan tuli itu memukul si kafir dengan satu pukulan hingga ia menjadi debu. Kemudian Allah Subhanahu wa Taála mengembalikan jasadnya sebagaimana semula, lalu ia dipukul lagi dengan pukulan berikutnya. Ia pun menjerit dengan jeritan yang dapat didengar oleh seluruh makhluk, kecuali jin dan manusia. Kemudian dibukakan untuknya sebuah pintu neraka dan dibentangkan hamparan neraka, maka ia pun berdoa, “Wahai Rabbku! Janganlah engkau datangkan hari kiamat.” (HR. Ahmad 4/287, 288, 295, 296, Abu Dawud no. 3212, 4753, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud dan Ahkamul Jana`iz hal. 202)

Pembaca yang mulia, berita yang shahih dari Rasulullah Shallalallahu Álaihi wa Sallam pasti benar adanya karena:
Tidaklah beliau berbicara dari hawa nafsunya, hanyalah yang beliau sampaikan adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4)

Maka setelah membaca pengabaran beliau Shallalallahu Álaihi wa Sallam di atas, masihkah tersisa angan yang panjang dalam kehidupan dunia ini? Adakah jiwa masih berani bermaksiat kepada Rabbul ‘Izzah dan enggan untuk taat kepada-Nya? Manakah yang menjadi pilihan saat harus menghadapi kenyataan datangnya maut menjemput: ruh diangkat dengan penuh kemuliaan ke atas langit lalu beroleh kenikmatan kekal, ataukah diempaskan dengan hina-dina lalu beroleh adzab yang pedih?
Bagi hati yang lalai, bangkit dan berbenah dirilah untuk menghadapi “hari esok” yang pasti datangnya. Adapun hati yang ingat, istiqamah-lah sampai akhir…
Sungguh hati seorang mukmin akan dicekam rasa takut disertai harap dengan berita di atas, air mata mengalir tak terasa, tangan pun tengadah memohon kepada Dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, “Ya Allah, berilah kami taufik kepada kebaikan dan istiqamah di atasnya sampai akhir hidup kami. Jangan jadikan kami silau dan tertipu dengan kehidupan dunia yang fana hingga melupakan pertemuan dengan-Mu. Wafatkanlah kami dalam keadaan husnul khatimah. Lindungi kami dari adzab kubur dan dari siksa neraka yang amat pedih. Ya Arhamar Rahimin, berilah nikmat kepada kami dengan surga-Mu yang seluas langit dan bumi. Amin… Ya Rabbal ‘Alamin.”

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Perjalanan Ruh Setelah Manusia Meninggal Dunia

http://kebunhidayah.files.wordpress.com/2011/06/beautiful-light-sky.jpgAl-Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah, serta yang selainnya, telah meriwayatkan dari hadits Al-Baro’ bin ‘Azib, bahwa suatu ketika para sahabat berada di pekuburan Baqi’ul ghorqod. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi mereka. Beliau pun duduk. Sementara para sahabat duduk disekitarnya dengan tenang tanpa mengeluarkan suara, seakan-akan di atas kepala mereka ada burung.

Beliau sedang menanti penggalian kubur seorang yang baru saja meninggal.

Ini menunjukkan bahwa tatkala seorang hamba berada di pekuburan, dituntunkan kepadanya untuk bersikap tenang, diam, hening, dan tidak mengucapkan dzikir-dzikir dengan suara yang keras. Terlebih lagi berbicara mengenai urusan-urusan dunia yang fana. Dalam suasana yang seperti ini, hendaknya dia berpikir tentang kematian yang akan menimpa setiap manusia tanpa terkecuali. Sudahkah dia berbekal diri untuk menghadapinya. Ini membutuhkan perenungan yang dalam, sehingga melahirkan keimanan, ketakwaan, dan amal sholeh yang diterima disisi Allah.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya dan mengucapkan:

“Aku berlindung kepada Allah dari adzab kubur.”

Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya bila seorang yang mukmin menghadap ke alam akhirat dan meninggalkan alam dunia, turun kepadanya sejumlah malaikat berwajah putih yang seolah-olah seperti matahari. Mereka membawa sebuah kain kafan dan minyak wangi dari surga. Mereka pun duduk di dekatnya sejauh mata memandang. Lalu datanglah malaikat pencabut nyawa dan duduk di dekat kepalanya. Malaikat pencabut nyawa berkata:

 “Wahai jiwa yang baik, keluarlah engkau kepada keampunan dan keridhoan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Maka nyawanya keluar dan mengalir seperti air yang mengucur dari mulut wadah. Lalu malaikat pencabut nyawa mengambilnya. Nyawanya tidak dibiarkan sekejap mata pun berada di tangan malaikat pencabut nyawa dan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah putih tadi. Kemudian mereka meletakkannya pada kain kafan dan minyak wangi surga yang telah mereka bawa. Maka nyawanya mengeluarkan aroma minyak wangi misik yang paling terbaik di muka bumi. Lalu mereka menyertainya untuk naik ke langit. Tidaklah mereka melewati sekumpulan malaikat melainkan para malaikat itu akan bertanya: “Siapakah nyawa yang baik ini?” Mereka menjawab: “Ini adalah Fulan bin Fulan”, dan disebutkan namanya yang paling terbaik ketika mereka memanggilnya di dunia.

 Tatkala mereka telah sampai membawanya kelangit, mereka meminta agar pintu langit dibukakan untuknya. Maka dari setiap langit dia diiringi oleh para penjaganya sampai ke langit berikutnya. Demikianlah yang akan terjadi hingga dia sampai ke langit yang disana ada Allah. Maka Allah berfirman:

“Catatlah oleh kalian bahwa hambaku (ini) berada di surga ‘illiyyin, dan (sekarang) kembalikanlah dia ke muka bumi. Sungguh darinya Aku telah menciptakan mereka, dan padanya Aku akan mengembalikan mereka, serta darinya pula Aku akan mengeluarkan mereka sekali lagi”.

