Senin, 07 Mei 2012

BERUPAYA MENJADI HAMBA ALLAH YANG SELALU BERSYUKUR

Sungguh betapa banyak nikmat Allah kepada kita. Dari mulai terlahir ke dunia hingga sekarang, nikmat Allah tidak pernah berhenti mengalir kepada kita. Dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, nikmat Allah selalu tercurah. Bahkan, ketika tidur pun nikmat itu tetap ada. Setiap detik yang kita lalui, nikmat Allah tidak pernah putus menghampiri kita. Karena saking banyaknya, mustahil kita mampu menghitungnya. Kewajiban kita sekarang hanya satu, yaitu mensyukurinya. Dengan bersyukur, hidup kita akan semakin bahagia dan beruntung. Sebaliknya, dengan mengkufuri nikmat, hidup kita akan semakin sengsara dan penuh dengan kesulitan.
A. MAKNA BERSYUKUR
Bersyukur artinya seseorang memuji Allah ta’ala yang telah memberikan berbagai kenikmatan kepadanya. Baik berupa kenikmatan jasmani seperti harta benda, kesehatan, keamanan, anak, istri dan lain sebagainya. Atau yang berupa kenikmatan rohani seperti iman, islam, petunjuk, ilmu yang bermanfaat, pemahaman yang lurus dan benar dalam beragama, selamat dari segala penyimpangan dan kesesatan, rasa senang, lapang dada, hati yang tenang dan lain sebagainya.
Nikmat Allah ta’ala yang dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya itu sangat banyak, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menghitungnya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَإِنْ تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا
“Apabila kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan bisa menghitungnya”. (QS. An Nahl : 18)
B. HUKUM BERSYUKUR
Bersyukur merupakan kewajiban bagi setiap hamba yang beriman, sebagaimana firman Allah ta’ala:
فاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْنِيْ وَلاَ تَكْفُرُوْنِ
“Ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku akan ingat kepadamu, bersyukurlah kepadaKu dan jangan kamu kufur (ingkar)”. (QS. Al Baqarah : 152)
Kenikmatan yang banyak itu wajib disyukuri oleh setiap orang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah dan hari Kiamat, karena kesemuanya itu datang dari Allah ta’ala, Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu pun dari para makhluk-Nya, akan tetapi justru merekalah yang sangat membutuhkan Allah. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)
C. KEUTAMAAN BERSYUKUR KEPADA ALLAH
Orang yang bersyukur kepada Allah akan mendapatkan banyak keutamaan dan manfaat, diantaranya:
1. Mendapatkan tambahan nikmat dari Allah.
Allah ta’ala berfhrman:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, maka pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu”. (QS. Ibrahim : 7)
2. Selamat dari siksaan Allah.
Allah ta’ala berfirman:
مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
“Tidaklah Allah akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman. dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nisaa’ : 147)
Yang dimaksud Allah mensyukuri hamba-hamba-Nya ialah Allah memberi pahala terhadap amal-amal hamba-hamba-Nya, mema’afkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya.
3. Mendapatkan pahala yang besar.
Allah ta’ala berfirman:
وَسَيَجْزِ اللهُ الشَاكِرِيْنَ
“Dan Allah akan memberi ganjaran pahala bagi orang-orang yang bersyukur ”. (QS. Ali ‘Imran : 144)
D. Bagaimanakah Mensyukuri Nikmat Allah?
Agar dapat mewujudkan rasa syukur kepada Allah ta’ala atas segala limpahan nikmat-Nya, maka ada 3 cara yang harus ditempuh oleh seorang hamba, yaitu:
1. Bersyukur Dengan Hati.
Maksudnya seorang hamba mengetahui dan mengakui bahwa semua kenikmatan yang ada pada dirinya itu datangnya dari Allah ta’ala. Tidak boleh sedikit pun merasa bahwa kenikmatan apapun yang dimilikinya baik berupa harta kekayaan, kedudukuan atau jabatan, kesehatan atau kesuksesan lainnya adalah diperoleh karena hasil jerih payanya sendiri, atau karena ilmu dan ketrampilan yang dimilikinya, bukan karena kehendak Allah ta’ala.