 Kemudian nyawanya dikembalikan ke dalam jasadnya. Lalu datanglah dua orang malaikat kepadanya. Keduanya bertanya, siapa Rabbmu? Maka dia menjawab, Rabbku adalah Allah. Keduanya kembali bertanya, apa agamamu? Maka dia menjawab, agamaku adalah islam. Keduanya kembali bertanya, siapa orang yang telah diutus di tengah kalian ini? Maka dia menjawab, beliau adalah utusan Allah. Keduanya kembali bertanya, siapakah yang telah mengajarimu? Maka dia menjawab, aku membaca kitab Allah, beriman kepadanya dan membenarkannya.

 Kemudian terdengarlah suara yang menyeru dari langit, “Hambaku ini telah benar. Bentangkanlah untuknya permadani dari surga dan bukakanlah sebuah pintu ke surga”.

Maka harum wangi surga pun menerpanya dan kuburnya diperluas sejauh mata memandang. Lalu datang kepadanya seorang yang bagus wajahnya, pakainnya, dan harum wanginya. Orang itu berkata, bergembiralah dengan segala yang akan menyenangkanmu. Ini adalah hari yang dahulu engkau telah dijanjikan. Maka si mukmin bertanya kepadanya, “Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang datang dengan membawa kebaikan.” Dia pun menjawab, “Aku adalah amalmu yang sholih.” Lalu si mukmin berkata, “Wahai Rabbku! Segerakanlah hari kiamat agar aku kembali kepada keluarga dan hartaku”.

 Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 “Adapun bila seorang yang kafir meninggalkan alam dunia dan menghadap ke alam akhirat, turun kepadanya dari langit sejumlah malaikat yang berwajah hitam legam. Mereka membawa sebuah kain kafan yang buruk dan kasar. Mereka pun duduk di dekatnya sejauh mata memandang. Lalu datanglah malaikat pencabut nyawa dan duduk di dekat kepalanya. Malaikat pencabut nyawa berkata,

 “Wahai jiwa yang buruk, keluarlah engkau kepada kemurkaan dan kemarahan Allah”.

 Maka nyawanya tercerai berai di dalam jasadnya. Kemudian malaikat pencabut nyawa merenggut nyawanya seperti mencabut besi pemanggang daging dari bulu domba yang basah. Setelah malaikat pencabut nyawa mengambilnya, tidak dibiarkan sekejap mata pun berada di tangannya dan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah hitam legam tadi. Lalu mereka meletakkannya pada kain kafan (yang telah mereka bawa) itu. Sehingga keluarlah dari nyawanya seperti bau yang sangat busuk di atas muka bumi.

Kemudian mereka naik bersamanya. Tidaklah mereka melewati sekumpulan malaikat melainkan para malaikat itu akan bertanya, siapakah nyawa yang buruk ini? Mereka menjawab: “Ini adalah Fulan bin Fulan” dan disebutkan namanya yang paling terburuk ketika mereka memanggilnya di dunia.

 Kemudian mereka membawanya naik sampai ke langit dunia dan dimintakan agar pintu langit di bukakan untuknya. Namun pintu langit tidak dibukakan untuknya”.

 Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat yang berbunyi,

 “Tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga sampai onta bisa masuk ke dalam lubang jarum.” (QS. Al-A’rof: 40)

 Selanjutnya Allah Azza wa jalla berfirman,

 “Catatlah oleh kalian bahwa ketetapannya berada di (neraka) Sijjiin, di bumi yang paling bawah”.

 Setelah itu, nyawanya benar-benar dilemparkan.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat yang berbunyi,

 “Barangsiapa yang berbuat syirik kepada Allah, Maka dia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang jauh”. (surat Al Hajj:ayat 31)

 Demikianlah, nyawanya dikembalikan kedalam jasadnya. Maka dua orang malaikat mendatanginya lalu mendudukkannya. Keduanya bertanya, “Siapa Rabbmu?” Dia menjawab, “Hah.. hah..aku tidak tahu”. Keduanya kembali bertanya, “Siapa orang yang telah diutus ditengah kalian ini?” Dia menjawab, “Hah..hah..aku tidak tahu.”  Kemudian terdengarlah suara yang menyeru dari langit, “Dia telah berdusta, bentangkanlah untuknya permadani dari api neraka dan bukakanlah sebuah pintu ke neraka.” Sehingga hawa panas dan racun neraka pun menerpanya dan kuburnya dipersempit sampai tulang-tulang rusuknya saling bergeser. Lalu datang kepadanya seorang yang buruk wajahnya, pakainnya, dan busuk baunya. Orang itu berkata, “Bergembiralah dengan segala yang akan memperburuk keadanmu. Ini adalah hari yang dahulu engkau telah dijanjikan.” Maka si kafir bertanya, “Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang datang dengan membawa keburukan.” Dia pun menjawab, “Aku adalah amalmu yang buruk.” Lalu si kafir berkata, “Wahai Rabbbku! Janganlah engkau datangkan hari kiamat”.

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam kitabnya “Ahkamul Janaiz” (hal. 156-157) dan tahqiq beliau terhadap “Syarh Aqidah Thahawiyyah” (hal. 397-398).

Inilah keadaan seorang yang mukmin dan seorang yang kafir tatkala meninggalkan alam dunia dan masuk ke dalam alam akhirat yang dimulai dengan alam barzakh (alam kubur). Wallahu a’lam bi showab

Ketika manusia meninggalkan alam dunia bukan berarti urusannya telah selesai. Dia akan mengalami alam kedua yaitu alam barzakh (alam kubur). Alam ini merupakan pintu masuk ke dalam alam akhirat yang sesungguhnya. Disebut dengan alam barzakh, karena makna barzakh adalah penutup atau perantara bagi dua perkara. Maka alam barzakh adalah alam di antara alam dunia dan alam akhirat. Di alam barzakh, manusia akan mengalami berbagai masalah yang menandakan bahwa urusannya belum selesai dengan semata-mata meninggalkan alam dunia. Saat melewati alam barzakh, pertama kali yang akan dihadapinya adalah pertanyaan dua malaikat di dalam kuburnya, sebagaimana di dalam hadits Al Baro` bin ’Azib yang terdahulu. Maka keberhasilannya di alam barzakh, mendapat kebaikan atau keburukan, akan tergantung dengan kemampuannya dalam menjawab pertanyaan dua malaikat itu.

Perlu diingat, bahwa di alam barzakh, jasad manusia tidak akan mampu untuk menjawabnya. Yang akan menjawabnya adalah ruh dan jiwa manusia yang telah diisi saat di alam dunia dengan kebaikan atau keburukan. Adapun seorang yang mukmin niscaya akan dimudahkan oleh Allah untuk bisa menjawab pertanyaan kubur yaitu tentang siapa Rabmu, apa agamamu, dan siapa nabimu. Itulah yang Allah maksudkan dengan firman-Nya:

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)

Di dalam sebuah hadits yang shohih dari sahabat Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Seorang hamba yang muslim bila ditanya di dalam kuburnya, niscaya dia akan bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya muhammad adalah utusan Allah”.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itulah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang yang mukmin akan mampu mengucapkan dua kalimat syahadat “La ilaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah”, baik ketika di dunia maupun di akhirat.

Tatkala seorang hamba menghadapi pertanyaan dua malaikat ini, maka dia akan menjawabnya sesuai dengan amal perbuatannya sewaktu di dunia. Oleh sebab itu, seorang hamba yang berbuat dosa-dosa besar dan tidak bertaubat darinya, sangat mungkin disiksa oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam kuburnya, walaupun dia seorang yang mukmin.

Telah datang sebuah hadits dari sahabat ‘Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda:

“Orang-orang yang berada di dalam dua kubur ini, sungguh sedang disiksa. Dan tidaklah keduanya disiksa karena suatu masalah yang besar. Adapun salah satu dari keduanya, dahulu tidak mau menjaga diri dari air kencing. Sedangkan yang lain, dahulu biasa berjalan untuk mengadu domba”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan kepada kita sekalian bahwa dua orang yang disiksa di dalam kuburnya itu dikarenakan dosa-dosa besar. Berarti yang disiksa oleh Allah di alam kubur bukan karena kekafiran saja tetapi juga karena dosa-dosa besar.

Nasalullah salamah wal ‘afiah.Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil sebuah pelepah kurma yang masih basah dan membelahnya menjadi dua bagian. Beliau meletakkannya di masing-masing dua kubur ini dengan harapan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingan siksa keduanya, selama pelepah kurma itu masih basah dan belum kering.

Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga kita dimudahkan untuk menjawab pertanyaan kubur dan diselamatkan dari siksanya.

Wallahu a’lam bis shawab.

Sumber : Perjalanan Ruh Ketika Meninggalkan Dunia, oleh Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al-Maidani.

POLA-POLA DASAR ISTINBATH HUKUM EMPAT IMAM MAZHAB



POLA-POLA DASAR ISTINBATH HUKUM EMPAT IMAM MAZHAB

A.     IMAM ABU HANIFAH
1.         Kehidupan Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah merupakan imam pertama dari keempat imam  dan yang paling dahulu lahir  juga wafatnya, ia mampu memeperoleh kedudukan yang terhormat dalam masyarakat yang menghimpun factor-faktor positif dan factor-faktor negative, sehingga tidak heran ia di juluki Imam A’zham (pemimpin terbesar), ia juga dikenal sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ra’y (Imam Aliran Rasional)
Beliau dilahirkan di kota Kuffah, pada tahun 80 H (699 M), beliau benama asli Nu’mam bin Tsabit Bin Zhauth Bin Mah, ayah beliau keturunan bangsa persi ( Kabul Afganistan) yang menetap di Kuffah, tsabit bapak dari abu hanifah lahir sebagai seorang muslim dan diriwayatkan dia berasal dari bangsa anbar. Adapula ia mukim di tirtmidz, ada lagi yang mengatakan ia bermukim di Nisa, bisa jadi ia bermukim di tiap-tiap kota itu sementara waktu. Ia adaalah seorang pedagang yang kaya dan taat beragama, sebagai mana ia pernah berttemu dengan ali bin Abi Thalib, lalu sang imam mendoakan dan keturunananya dengan kebaikan dan keberkahan.

2.      Pendidikan Imam abu Hanifah
pada masa abu hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad dan Abu Thufail, mereka adalah sahabat-sahabta yang paling akhir wafat, namun abu Hanifah tidak Berguru kepada mereka.
Mengapa tidak berguru kepada mereka?, mungkin diantara mereka ada yang sudah wafat sedang abu hanifah masih kecil, seperti Abdullah bin Aufa yang meninggal pada tahun 87 hijriyah sehinggga umur abu hanifah pada waktu  itu baru 7 tahun, dan seperti abu Sahl bin Sa’ad yang wafat tahun 88 atau 91 hijriyah dan umur Imam Hanafi baru berumur 11 tahun. Sementara Anas bin Malik wafat pada tahun 90 atau 92 atau 95 hijriyah dank ala itu abu Hanifah berumur 15 tahun dan belum mulai mencari ilmu, ketika itu beliau masih berdagang.