2. Bersyukur Dengan Lisan.
Yaitu lisan seorang hamba yang beriman selalu mengucapkan puji syukur kepada Allah setiap kali mendapatkan suatu kenikmatan, baik dengan ucapan الحمد لله (Alhamdulillah) atau membasahi lidahnya dengan doa dan dzikir yang maknanya mengandung puja-puji syukur kepada-Nya.
3. Bersyukur Dengan Anggota Badan.
Segala nikmat yang dirasakan oleh orang yang beriman, akan dijadikan sebagai pendorong baginya untuk lebih banyak dan bersemangat di dalam beribadah kepada Allah. Sehingga semakin banyak kenikmatan yang diperolehnya, maka semakin meningkat pula ibadahnya kepada Allah.
Dan termasuk dalam makna bersyukur dengan anggota badan ialah menjaga dan menjauhkan anggota badan dari segala perbuatan dosa dan maksiat yang mendatangkan dosa dan kemurkaan dari Allah.
Di antara salah satu cara agar kita mampu menjadi hamba Allah yang selalu bersyukur kepada-Nya ialah dengan melihat kepada orang-orang yang derajatnya dalam urusan dunia di bawah kita, seperti melihat masih banyaknya orang yang lebih miskin daripada kita dalam hal harta benda. Atau kita melihat kepada orang-orang yang kurang sempurna dalam hal fisik (cacat jasmani), sementara kita memiliki fisik atau badan yang sempurna dan sehat. Adapun dalam urusan agama dan akhirat (yakni keimanan dan ketaatan, atau ilmu dan amal ibadah), maka hendaknya kita melihat kepada orang-orang yang kedudukannya lebih tinggi daripada kita. Karena dengan demikian, kita semakin terdorong untuk bersemangat dalam menambah keimanan, ilmu agama, dan amal ibadah, serta semakin sungguh-sungguh untuk menjauhi segala perbuatan dosa dan maksiat yang akan menghancurkan dan menyengsarakan kehidupan kita di dunia dan akhirat.
Kita memohon kepada Allah ta’ala agar menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang selalu bersyukur atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya, dan menganugerahkan kepada kita kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.

PANDUAN PRAKTIS BERDOA SESUAI TUNTUNAN NABI

Doa adalah jalan keselamatan, tangga pengantar, sesuatu yang dituntut oleh orang-orang yang berpengetahuan, kendaraan orang-orang shalih, tempat berlindung bagi kaum yang terzalimi dan tertindas. Melalui doa, nikmat diturunkan dan melaluinya pula murka Allah dihindarkan. Alangkah besar kebutuhan para hamba Allah akan doa. Seorang muslim tidak akan pernah bisa lepas dari kebutuhannya terhadap doa dalam setiap situasi dan kondisinya.
Doa adalah obat yang paling mujarab, ia ibarat musuh bagi penyakit, ia senantiasa melawan, menghilangkan atau meringankannya. Begitulah kedudukan doa, seyogyanya bagi seorang muslim untuk mengetahui keutamaan-keutamaan dan adab-adab doa, kita memohon kepada Allah agar menerima doa dan amal sholeh kita.
 A. MAKNA DOA
Secara bahasa, berarti meminta atau memohon dengan sepenuh hati.
Sedangkan menurut istilah syar’i, berarti permohonan seorang hamba kepada Allah ta’ala dengan sepenuh hati. Dan diartikan pula dengan pensucian, pemujaan dan semisalnya. (lihat syuruthu ad-du’a wa mawani’u al-ijabah, karya Syaikh Sa’id bin Ali Al-Qohthoni, hlm. 5).
B. MACAM-MACAM DOA
Doa ada dua macam:
  1. Doa Ibadah,
Yaitu memohon pahala dengan melaksanakan amal-amal kebaikan seperti mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengamalkan konsekuensi keduanya, shalat, zakat, puasa, haji, menyembelih dan bernadzar karena Allah. Maka barangsiapa melaksanakan ibadah-ibadah tersebut dan selainnya berarti ia telah berdoa dan memohon ampunan kepada Allah, mengharap pahala dari-Nya dan merasa takut terhadap azab-Nya.