3.      Dasar-Dasar Istinbath Mazhab Imam Abu Hanifah
Mazhab abu Hanifah adalah gambaran yang hidup dan jelas bagi relevansi  Hukum Islam dengan tuntutan masyarakat, beliau mendasarkan mazhabnya pada :
a.       Al-Qur’an[3]: Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir zaman.
b.      Hadits:  Hadits merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat umum.
c.       Aqwalus shahabah (Ucapan Para Sahabat): ucapan para sahbat menurut Imam hanafi itu sangat penting karena menurut beliau para sahabat meupakan pembawa ajaran rasul setelah generasinya.
d.      Qiyas: beliau akan menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam Nash Al-Qur’an, Hadits, maupun Aqwalus shahabah.
e.        Istihsan: merupakan kelanjutan dari Qiyas. Epnggunaan Ar-Ra’yu lebih menonjol lagi,istihsan menurut bahasa adalah “menganggap lebih baik”, menurut  ulama Ushul Fiqh Istihsan adalah meninggalkan ketentuan Qiyas yang jelas Illatnya untuk mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.
f.        Urf, beliaua mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dalam kebutuhan srta memeperhatikan muamalh manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau menggunakan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah dan Ijma’ atau Qiyas ), beliau akan menggunakan Istihsan, jika tidak bisa digunakan dengan istihsan maka beliau kembalikan kepada Urf manusi

4.        Pendirian Imam Abu Hanifah tentang Taqlid
Sebagai seorang ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta[4] dengan beliau (tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga kepada para Ulama beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dalam ajaran agama. Bahakan beliau pernah berkata “Tidak Halal bagi seorang yang ating fatwa dengan perkataanku, selam ia belum mengerti dari mana perkataanku”.
Dalam mengistinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada kitabullah, bila tifdak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak ditemukan pula dalam sunnah beliau melihat kepada perkataan para sahabat, lalu beliau menggunakan jalan pikiran untuk mengambil pendapat mana yang sesuai dengan jala pikiran dan ditiggal mana yang tidak sesuai.

B.       IMAM MALIK
1.        Kehidupan Imam Malik
Imam malik dilahirkan dikota Dzu Al-muruwah di selatan kota madinah, lalu pindah ke aqiq dan kemudian pindah ke madinah, menurut riwayat beliau dilahirkan diamdinah pada tahun 93 H, namun ada yang mengatakan pula pada tahun 91 H,94 H, 95 H, 96 H, bahkan ada pula yang mengatakan tahun 97 H. diriwayatkan ibunya mengandung beliau selama dua tahun, ada lagi yang mengatakan tiga tahun, beliau bernama asli malik bin Anas bin Malik bin Abu amir bin amr bin ghaimah bin Khutsail bin amr bi Harits ia termasuk bani taim bin Murrah.
Kakek keduanya, abu Amir bin Amr adalah seorang sahabat Rasulullah SAW, sedangkan kakek pertamanya, malik bin Abu Amir adalah salah satu tokoh Tabi’in.

2.        Pendidikan Imam Malik
Imam Malik berguru kepada banyak guru diantaranya adalah Abdurrahman ibnu hurmuz, Rabi’ah bi Abdurrahman Farrukh, ati’ budak Abdullah bin Umar, Ja’far bin Muhammad Baqir, Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, Abdurrahman Dzakwan, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Abu hazim Salamah bin Dinar, dan guru-gurunya yang lain dari kalangan tabi’in, seperti yang di ungkapkan oleh An-Nawawi.
Imam malik menurut riwayat An-Nawawi bahwa imam Malik berguru kepada pada 900 guru, 300 dari kalangan tabi’in, dan 600 dari kalangan tabi’it tabi’in yang terdiri dari ulama yang ia pilih, ia akui agamanya, fiqihnya, pemenuhan kewajiban periwayatan dan syarat-syaratnya, serta ia percaya.

3.        Dasar-Dasar Istinbath Mazhab Imam Malik
Mazhab Imam Malik adalah sebagai berikut:
a.         Al-qur’an: Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an.
b.         Sunnah rasul yang beliau pandang sah.
c.         Ijma’ para Ulama Madinah, tetapi beliau kadang-kadang menolak hadits apabila nyata-nyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.
d.         Qiyas : Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.
e.          Mashalihul Mursalah[5] (Istislah): Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab   sholaha- yasluhu  menjadi  sholhan atau mashlahatan  yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal  dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu:  arsala- yursilu- irsalan- mursalan  yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).

4.      Pendirian Imam Malik  tentang Taqlid
Imam Malik, imam penduduk Madinah, berkata :
Sesungguhnya saya adalah manusia biasa, yang dapat salah dan dapat juga benar. maka perhatikan secara kritis pendapatku. Jika sesuai dengan kitab dan Sunnah ambillah, dan setiap pendapat yang tidak sesuai dengan kitab dan Sunnah tinggalkanlah.
Setiap orang sesudah Nabi dapat diambil ucapannya dan dapat pula ditinggalkan, kecuali, Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam.

C.       IMAM AS-SYAFI’I
 1.        Kehidupan Imam Syafi’i
Syafi’I lahir di Gaza, palestina pada tahun 150 Hijriyah inilah pendapat paling masyhur dikalangan ulama namun ada juga riwayat ynag mengatakan bahwa imam syafi’I lahir di daerah Asqalan, sebuah daerah yang berjarak kuarang lebih tiga Fasakh (8KM) dari Gaza dan sejauh dua atau tiga marhala[6], dari Baitul maqdis, bahka ada juga yang mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Yaman. Namun menurut An-Nawawi “pendapat paling masyhur yang dipegang oleh jumhur ulama bahwa imam Syafi’I lahir di Gaza”
Nama lengkap beliau adalah: Abu Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin Sa’id bin Ubaid bin abu Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdu Manaf, nasabnya samapai kepada rasulullah saw, pada kakeknya Abdu Manaf, oleh karena itu ia dikatakan tentang Syafi’I, “cucu sepupu Nabi saw”.

2.        Pendididkan Imam Syafi’I
Imam Syafi’I hafal Al-qur’an ketika umurnya masih belia, kemudian beliau juga menghafal hadist dan berhasil menghafalnya, ubeliau sangat ertarik kepada kaidah-kaidah Arab dan kalimat-kalimtnya, demi hal itu ia pergi ke pedalaman dan tinggal bersama kabilah Hudzail sekitar sepuluh tahun.
Pertama beliau berguru kepada Syaikhnya, Muslim Khalid Az-Zinzi dan imam-imam makkah lainnya lalu belia pergi ke Madinah kala berusia 13 tahun, ia tetap berguru kepada malik hingga ia wafat.
Diantara guru-guru syafi’I di makkah antara lain: Muslim bin Khalid Az-Zinzi, Sufyan bin Umayah, Sa’id bin Salim Al-Qidah, Daud bin Abdurrhaman Al-Athar, dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abu Daud.
Dan diantara guru-gurunya di Madinah antara lain: Malik bin Anas (Imam Malik), Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Ad-darawardi, Ibrahim bin Yahya Al-asami, Muhammad bin Sa’id bin Abdu Fadik, dan Abdullah bin Nafi Ash-Shaigh.

3.        Dasar-Dasar Mazhab Imam Syafi’I
Mazhab Imam adalah sebagai berikut:
a.         Al-qur’an: Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir zaman.
b.        Hadits; Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an
c.         Ijma’ Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
d.                       Qiyas 
e.         Istishab;[7] Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[8]

4.      Pendirian Imam Syafi’I terhadap Taqlid
Beliuselalu member peringatan terhadap murid-muridnya agar tidak begitu saja menerima apa-apa yang disampaikan oleh beliau samapikan dalam masalah agama, yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Diantara nasiat beliau tentang talid buta, beliau pernah berkata kepada muridnya yaitu Imam Ar-Rabi : “Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaklid kepadaku, dalam tiap-tiap yang apa aku atinga, dan pikirkanlah benar-benar bagi dirimu sendiri karena ia adalah urusan agama”.
Dari pernyataan tersebut di atas kiranya cukup jelas pendapat imam Syafi’I tentang taklid buta sungguh beliau melarang taklid buta kepada beliau dan kepada para ulama lainnya dalam urusan hokum-hukum agama.

 D.      IMAM IBNU HANBAL
 1.        Kehidupan Ibnu Hanbal
Ibnu hanbal lahir pada tahun 164 hijriyah di Baghdad setelah ibunya membawanya pindah keyika ia masih dalam kandungan dari kota marwa tempat tinngal ayahnya kekota bagdad.
Ia adalah Abu aabdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban Al-Marwazi lalu Al-Baghdadi, nasab ibnu hanbal sampai kepada rasulullah saw, pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Penisbatan Inbu Hanbal yang terkenal adalah kepada kakeknya Hanbal, maka orang-orang mengatakan Ibnu Hanbal.

2.        Pendidikan Ibnu Hanbal
Ibnu Hanbal hafal Al-Qur’anul Karim, mempelajari Ilmu Bahsa, dan belajar membaca dan menulis di diwan (tempat belajar dan menulis). Ibnu Hanbal pertama kali belajar kepada Abu yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Qadhi, murid abu hanifah kepadanya ia belajar hadist dan fiqih, karenanya Abu Yusuf dikenal sebagai guru pertama Ibnu Hanbal.
Namun pengaruh Abu Yusuf tidak begitu kuat tertanam dalam jiwa Ibnu Hanbal sehingga ada yang berpendapat bahwaa Abu Yusuf bukan guru pertamanya. Sementara guru pertamanya adalah Hasyim bin Basyir bin Kazim Al-Wasiti, karena ia adalahguru yang palin kuat pengaruhnya kepada Inbu Hanbal, Ibnu Hnbal berguru kepadanya selama empat tahun.
Disela-sela berguru kepada Hasyim, Ibnu  Hanbal juga berguru kepada Umair bin Abdullah bin Khalid, Abdurrahman bin Mahdi, dan Abu bakar bin Iyasy. Imam Syafi’I adalah salah satu guru dari Ibnu Hanbal, bahkan ada yang mneganggap bahwa Syafi’I merupakan guru kedua dari ibnu hanbal setelah Hasyim. Muhammad bin ishaq bi Khuzaimah mangatakan “Ahmad bin Hanbal tidak lain hanyalah merupakan salah satu pelayan Syafi’I”. ia juga berguru kepada Ibrahim bin Sa’ad, Yahya Al-Qathan, Waki’ juga berguru kepada Sufyan bin Uyainah (pengganti Imam Malik).

3.        Dasar-Dasar Mazhab Imam Ibnu Hanbal
Mazhab Imam Ibnu Hanbal adalah sebagai berikut:
a.         Al-qur’an dan Hadits: yakni beliau jika telah mnemukan nahs dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits maka beliau tidak memperhatikan dalil-dalil yang lain dan juga kepada pendapat para sahabat yang menyalahinya.
b.         Fatwa Shahaby: yaitu ketika beliau tidak mendapatkan nash dan beliau  mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memenadang bahwa pendapat itu merupakan ijma’.
c.         Pendapat Sebagian Sahabat yaitu mengambil pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terrkadang beliau tidak memberikan fatwa jika tidk memperoleh Pentarjih atas suatu pendapat.
d.         Hadits Mursal atau Da’if: Mursal menurut bahasa merupakan isim maf’ul yang berarti dilepaskan. Sedangkan hadits mursal menurut istilah adalah hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in. Seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat begini”.
e.         Qiyas: akan dipakai jika benar-benar tidak ada ketentuan-ketentuan hukumnya dari poin a-d tersebutd di atas, namun Qiyas ini mendapat posisi yang kecil dalam penentuan Hukum (pada masa tersebut), namun tidak menutup kemunkinan Qiyas akan menjadi penting di masa yang akan datang.