Doa semacam ini tidak boleh diarahkan kepada selain Allah ta’ala. Barangsiapa mengarahkannya kepada selain Allah, maka ia telah jatuh pada kekafiran akbar yang menyebabkannya keluar dari agama Islam dan masuk ke dalam neraka. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ (60)
 “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku [berdoa kepada-Ku] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina”. (QS. Al-Mu’min / Ghafir: 60)
Dan juga firman-Nya:
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. Al-An’aam: 162-163)
  1. Doa mas-alah (permohonan),
Yaitu seorang hamba memohon apa saja yang bermanfaat seperti datangnya kebaikan dan kemaslahatan atau tercegahnya keburukan dan kemudharatan, dan memohon segala kebutuhan.
Hukum doa semacam ini ada dua:
Pertama: Boleh, apabila seorang hamba memohon kepada orang lain yang masih hidup dan ada di hadapannya dalam hal-hal yang mampu dilakukan oleh orang tersebut, seperti mengatakan kepadanya, ‘Tolong ambilkan air minum untukku, atau berilah aku makanan’ atau perkataan yang semisalnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
مَنِ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ
“Barangsiapa memohon perlindungan (kepadamu) dengan menyebut nama Allah maka lindungilah ia. Barangsiapa meminta (kepada kalian) dengan menyebut nama Allah maka berilah ia. Barangsiapa mengundang kamu maka penuhilah undangannya,…dst.” (HR. Abu Daud I/524 no.1672, an-Nasa-i V/82 no.2567, dan Ahmad II/68 no.5365, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma)
Kedua: Haram, yaitu apabila seorang hamba memohon kepada makhluk dalam hal-hal yang tidak mampu dilaksanakan kecuali oleh Allah semata, seperti mengatakan, ‘Wahai tuanku, atau wahai syaikh/kiyai, atau wahai pembesar jin, sembuhkanlah penyakitku, lapangkanlah rezkiku, kembalikan barang yang telah hilang dariku, berilah aku jodoh dan anak, selamatkan aku dari bencana’, maka ini adalah kekufuran dan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, walaupun makhluk yang diminta doa tersebut masih hidup dan ada dihadapan kita. Allah ta’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (17)
“Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, Maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.(QS. Al-An’aam: 17)
Dan firman-Nya pula (yang artinya):
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu Termasuk orang-orang yang zalim”. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 106-107)
(Lihat pula: QS. Al-A’raaf: 194, 197; Al-Hajj: 11-13; Fathir: 13-14; Al-Ahqaaf: 5-6; Al-Maidah:72; A-Nisa’: 48, 116; Al-An’aam: 88; Asy-Syu’ara: 213; Az-Zumar: 65-66).
 C. KEUTAMAAN DOA:
Doa memiliki keutamaan dan faedah yang tak terhitung, kedudukannya sebagai satu bentuk ibadah cukup menjadi bukti keutamaanya. Diantara keutamaannya:
  1. Doa adalah ibadah itu sendiri.
Sebagaimana yang sabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
اَلدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ
Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Daud I/466 no.1479, Tirmizi V/374 no.3247, Ibnu Majah II/1258 no.3828, dan Ahmad IV/267 no.18378, dan An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu anhu. Dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani).
Meninggalkan doa adalah bentuk menyombongkan diri dari menyembah Allah, sebagaimana Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ (60)
 “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina”. (QS. Al-Mu’min/Ghafir: 60)
  1. Doa itu menunjukan tawakal kepada Allah ta’ala.
Hal itu dikarenakan orang yang berdo’a dalam kondisi memohon pertolongan kepada-Nya, menyerahkan urusan hanya kepada-Nya bukan  kepada yang lain-Nya. Sebagaimana doa juga merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan bentuk pemenuhan akan perintah-Nya. Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. (QS. Al-Mu’min/Ghafir: 60)
  1. Doa juga merupakan senjata yang kuat yang digunakan seorang muslim dalam mencari kebaikan dan menolak kemadharatan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ فُتِحَ لَهُ مِنْكُمْ بَابُ الدُّعَاءِ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ وَمَا سُئِلَ اللَّهُ شَيْئًا يَعْنِى أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ يُسْأَلَ الْعَافِيَةَ ».