4.        Pendirian Imam Ibnu Hanbal terhadap taklid
Imam Ibnu Hanbal merupakan seorang ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras terhadap penggunaan ra’yu, maka demikian Imam Ibnu Hanbal pailng keras terhadap taqlid buta dan orang yang bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat dibuktikan dengan ucapannya yang beliau sampaikan kepada salah atu muridnya seperti Imam Abu Dawud pernah mendengar bahwa Imam Ibnu Hanbal Berkata “janganlah engkau bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan janganlah pula kepada Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana mereka Itu mengambil”. Dari perkataan beliau, jelas ras terhadap beliau melarang keras terahadap taqlid, dan beliau memerinntahkan supaya orang mengambil segala sesuatu dari sumbber yang telah mereka ambil (para Imam) 


                        A.     KESIMPULAN
                   Pola dasar yang digunakan oleh para imam secara umum.
Scara umum dapat kita simpulkan bahwa para imam mnggunakan Al-Qur’an sebagai sumberhukun yang pertama. Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’a.
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Dan para Imam pu sepakat akan hal ini. Namun dalam menggunakan klasifikasi hadist disini terdapat perbedaan pendapat terhadap penggunaa Hadits Mursal. Jumhur (mayoritas) ahli hadits dan ahli fiqih berpendapat bahwa hadits mursal adalah dla’if dan menganggapnya sebagai bagian dari hadits mardud (tertolak), karena tidak diketahui kondisi perawinya.
Bisa jadi perawi yang gugur dari sanad adalah shahabat atau tabi’in. Jika yang gugur itu shahabat, maka tidak mungkin haditsnya ditolak, karena semua shahabat adalah ‘adil. Jika yang gugur itu adalah tabi’in, maka sangat dimungkinkan hadits tersebut adalah dla’if. Namun dengan kemungkinan seperti ini, tetap tidak bisa dipercaya atau dipastikan bahwa perawi yang gugur itu seorang yang ‘adil. Dan meskipun diketahui bahwa sang tabi’in tidak akan meriwayatkan kecuali dari orang yang tsiqah, maka hal ini pun tidak cuckup untuk mengangkat ketidakjelasan kondisi si perawi.
Pendapat lain mengatakan bahwa hadits mursal adalah shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah, terlebih lagi jika si tabi’in tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang-orang yang tsiqah dan dapat dipercaya. Pendapat ini masyhur dalam madzhab Malik, Abu Hanifah, dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa hadits-hadits mursal para tabi’in senior dapat diterima apabila terdapat hadits mursal dari jalur lain, atau dibantu dengan perkataan shahabat (qaulush-shahaby).
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.

a.  Ijma’ Bayani
ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
b.  Ijma’ Sukuti
ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.
Dalam ijma sukuti ini Ulama masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati.
Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hukum, seperti dalam
 Hadits Nabi: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak.
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.
Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam.
2.        Analisis Taqlid
Taqlid buta, atau taqlid kepada sembarang orang tentu dilarang oleh agama. Bagi mereka yang ada kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha'. Namun, untuk mencapai derajat mujtahid barangkali sulit, walaupun kemungkinan selalu ada.
Namun, Bagi orang awam taqlid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam. Allah SWT berfirman :
 “Tidak pantas orang beriman pergi ke medan perang semua, hendaknya ada sekelompok dari tiap golongan dari mereka ditinggal untuk memperdalam agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, mudah-mudahan mereka itu takut.” (QS At-Taubah: 122)
Dalam ayat ini jelas Allah SWT menyuruh kita untuk mengikuti orang yang telah memperdalam agama. Dalam ayat lain secara lebih tegas Allah SWT berfirman:
 “Maka hendaknya kamu bertanya kepada orang-orang yang ahli Ilmu Pengetahuan jika kamu tidak mengerti.” (An-Nahl: 43)
Kepada siapakah kita bertaqlid? Kita bertaqlid kepada salah satu dari madzhab empat yang telah dimaklumi oleh seluruh Ahli Ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih.
Di samping itu telah dimaklumi pula ketinggian akhlaq dan taqwa mereka yang tidak akan menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang takut kepada Allah SWT dan telah meletakkan hukum bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas. Namun, ketika kita boleh bertaqlid, bukan kemudian kita bertaqlid kepada sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. Tentu taqlid semcam itu justru akan membawa kesesatan. Kita bertaqlid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlaq dan sikapnya sehari-hari, di mana fatwa mereka diyakini berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun harus dipahami pula bahwa kita jangan sekali- kali Ta’asub Mazhab. Karena ini dapat menimbulkan perpecahan interen dalam Islam,  dalam hal ini Imam Syafi’I berpesan “ Bendapatku adalah benar, namun tidak menutup kemungkinan salah. Dan pendapat imam yang lain itu salah, dan tidak menuup kemungkinan benar”, dari pesan yang disampaikan oleh Imam Syafi’I ini dapat kita simpulkan bahwa kita dilarang untuk fanatic kepada salah satu mazhab.
Apapun mazhab kita, dimanapun tempat tinggal kita dan apapun organisasi kita marilah kita jaga persatuan dan kesatuan serta toleransi dan saling tafahum antara sesama umat islam. Tinggalkan pertikaian dan perselisihan yang hanya disebabkan oleh mazhab-mazhab yang berbeda, mari kita beramal sesuai dengan ilmu yang kita miliki dan berbuatlah sesuatu atas dasar pengetahuan kita yang dilandasi oleh Al-Quran dan Sunnah.  Mudah-mudan Allah swt memberikan hidayah-Nya kepada kita sehingga bisa memahami dan menghargai pendapat orang lain dan tidak mudah untuk menyalahkan pendapat orang lain, supaya kita bisa terhindar dari pertikaian dan perbedaan yang menyebabkan perpecahan antara sesama muslim.
 [1] Kontektual disetiap waktu dan tempat

[2] fanatik kepada satu mazhab saja
[3] Al-Qur’an; menurrut Syeikh Gazlan Beik: kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, secara mutawatir(berangsur-angsur), dan sebagai mu’jizat terbesar baginya, dan bernilai ibadah kepada yang membacanya.
[4] Tidak mengetahui dalil yang digunakan
[5] Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan syariat dan dibatalkan syariat.
[6] Perjalanan satu hari, satu malam.

[7] [7] 1. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).”

2. Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”

Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.

Imam Empat Mazhab

Imam Empat Mazhab:
Tinggalkan Pendapat Kami bila Bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah
Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah Anda taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
(Sumber: Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah)

QS . AL WAAQI'AH (HARI KIAMAT)

سورة الواقعة
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِذَاوَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ {1} لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ {2} خَافِضَةٌ رَّافِعَةٌ {3} إِذَا رُجَّتِ اْلأَرْضُ رَجًّا {4} وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا {5} فَكَانَتْ هَبَآءً مُّنبَثًّا {6} وَكُنتُمْ أَزْوَاجًا ثَلاَثَةً {7} فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَآأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ {8} وَأَصْحَابُ الْمَشْئَمَةِ مَآأَصْحَابُ الْمَشْئَمَةِ {9} وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ {10} أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ {11} فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ {12} ثُلَّةٌ مِّنَ اْلأَوَّلِينَ {13} وَقَلِيلٌ مِّنَ اْلأَخِرِينَ {14} عَلَى سُرُرٍ مَّوْضُونَةٍ {15} مُّتَّكِئِينَ عَلَيْهَا مُتَقَابِلِينَ {16} يَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُّخَلَّدُونَ {17} بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيقَ وَكَأْسٍ مِّن مَّعِينٍ {18} لاَّيُصَدَّعُونَ عَنْهَا وَلاَيُنزِفُونَ {19} وَفَاكِهَةٍ مِّمَّا يَتَخَيَّرُونَ {20} وَلَحْمِ طَيْرٍ مِّمَّا يَشْتَهُونَ {21} وَحُورٌ عِينٌ {22} كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ {23} جَزَآءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ {24} لاَيَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلاَتَأْثِيمًا {25} إِلاَّ قِيلاً سَلاَمًا سَلاَمًا {26} وَأَصْحَابُ الْيَمِينِ مَآأَصْحَابُ الْيَمِينِ {27} فِي سِدْرٍ مَّخْضُودٍ {28} وَطَلْحٍ مَّنضُودٍ {29} وَظِلٍّ مَّمْدُودٍ {30} وَمَآءٍ مَّسْكُوبٍ {31} وَفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ {32} لاَّمَقْطُوعَةٍ وَلاَمَمْنُوعَةٍ {33} وَفُرُشٍ مَّرْفُوعَةٍ {34} إِنَّآ أَنشَأْنَاهُنَّ إِنشَآءً {35} فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا {36} عُرُبًا أَتْرَابًا {37} لأَصْحَابِ الْيَمِينِ {38} ثُلَّةٌ مِّنَ اْلأَوَّلِينَ {39} وَثُلَّةٌ مِّنَ اْلأَخِرِينَ {40} وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ مَآأَصْحَابُ الشِّمَالِ {41} فِي سَمُومٍ وَحَمِيمٍ {42} وَظِلٍّ مِّن يَحْمُومٍ {43} لاَّبَارِدٍ وَلاَكَرِيمٍ {44} إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ {45} وَكَانُوا يُصِرُّونَ عَلَى الْحِنثِ الْعَظِيمِ {46} وَكَانُوا يَقُولُونَ أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَءِنَّا لَمَبْعُوثُونَ {47} أَوَءَابَآؤُنَا اْلأَوَّلُونَ {38} قُلْ إِنَّ اْلأَوَّلِينَ وَاْلأَخِرِينَ {49} لَمَجْمُوعُونَ إِلَى مِيقَاتِ يَوْمٍ مَّعْلُومٍ {50} ثُمَّ إِنَّكُمْ أَيُّهَا الضَّآلُّونَ الْمُكَذِّبُونَ {51} لأَكِلُونَ مِن شَجَرٍ مِّن زَقُّومٍ {52} فَمَالِئُونَ مِنْهَا الْبُطُونَ {53} فَشَارِبُونَ عَلَيْهِ مِنَ الْحَمِيمِ {54} فَشَارِبُونَ شُرْبَ الْهِيمِ {55} هَذَا نُزُلُهُمْ يَوْمَ الدِّينِ {56} نَحْنُ خَلَقْنَاكُمْ فَلَوْلاَ تُصَدِّقُونَ {57} أَفَرَءَيْتُم مَّاتُمْنُونَ {58} ءَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ {59} نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ الْمَوْتَ وَمَانَحْنُ بِمَسْبُوقِينَ {60} عَلَى أَن نُّبَدِّلَ أَمْثَالَكُمْ وَنُنشِئَكُمْ فِي مَالاَتَعْلَمُونَ {61} وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ النَّشْأَةَ اْلأُولَى فَلَوْلاَ تَذَكَّرُونَ {62} أَفَرَءَيْتُم مَّاتَحْرُثُونَ {63} ءَأَنتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ {64} لَوْ نَشَآءُ لَجَعَلْنَاهُ حُطَامًا فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُونَ {65} إِنَّا لَمُغْرَمُونَ {66} بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ {67} أَفَرَءَيْتُمُ الْمَآءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ {68} ءَأَنتُمْ أَنزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنزِلُونَ {69} لَوْ نَشَآءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلاَ تَشْكُرُونَ {70} أَفَرَءَيْتُمُ النَّارَ الَّتِي تُورُونَ {71} ءَأَنتُمْ أَنشَأْتُمْ شَجَرَتَهَآ أَمْ نَحْنُ الْمُنشِئُونَ {72} نَحْنُ جَعَلْنَاهَا تَذْكِرَةً وَمَتَاعًا لِّلْمُقْوِينَ {73} فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ {74}* فَلآ أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ {75} وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ {76} إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ {77} فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ {78} لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ {79} تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ {80} أَفَبِهَذَا الْحَدِيثِ أَنتُم مُّدْهِنُونَ {81} وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ {82} فَلَوْلآ إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ {83} وَأَنتُمْ حِينَئِذٍ تَنظُرُونَ {84} وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَكِن لاَّتُبْصِرُونَ {85} فَلَوْلآ إِن كُنتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ {86} تَرْجِعُونَهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ {87} فَأَمَّآ إِن كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ {88} فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّتُ نَعِيمٍ {89} وَأَمَّآ إِن كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ {90} فَسَلاَمٌ لَّكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ {91} وَأَمَّآ إِن كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّآلِّينَ {92} فَنُزُلٌ مِّنْ حَمِيمٍ {93} وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ {94} إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ {95} فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ {96}