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ الدُّعَاءَ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللَّهِ بِالدُّعَاءِ »
 “Barang siapa diantara kalian telah dibukakan baginya pintu doa, pasti dibukakan pula baginya pintu rahmat, dan tidaklah Allah diminta sesuatu yang Dia berikan lebih Dia senangi dari pada diminta kekuatan.” Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “sesungguhnya doa itu bermanfaat baik terhadap apa yang terjadi maupun belum terjadi, maka hendaklah kalian berdoa.” (HR. At-Tirmidzi V/552 no.3548, dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma. dihasankan oleh syaikh Al-Albani).
  1. Doa adalah senjata yang digunakan para nabi dalam menghadapi situasi-situasi sulit.
Begitu pun nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dalam perang badar, ketika ia melihat jumlah kaum musyrikin sebanyak seribu sedang pasukan islam tiga ratus Sembilan belas, ia segera menghadap kiblat seraya mengangkat kedua tanganya berdoa:
اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِى مَا وَعَدْتَنِى اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِى اللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ مِنْ أَهْلِ الإِسْلاَمِ لاَ تُعْبَدْ فِى الأَرْضِ ». فَمَازَالَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ مَادًّا يَدَيْهِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ حَتَّى سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ مَنْكِبَيْهِ فَأَتَاهُ أَبُو بَكْرٍ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَأَلْقَاهُ عَلَى مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ الْتَزَمَهُ مِنْ وَرَائِهِ. وَقَالَ يَا نَبِىَّ اللَّهِ كَذَاكَ مُنَاشَدَتُكَ رَبَّكَ فَإِنَّهُ سَيُنْجِزُ لَكَ مَا وَعَدَكَ
Ya Allah wujudkanlah untuk kami apa yang engkau janjikan, ya Allah berikanlah kepada kami apa yang engkau janjikan, ya Allah jika sekumpulan kaum muslimin ini binasa, maka tidak ada yang akan menyembah engkau di muka bumi ini.” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terus melantunkan doa seraya membentangkan kedua tanganya menghadap kiblat hingga selempangnya jatuh, maka datanglah Abu Bakar mengambil selempang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan meletakanya di atas pundaknya dan menjaganya dari belakang dan berkata: wahai nabi Allah, doa engkau kepada Tuhanmu sudah cukup, karena Dia pasti akan mewujudkan apa yang Dia janjikan untukmu.” (HR. Muslim III/1383 no.1763, dari Umar bin Khoththob radhiyallahu anhu)
Demikian pula nabi Ayub alaihissalam, ia menggunakan senjata doa ketika mengalami berbagai macam cobaan, terisolir dari manusia, tidak ada lagi y`ng menyayanginya selain istrinya sendiri, dalam kondisi seperti itu ia tetap bersabar dan mengharap ridho Allah, dan ketika cobaan itu telah berlarut lama, ia berdoa:
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (83) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ (84)
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah”. (QS: Al-Anbiya’: 83-84)

  1. Doa dapat menghilangkan kegelisahan dan kesedihan, menjadikan hati lapang, dan mempermudah urusan.

Dalam berdoa, seorang hamba bermunajat kepada Tuhannya, mengakui kelemahan dan ketidak berdayaannya, mengungkapkan rasa butuhnya kepada Pencipta dan Pemiliknya, doa juga sarana untuk menghindari murka Allah ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ ي؎غْضَبْ عَلَیْهِ
“Barang siapa tidak mau meminta kepada Allah, niscaya Dia akan marah kepadanya” (HR. Ahmad II/442 no.9699, dan At-Tirmidzi V/456 no.3373, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Dan dihasankan syaikh Al-Albani).
Alangkah indahnya ungkapan seorang penyair:
Janganlah engkau meminta manusia satu kebutuhan,
Mintalah kepada yang pintu-Nya tak pernah tertutup.
Allah marah jika engkau tidak meminta-Nya,
Sedang manusia justru marah ketika diminta.
  1. Doa juga menjadi senjata bagi orang-orang yang terzalimi, ia adalah tempat berlindung bagi orang-orang lemah yang putus harapan, tertutup segala pintu di hadapanya.
Imam Syafi’i mengatakan:
“Apakah engkau meremehkan doa dan memandangnya sepele,
Padahal engkau tidak tahu apa yang diperbuat doa.
Ia adalah anak panah-anak panah malam yang tak kan meleset,
Akan tetapi ia memiliki masa dan masa itu ada penghujungnya”.
 D. SYARAT-SYARAT TERKABULNYA DOA
Banyak orang yang berdoa kepada Allah tetapi mereka melakukan perbuatan yang menyebabkan doa mereka ditolak dan tidak dikabulkan. Hal ini dikarenakan kebodohan mereka tentang syarat-syarat terkabulnya doa, padahal apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka doa doa apapun tidak akan dikabulkan oleh Allah.
Berikut ini kami akan sebutkan syarat-syarat terkabulnya doa. Dan yang terpenting di antaranya ialah:
1. Ikhlas karena Allah semata
Sebagaimana firman Allah ta’ala:
فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (14)
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya“. (QS. Al-Mu’min/Ghafir: 14)
Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan bahwa setiap orang yang beribadah dan berdoa hendaknya dengan niat ikhlas (karena Allah) serta menyelisihi orang-orang musyrik dalam cara dan madzhab mereka. (Tafsir Ibnu Katsir IV/73).
Termasuk syarat terkabulnya doa adalah tidak beribadah dan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Jika seseorang memalingkan sebagian ibadah kepada selain Allah, baik kepada para Nabi atau para wali, seperti mengajukan permohonan dan perlindungan kepada mereka, maka doanya tidak akan dikabulkan oleh Allah, dan nanti di akhirat kelak ia termasuk orang-orang yang merugi serta kekal di dalam api Neraka Jahannam bila dia meninggal dunia sebelum bertaubat dari perbuatan syiriknya itu.
2. Al-Ittiba’
Yaitu Mengikuti Tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dalam segala bentuk ibadah. Dan ini merupakan salah satu dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah (أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ), yaitu agar di dalam beribadah kepada Allah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Setiap ibadah yang diada-adakan atau dibuat-buat secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya adalah seorang muslim yang beribadah kepada Allah dengan niat yang ikhlas. Karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dalam segala urusan agama, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
  “Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.(QS. Al Hasyr : 7)
            Dan firman-Nya pula:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. (QS. Al-Ahzaab: 21)
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga telah memperingatkan umatnya agar meninggalkan segala perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang bukan termasuk dalam urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak”. (HR. Muslim III/1343 no.1718, dari Aisyah radhiyallahu anha)
 3. Tidak Berdoa Untuk Sesuatu Dosa atau Memutuskan Silaturahmi
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam di dalam hadits berikut ini.
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا
“Dari Abu Said bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila seorang muslim berdoa dengan suatu doa yang tidak mengandung unsur dosa atau pemutusan silaturahmi melainkan Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga hal, yaitu; (1) Allah akan menyegerakan pengabulan doanya, atau (2) Allah menjadikannya sebagai simpanan baginya di akhirat, atau (3) Allah menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya”. (HR. Ahmad III/18 no.11149. dan hadits ini derajatnya Hasan Shohih sebagaimana dinyatakan oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/128 no.1633).

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud (suatu doa yang tidak mengandung unsur dosa) artinya berdoa untuk kemaksiatan, sebagai contoh seseorang berdoa dengan mengucapkan: “Ya Allah takdirkan aku untuk bisa membunuh si fulan”, sementara si fulan itu tidak berhak dibunuh, atau berdoa: “Ya Allah berilah aku rezki untuk bisa minum khamer”, atau “Ya Allah pertemukanlah aku dengan seorang wanita cantik untuk berzina”. Atau berdoa untuk memutuskan silaturrahmi suatu contoh : “Ya Allah jauhkanlah aku dari bapak dan ibuku serta saudaraku”, atau doa semisalnya. Doa tersebut pengkhususan terhadap makna yang umum. Imam Al-Jazari mengatakan, bahwa memutuskan silaturahmi bisa berupa tidak saling menyapa, saling menghalangi dan tidak berbuat baik dengan semua kerabat dan keluarga.”
4. Hendaknya Makanan, minuman dan Pakaiannya dari yang Halal dan Baik
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan dalam sebuah hadits:
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Kemudian Nabi menyebutkan seorang laki-laki yang lusuh lagi kumal karena lama bepergian mengangkat kedua tanganya ke langit tinggi-tinggi seraya berdoa: Ya Rabbi, ya Rabbi (Wahai Tuhanku), sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dagingnya tumbuh dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya bisa terkabulkan?.” (HR. Muslim II/703 no.1015).
Imam An-Nawawi berkata: “Bahwa yang dimaksud lama bepergian dalam rangka beribadah kepada Allah seperti haji, ziarah, bersilaturahmi dan yang lainnya”. (Syarah Shohih Muslim III/457).
Pada zaman sekarang ini berapa banyak orang yang mengkonsumsi makanan, dan minuman serta memakai pakaian yang haram baik dari harta hasil riba, perjudian atau harta suap atau yang lainnya. Na’udzu billahi min dzalik.
5. Tidak Tergesa-gesa Dalam Menunggu Terkabulnya Doa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يُسْتَجَابُ لأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ فَيَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّى فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِى
“Artinya : Akan dikabulkan permintaan seseorang di antara kamu, selagi tidak tergesa-gesa, yaitu mengatakan: Saya telah berdoa kepada Tuhanku tetapi tidak dikabulkan”. (Shahih Al-Bukhari, kitab Da’awaat V/2335 no.5981, dan Muslim IV/2095 no.2735).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani berkata: Yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: (Saya telah berdoa kepada Tuhanku tetapi tidak dikabulkan ), Ibnu Baththaal mengatakan, bahwa seseorang bosan berdoa lalu meninggalkannya, seakan-akan mengungkit-ungkit dalam doanya atau mungkin dia berdoa dengan baik sesuai dengan syaratnya, tetapi bersikap bakhil dalam doanya dan menyangka bahwa Allah tidak mampu mengabulkan doanya, padahal Dia adalah dzat Yang Maha Mengabulkan doa dan tidak pernah habis pemberian-Nya.” (Fathul Bari XI/145, dan Syarah Shohih Al-Bukhori oleh Ibnu Baththol XIX/137).
Syaikh Al-Mubarak Furi menjelaskan bahwa Imam Al-Madzhari berkata: Barangsiapa yang bosan dalam berdoa, maka doanya tidak terkabulkan sebab doa adalah ibadah, baik dikabulkan atau tidak, seharusnya seseorang tidak boleh bosan beribadah. Tertundanya permohonan boleh jadi belum waktunya doa tersebut dikabulkan karena segala sesuatu telah ditetapkan waktu terjadinya, sehingga segala sesuatu yang belum waktunya terjadi tidak akan mungkin terjadi, atau boleh jadi permohonan tersebut tidak terkabulkan dengan tujuan Allah mengganti doa tersebut dengan pahala, atau boleh jadi doa tersebut tertunda pengabulannya agar orang tersebut rajin berdoa, sebab Allah sangat senang terhadap orang yang rajin berdoa karena doa memperlihatkan sikap rendah diri, menyerah dan merasa membutuhkan Allah. Orang sering mengetuk pintu akan segera dibukakan pintu dan begitu pula orang yang sering berdoa akan segera dikabulkan doanya. Maka seharusnya setiap kaum Muslimin tidak boleh meninggalkan berdoa. [Mir-atul Mafatih VII/349].
6 & 7. Hendaknya Berdoa dengan Hati yang Khusyu’ dan Yakin bahwa Doanya Pasti akan Dikabulkan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَه
“Mohonlah kepada Allah sedangkan kamu merasa yakin akan dikabulkan karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai”. (HR. Tirmidzi V/517 no.3479)
Syaikh Al-Mubarak Furi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi: (dari hati yang lalai) adalah hati yang berpaling dari Allah atau berpaling dari yang dimintanya. (Mir’atul Mafatih VII/360-361).
E. ADAB-ADAB BERDO’A
Adab-adab berdoa banyak sekali, semuanya dianjurkan untuk dilaksanakan saat berdoa, agar ia menjadi penguat untuk dikabulkannya doa. Di antara adab-adab berdoa adalah:
1- Memulai doa dengan bacaan hamdalah (puja-puji syukur kepada Allah ta’ala) dan shalawat atas Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam di dalam hadits berikut ini.
عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ قَالَ بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَاعِدًا إِذْ دَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَارْحَمْنِى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهَ -صلى الله عليه وسلم- « عَجِلْتَ أَيُّهَا الْمُصَلِّى إِذَا صَلَّيْتَ فَقَعَدْتَ فَاحْمَدِ اللَّهَ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ وَصَلِّ عَلَىَّ ثُمَّ ادْعُهُ ». قَالَ ثُمَّ صَلَّى رَجُلٌ آخَرُ بَعْدَ ذَلِكَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَصَلَّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُّهَا الْمُصَلِّى ادْعُ تُجَبْ »
 Dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu anhu, ia berkata: Tatkalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk (masjid, pent) lalu berdoa: “Allahumaghfirli Warhamni (Ya Allah, ampunilah dosaku dan rahmatilah diriku).” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Kamu telah tergesa-gesa wahai orang yang berdoa. Jika kamu berdoa, maka duduklah, lalu ucapkan pujian kepada Allah dengan sesuatu yang layak bagi-Nya, dan bershalawatlah kepadaku, lalu berdoalah.” Kemudian ada laki-laki lain berdoa setelah itu, ia mengucapkan pujian kepada Allah dan bershalawat kepada nabi, maka nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Wahai orang yang berdoa, berdoalah (kepada Allah, pent), niscaya engkau akan dikabulkan.” (HR. At-Tirmizi V/516 no.3476. Dan dishahihkan syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/130 no.1643).
2- Mengakui dosa dan kesalahan di hadapan Allah.
Mengakui dosa dan kesalahan menunjukan kesempurnaan ubudiyah (penghambaan) kepada Allah ta’ala, sebagaimana doa nabi Yunus ‘alaihissalam berikut ini:
 وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (87)
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam Keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya: 87)
Yang dimaksud dengan Keadaan yang sangat gelap ialah di dalam perut ikan, di dalam laut dan di malam hari.
3- Bersungguh-sungguh dalam berdoa dan memantapkan hati dalam Meminta kepada Allah ta’ala.
Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam di dalam hadits berikut ini.
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيِعْزِمِ اْلمَسْأَلَةَ، وَلاَ يَقُوْلَنَّ : اَللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ، فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرِهَ لَهُ »
 Dari Anas (bin Malik) radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian berdoa, maka hendaknya ia memantapkan hatinya dalam meminta, dan janganlah mengucapkan: “Ya Allah, jika Engkau mau, berilah aku,karena sesungguhnya tidak ada yang bisa memaksa Allah.” (HR. Bukhari V/2334 no.5979, dan Muslim IV/2063 no.2678).
 4- Berwudhu, menghadap kiblat dan mengangkat tangan ketika berdoa.
Amalan-amalan tersebut akan lebih mendatangkan kekhusyu’an dan kejujuran dalam menghadap kepada Allah. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam di dalam hadits berikut.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ زَيْدٍ الأَنْصَارِىَّ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى يُصَلِّى ، وَأَنَّهُ لَمَّا دَعَا – أَوْ أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ – اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ .
Dari Abdullah bin Zaid Al-Anshori radhiyallahu anhu, ia mengatakan, “Bahwa Nabi shallallau alaihi wasallam keluar ke tanah lapang untuk sholat istisqo’ (minta hujan). Lalu ketika beliau hendak berdoa, beliau menghadap kiblat dan membalik selempangnya.” (HR.Bukhari I/348 no.982, dan Muslim II/611 no.894).
Dan sebagaimana diterangkan di dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu anhu, tatkala Nabi shallallahu alaihi wasallam selesai dari perang Hunain – Abu Musa menceritakan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam meminta air, lalu beliau berwudhu, kemudian mengangkat kedua tanganya seraya berdoa:” Ya Allah ampunilah Ubaid bin Amir.” Dan aku melihat putih ketiaknya.” (HR. Bukhari IV/1571 no.4068, dan Muslim IV/1943 no.2498)
5- Merendahkan suara dalam berdoa
Hal ini sebagaimana perintah Allah ta’ala di dalam firman-Nya:
 ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (55)
 “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-A’raaf: 55)
Dan diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kami (para sahabat) pernah melakukan safar bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam. Tiba-tiba ada sebagian sahabat yang membaca takbir dengan suara keras, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
« أَيُّهَا النَّاسُ، اِرْبِعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًاً، إِنَّكُمْ تَدْعُوْنَ سَمِيْعاً قَرِيْباً وَهُوَ مَعَكُمْ »
“Wahai manusia, sayangilah diri kalian (maksudnya, janganlah bertakbir dengan suara keras, pent), karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada (Tuhan) yang tuli dan tidak pula kepada (Tuhan) yang jauh. sesungguhnya kalian sedang berdoa kepada Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia selalu menyertai kalian.(HR. Bukhari IV/1541 no.3968, dan Muslim IV/2076 no.2704)
6- Tidak membuat-buat kalimat bersajak
Hal itu karena orang yang berdoa harus dalam kondisi merendahkan diri di hadapan Allah, sedangkan perbuatan membuat-buat seperti itu tidak pantas. Ibnu Abas radhiyallahu anhu pernah menyampaikan nasehat kepada salah seorang muridnya, ia berkata: “Jauhilah sajak dalam berdoa, sesungguhnya aku mendapatkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan sahabatnya menjauhi hal itu.”
7- Hendaknya memilih waktu-waktu yang dianjurkan dan saat-saat yang mulia.
Di dalam kehidupan dunia ini, seorang muslim yang bertakwa akan selalu merasa butuh kepada Allah demi keselamatan dan kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, ia diperintahkan agar banyak berdoa kepada Allah dengan meminta segala hajatnya yang berkaitan dengan urusan dunia maupun agamanya kapan saja dan dalam kondisi bagaimana pun. Akan tetapi, di dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadits yang shohih diterangkan adanya waktu-waktu yang mulia dan sangat dianjurkan berdua padanya, seperti waktu setelah shalat, ketika dikumandangkan adzan, antara adzan dan iqamat, sepertiga malam terakhir, hari Jumat, hari Arafah, saat turun hujan, ketika sujud, ketika berangkat menyerbu musuh dalam jihad fisabililah, dan selainnya.
8- Tidak mendoakan kejelekan bagi diri sendiri, keluarga dan harta
Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
 لاَ تَدْعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لاَ تُوَافِقُوْا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءً فَيَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
“Janganlah kalian mendoakan jelek terhadap diri kalian, jangan pula terhadap anak-anak dan harta kalian, jangan sampai kalian mendapati satu saat Allah diminta satu permintaan lalu Dia mengabulkan untuk kalian(HR. Muslim IV/2304 no.3009).
Demikian penjelasan singkat tentang Panduan Praktis Berdoa Sesuai Tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam yang dapat kami sampaikan. Mudah-mudahan menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat. Dan saya memohon kepada Allah agar Dia melimpahkan kepada kita semua taufiq dan pertolongan-Nya untuk dapat berdoa dan beribadah kepada-Nya dengan niat ikhlas karena mengharap wajah-Nya dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, serta istiqomah di atas agama-Nya yang haq hingga akhir hayat.