AL WAAQI'AH (HARI KIAMAT)

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
[56.1] Apabila terjadi hari kiamat,
[56.2] terjadinya kiamat itu tidak dapat didustakan (disangkal).
[56.3] (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain),
[56.4] apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya,
[56.5] dan gunung-gunung dihancur luluhkan sehancur-hancurnya,
[56.6] maka jadilah dia debu yang beterbangan,
[56.7] dan kamu menjadi tiga golongan.
[56.8] Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu.
[56.9] Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.
[56.10] Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga).
[56.11] Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah).
[56.12] Berada dalam surga kenikmatan.
[56.13] Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu,
[56.14] dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.
[56.15] Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata,
[56.16] seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan.
[56.17] Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda,
[56.18] dengan membawa gelas, cerek dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir,
[56.19] mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk,
[56.20] dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih,
[56.21] dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.
[56.22] Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli,
[56.23] laksana mutiara yang tersimpan baik.
[56.24] Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.
[56.25] Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa,
[56.26] akan tetapi mereka mendengar ucapan salam.
[56.27] Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu.
[56.28] Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri,
[56.29] dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya),
[56.30] dan naungan yang terbentang luas,
[56.31] dan air yang tercurah,
[56.32] dan buah-buahan yang banyak,
[56.33] yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya,
[56.34] dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk.
[56.35] Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung,
[56.36] dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan,
[56.37] penuh cinta lagi sebaya umurnya,
[56.38] (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan,
[56.39] (yaitu) segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu,
[56.40] dan segolongan besar pula dari orang yang kemudian.
[56.41] Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu.
[56.42] Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan air yang panas yang mendidih,
[56.43] dan dalam naungan asap yang hitam.
[56.44] Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.
[56.45] Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewah.
[56.46] Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa yang besar.
[56.47] Dan mereka selalu mengatakan: "Apakah apabila kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan kembali?,
[56.48] apakah bapak-bapak kami yang terdahulu (dibangkitkan pula)?"
[56.49] Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian,
[56.50] benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal.
[56.51] Kemudian sesungguhnya kamu hai orang yang sesat lagi mendustakan,
[56.52] benar-benar akan memakan pohon zaqqum,
[56.53] dan akan memenuhi perutmu dengannya.
[56.54] Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas.
[56.55] Maka kamu minum seperti unta yang sangat haus minum.
[56.56] Itulah hidangan untuk mereka pada hari Pembalasan".
[56.57] Kami telah menciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan (hari berbangkit)?
[56.58] Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan.
[56.59] Kamukah yang menciptakannya, atau Kami kah yang menciptakannya?
[56.60] Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-kali, tidak dapat dikalahkan,
[56.61] untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui.
[56.62] Dan sesungguhnya kamu telah mengetahui penciptaan yang pertama, maka mengapakah kamu tidak mengambil pelajaran (untuk penciptaan yang kedua)?
[56.63] Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam?
[56.64] Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?
[56.65] Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia kering dan hancur; maka jadilah kamu heran tercengang.
[56.66] (Sambil berkata): "Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian,
[56.67] bahkan kami menjadi orang yang tidak mendapat hasil apa-apa."
[56.68] Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum.
[56.69] Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?
[56.70] Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?
[56.71] Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dari gosokan-gosokan kayu).
[56.72] Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kami-kah yang menjadikannya?
[56.73] Kami menjadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.
[56.74] Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Maha Besar.
[56.75] Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang.
[56.76] Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui,
[56.77] sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia,
[56.78] pada kitab yang terpelihara (Lohmahfuz),
[56.79] tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.
[56.80] Diturunkan dari Tuhan semesta alam.
[56.81] Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al Qur'an ini?,
[56.82] kamu (mengganti) rezeki (yang Allah berikan) dengan mendustakan (Allah).
[56.83] Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan,
[56.84] padahal kamu ketika itu melihat,
[56.85] dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat,
[56.86] maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)?
[56.87] Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?,
[56.88] adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah),
[56.89] maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan.
[56.90] Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan,
[56.91] maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan.
[56.92] Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat,
[56.93] maka dia mendapat hidangan air yang mendidih,
[56.94] dan dibakar di dalam neraka.
[56.95] Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar.
[56.96] Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar.