PUASA (2/2)
d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu
miskin (Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama
tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt.
memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa
atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat
bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit,
yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan:
musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka
ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka,
yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena
kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka
diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.
Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas
ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang
orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang
sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia
tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka
dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak
berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya
terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan
diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam
pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan
atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:
Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan
mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka
khawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui.
Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka
berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus
membayar fidyah.
Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari
selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak
setengah sha' (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum
atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud
yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang
mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku
pada setiap masyarakat.
e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila
nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan
bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:
187)
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari
bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan,
hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian
hubungan seks adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa
pun. Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau
pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa
hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat
menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma.
Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium
istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun
selain berhubungan seks, kemudian ternyata "basah", maka
puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi
mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar
kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang
hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi
adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,
maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka
ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.
Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus
mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi
sebelum terbitnya matahari --paling tidak dalam batas waktu
yang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada
waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith
al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan
dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar).
Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga
melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.
Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal
mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan
itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di
atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan
persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang.
Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat
dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk).
Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu
mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan
azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena
itu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut
saat imsak.
g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam).
Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan
minum sampai dengan datangnya fajar.
Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan
datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para
ulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malam
dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah,
dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah
dan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama didukung oleh
banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh
pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam".
Kata lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang
berwarna hitam pun dinamai lail.
Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Saw. untuk
mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapat
kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir
magrib sebenarnya belum masuk.
Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh
ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.
TUJUAN BERPUASA
Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang
hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau
la'allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut
agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw.
misalnya, "Banyak di antara orang yang berpuasa tidak
memperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar dan
dahaga."
Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan
tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya
bahwa "Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan
kesulitan."
Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman,
"Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa.
Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."
Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik.
Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan,
misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan
pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat
bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan,
siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau
minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah,
kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan
itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab
jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan
mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa,
melakukannya demi karena Allah Swt. Demikian antara lain
penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna
hadis qudsi di atas.
Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan
manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut
belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya.
Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai
dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan
melakukannya karena Allah semata.
Di sini Anda boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian
dapat mengantarkan manusia kepada takwa?" Untuk menjawabnya
terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan
takwa.
PUASA DAN TAKWA
Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar,
menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah
secara harfiah berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah
dirimu dari Allah"
Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk.
Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau
menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun
kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat
untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang
semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti
perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.
a. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap
hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam
raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat
menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri
dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas,
dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat
lainnya.
b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap
hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri,
melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat
mengakibatkan siksa neraka.
Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman
Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala
yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya.
Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau
takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada
mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia
timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)."
Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan
kehadiran Allah Swt. setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau
kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak,
menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah
hadis.
Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal
tersebut, antara 1ain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti
yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik.
Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia
meneladani Allah Swt.
PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH
Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia
meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia
sebagai makhluk. Nabi Saw. memerintahkan, "Takhallaqu bi
akhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).
Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan
yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu makan, minum,
dan hubungan seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara
lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri:
Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak
memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)
Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia
tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin
[72]: 3).
Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan,
Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang
menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan
dan tidak diberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14).
Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal
mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum,
bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan
tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.
Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal
itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan
sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai
dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi.
Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat,
Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat
mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya,
dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam
pengertian di atas dapat pula dicapai.
Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian
kesadaran tersebut --bukan pada sisi lapar dan dahaga--
sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw.
menyatakan bahwa, "Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak
memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."
PUASA UMAT TERDAHULU
Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba
'alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas
(umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para
ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam
prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini
berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah,
kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat,
dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada
Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam
agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat
berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi
umat islam dan umat-umat terdahulu?
Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah
aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan
berhubungan seks. Binatang --khususnya binatang-binatang
tertentu-- tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga
kebutuhan pokok itu, sehingga --misalnya-- ada waktu atau
musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi
memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan
atau menghindarkannya dari kebinasaan.
Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya
bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi
dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa
orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang
diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati
makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas
lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang
hari.
Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin haus
bagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman dan
menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.
Potensi dan daya manusia --betapa pun besarnya-- memiliki
keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan
secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan kebutuhan
faali misalnya-- maka arah yang lain, --mental spiritual--
akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.
Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan
atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh
manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan
pengendalian diri itulah esensi puasa.
Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau
miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau
masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh
umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh
Al-Quran.
Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan
salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi
pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumush
shiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa
yang mewajibkannya?
Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut
disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam
hal ini adalah Allah Swt. Tetapi boleh jadi juga untuk
mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang
mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa,
dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi
berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini
dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran
agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan
bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh
setiap makhluk yang berakal?
Di sisi lain bukankah Nabi Saw. bersabda, "Seandainya umatku
mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan,
niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan."
KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN
Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah
menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan
pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam
Qadar,
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada
Lailat Al-Qadr.
Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu,
yang menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para
malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Tuhan,
dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.
Di sisi lain --sebagaimana disinggung pada awal uraian-- bahwa
dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang
mengandung pesan tentang kedekatan Allah Swt. kepada
hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa --siapa
pun yang dengan tulus berdoa.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentang
keistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak ada
keistimewaan bagi Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal
itu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia.
"Al Islam adalah agama Allah yang diperintahkan mempelajari aqidah dan syariatnya kepada Nabi Muhammad dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada manusia, serta mengajak mereka untuk menganutnya. "Aqidah artinya sesuatu yang menjadi pengikat hati dan batin manusia. "Syari'at adalah undang-undang yang diturunkan Allah yang mengatur hubungan Allah dengan manusia, mengatur hubungan sesama muslim,dgn manusia lainnya, dgn kehidupan dan alam semesta.
Sabtu, 08 Januari 2011
SHOLAT . Bag. 2
V.30. SHALAT (2/2)
Oleh Nurcholish Madjid
Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat juga
mengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benar
juga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagai
proses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakan
metafor "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengan
sendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalam
sistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergerak
secara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidak
diterima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeri
atau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena ia
toh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkan
negeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luas
ini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kita
kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuk
tidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi
yang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karena
merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandung
makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan
itu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatu
kesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akan
menyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya
kita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak.
Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu
dari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak,
sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final
itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Dan
manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa paham
Tauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final
(al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatu
apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yang
semisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengan
sesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkin
terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalam
Kitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhan
selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia;
Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidak
menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah
Maha Lembut, Maha Teliti." [21]
Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah,
yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinya
menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kita
panjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan
yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan
syahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan
permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagai
kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah")
kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalat
kita.
MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM)
Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya
sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri,
khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan
berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui
tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut
bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai
sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri.
Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangat
logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga.
Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan
menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka
tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak
pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada
dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu
merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam
kata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan
keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi
pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah
makna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidak
menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen"
akan sia-sia belaka.
Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak
dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada
engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dan
keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung
(pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian
kerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa
salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah
bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat
jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari
kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui
shalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai hal
yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan
yang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian
yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang
lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama?
Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas
menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka
celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat
mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalat
seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan
sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh
santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan
nasib orang miskin.
Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi
luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan
salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa
untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,
baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan
sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan
begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan
Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan
sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak
menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan
menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat
palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya
peringatan dalam firman itu.
Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwaf
menguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentuk
ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan
manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha
Agung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmah
rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia
yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu
menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.
Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih
hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena
manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka
diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena
itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam
pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.
Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dan
keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan.
Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut
ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentuk
manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan
sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.
Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban
yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah
memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninya
saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak
dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan
menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil
tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita
dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang
kotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnya
manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia
banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak
mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25]
Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani
shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan
tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah
rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia
berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan
budi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang
shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka
yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26]
Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena mereka
mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai
lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa
yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya,
dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan
keluhuran kebaikan-Nya.
Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama,
pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat
dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau
persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu
perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa
memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta
faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang
sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.
Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh
amat disayangkan! [27]
Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama
dari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat.
Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam
tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:
Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya
Kecuali golongan yang beruntung (kanan)
Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,
tentang nasib orang-orang yang berdosa:
"Apa yang membawa kamu ke neraka?"
Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk
orang-orang yang shalat,
Dan tidak pula kami pernah
memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena
Dan kami dustakan adanya hari pembalasan
Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28]
Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk
neraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yang
menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup
ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab
sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan
tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup
egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya,
juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun
lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari
pembalasan (akhirat).
Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selain
menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita--
ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah
ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya
masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan
melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh
warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham
mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat,
sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras
kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang
kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan
komitmen sosial yang meluas.
CATATAN
1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu
mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS.
al-Mu'minun 23:1-2).
2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf,
Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li
al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9.
3. Ibid.,hal. 13
4. Ibid., hal. 24
5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi
dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan
(yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan
sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari
praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS.
al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana
pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia
"menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83).
6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa
perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan
serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi
Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari
"wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama
dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min
al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah).
(Lihat QS. al-An'am/6:161-162).
7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254.
8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak
dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan
Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi
saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab,
"Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah
engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau."
9. QS. al-Hadid 57:4
10. QS. Thaha 20:14.
11. QS. al-Baqarah/2:156.
12. QS. al-A'raf/7:65.
13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah
agar kita mempelajari sejarah dan mengambil pelajaran
daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali
'Imran/3:137.
14. QS. al-Nisa'/4:103.
15. QS. al-Baqarah/2:238.
16. QS. al-Insyirah/94:7-8.
17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan
dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam,
yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang
kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode).
18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97.
19. QS. al-Ikhlash/112:4.
20. QS. al-Syura/42:11.
21. QS. al-An'am/6: 102-3.
22. QS. al-Ankabut/29:45.
23. QS. al-Ma'un/107:1-~.
24. QS. al-Ankabut/29:45.
25. QS. al-Ma'arij/70:19-22.
26. QS. al-Ma'un/107:
27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin
(Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968
M). h. 55-57.
28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47.
Oleh Nurcholish Madjid
Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat juga
mengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benar
juga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagai
proses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakan
metafor "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengan
sendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalam
sistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergerak
secara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidak
diterima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeri
atau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena ia
toh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkan
negeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luas
ini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kita
kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuk
tidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi
yang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karena
merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandung
makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan
itu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatu
kesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akan
menyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya
kita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak.
Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu
dari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak,
sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final
itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Dan
manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa paham
Tauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final
(al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatu
apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yang
semisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengan
sesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkin
terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalam
Kitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhan
selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia;
Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidak
menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah
Maha Lembut, Maha Teliti." [21]
Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah,
yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinya
menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kita
panjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan
yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan
syahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan
permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagai
kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah")
kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalat
kita.
MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM)
Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya
sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri,
khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan
berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui
tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut
bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai
sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri.
Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangat
logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga.
Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan
menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka
tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak
pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada
dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu
merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam
kata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan
keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi
pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah
makna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidak
menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen"
akan sia-sia belaka.
Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak
dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada
engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dan
keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung
(pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian
kerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa
salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah
bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat
jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari
kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui
shalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai hal
yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan
yang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian
yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang
lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama?
Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas
menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka
celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat
mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalat
seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan
sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh
santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan
nasib orang miskin.
Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi
luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan
salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa
untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,
baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan
sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan
begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan
Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan
sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak
menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan
menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat
palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya
peringatan dalam firman itu.
Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwaf
menguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentuk
ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan
manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha
Agung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmah
rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia
yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu
menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.
Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih
hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena
manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka
diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena
itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam
pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.
Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dan
keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan.
Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut
ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentuk
manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan
sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.
Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban
yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah
memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninya
saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak
dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan
menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil
tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita
dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang
kotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnya
manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia
banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak
mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25]
Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani
shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan
tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah
rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia
berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan
budi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang
shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka
yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26]
Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena mereka
mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai
lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa
yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya,
dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan
keluhuran kebaikan-Nya.
Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama,
pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat
dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau
persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu
perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa
memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta
faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang
sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.
Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh
amat disayangkan! [27]
Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama
dari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat.
Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam
tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:
Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya
Kecuali golongan yang beruntung (kanan)
Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,
tentang nasib orang-orang yang berdosa:
"Apa yang membawa kamu ke neraka?"
Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk
orang-orang yang shalat,
Dan tidak pula kami pernah
memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena
Dan kami dustakan adanya hari pembalasan
Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28]
Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk
neraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yang
menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup
ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab
sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan
tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup
egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya,
juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun
lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari
pembalasan (akhirat).
Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selain
menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita--
ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah
ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya
masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan
melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh
warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham
mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat,
sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras
kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang
kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan
komitmen sosial yang meluas.
CATATAN
1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu
mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS.
al-Mu'minun 23:1-2).
2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf,
Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li
al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9.
3. Ibid.,hal. 13
4. Ibid., hal. 24
5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi
dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan
(yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan
sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari
praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS.
al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana
pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia
"menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83).
6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa
perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan
serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi
Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari
"wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama
dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min
al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah).
(Lihat QS. al-An'am/6:161-162).
7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254.
8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak
dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan
Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi
saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab,
"Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah
engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau."
9. QS. al-Hadid 57:4
10. QS. Thaha 20:14.
11. QS. al-Baqarah/2:156.
12. QS. al-A'raf/7:65.
13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah
agar kita mempelajari sejarah dan mengambil pelajaran
daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali
'Imran/3:137.
14. QS. al-Nisa'/4:103.
15. QS. al-Baqarah/2:238.
16. QS. al-Insyirah/94:7-8.
17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan
dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam,
yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang
kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode).
18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97.
19. QS. al-Ikhlash/112:4.
20. QS. al-Syura/42:11.
21. QS. al-An'am/6: 102-3.
22. QS. al-Ankabut/29:45.
23. QS. al-Ma'un/107:1-~.
24. QS. al-Ankabut/29:45.
25. QS. al-Ma'arij/70:19-22.
26. QS. al-Ma'un/107:
27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin
(Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968
M). h. 55-57.
28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47.
SHALAT .Bag. 1
V.30. (1/2)
Oleh Nurcholish Madjid
Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci dan Hadits
Nabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban
peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem
keagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita
menegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannya
dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan
kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yang
dilakukan dengan penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi
saw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkan
tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika
baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka
rusak pulalah seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi,
"Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada
Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya
ialah perjuangan di jalan Allah." [3]
Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang
pentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumber
agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik
mungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan
ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau
sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalam
shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup
kita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperoleh
pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai
hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa
shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai
tujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagai
sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.
Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,
dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsur
bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat
dirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya
dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang
dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim
(al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan
runtutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agama
Islam." [4]
Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat
al-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan",
yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang
tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap
Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formal
seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a
'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua
bentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas -
"hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkan
dalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan
hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika
disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah
agar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolik
terpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengan
takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap
menghadap Allah.
Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan
dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaan
yang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada
Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara
hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi
muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu),
dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]
Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma
baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam
raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan
aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]
Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan
hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan
melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir
pembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyang
dipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup),
karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal
sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari
pembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan,
perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]
Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknya
menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang
makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh
keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia
menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu
sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya";
dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi
sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan
makna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.
[8] Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga
sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi
dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di
Sidrat al-Muntaha.
Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salah
satu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafan
diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan
dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:
"Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, dan
Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]
Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memelihara
hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya
akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah
kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:
"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka
sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk
mengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berarti
kelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah juga
berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidup
di dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari
Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11] Maka dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah
"Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan
"Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).
Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentu
akan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekerti
sedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allah
dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).
Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupun
logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu
yang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti
yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialah
yang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang
asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani,
bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan
pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia
menuju kebenaran (hanif).
Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnya
baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalu
mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya
dengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak nampak
padanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs,
kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagai
akibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena
itu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebut
mutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu
sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari
dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu.
Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca surat
al-Fatihah --yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadat
itu-- kandungan makna surat itu yang terutama harus dihayati
benar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkan
jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itu
setelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatan
dirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah),
diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nya
sebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang Maha
Pengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha
Penyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim).
Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagai
Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdiri
mutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim,
dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghamba
kecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanya
kepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadari
bahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk
menemukan kebenaran.
Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan diri
kecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanya
kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakan
oleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusaha
mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arah
jalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa
kita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatu
apapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasan
pretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran.
Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar
itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allah
bahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat
yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita
tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan
oleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri dari
kungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu
merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu
merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah
kamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnya
rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted,"
termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalam
hidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkin
malah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita
miliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali.
Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidak
begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapan
yang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diri
yan mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada
waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya
ia menempuh jalan yang keliru.
Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya"
tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun, menurut Ibn
Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang
tidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yang
mendapatkan murka dari Allah.
Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah
ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia
kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka,
dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga
mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari
sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]
Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat merupakan kewajiban
"berwaktu" atas kaum beriman. [14] Yaitu, diwajibkan pada
waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (Subuh),
diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),
lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnya
di malam hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu itu
ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,
kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,
lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah bekerja (dari
Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya
dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi
lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan
dan kealpaan. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita
menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar,
[15] dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja keras
mendekati Tuhan.[16]
-------------------------------------------- (bersambung 2/2)
Oleh Nurcholish Madjid
Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci dan Hadits
Nabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban
peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem
keagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita
menegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannya
dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan
kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yang
dilakukan dengan penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi
saw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkan
tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika
baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka
rusak pulalah seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi,
"Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada
Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya
ialah perjuangan di jalan Allah." [3]
Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang
pentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumber
agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik
mungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan
ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau
sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalam
shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup
kita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperoleh
pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai
hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa
shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai
tujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagai
sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.
Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,
dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsur
bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat
dirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya
dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang
dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim
(al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan
runtutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agama
Islam." [4]
Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat
al-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan",
yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang
tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap
Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formal
seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a
'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua
bentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas -
"hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkan
dalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan
hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika
disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah
agar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolik
terpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengan
takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap
menghadap Allah.
Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan
dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaan
yang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada
Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara
hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi
muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu),
dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]
Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma
baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam
raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan
aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]
Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan
hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan
melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir
pembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyang
dipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup),
karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal
sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari
pembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan,
perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]
Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknya
menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang
makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh
keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia
menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu
sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya";
dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi
sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan
makna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.
[8] Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga
sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi
dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di
Sidrat al-Muntaha.
Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salah
satu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafan
diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan
dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:
"Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, dan
Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]
Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memelihara
hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya
akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah
kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:
"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka
sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk
mengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berarti
kelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah juga
berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidup
di dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari
Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11] Maka dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah
"Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan
"Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).
Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentu
akan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekerti
sedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allah
dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).
Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupun
logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu
yang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti
yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialah
yang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang
asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani,
bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan
pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia
menuju kebenaran (hanif).
Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnya
baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalu
mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya
dengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak nampak
padanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs,
kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagai
akibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena
itu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebut
mutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu
sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari
dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu.
Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca surat
al-Fatihah --yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadat
itu-- kandungan makna surat itu yang terutama harus dihayati
benar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkan
jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itu
setelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatan
dirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah),
diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nya
sebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang Maha
Pengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha
Penyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim).
Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagai
Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdiri
mutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim,
dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghamba
kecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanya
kepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadari
bahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk
menemukan kebenaran.
Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan diri
kecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanya
kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakan
oleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusaha
mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arah
jalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa
kita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatu
apapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasan
pretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran.
Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar
itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allah
bahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat
yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita
tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan
oleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri dari
kungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu
merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu
merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah
kamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnya
rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted,"
termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalam
hidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkin
malah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita
miliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali.
Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidak
begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapan
yang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diri
yan mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada
waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya
ia menempuh jalan yang keliru.
Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya"
tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun, menurut Ibn
Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang
tidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yang
mendapatkan murka dari Allah.
Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah
ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia
kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka,
dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga
mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari
sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]
Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat merupakan kewajiban
"berwaktu" atas kaum beriman. [14] Yaitu, diwajibkan pada
waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (Subuh),
diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),
lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnya
di malam hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu itu
ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,
kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,
lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah bekerja (dari
Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya
dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi
lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan
dan kealpaan. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita
menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar,
[15] dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja keras
mendekati Tuhan.[16]
-------------------------------------------- (bersambung 2/2)
Riba menurut Al-Quran
Membumikan Al-Quran
oleh Dr. M. Quraish Shihab
Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
--------------------------------------------------------------------------------
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Riba Menurut Al-Quran
Tulisan berikut tidak akan membahas kehalalan atau keharaman riba, karena keharamannya telah disepakati oleh setiap Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta ijma' seluruh ulama Islam, apa pun mazhab atau alirannya. Yang dibahas adalah apa yang di maksud sesungguhnya oleh Al-Quran dengan riba yang diharamkannya itu?
Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.
Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi.
Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai 'Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini.164 Beliau berkata: "Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu."165
Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan 'Umar r.a., "meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal".166
Sebelum membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.
Sejarah menjelaskan bahwa Tha'if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha'if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktek tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal prktek-praktek riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti 'Abbas bin 'Abdul Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS 2:275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.
Riba yang Dimaksud Al-Quran
Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Sehingga bila kita hanya berhenti kepada arti "kelebihan" tersebut, logika yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup beralasan. Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan menyatakan "Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS 2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali 'Imran, Al-Nisa', dan Al-Rum. Tiga surat pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pads harts manusia, maka riba itu tidak menambah pads sisi Allah ...
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba,167 yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman.
Selanjutnya Al-Zanjani,168 berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba.
Menurut Al-Maraghi169 dan Al-Shabuni,170 tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (Al-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Al-Nisa': 161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali 'Imran: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah: 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan tersebut, kita cenderung untuk hanya menetapkan dan membahas ayat pertama dan terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak jelas kedudukan tahapan turunnya sebagai tahapan pertengahan.
Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam memahami pengertian atau esensi riba yang diharamkan Al-Quran, karena sebagaimana dikemukakan di atas, ayat Al-Nisa' 161 merupakan kecaman kepada orang-orang Yahudi yang melakukan praktek-praktek riba. Berbeda halnya dengan ayat 130 surat Ali 'Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas terhadap orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktek riba secara adh'afan mudha'afah. Ayat Ali 'Imran ini, baik dijadikan ayat tahapan kedua maupun tahapan ketiga, jelas sekali mendahului turunnya ayat Al-Baqarah ayat 278, serta dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat Al-Rum 39.
Di sisi lain, ayat Al-Rum 39 yang merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qurthubi171 dan Ibn Al-'Arabi172 menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibn Katsir menamainya riba mubah.173 Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu 'Abbas dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai "hadiah" yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih.
Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum di atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan174 menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf, yakni kata riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw [huruf Arab], dan dalam surat-surat lainnya menggunakannya [huruf Arab]. Dari sini, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam Al-Quran bermula dari ayat Ali' Imran 131.175
Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan menganalisis kandungan ayat-ayat Ali 'Imran 130 dan Al-Baqarah 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.
Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan Al-Quran. Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram".
Pelbagai Pandangan di Seputar Arti Adh'afan Mudha'afah
Dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak (plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali. Al-Thabraniy dalam Tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa turunnya Al-Quran. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku." Maka apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan seterusnya menjadi jaz'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut. Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.176
Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya "untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran", maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.177
Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada masa jahiliyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila telah tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan ditangguhkan masa pembayarannya.178
Riwayat-riwayat di atas dan yang senada dengannya dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130 surat Ali 'Imran. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut riwayat-riwayat yang dikemukakan tersebut. Pertama, penambahan dari jumlah piutang yang digambarkan oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi, tetapi dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor (riwayat ke-3) pada saat jatuhnya masa pembayaran. Dalam hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883-1951) berkomentar dalam Tafsirnya:
"Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada masa kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau berlebih-lebihan), yakni keuntungan berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (yang bersifat keji atau berlebihan itu) dalam transaksi pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit penambahan pada transaksi pertama). Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka, maka mereka memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba al-nasi'ah (riba akibat penundaan). Ibn 'Abbas berpendapat bahwa nash Al-Quran menunjuk kepada riba al-nasi'ah yang dikenal (ketika itu).179
Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada riwayat pertama adalah perkalian dua kali, sedangkan pada riwayat kedua dan ketiga pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan, tetapi sekadar penambahan dari jumlah kredit. Hal ini mengantar kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami masing-masing riwayat secara berdiri sendiri, sehingga memahami bahwa "riba yang terlarang adalah penambahan dari jumlah utang dalam kondisi tertentu, baik penambahan tersebut berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda; (2) memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga memahami bahwa penambahan yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah penambahan berlipat ganda. Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh redaksi syah.
Dalam menguraikan riwayat-riwayat yang dikemukakan di atas, dan riwayat-riwayat lainnya, Al-Thabari menyimpulkan bahwa riba adh'afan mudha'afah adalah penambahan dari jumlah kredit akibat penundaan pembayaran atau apa yang dinamai dengan riba al-nasi'ah. Menurut Al-Thabari, seseorang yang mempraktekkan riba dinamai murbin karena ia melipatgandakan harta yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik secara langsung atau penambahan akibat penangguhan waktu pembayaran.180
Kesimpulan Al-Thabari di atas didukung oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya juga merupakan kesimpulan Ibn Qayyim.181
'Abdul Mun'in Al-Namir, salah seorang anggota Dewan Ulama-ulama terkemuka Al-Azhar dan wakil Syaikh Al-Azhar, menyimpulkan bahwa: "Riba yang diharamkan tergambar pada seorang debitor yang memiliki harta kekayaan yang didatangi oleh seorang yang butuh, kemudian ia menawarkan kepadanya tambahan pada jumlah kewajiban membayar utangnya sebagai imbalan penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada akhirnya yang bersangkutan (peminjam) terpaksa tunduk dan menerima tawaran tersebut secara tidak rela."182
Di atas telah dikemukakan bahwa kata adh'afan mudha'afah berarti berlipat ganda. Sedangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan ada yang menjelaskan pelipatgandaan dan ada pula yang sekadar penambahan. Kini kita kembali bertanya: Apakah yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang berlipat ganda ataukah segala bentuk penambahan dalam kondisi tertentu?
Yang pasti adalah bahwa teks ayat berarti "berlipat ganda". Mereka yang berpegang pada teks tersebut menyatakan bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya bila tidak berlipat ganda, maka ia tidak haram. Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktekkan pada masa turunnya ayat-ayat Al-Quran. Sehingga, kata mereka lebih lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah haram.
Hemat kami, untuk menyelesaikan hal ini perlu diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut riba, khususnya kata-kata kunci yang terdapat di sana. Karena, sekalipun teks adh'afan mudha'afah merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga.
Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah wa dzaru ma bagiya min al-riba. Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang berbentuk ma'rifah (definite) ini merujuk kepada riba adh'afan mudha'afah ataukah tidak?
Rasyid Ridha dalam hal ini mengemukakan tiga alasan untuk membuktikan bahwa kata al-riba pada ayat Al-Baqarah ini merujuk kepada kata al-riba yang berbentuk adh'afan mudha'afah itu.183 Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk ma'rifah. Yang dimaksud oleh Rasyid Ridha adalah kaidah yang menyatakan apabila ada suatu kosakata berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata pertama. Kata al-riba pada Ali 'Imran 130 dalam bentuk ma'rifah, demikian pula halnya pada Al-Baqarah 278. Sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang berbentuk adh'afan mudha'afah.
Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti al-riba pada ayat Al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata al-riba yang bersyarat adh'afan mudha'afah pada Ali 'Imran. Sehingga, yang dimaksud dengan al-riba pada ayat tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda itu.
Ketiga, diamati oleh Rasyid Ridha bahwa pembicaraan Al-Quran tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya sebagai zhulm (penganiayaan atau penindasan).
Apa yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha di atas tentang arti riba yang dimaksud oleh Al-Quran pada ayat tahapan terakhir dalam Al-Baqarah tersebut, masih dapat ditolak oleh sementara ulama --antara lain dengan menyatakan bahwa kaidah kebahasaan yang diungkapkannya itu tidak dapat diterapkan kecuali pada rangkaian satu susunan redaksi, bukan dalam redaksi yang berjauhan sejauh Al-Baqarah dengan Ali 'Imran, serta dengan menyatakan bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang keadaan yang lumrah ketika itu, sehingga dengan demikian kaidah kedua pun tidak dapat diterapkan. Walaupun demikian, menurut hemat penulis, kesimpulan Rasyid Ridha tersebut dapat dibenarkan. Pembenaran ini berdasarkan riwayat-riwayat yang jelas dan banyak tentang sebab nuzul ayat Al-Baqarah tersebut.
Kesimpulan riwayat-riwayat tersebut antara lain:
(a) Al-'Abbas (paman Nabi) dan seorang dari keluarga Bani Al-Mughirah bekerja sama memberikan utang secara riba kepada orang-orang dari kabilah Tsaqif. Kemudian dengan datangnya Islam (dan diharamkannya riba) mereka masih memiliki (pada para debitor) sisa harta benda yang banyak, maka diturunkan ayat ini (Al-Baqarah 278 untuk melarang mereka memungut sisa harta mereka yang berupa riba yang mereka praktekkan ala jahiliyah itu.184
(b) Ayat tersebut turun menyangkut kabilah Tsaqif yang melakukan praktek riba, kemudian (mereka masuk Islam) dan bersepakat dengan Nabi untuk tidak melakukan riba lagi. Tetapi pada waktu pembukaan kota Makkah, mereka masih ingin memungut sisa uang hasil riba yang belum sempat mereka pungut yang mereka lakukan sebelum turunnya larangan riba, seakan mereka beranggapan bahwa larangan tersebut tidak berlaku surut. Maka turunlah ayat tersebut untuk menegaskan larangan memungut sisa riba tersebut.185
Atas dasar riwayat-riwayat tersebut dan riwayat-riwayat lainnya, Ibn jarir menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut berarti: "Tinggalkanlah tuntutan apa yang tersisa dari riba, yakni yang berlebih dari modal kamu..."186
Karena itu, sungguh tepat terjemahan yang ditemukan dalam Al-Qur'an dan Terjemahnya, terbitan Departemen Agama, yakni "Tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut."
Atas dasar ini, tidak tepat untuk menjadikan pengertian riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian riba dalam ayat Ali 'Imran yang lalu (adh'afan mudha'afah). Karena riba yang dimaksud adalah riba yang mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliyah). Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan Al-Quran adalah yang disebutkannya sebagai adh'afan mudha'afah atau yang diistilahkan dengan riba al-nasiah.
Kembali kepada masalah awal. Apakah hal ini berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan tidak bersifat "berlipatganda" menjadi tidak diharamkan Al-Quran?
Jawabannya,menurut hemat kami, terdapat pada kata kunci berikutnya, yaitu fa lakum ru'usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu) (QS 2:279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan demikian kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan Al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktekkan.
Kesimpulan yang diperoleh ini menjadikan persoalan kata adh'afan mudha'afah tidak penting lagi, karena apakah ia syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa turunnya Al-Quran dan yang diisyaratkan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 tersebut, yaitu la tazhlimun wa la tuzhlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).
Kesimpulan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang praktek riba pada masa turunnya Al-Quran, sebagaimana telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa praktek tersebut mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan. Kesimpulan tersebut dikonfirmasikan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 di atas, sebagaimana sebelumnya ia diperkuat dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dengan sedekah, seperti dikemukakan Rasyid Ridha, yang menunjukkan bahwa kebutuhan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi pinjaman tanpa menguburkan sedekah. Kemudian pada ayat 280 ditegaskan bahwa, Dan jika orang yang berutang itu dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar pada waktu yang ditetapkan) maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan, dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang itu) lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.
Ayat-ayat di atas lebih memperkuat kesimpulan bahwa kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan bagi si peminjam.
Kesimpulan
Kesimpulan terakhir yang dapat kita garisbawahi adalah bahwa riba pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah utang.
Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan paktek Nabi saw. yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi saw. pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada Nabi untuk menagihnya. Dan ketika itu dicarikan unta yang sesuai umurnya dengan unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak mendapatkan kecuali yang lebih tua. Maka beliau memerintahkan untuk memberikan unta tersebut kepada orang yang meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda, "Inna khayrakum ahsanukum qadha'an" (Sebaik-baik kamu adalah yang sebaik-baiknya membayar utang).
Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia pernah mengutangi Nabi saw. Dan ketika ia mendatangi beliau, dibayarnya utangnya dan dilebihkannya. Hadis di atas kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.187
Benar bahwa ada pula riwayat yang menyatakan bahwa kullu qardin jarra manfa'atan fahuwa haram (setiap piutang yang menarik atau menghasilkan manfaat, maka ia adalah haram). Tetapi hadis ini dinilai oleh para ulama hadis sebagai hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, sehingga ia tidak dapat dijadikan dasar hukum.188
Sebagai penutup, ada baiknya dikutip apa yang telah ditulis oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar, setelah. menjelaskan arti riba yang dimaksud Al-Quran:
"Tidak pula termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa satu dosa (sebab) kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan dan kelobaan. Dengan demikian, tidak mungkin ketetapan hukumnya menjadi sama dalam pandangan keadilan Tuhan dan tidak pula kemudian dalam pandangan seorang yang berakal atau berlaku adil."189
Catatan kaki
164 Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa ayat terakhir turun sembilan hari sebelum Rasulullah saw. wafat.
165 Lihat Ibn Hazm, Al-Muhalla, Percetakan Al-Munir, Mesir, 1350 H, Jilid VH1, h. 477.
166 Ibid.
167 Lihat Jalaluddin Al-Suyuthiy, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Percetakan Al-Azhar, Mesir, 1318, H, Jilid I, h. 27.
168 Abdullah Al-Zanjaniy, Tarikh Al-Qur'an, Al-'Alamiy, Beirut, 1969, h. 60.
169 Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid III, h. 59 dst.
170 Muhammad 'Ali Al-Shabuniy, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Dar Al-Qalam, Beirut, 1971, jilid I, h. 389.
171 Muhammad bin Ahmad Al-Anshariy Al-Qurthubiy, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Dar Al-Kitab, Kairo, 1967, jilid XIV, h. 36.
172 Abu Bakar Muhammad bin Abdillah (Ibn Al-'Arabiy), Ahkam Al-Qur'an, tahqiq Muhammad Ali Al-Bajawi, 'Isa Al-Halabiy, 1957, Jilid III, h. 1479.
173 Isma'il Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Perc. Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t., jilid III, h. 434.
174 Lihat Badruddin Al-Zarkasyiy, Al-Burhan 'Ulum Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu Al-Fadhil, Isa Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid I., h. 409.
175 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1376 H., jilid III, h. 113.
176 Lihat Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami'Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, Isa Al-Halabiy, Mesir 1954, Jilid IV, h. 90.
177 Ibid, Jilid III, h. 101.
178 Ibid.
179 Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, op. cit., Jilid IV, h. 65.
180 Al-Thabariy, op. cit., Jilid III, h. 101.
181 Rasyid Ridha, op. cit., Jilid II, h. 113-114.
182 Abdul Mun'im Al-Nandr, Al-Ijtihad, Dar Al-Suruq, Kairo, 1986, h. 351.
183 Rasyid Ridha, loc. cit.
184 Al-Thabariy, op. cit., Jilid III, h. 106-107.
185 Ibid.
186 Ibid.
187 Muhammad bin 'Ali Al-Syawkaniy, Nayl Al-Authar, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1952, Jilid V, h. 245.
188 Muhammad bin Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy, Subul Alssalam, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1950, Jilid III, h. 53.
189 Rasyid Ridha, loc. cit.
Bahasan Riba oleh Ulama lain
oleh Dr. M. Quraish Shihab
Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
--------------------------------------------------------------------------------
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Riba Menurut Al-Quran
Tulisan berikut tidak akan membahas kehalalan atau keharaman riba, karena keharamannya telah disepakati oleh setiap Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta ijma' seluruh ulama Islam, apa pun mazhab atau alirannya. Yang dibahas adalah apa yang di maksud sesungguhnya oleh Al-Quran dengan riba yang diharamkannya itu?
Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.
Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi.
Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai 'Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini.164 Beliau berkata: "Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu."165
Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan 'Umar r.a., "meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal".166
Sebelum membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.
Sejarah menjelaskan bahwa Tha'if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha'if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktek tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal prktek-praktek riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti 'Abbas bin 'Abdul Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS 2:275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.
Riba yang Dimaksud Al-Quran
Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Sehingga bila kita hanya berhenti kepada arti "kelebihan" tersebut, logika yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup beralasan. Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan menyatakan "Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS 2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali 'Imran, Al-Nisa', dan Al-Rum. Tiga surat pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pads harts manusia, maka riba itu tidak menambah pads sisi Allah ...
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba,167 yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman.
Selanjutnya Al-Zanjani,168 berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba.
Menurut Al-Maraghi169 dan Al-Shabuni,170 tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (Al-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Al-Nisa': 161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali 'Imran: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah: 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan tersebut, kita cenderung untuk hanya menetapkan dan membahas ayat pertama dan terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak jelas kedudukan tahapan turunnya sebagai tahapan pertengahan.
Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam memahami pengertian atau esensi riba yang diharamkan Al-Quran, karena sebagaimana dikemukakan di atas, ayat Al-Nisa' 161 merupakan kecaman kepada orang-orang Yahudi yang melakukan praktek-praktek riba. Berbeda halnya dengan ayat 130 surat Ali 'Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas terhadap orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktek riba secara adh'afan mudha'afah. Ayat Ali 'Imran ini, baik dijadikan ayat tahapan kedua maupun tahapan ketiga, jelas sekali mendahului turunnya ayat Al-Baqarah ayat 278, serta dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat Al-Rum 39.
Di sisi lain, ayat Al-Rum 39 yang merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qurthubi171 dan Ibn Al-'Arabi172 menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibn Katsir menamainya riba mubah.173 Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu 'Abbas dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai "hadiah" yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih.
Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum di atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan174 menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf, yakni kata riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw [huruf Arab], dan dalam surat-surat lainnya menggunakannya [huruf Arab]. Dari sini, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam Al-Quran bermula dari ayat Ali' Imran 131.175
Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan menganalisis kandungan ayat-ayat Ali 'Imran 130 dan Al-Baqarah 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.
Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan Al-Quran. Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram".
Pelbagai Pandangan di Seputar Arti Adh'afan Mudha'afah
Dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak (plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali. Al-Thabraniy dalam Tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa turunnya Al-Quran. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku." Maka apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan seterusnya menjadi jaz'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut. Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.176
Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya "untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran", maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.177
Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada masa jahiliyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila telah tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan ditangguhkan masa pembayarannya.178
Riwayat-riwayat di atas dan yang senada dengannya dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130 surat Ali 'Imran. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut riwayat-riwayat yang dikemukakan tersebut. Pertama, penambahan dari jumlah piutang yang digambarkan oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi, tetapi dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor (riwayat ke-3) pada saat jatuhnya masa pembayaran. Dalam hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883-1951) berkomentar dalam Tafsirnya:
"Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada masa kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau berlebih-lebihan), yakni keuntungan berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (yang bersifat keji atau berlebihan itu) dalam transaksi pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit penambahan pada transaksi pertama). Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka, maka mereka memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba al-nasi'ah (riba akibat penundaan). Ibn 'Abbas berpendapat bahwa nash Al-Quran menunjuk kepada riba al-nasi'ah yang dikenal (ketika itu).179
Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada riwayat pertama adalah perkalian dua kali, sedangkan pada riwayat kedua dan ketiga pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan, tetapi sekadar penambahan dari jumlah kredit. Hal ini mengantar kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami masing-masing riwayat secara berdiri sendiri, sehingga memahami bahwa "riba yang terlarang adalah penambahan dari jumlah utang dalam kondisi tertentu, baik penambahan tersebut berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda; (2) memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga memahami bahwa penambahan yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah penambahan berlipat ganda. Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh redaksi syah.
Dalam menguraikan riwayat-riwayat yang dikemukakan di atas, dan riwayat-riwayat lainnya, Al-Thabari menyimpulkan bahwa riba adh'afan mudha'afah adalah penambahan dari jumlah kredit akibat penundaan pembayaran atau apa yang dinamai dengan riba al-nasi'ah. Menurut Al-Thabari, seseorang yang mempraktekkan riba dinamai murbin karena ia melipatgandakan harta yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik secara langsung atau penambahan akibat penangguhan waktu pembayaran.180
Kesimpulan Al-Thabari di atas didukung oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya juga merupakan kesimpulan Ibn Qayyim.181
'Abdul Mun'in Al-Namir, salah seorang anggota Dewan Ulama-ulama terkemuka Al-Azhar dan wakil Syaikh Al-Azhar, menyimpulkan bahwa: "Riba yang diharamkan tergambar pada seorang debitor yang memiliki harta kekayaan yang didatangi oleh seorang yang butuh, kemudian ia menawarkan kepadanya tambahan pada jumlah kewajiban membayar utangnya sebagai imbalan penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada akhirnya yang bersangkutan (peminjam) terpaksa tunduk dan menerima tawaran tersebut secara tidak rela."182
Di atas telah dikemukakan bahwa kata adh'afan mudha'afah berarti berlipat ganda. Sedangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan ada yang menjelaskan pelipatgandaan dan ada pula yang sekadar penambahan. Kini kita kembali bertanya: Apakah yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang berlipat ganda ataukah segala bentuk penambahan dalam kondisi tertentu?
Yang pasti adalah bahwa teks ayat berarti "berlipat ganda". Mereka yang berpegang pada teks tersebut menyatakan bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya bila tidak berlipat ganda, maka ia tidak haram. Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktekkan pada masa turunnya ayat-ayat Al-Quran. Sehingga, kata mereka lebih lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah haram.
Hemat kami, untuk menyelesaikan hal ini perlu diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut riba, khususnya kata-kata kunci yang terdapat di sana. Karena, sekalipun teks adh'afan mudha'afah merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga.
Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah wa dzaru ma bagiya min al-riba. Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang berbentuk ma'rifah (definite) ini merujuk kepada riba adh'afan mudha'afah ataukah tidak?
Rasyid Ridha dalam hal ini mengemukakan tiga alasan untuk membuktikan bahwa kata al-riba pada ayat Al-Baqarah ini merujuk kepada kata al-riba yang berbentuk adh'afan mudha'afah itu.183 Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk ma'rifah. Yang dimaksud oleh Rasyid Ridha adalah kaidah yang menyatakan apabila ada suatu kosakata berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata pertama. Kata al-riba pada Ali 'Imran 130 dalam bentuk ma'rifah, demikian pula halnya pada Al-Baqarah 278. Sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang berbentuk adh'afan mudha'afah.
Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti al-riba pada ayat Al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata al-riba yang bersyarat adh'afan mudha'afah pada Ali 'Imran. Sehingga, yang dimaksud dengan al-riba pada ayat tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda itu.
Ketiga, diamati oleh Rasyid Ridha bahwa pembicaraan Al-Quran tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya sebagai zhulm (penganiayaan atau penindasan).
Apa yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha di atas tentang arti riba yang dimaksud oleh Al-Quran pada ayat tahapan terakhir dalam Al-Baqarah tersebut, masih dapat ditolak oleh sementara ulama --antara lain dengan menyatakan bahwa kaidah kebahasaan yang diungkapkannya itu tidak dapat diterapkan kecuali pada rangkaian satu susunan redaksi, bukan dalam redaksi yang berjauhan sejauh Al-Baqarah dengan Ali 'Imran, serta dengan menyatakan bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang keadaan yang lumrah ketika itu, sehingga dengan demikian kaidah kedua pun tidak dapat diterapkan. Walaupun demikian, menurut hemat penulis, kesimpulan Rasyid Ridha tersebut dapat dibenarkan. Pembenaran ini berdasarkan riwayat-riwayat yang jelas dan banyak tentang sebab nuzul ayat Al-Baqarah tersebut.
Kesimpulan riwayat-riwayat tersebut antara lain:
(a) Al-'Abbas (paman Nabi) dan seorang dari keluarga Bani Al-Mughirah bekerja sama memberikan utang secara riba kepada orang-orang dari kabilah Tsaqif. Kemudian dengan datangnya Islam (dan diharamkannya riba) mereka masih memiliki (pada para debitor) sisa harta benda yang banyak, maka diturunkan ayat ini (Al-Baqarah 278 untuk melarang mereka memungut sisa harta mereka yang berupa riba yang mereka praktekkan ala jahiliyah itu.184
(b) Ayat tersebut turun menyangkut kabilah Tsaqif yang melakukan praktek riba, kemudian (mereka masuk Islam) dan bersepakat dengan Nabi untuk tidak melakukan riba lagi. Tetapi pada waktu pembukaan kota Makkah, mereka masih ingin memungut sisa uang hasil riba yang belum sempat mereka pungut yang mereka lakukan sebelum turunnya larangan riba, seakan mereka beranggapan bahwa larangan tersebut tidak berlaku surut. Maka turunlah ayat tersebut untuk menegaskan larangan memungut sisa riba tersebut.185
Atas dasar riwayat-riwayat tersebut dan riwayat-riwayat lainnya, Ibn jarir menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut berarti: "Tinggalkanlah tuntutan apa yang tersisa dari riba, yakni yang berlebih dari modal kamu..."186
Karena itu, sungguh tepat terjemahan yang ditemukan dalam Al-Qur'an dan Terjemahnya, terbitan Departemen Agama, yakni "Tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut."
Atas dasar ini, tidak tepat untuk menjadikan pengertian riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian riba dalam ayat Ali 'Imran yang lalu (adh'afan mudha'afah). Karena riba yang dimaksud adalah riba yang mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliyah). Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan Al-Quran adalah yang disebutkannya sebagai adh'afan mudha'afah atau yang diistilahkan dengan riba al-nasiah.
Kembali kepada masalah awal. Apakah hal ini berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan tidak bersifat "berlipatganda" menjadi tidak diharamkan Al-Quran?
Jawabannya,menurut hemat kami, terdapat pada kata kunci berikutnya, yaitu fa lakum ru'usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu) (QS 2:279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan demikian kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan Al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktekkan.
Kesimpulan yang diperoleh ini menjadikan persoalan kata adh'afan mudha'afah tidak penting lagi, karena apakah ia syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa turunnya Al-Quran dan yang diisyaratkan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 tersebut, yaitu la tazhlimun wa la tuzhlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).
Kesimpulan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang praktek riba pada masa turunnya Al-Quran, sebagaimana telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa praktek tersebut mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan. Kesimpulan tersebut dikonfirmasikan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 di atas, sebagaimana sebelumnya ia diperkuat dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dengan sedekah, seperti dikemukakan Rasyid Ridha, yang menunjukkan bahwa kebutuhan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi pinjaman tanpa menguburkan sedekah. Kemudian pada ayat 280 ditegaskan bahwa, Dan jika orang yang berutang itu dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar pada waktu yang ditetapkan) maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan, dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang itu) lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.
Ayat-ayat di atas lebih memperkuat kesimpulan bahwa kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan bagi si peminjam.
Kesimpulan
Kesimpulan terakhir yang dapat kita garisbawahi adalah bahwa riba pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah utang.
Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan paktek Nabi saw. yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi saw. pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada Nabi untuk menagihnya. Dan ketika itu dicarikan unta yang sesuai umurnya dengan unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak mendapatkan kecuali yang lebih tua. Maka beliau memerintahkan untuk memberikan unta tersebut kepada orang yang meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda, "Inna khayrakum ahsanukum qadha'an" (Sebaik-baik kamu adalah yang sebaik-baiknya membayar utang).
Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia pernah mengutangi Nabi saw. Dan ketika ia mendatangi beliau, dibayarnya utangnya dan dilebihkannya. Hadis di atas kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.187
Benar bahwa ada pula riwayat yang menyatakan bahwa kullu qardin jarra manfa'atan fahuwa haram (setiap piutang yang menarik atau menghasilkan manfaat, maka ia adalah haram). Tetapi hadis ini dinilai oleh para ulama hadis sebagai hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, sehingga ia tidak dapat dijadikan dasar hukum.188
Sebagai penutup, ada baiknya dikutip apa yang telah ditulis oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar, setelah. menjelaskan arti riba yang dimaksud Al-Quran:
"Tidak pula termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa satu dosa (sebab) kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan dan kelobaan. Dengan demikian, tidak mungkin ketetapan hukumnya menjadi sama dalam pandangan keadilan Tuhan dan tidak pula kemudian dalam pandangan seorang yang berakal atau berlaku adil."189
Catatan kaki
164 Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa ayat terakhir turun sembilan hari sebelum Rasulullah saw. wafat.
165 Lihat Ibn Hazm, Al-Muhalla, Percetakan Al-Munir, Mesir, 1350 H, Jilid VH1, h. 477.
166 Ibid.
167 Lihat Jalaluddin Al-Suyuthiy, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Percetakan Al-Azhar, Mesir, 1318, H, Jilid I, h. 27.
168 Abdullah Al-Zanjaniy, Tarikh Al-Qur'an, Al-'Alamiy, Beirut, 1969, h. 60.
169 Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid III, h. 59 dst.
170 Muhammad 'Ali Al-Shabuniy, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Dar Al-Qalam, Beirut, 1971, jilid I, h. 389.
171 Muhammad bin Ahmad Al-Anshariy Al-Qurthubiy, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Dar Al-Kitab, Kairo, 1967, jilid XIV, h. 36.
172 Abu Bakar Muhammad bin Abdillah (Ibn Al-'Arabiy), Ahkam Al-Qur'an, tahqiq Muhammad Ali Al-Bajawi, 'Isa Al-Halabiy, 1957, Jilid III, h. 1479.
173 Isma'il Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Perc. Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t., jilid III, h. 434.
174 Lihat Badruddin Al-Zarkasyiy, Al-Burhan 'Ulum Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu Al-Fadhil, Isa Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid I., h. 409.
175 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1376 H., jilid III, h. 113.
176 Lihat Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami'Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, Isa Al-Halabiy, Mesir 1954, Jilid IV, h. 90.
177 Ibid, Jilid III, h. 101.
178 Ibid.
179 Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, op. cit., Jilid IV, h. 65.
180 Al-Thabariy, op. cit., Jilid III, h. 101.
181 Rasyid Ridha, op. cit., Jilid II, h. 113-114.
182 Abdul Mun'im Al-Nandr, Al-Ijtihad, Dar Al-Suruq, Kairo, 1986, h. 351.
183 Rasyid Ridha, loc. cit.
184 Al-Thabariy, op. cit., Jilid III, h. 106-107.
185 Ibid.
186 Ibid.
187 Muhammad bin 'Ali Al-Syawkaniy, Nayl Al-Authar, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1952, Jilid V, h. 245.
188 Muhammad bin Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy, Subul Alssalam, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1950, Jilid III, h. 53.
189 Rasyid Ridha, loc. cit.
Bahasan Riba oleh Ulama lain
Tentang Riba
Halal dan Haram dalam Islam
oleh Yusuf Qardhawi
Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
--------------------------------------------------------------------------------
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
4.2.7 Perkosaan dan Penipuan, Hukumnya Haram
Demi menjaga ketidak adanya campur tangan orang lain yang bersifat penipuan, maka dilarangnya juga oleh Rasulullah apa yang dinamakan najasyun (menaikkan harga) yang menurut penafsiran Ibnu Abbas, yaitu: "Engkau bayar harga barang itu lebih dari harga biasa, yang timbulnya bukan dari hati kecilmu sendiri, tetapi dengan tujuan supaya orang lain menirunya." Cara ini banyak digunakan untuk menipu orang lain.
Kemudian agar pergaulan kita itu jauh dari sifat-sifat pemerkosaan dan pengelabuhan tentang harga, maka Rasulullah s.a.w. melarang mencegat barang dagangan sebelum sampai ke pasar.9
Dengan demikian, maka barang sebagai bahan baku masyarakat akan mencerminkan harga yang sesuai, selaras dengan penawaran dan permintaan. Tetapi kadang-kadang si pemilik barang akan tertipu jika dia tidak mengetahui harga pasar. Justru itu oleh Nabi ditetapkannya penawaran itu dilakukan setelah barang sampai di pasar.10
4.2.8 Siapa yang Menipu, Bukan dari Golongan Kami
Islam mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam masalah jual-beli, maupun dalam seluruh macam mu'amalah.
Seorang muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya, Sebab keikhlasan dalam beragama, nilainya lebih tinggi daripada seluruh usaha duniawi.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Dua orang yang sedang melakukan jual-beli dibolehkan tawar-menawar selama belum berpisah; jika mereka itu berlaku jujur dan menjelaskan (ciri dagangannya), maka mereka akan diberi barakah dalam perdagangannya itu; tetapi jika mereka berdusta dan menyembunyikan (ciri dagangannya), barakah dagangannya itu akan dihapus." (Riwayat Bukhari)
Dan beliau bersabda pula:
"Tidak halal seseorang menjual suatu perdagangan, melainkan dia harus menjelaskan ciri perdagangannya itu; dan tidak halal seseorang yang mengetahuinya, melainkan dia harus menjelaskannya." (Riwayat Hakim dan Baihaqi)
Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. pernah melalui seorang laki-laki yang sedang menjual makanan (biji-bijian). Beliau sangat mengaguminya, kemudian memasukkan tangannya ke dalam tempat makanan itu, maka dilihatnya makanan itu tampak basah, maka bertanyalah beliau: Apa yang diperbuat oleh yang mempunyai makanan ini? Ia menjawab: Kena hujan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Mengapa tidak kamu letakkan yang basah itu di atas, supaya orang lain mengetahuinya?! Sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat Muslim)
Dalam salah satu riwayat dikatakan:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melalui suatu (tumpukan) makanan yang oleh pemiliknya dipujinya, kemudian Nabi meletakkan tangannya pada makanan tersebut, tetapi tiba-tiba makanan tersebut sangat jelek, lantas Nabi bersabda: 'Juallah makanan ini menurut harga yang pantas dan ini menurut harga yang pantas; sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat Ahmad)
Begitulah yang dikerjakan oleh orang-orang Islam zaman dahulu, dimana mereka itu menjelaskan cacat barang dagangannya dan samasekali tidak pernah merahasiakannya. Mereka selalu berbuat jujur dan tidak berdusta, ikhlas dan tidak menipu.
Ibnu Sirin pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si pembelinya: 'Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya cacat.'
Begitu juga al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan (jariyah), kemudian ia berkata kepada si pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah dari hidungnya satu kali."
Walaupun hanya sekali, tetapi 'jiwa seorang mu'min merasa tidak enak kalau tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya harga.
4.2.9 Banyak Sumpah
Lebih keras lagi haramnya, jika tipuannya itu diperkuat dengan sumpah palsu. Oleh karena itu Rasulullah melarang keras para saudagar banyak bersumpah, khususnya sumpah palsu.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sumpah itu menguntungkan perdagangan, tetapi dapat menghapuskan barakah." (Riwayat Bukhari)
Beliau sangat membenci banyak sumpah dalam perdagangan, karena:
Memungkinkan terjadinya suatu penipuan.
Menyebabkan hilangnya perasaan membesarkan asma' Allah dari hatinya.
4.2.10 Mengurangi Takaran dan Timbangan
Salah satu macam penipuan ialah mengurangi takaran dan timbangan. Al-Quran menganggap penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari mu'amalah, dan dijadikan sebagai salah satu dari sepuluh wasiatnya di akhir surat al-An'am, yaitu:
"Penuhilah takaran dan timbangan dengan jujur, karena Kami tidak memberi beban kepada seseorang melainkan menurut kemampuannya." (al-An'am: 152)
"Penuhilah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan jujur dan lurus, yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan. (al-Isra': 35)
"Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!" (al-Muthafifin: 1-6)
Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk berlaku adil (jujur), sebab keadilan yang sebenarnya jarang bisa diujudkan. Justru itu sesudah perintah memenuhi timbangan, al-Quran kemudian berkata:
"Kami tidak memberi beban kepada seseorang, melainkan menurut kemampuannya."
Al-Quran juga telah mengisahkan kepada kita tentang ceritera suatu kaum yang curang dalam bidang mu'amalah dan menyimpang dari kejujurannya dalam hal takaran dan timbangan. Kepunyaan orang lain selalu dikuranginya. Kemudian oleh Allah dikirimnya seorang Rasul untuk mengembalikan mereka itu kepada kejujuran dan kebaikan disamping dikembalikannya kepada Tauhid.
Mereka yang dimaksud ialah kaumnya Nabi Syu'aib. Nabi Syu'aib menyeru dan sekaligus memberikan saksi kepada mereka sebagai berikut:
"Penuhilah takaran dan jangan kamu menjadi orang yang suka mengurangi; dan timbanglah dengan jujur dan lurus, dan jangan mengurangi hak orang lain dan jangan kamu berbuat kerusakan di permukaan bumi." (As-Syu'ara': 181-183)
Mu'amalah seperti ini suatu contoh yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dalam kehidupannya, pergaulannya dan mu'amalahnya. Mereka tidak diperkenankan menakar dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan; timbangan pribadi dan timbangan untuk umum; timbangan yang menguntungkan diri dan orang yang disenanginya, dan timbangan untuk orang lain. Kalau untuk dirinya sendiri dan pengikutnya dia penuhi timbangan, tetapi untuk orang lain dia kuranginya.
4.2.11 Membeli Barang Rampokan dan Curian sama dengan Perampas dan Pencuri
Di antara bentuk yang diharamkan Islam sebagai usaha untuk memberantas kriminalitas dan membatasi keleluasaan pelanggaran oleh si pelanggar, ialah tidak halal seorang muslim membeli sesuatu yang sudah diketahui, bahwa barang tersebut adalah hasil rampokan dan curian atau sesuatu yang diambil dari orang lain dengan jalan yang tidak benar. Sebab kalau dia berbuat demikian, sama dengan membantu perampok, pencuri dan pelanggar hak untuk merampok, mencuri dan melanggar hukum.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia mengetahui bahwa barang tersebut adalah curian, maka dia bersekutu dalam dosa yang cacat." (Riwayat Baihaqi)
Dosa ini tidak dapat terhapus karena lamanya barang yang dicuri dan dirampok itu, sebab lamanya waktu dalam pandangan syariat Islam tidak dapat menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal. Hak pemilik yang asli tidak dapat gugur lantaran berlalunya waktu. Demikian menurut ketetapan ahli-ahli hukum sipil.
4.2.12 Riba adalah Haram
Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Seperti firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu." (an-Nisa': 29)
Islam sangat memuji orang yang berjalan di permukaan bumi untuk berdagang. Firman Allah:
"Sedang yang lain berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah." (al-Muzammil: 20)
Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.
Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah:
"Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi." (al-Baqarah: 278-279)
Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:
"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi: "Jikalau kamu memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang keras dan jangan ambil bunga daripadanya." (Keluaran 22:25).
Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas dikatakan: "Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu..." (Lukas 6: 35).
Sayang sekali tangan-tangan usil telah sampai pada Perjanjian Lama, sehingga mereka menjadikan kata Saudaramu --yang dalam terjemahan di atas diartikan Hambaku pent.-- dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana diperjelas dalam fasal Ulangan 23:20 "Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia ..."
(sebelum, sesudah)
--------------------------------------------------------------------------------
Halal dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993
oleh Yusuf Qardhawi
Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
--------------------------------------------------------------------------------
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
4.2.7 Perkosaan dan Penipuan, Hukumnya Haram
Demi menjaga ketidak adanya campur tangan orang lain yang bersifat penipuan, maka dilarangnya juga oleh Rasulullah apa yang dinamakan najasyun (menaikkan harga) yang menurut penafsiran Ibnu Abbas, yaitu: "Engkau bayar harga barang itu lebih dari harga biasa, yang timbulnya bukan dari hati kecilmu sendiri, tetapi dengan tujuan supaya orang lain menirunya." Cara ini banyak digunakan untuk menipu orang lain.
Kemudian agar pergaulan kita itu jauh dari sifat-sifat pemerkosaan dan pengelabuhan tentang harga, maka Rasulullah s.a.w. melarang mencegat barang dagangan sebelum sampai ke pasar.9
Dengan demikian, maka barang sebagai bahan baku masyarakat akan mencerminkan harga yang sesuai, selaras dengan penawaran dan permintaan. Tetapi kadang-kadang si pemilik barang akan tertipu jika dia tidak mengetahui harga pasar. Justru itu oleh Nabi ditetapkannya penawaran itu dilakukan setelah barang sampai di pasar.10
4.2.8 Siapa yang Menipu, Bukan dari Golongan Kami
Islam mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam masalah jual-beli, maupun dalam seluruh macam mu'amalah.
Seorang muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya, Sebab keikhlasan dalam beragama, nilainya lebih tinggi daripada seluruh usaha duniawi.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Dua orang yang sedang melakukan jual-beli dibolehkan tawar-menawar selama belum berpisah; jika mereka itu berlaku jujur dan menjelaskan (ciri dagangannya), maka mereka akan diberi barakah dalam perdagangannya itu; tetapi jika mereka berdusta dan menyembunyikan (ciri dagangannya), barakah dagangannya itu akan dihapus." (Riwayat Bukhari)
Dan beliau bersabda pula:
"Tidak halal seseorang menjual suatu perdagangan, melainkan dia harus menjelaskan ciri perdagangannya itu; dan tidak halal seseorang yang mengetahuinya, melainkan dia harus menjelaskannya." (Riwayat Hakim dan Baihaqi)
Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. pernah melalui seorang laki-laki yang sedang menjual makanan (biji-bijian). Beliau sangat mengaguminya, kemudian memasukkan tangannya ke dalam tempat makanan itu, maka dilihatnya makanan itu tampak basah, maka bertanyalah beliau: Apa yang diperbuat oleh yang mempunyai makanan ini? Ia menjawab: Kena hujan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Mengapa tidak kamu letakkan yang basah itu di atas, supaya orang lain mengetahuinya?! Sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat Muslim)
Dalam salah satu riwayat dikatakan:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melalui suatu (tumpukan) makanan yang oleh pemiliknya dipujinya, kemudian Nabi meletakkan tangannya pada makanan tersebut, tetapi tiba-tiba makanan tersebut sangat jelek, lantas Nabi bersabda: 'Juallah makanan ini menurut harga yang pantas dan ini menurut harga yang pantas; sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat Ahmad)
Begitulah yang dikerjakan oleh orang-orang Islam zaman dahulu, dimana mereka itu menjelaskan cacat barang dagangannya dan samasekali tidak pernah merahasiakannya. Mereka selalu berbuat jujur dan tidak berdusta, ikhlas dan tidak menipu.
Ibnu Sirin pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si pembelinya: 'Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya cacat.'
Begitu juga al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan (jariyah), kemudian ia berkata kepada si pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah dari hidungnya satu kali."
Walaupun hanya sekali, tetapi 'jiwa seorang mu'min merasa tidak enak kalau tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya harga.
4.2.9 Banyak Sumpah
Lebih keras lagi haramnya, jika tipuannya itu diperkuat dengan sumpah palsu. Oleh karena itu Rasulullah melarang keras para saudagar banyak bersumpah, khususnya sumpah palsu.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sumpah itu menguntungkan perdagangan, tetapi dapat menghapuskan barakah." (Riwayat Bukhari)
Beliau sangat membenci banyak sumpah dalam perdagangan, karena:
Memungkinkan terjadinya suatu penipuan.
Menyebabkan hilangnya perasaan membesarkan asma' Allah dari hatinya.
4.2.10 Mengurangi Takaran dan Timbangan
Salah satu macam penipuan ialah mengurangi takaran dan timbangan. Al-Quran menganggap penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari mu'amalah, dan dijadikan sebagai salah satu dari sepuluh wasiatnya di akhir surat al-An'am, yaitu:
"Penuhilah takaran dan timbangan dengan jujur, karena Kami tidak memberi beban kepada seseorang melainkan menurut kemampuannya." (al-An'am: 152)
"Penuhilah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan jujur dan lurus, yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan. (al-Isra': 35)
"Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!" (al-Muthafifin: 1-6)
Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk berlaku adil (jujur), sebab keadilan yang sebenarnya jarang bisa diujudkan. Justru itu sesudah perintah memenuhi timbangan, al-Quran kemudian berkata:
"Kami tidak memberi beban kepada seseorang, melainkan menurut kemampuannya."
Al-Quran juga telah mengisahkan kepada kita tentang ceritera suatu kaum yang curang dalam bidang mu'amalah dan menyimpang dari kejujurannya dalam hal takaran dan timbangan. Kepunyaan orang lain selalu dikuranginya. Kemudian oleh Allah dikirimnya seorang Rasul untuk mengembalikan mereka itu kepada kejujuran dan kebaikan disamping dikembalikannya kepada Tauhid.
Mereka yang dimaksud ialah kaumnya Nabi Syu'aib. Nabi Syu'aib menyeru dan sekaligus memberikan saksi kepada mereka sebagai berikut:
"Penuhilah takaran dan jangan kamu menjadi orang yang suka mengurangi; dan timbanglah dengan jujur dan lurus, dan jangan mengurangi hak orang lain dan jangan kamu berbuat kerusakan di permukaan bumi." (As-Syu'ara': 181-183)
Mu'amalah seperti ini suatu contoh yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dalam kehidupannya, pergaulannya dan mu'amalahnya. Mereka tidak diperkenankan menakar dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan; timbangan pribadi dan timbangan untuk umum; timbangan yang menguntungkan diri dan orang yang disenanginya, dan timbangan untuk orang lain. Kalau untuk dirinya sendiri dan pengikutnya dia penuhi timbangan, tetapi untuk orang lain dia kuranginya.
4.2.11 Membeli Barang Rampokan dan Curian sama dengan Perampas dan Pencuri
Di antara bentuk yang diharamkan Islam sebagai usaha untuk memberantas kriminalitas dan membatasi keleluasaan pelanggaran oleh si pelanggar, ialah tidak halal seorang muslim membeli sesuatu yang sudah diketahui, bahwa barang tersebut adalah hasil rampokan dan curian atau sesuatu yang diambil dari orang lain dengan jalan yang tidak benar. Sebab kalau dia berbuat demikian, sama dengan membantu perampok, pencuri dan pelanggar hak untuk merampok, mencuri dan melanggar hukum.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia mengetahui bahwa barang tersebut adalah curian, maka dia bersekutu dalam dosa yang cacat." (Riwayat Baihaqi)
Dosa ini tidak dapat terhapus karena lamanya barang yang dicuri dan dirampok itu, sebab lamanya waktu dalam pandangan syariat Islam tidak dapat menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal. Hak pemilik yang asli tidak dapat gugur lantaran berlalunya waktu. Demikian menurut ketetapan ahli-ahli hukum sipil.
4.2.12 Riba adalah Haram
Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Seperti firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu." (an-Nisa': 29)
Islam sangat memuji orang yang berjalan di permukaan bumi untuk berdagang. Firman Allah:
"Sedang yang lain berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah." (al-Muzammil: 20)
Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.
Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah:
"Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi." (al-Baqarah: 278-279)
Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:
"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi: "Jikalau kamu memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang keras dan jangan ambil bunga daripadanya." (Keluaran 22:25).
Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas dikatakan: "Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu..." (Lukas 6: 35).
Sayang sekali tangan-tangan usil telah sampai pada Perjanjian Lama, sehingga mereka menjadikan kata Saudaramu --yang dalam terjemahan di atas diartikan Hambaku pent.-- dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana diperjelas dalam fasal Ulangan 23:20 "Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia ..."
(sebelum, sesudah)
--------------------------------------------------------------------------------
Halal dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993
Tentang buang bank
Fatwa-fatwa Kontemporer
Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
--------------------------------------------------------------------------------
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
BUNGA BANK Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilan
saya tabungkan dan saya mendapatkan bunga. Apakah dibenarkan
saya mengambil bunga itu? Karena saya tahu Syekh Syaltut
memperbolehkan mengambil bunga ini.
Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara mereka
ada yang memperbolehkannya dan ada yang melarangnya. Perlu
saya sampaikan pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakat
uang saya, tetapi bunga bank yang saya peroleh melebihi
zakat yang saya keluarkan.
Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yang
harus saya lakukan?
JAWABAN
Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah
riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang
disyaratkan atas pokok harta. Artinya, apa yang diambil
seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa
berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka
yang demikian itu termasuk riba. Dalam hal ini Allah
berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
(Antara lain Baqarah: 278-279)
Yang dimaksud dengan tobat di sini ialah seseorang tetap
pada pokok hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yang
timbul darinya adalah riba. Bunga-bunga sebagai tambahan
atas pokok harta yang diperoleh tanpa melalui persekutuan
atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan
dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru
saya Syekh Syaltut sepengetahuan saya tidak pernah
memperbolehkan bunga riba, hanya beliau pernah mengatakan:
"Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat
ijtima'iyah-- maka bolehlah dipungut bunga itu." Dalam hal
ini beliau memperluas makna darurat melebihi yang
semestinya, dan perluasan beliau ini tidak saya setujui.
Yang pernah beliau fatwakan juga ialah menabung di bank
sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap
tidak setuju dengan pendapat ini.
Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanya
dengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan
perkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitupun
kerugiannya. Kalau keuntungannya sedikit, maka dia berbagi
keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan
yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga
harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yang
sama-sama memikul tanggung jawab.
Perbandingan perolehan keuntungan yang tidak wajar antara
pemilik modal dengan pengelola --misalnya pengelola
memperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilik
modal hanya lima atau enam persen-- atau terlepasnya
tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalami
kerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistem
ekonomi Islam meskipun Syeh Syaltut pernah memfatwakan
kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada
beliau.
Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya
jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan tidak boleh ia
mengambil bunga bank, serta tidaklah memadai jika ia
menzakati harta yang ia simpan di bank.
Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi
kasus demikian?
Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki
dan wajib disedekahkan sebagaimana dikatakan para ulama
muhaqqiq (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara'
(sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh
diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya
atau membuangnya ke laut. Dengan alasan, seseorang tidak
boleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat
ini bertentangan dengan kaidah syar'iyyah yang melarang
menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.
Harta itu bolehlah diambil dan disedekahkan kepada fakir
miskin, atau disalurkan pada proyek-proyek kebaikan atau
lainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagi
kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram itu
--sebagaimana saya katakan-- bukanlah milik seseorang, uang
itu bukan milik bank atau milik penabung, tetapi milik
kemaslahatan umum.
Demikianlah keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnya
dizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yang
dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya
untuk zakat. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari
hasil korupsi." (HR Muslim)
Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena
harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapi
milik umum yang dikorupsi.
Oleh sebab itu, janganlah seseorang mengambil bunga bank
untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya
menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan
memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi
hendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya pada
jalan-jalan kebaikan.
Sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwa
sesungguhnya seseorang yang menyõmpan uang di bank juga
memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian
dan pailit, misalnya karena sebab tertentu. Maka saya
katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah,
walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari
kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal ini
menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab
tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam
syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan
manusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara
yang ganjil dan jarang terjadi. Semua ulama telah sepakat
bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan
sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering
terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya,
kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah
(kaidah umum).
Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank)
dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa
memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami
kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau
penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut
tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Boleh jadi saudara penanya berkata, "Tetapi bank juga
mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh
mengambil keuntungannya?"
Betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi
apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu.
Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi
dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad
berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut
menanggung apabila bank mengalami kerugian. Tetapi pada
kenyataannya, pada saat bank mengalami kerugian atau
bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang
mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan
kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan
tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika
berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah
sedikit.
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinya
bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa
bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka
menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
--------------------------------------------------------------------------------
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
BUNGA BANK Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilan
saya tabungkan dan saya mendapatkan bunga. Apakah dibenarkan
saya mengambil bunga itu? Karena saya tahu Syekh Syaltut
memperbolehkan mengambil bunga ini.
Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara mereka
ada yang memperbolehkannya dan ada yang melarangnya. Perlu
saya sampaikan pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakat
uang saya, tetapi bunga bank yang saya peroleh melebihi
zakat yang saya keluarkan.
Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yang
harus saya lakukan?
JAWABAN
Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah
riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang
disyaratkan atas pokok harta. Artinya, apa yang diambil
seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa
berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka
yang demikian itu termasuk riba. Dalam hal ini Allah
berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
(Antara lain Baqarah: 278-279)
Yang dimaksud dengan tobat di sini ialah seseorang tetap
pada pokok hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yang
timbul darinya adalah riba. Bunga-bunga sebagai tambahan
atas pokok harta yang diperoleh tanpa melalui persekutuan
atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan
dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru
saya Syekh Syaltut sepengetahuan saya tidak pernah
memperbolehkan bunga riba, hanya beliau pernah mengatakan:
"Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat
ijtima'iyah-- maka bolehlah dipungut bunga itu." Dalam hal
ini beliau memperluas makna darurat melebihi yang
semestinya, dan perluasan beliau ini tidak saya setujui.
Yang pernah beliau fatwakan juga ialah menabung di bank
sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap
tidak setuju dengan pendapat ini.
Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanya
dengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan
perkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitupun
kerugiannya. Kalau keuntungannya sedikit, maka dia berbagi
keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan
yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga
harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yang
sama-sama memikul tanggung jawab.
Perbandingan perolehan keuntungan yang tidak wajar antara
pemilik modal dengan pengelola --misalnya pengelola
memperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilik
modal hanya lima atau enam persen-- atau terlepasnya
tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalami
kerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistem
ekonomi Islam meskipun Syeh Syaltut pernah memfatwakan
kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada
beliau.
Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya
jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan tidak boleh ia
mengambil bunga bank, serta tidaklah memadai jika ia
menzakati harta yang ia simpan di bank.
Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi
kasus demikian?
Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki
dan wajib disedekahkan sebagaimana dikatakan para ulama
muhaqqiq (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara'
(sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh
diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya
atau membuangnya ke laut. Dengan alasan, seseorang tidak
boleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat
ini bertentangan dengan kaidah syar'iyyah yang melarang
menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.
Harta itu bolehlah diambil dan disedekahkan kepada fakir
miskin, atau disalurkan pada proyek-proyek kebaikan atau
lainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagi
kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram itu
--sebagaimana saya katakan-- bukanlah milik seseorang, uang
itu bukan milik bank atau milik penabung, tetapi milik
kemaslahatan umum.
Demikianlah keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnya
dizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yang
dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya
untuk zakat. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari
hasil korupsi." (HR Muslim)
Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena
harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapi
milik umum yang dikorupsi.
Oleh sebab itu, janganlah seseorang mengambil bunga bank
untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya
menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan
memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi
hendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya pada
jalan-jalan kebaikan.
Sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwa
sesungguhnya seseorang yang menyõmpan uang di bank juga
memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian
dan pailit, misalnya karena sebab tertentu. Maka saya
katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah,
walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari
kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal ini
menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab
tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam
syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan
manusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara
yang ganjil dan jarang terjadi. Semua ulama telah sepakat
bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan
sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering
terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya,
kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah
(kaidah umum).
Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank)
dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa
memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami
kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau
penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut
tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Boleh jadi saudara penanya berkata, "Tetapi bank juga
mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh
mengambil keuntungannya?"
Betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi
apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu.
Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi
dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad
berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut
menanggung apabila bank mengalami kerugian. Tetapi pada
kenyataannya, pada saat bank mengalami kerugian atau
bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang
mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan
kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan
tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika
berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah
sedikit.
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinya
bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa
bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka
menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
Ibrahim Bapak Tauhid (3/3)
Ibrahim Bapak Tauhid (3/3)
Indeks Islam | Indeks Artikel
--------------------------------------------------------------------------------
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
PELAJARAN DARI RIWAYAT IBRAHIM
Walaupun orang Yahudi mengaku sebagai pelopor kafilah
penganut tauhid, riwayat ini tak masyhur di kalangan
mereka dan tidak beroleh tempat dalam Taurat yang ada
sekarang. Di antara kitab-kitab Ilahi, hanya Al-Qur'an
yang telah meriwayatkannya. Oleh karena itu, kami
sebutkan di bawah ini beberapa pokok yang mengandung
pelajaran bagi manusia, suatu hal yang memang merupakan
tujuan pokok Al-Qur'an ketika meriwayatkan sejarah
berbagai nabi.
1. Riwayat ini merupakan bukti yang jelas tentang
keberanian dan keperkasaan yang luar biasa dari kekasih
Allah (Ibrahim) ini. Tekadnya untuk menghancurkan
manifestasi dan sarana kemusyrikan tak dapat
disembunyikan dari rakyat Namrud. Dengan celaan dan
kecamannya, beliau telah menyatakan perlawanan dan
kebenciannya yang luar biasa terhadap penyembahan
berhala secara sangat nyata. Beliau mengatakan secara
terbuka dan jelas, "Apabila kamu tidak berhenti dari
praktek yang memalukan itu, aku akan membuat keputusan
tentang mereka." Dan pada hari kepergian orang-orang ke
hutan, beliau berkata secara terang-terangan, "Demi
Tuhan, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi
meninggalkannya." (QS, al-Anbiya', 21:57)
'Allamah Majlisi mengutip dari Imam Ja'far
ash-Shadiq, "Gerakan dan perjuangan satu orang melawan
ribuan orang musyrik merupakan bukti nyata akan
keberanian dan kesabaran Ibrahim, yang tidak
mengkhawatirkan jiwanya dalam mengangkat asma Allah dan
memperkuat dasar penyembahan kepada Tuhan yang Esa."
(lihat Bihar al-Anwar, V, hal. 130).
2. Sepintas nampak seakan penghancuran berhala oleh
Ibrahim merupakan pemberontakan bersenjata dan
permusuhan, tetapi dari percakapannya dengan para
hakim, terbukti bahwa gerakan ini sebenarnya mempunyai
aspek dakwah. Karena, beliau memandang bahwa sebagai
sarana terakhir untuk membangunkan kebijaksanaan dan
kesadaran hati nurani manusia, beliau harus
menghancurkan berhala-berhala itu, kecuali berhala yang
besar, dan meletakkan kapak di bahunya, supaya mereka
dapat mengadakan penyelidikan lebih jauh tentang
sebab-sebab insiden itu. Dan, sebagai ternyata pada
akhirnya, mereka hanya akan menganggap pandangan itu
sebagai ejekan, dan sama sekali tak akan percaya kalau
penghancuran itu dilakukan oleh berhala besar itu.
Dengan demikian, beliau dapat menggunakan hal itu untuk
mendakwahkan pendapatnya dengan mengatakan, "Menurut
pengakuan kalian sendiri, berhala besar itu tidak
mempunyai kekuasaan sedikit pun, lalu mengapa kalian
menyembahnya?" Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula,
para nabi hanya menggunakan logika dan argumen sebagai
senjata mereka yang ampuh, dan itu senantiasa membawa
hasil. Kalau tidak, maka apa artinya penghancuran
berhala ketimbang bahaya bagi nyawa Ibrahim? Tindakan
ini tentulah mengandung makna besar bagi misinya, dari
sisi pandang alasan penalaran, sehingga beliau sedia
mengorbankan nyawanya untuk itu.
3. Ibrahim sadar bahwa sebagai akibat tindakannya,
hidupnya akan berakhir. Karenanya, menurut anggapan
umum, ia mestinya akan terguncang, menyembunyikan diri,
atau sekurang-kurangnya berjanji akan berhenti membuat
"lelucon." Tetapi, ia sepenuhnya menguasai semangat dan
emosinya. Misalnya, ketika memasuki kuil berhala, ia
mendekati setiap berhala dan menawarkan mereka makan,
secara olok-olok. Setelah ternyata sia-sia, beliau
menjadikan isi kuil berhala itu onggokan penggalan
kayu, dan menganggap semua itu sebagai sesuatu yang
benar-benar biasa saja, seakan-akan hal itu tidak akan
disusul oleh kematiannya sendiri. Ketika muncul di
pengadilan, beliau menjawab pertanyaan mereka,
"Sesungguhnya seseorang telah melakukannya. Pemimpinnya
ialah yang ini. Karena itu, tanyakanlah kepadanya jika
ia dapat berbicara." Lelucon demikian di hadapan
pengadilan hanya dapat muncul dari seseorang yang siap
sedia menghadapi segala kesudahan tanpa rasa takut atau
ngeri dalam hatinya.
Bahkan, yang lebih menakjubkan lagi ialah sikap
Ibrahim pada saat ia ditempatkan pada pelontar, dan
mengetahui dengan pasti bahwa ia segera akan berada di
tengah api -yang kayu bakarnya tadinya dikumpulkan
orang Babilon untuk melaksanakan upacara suci
keagamaan, dan yang nyalanya membubung dengan dahsyat
sehingga bahkan burung rajawali tak berani terbang di
atasnya. Pada saat itu, Malaikat Jibril turun dan
langit seraya menyatakan kesediaannya untuk memberikan
segala pertolongan kepada Ibrahim. Jibril berkata, "Apa
keinginanmu?" Ibrahim menjawab, "Aku mempunyai hasrat.
Tetapi aku tak dapat memberitahukannya kecuali kepada
Tuhanku." (lihat Al-'Uyun, hal. 136; al-Amali, oleh
Shaduq, hal. 274; Bihar al-Anwar, hal. 35). Jawaban ini
jelas menunjukkan keluhuran dan kebesaran rohani
Ibrahim.
Namrud menanti dengan cemas dan gelisah karena
dendam kesumatnya kepada Ibrahim. Ia begitu ingin
melihat bagaimana api menelannya. Pelontar disiapkan.
Dengan satu sentakan, tubuh Ibrahim, si jawara tauhid
Ilahi, terlempar ke api. Namun, kehendak Tuhan Ibrahim
mengubah neraka buatan itu menjadi taman dengan cara
yang amat mengejutkan mereka, sehingga Namrud tanpa
sengaja berpaling kepada Azar dan berkata, "Tuhan
Ibrahim mencintainya." (Tafsir al-Burhan, III, hal.
64).
Walaupun adanya kejadian itu, Ibrahim tak dapat
mendakwahkan agamanya dengan kebebasan penuh. Akhirnya,
pemerintah waktu itu memutuskan, setelah bermusyawarah,
untuk membuang Ibrahim. Ini membuka suatu bab baru
dalam kehidupan Ibrahim dan menjadi awal perjalanannya
ke Suriah, Palestina, Mesir, dan Hijaz.
BAB BARU DALAM KEHIDUPAN IBRAHIM
Pengadilan di Babilonia memutuskan membuang Ibrahim
dari negeri itu. Beliau pun meninggalkan tempat
kelahirannya, lalu pergi ke Mesir dan Palestina.
Amaliqa, yang menguasai wilayah-wilayah itu,
menyambutnya dengan hangat dan memberikan kepadanya
banyak hadiah, satu di antaranya adalah seorang budak
perempuan bernama Hajar.
Istri Ibrahim, Sarah, belum melahirkan anak hingga saat
itu. Oleh karena itu, ia menyarankan Ibrahim supaya
kawin dengan Hajar, dengan harapan kiranya beliau
diberkati seorang putra, yang akan menjadi sumber
kebahagiaan dan kesenangan mereka. Perkawinan
dilangsungkan, dan Hajar kemudian melahirkan seorang
putra yang diberi nama Ismai'l. Itu terjadi jauh
sebelum Sarah hamil dan melahirkan seorang putra yang
diberi nama Ishaq. (Lihat Sa'd as-Su'ud, hal. 41-42;
Bihar al-Anwar, hal. 118).
Setelah beberapa waktu, sebagaimana diperintahkan
Allah, Ibrahim membawa Isma'il dan ibunya, Hajar ke
selatan (Mekah), dan menempatkan mereka di suatu lembah
yang tak dikenal. Lembah ini tak berpenghuni, dan hanya
kafilah dari Sunah ke Yaman dan sebaliknya yang
memasang tenda di sana. Bila tidak ada kafilah, tempat
ini benar-benar sepi dan hanya merupakan hamparan pasir
membakar sebagaimana bagian-bagian tanah Arab lainnya.
Tinggal di tempat yang mengerikan itu sungguh sulit
bagi seorang perempuan yang telah melewatkan
hari-harinya di negeri Amaliqa. Terik gurun yang
membakar dan anginnya yang amat sangat panas memberikan
bayangan kematian di hadapan mata. Ibrahim sendiri
sangat prihatin atas kenyataan ini. Sementara memegang
kendali hewan tunggangannya dengan maksud mengucapkan
selamat tinggal kepada istri dan anaknya, air matanya
mengalir, dan ia berkata kepada Hajar, "Wahai.Hajar!
Semua ini dilakukan menurut perintah Yang Mahakuasa,
dan perintah-Nya tak dapat dilawan. Bersandarlah pada
rahmat Allah, dan yakinlah bahwa Ia tak akan menistakan
kamu." Kemudian Ibrahim berdoa kepada Allah dengan
penuh khusyuk, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dan
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian." (QS, al-Baqarah, 2:126).
Ketika sedang menuruni bukit, Ibrahim menengok ke
belakang dan berdoa kepada Allah untuk mencurahkan
rahmat-Nya kepada mereka.
Walaupun perjalanan tersebut tampak sangat sulit dan
susah, di kemudian hari terbukti bahwa hal itu
mengandung makna yang amat penting. Di antaranya adalah
pembangunan Ka'bah yang memberikan dasar yang agung
bagi para penganut tauhid untuk mengibarkan panji
penyembahan kepada Allah Yang Esa di Arabia, dan
merupakan fundasi gerakan keagamaan yang besar, yang
akan mendapat bentuk di kemudian hari, yaitu gerakan
besar yang beroperasi di negeri ini melalui pengunci
segala nabi.
BAGAIMANA TERJADINYA SUMBER AIR ZAM-ZAM
Ibrahim mengambil kendali hewan tunggangannya. Dengan
air mata, ia memohon diri kepada tanah Mekah, Hajar,
dan putranya. Tetapi, tak berapa lama kemudian, makanan
dan minuman yang dapat diperoleh si anak dan ibunya
habis, dan air susu Hajar pun kering. Kondisi putranya
mulai merosot. Air mata mengucur dari ibu yang terasing
itu dan membasahi pangkuannya. Dalam keadaan amat
bingung, ia bangkit berdiri lalu pergi ke bukit Shafa.
Dari sana ia melihat suatu bayangan dekat bukit Marwah.
Ia pun lari ke sana. Namun, pemandangan palsu itu
sangat mengecewakannya. Tangisan dan keresahan putranya
tercinta menyebabkan ia lari lebih keras ke sana ke
mari. Demikianlah, ia berlari tujuh kali antara bukit
Shafa dan Marwah untuk mencari air, tetapi pada
akhirnya ia kehilangan semua harapan, lalu kembali
kepada putranya.
Si anak tentulah telah hampir sampai pada nafasnya yang
terakhir. Kemampuannya meratap atau menangis sudah
tiada. Namun, justru pada saat itu doa Ibrahim
terkabul. Ibu yang letih lesu itu melihat bahwa air
jernih telah mulai keluar dari bawah kaki Isma'il. Sang
ibu, yang sedang menatap putranya dan mengira ia akan
mati beberapa saat lagi, merasa sangat gembira melihat
air itu. Ibu dan anak itu minum sampai puas, dan kabut
putus asa vang telah merentangkan bayangannya pada
kehidupan mereka pun terusir oleh angin rahmat
Ilahi.(lihat Tafsir al-Qummi, hal. 52; Bihar al-Anwar,
II, hal. 100).
Munculnya sumber air ini, yang dinamakan Zamzam, sejak
hari itu, membuat burung-burung air terbang di atasnya,
membentangkan sayapnya yang lebar sebagai penaung
kepala ibu dan anak yang telah menderita itu.
Orang-orang dari suku Jarham, yang tinggal jauh dari
lembah ini, melihat burung-burung yang beterbangan ke
sana ke mari itu. Mereka lalu menyimpulkan bahwa telah
ada air di sekitarnya. Mereka mengutus dua orang untuk
mengetahui keadaan itu. Setelah lama berkeliling, kedua
orang itu sampai ke pusat rahmat Ilahi itu. Ketika
mendekat, mereka melihat seorang wanita dan seorang
anak sedang duduk di tepi suatu genangan air. Mereka
segera kembali dan melaporkan hal itu kepada para
pemimpin sukunya. Para anggota suku itu segera memasang
kemah mereka di sekitar sumber air yang diberkati itu,
dan Hajar pun terlepas dari kesulitan dan pahitnya
kesepian yang dideritanya. Isma'il tumbuh sampai dewasa
sebagai pemuda yang ramah. Ia pun mengadakan ikatan
perkawinan dengan wanita suku Jarham. Dengan demikian,
ia beroleh dukungan dan menjadi anggota masyarakat
mereka. Oleh karena itu, dari sisi ibu, keturunan
Isma'il berfamili dengan suku Jarham.
MEREKA BERTEMU KEMBALI
Setelah meninggalkan putranya yang tercinta di tanah
Mekah atas perintah Allah Yang Mahakuasa, kadang-kadang
Ibrahim berpikir untuk pergi melihat putranya. Pada
salah satu perjalanannya, ia sampai di Mekah dan
mendapatkan bahwa putranya tidak ada di rumah. Waktu
itu, Isma'il telah tumbuh menjadi lelaki dewasa dan
telah kawin dengan seorang gadis suku Jarham. Ibrahim
bertanya kepada istri Ismai'l, "Di mana suamimu?"
Perempuan itu menjawab, "Ia telah keluar untuk
berburu!" Kemudian Ibrahim bertanya kepadanya apakah ia
mempunyai makanan. Ia menjawab tak ada.
Ibrahim sangat sedih melihat kekasaran istri putranya.
Ia lalu berkata kepada menantunya itu, "Bila Isma'il
pulang, sampaikan kepadanya salam saya, dan katakan
pula kepadanya untuk mengganti ambang pintu rumahnya."
Kemudian Ibrahim pergi.
Ketika kembali, Isma'il mencium bau ayahnya. Dari
keterangan istrinya, ia menyadari bahwa orang yang
telah mengunjungi rumahnya adalah memang ayahnya. Ia
juga mengerti bahwa pesan yang ditinggalkan ayahnya
berati bahwa beliau (Ibrahim) menghendakinya
menceraikan istrinya sekarang dan menggantikannya
dengan yang lain, karena beliau memandang istrinya yang
sekarang tidak pantas menjadi kawan hidupnya.(lihat
Bihar al-Anwar, hal. 112, sebagaimana dikutip dari
Qishash al-Anbiya'))
Mungkin dapat dipertanyakan mengapa setelah melakukan
perjalanan sejauh itu, Ibrahim tidak menunggu sampai
putranya pulang dari berburu, tapi langsung pergi lagi
tanpa melihatnya. Para sejarawan menerangkan bahwa
Ibrahim pulang dengan tergesa-gesa karena telah
berjanji kepada Sarah bahwa beliau tak akan tinggal
lama di sana. Setelah perjalanan ini, ia juga
diperintahkan Allah Yang Mahakuasa untuk melaksanakan
suatu perjalanan lagi ke Mekah, untuk mendirikan Ka'bah
guna menarik hati orang yang beriman tauhid .
Al-Qur'an menyatakan bahwa menjelang hari-hari terakhir
Ibrahim, Mekah telah tumbuh menjadi sebuah kota,
karena, setelah menyelesaikan tugasnya, ia berdoa
kepada Allah, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri
yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari
menyembah berhala." (QS Ibrahim, 14:35). Dan ketika
tiba di gurun Mekah, ia berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini negeri yang aman sentosa." (QS al-Baqarah,
2:126).
(Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3)
Indeks Islam | Indeks Artikel
--------------------------------------------------------------------------------
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
PELAJARAN DARI RIWAYAT IBRAHIM
Walaupun orang Yahudi mengaku sebagai pelopor kafilah
penganut tauhid, riwayat ini tak masyhur di kalangan
mereka dan tidak beroleh tempat dalam Taurat yang ada
sekarang. Di antara kitab-kitab Ilahi, hanya Al-Qur'an
yang telah meriwayatkannya. Oleh karena itu, kami
sebutkan di bawah ini beberapa pokok yang mengandung
pelajaran bagi manusia, suatu hal yang memang merupakan
tujuan pokok Al-Qur'an ketika meriwayatkan sejarah
berbagai nabi.
1. Riwayat ini merupakan bukti yang jelas tentang
keberanian dan keperkasaan yang luar biasa dari kekasih
Allah (Ibrahim) ini. Tekadnya untuk menghancurkan
manifestasi dan sarana kemusyrikan tak dapat
disembunyikan dari rakyat Namrud. Dengan celaan dan
kecamannya, beliau telah menyatakan perlawanan dan
kebenciannya yang luar biasa terhadap penyembahan
berhala secara sangat nyata. Beliau mengatakan secara
terbuka dan jelas, "Apabila kamu tidak berhenti dari
praktek yang memalukan itu, aku akan membuat keputusan
tentang mereka." Dan pada hari kepergian orang-orang ke
hutan, beliau berkata secara terang-terangan, "Demi
Tuhan, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi
meninggalkannya." (QS, al-Anbiya', 21:57)
'Allamah Majlisi mengutip dari Imam Ja'far
ash-Shadiq, "Gerakan dan perjuangan satu orang melawan
ribuan orang musyrik merupakan bukti nyata akan
keberanian dan kesabaran Ibrahim, yang tidak
mengkhawatirkan jiwanya dalam mengangkat asma Allah dan
memperkuat dasar penyembahan kepada Tuhan yang Esa."
(lihat Bihar al-Anwar, V, hal. 130).
2. Sepintas nampak seakan penghancuran berhala oleh
Ibrahim merupakan pemberontakan bersenjata dan
permusuhan, tetapi dari percakapannya dengan para
hakim, terbukti bahwa gerakan ini sebenarnya mempunyai
aspek dakwah. Karena, beliau memandang bahwa sebagai
sarana terakhir untuk membangunkan kebijaksanaan dan
kesadaran hati nurani manusia, beliau harus
menghancurkan berhala-berhala itu, kecuali berhala yang
besar, dan meletakkan kapak di bahunya, supaya mereka
dapat mengadakan penyelidikan lebih jauh tentang
sebab-sebab insiden itu. Dan, sebagai ternyata pada
akhirnya, mereka hanya akan menganggap pandangan itu
sebagai ejekan, dan sama sekali tak akan percaya kalau
penghancuran itu dilakukan oleh berhala besar itu.
Dengan demikian, beliau dapat menggunakan hal itu untuk
mendakwahkan pendapatnya dengan mengatakan, "Menurut
pengakuan kalian sendiri, berhala besar itu tidak
mempunyai kekuasaan sedikit pun, lalu mengapa kalian
menyembahnya?" Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula,
para nabi hanya menggunakan logika dan argumen sebagai
senjata mereka yang ampuh, dan itu senantiasa membawa
hasil. Kalau tidak, maka apa artinya penghancuran
berhala ketimbang bahaya bagi nyawa Ibrahim? Tindakan
ini tentulah mengandung makna besar bagi misinya, dari
sisi pandang alasan penalaran, sehingga beliau sedia
mengorbankan nyawanya untuk itu.
3. Ibrahim sadar bahwa sebagai akibat tindakannya,
hidupnya akan berakhir. Karenanya, menurut anggapan
umum, ia mestinya akan terguncang, menyembunyikan diri,
atau sekurang-kurangnya berjanji akan berhenti membuat
"lelucon." Tetapi, ia sepenuhnya menguasai semangat dan
emosinya. Misalnya, ketika memasuki kuil berhala, ia
mendekati setiap berhala dan menawarkan mereka makan,
secara olok-olok. Setelah ternyata sia-sia, beliau
menjadikan isi kuil berhala itu onggokan penggalan
kayu, dan menganggap semua itu sebagai sesuatu yang
benar-benar biasa saja, seakan-akan hal itu tidak akan
disusul oleh kematiannya sendiri. Ketika muncul di
pengadilan, beliau menjawab pertanyaan mereka,
"Sesungguhnya seseorang telah melakukannya. Pemimpinnya
ialah yang ini. Karena itu, tanyakanlah kepadanya jika
ia dapat berbicara." Lelucon demikian di hadapan
pengadilan hanya dapat muncul dari seseorang yang siap
sedia menghadapi segala kesudahan tanpa rasa takut atau
ngeri dalam hatinya.
Bahkan, yang lebih menakjubkan lagi ialah sikap
Ibrahim pada saat ia ditempatkan pada pelontar, dan
mengetahui dengan pasti bahwa ia segera akan berada di
tengah api -yang kayu bakarnya tadinya dikumpulkan
orang Babilon untuk melaksanakan upacara suci
keagamaan, dan yang nyalanya membubung dengan dahsyat
sehingga bahkan burung rajawali tak berani terbang di
atasnya. Pada saat itu, Malaikat Jibril turun dan
langit seraya menyatakan kesediaannya untuk memberikan
segala pertolongan kepada Ibrahim. Jibril berkata, "Apa
keinginanmu?" Ibrahim menjawab, "Aku mempunyai hasrat.
Tetapi aku tak dapat memberitahukannya kecuali kepada
Tuhanku." (lihat Al-'Uyun, hal. 136; al-Amali, oleh
Shaduq, hal. 274; Bihar al-Anwar, hal. 35). Jawaban ini
jelas menunjukkan keluhuran dan kebesaran rohani
Ibrahim.
Namrud menanti dengan cemas dan gelisah karena
dendam kesumatnya kepada Ibrahim. Ia begitu ingin
melihat bagaimana api menelannya. Pelontar disiapkan.
Dengan satu sentakan, tubuh Ibrahim, si jawara tauhid
Ilahi, terlempar ke api. Namun, kehendak Tuhan Ibrahim
mengubah neraka buatan itu menjadi taman dengan cara
yang amat mengejutkan mereka, sehingga Namrud tanpa
sengaja berpaling kepada Azar dan berkata, "Tuhan
Ibrahim mencintainya." (Tafsir al-Burhan, III, hal.
64).
Walaupun adanya kejadian itu, Ibrahim tak dapat
mendakwahkan agamanya dengan kebebasan penuh. Akhirnya,
pemerintah waktu itu memutuskan, setelah bermusyawarah,
untuk membuang Ibrahim. Ini membuka suatu bab baru
dalam kehidupan Ibrahim dan menjadi awal perjalanannya
ke Suriah, Palestina, Mesir, dan Hijaz.
BAB BARU DALAM KEHIDUPAN IBRAHIM
Pengadilan di Babilonia memutuskan membuang Ibrahim
dari negeri itu. Beliau pun meninggalkan tempat
kelahirannya, lalu pergi ke Mesir dan Palestina.
Amaliqa, yang menguasai wilayah-wilayah itu,
menyambutnya dengan hangat dan memberikan kepadanya
banyak hadiah, satu di antaranya adalah seorang budak
perempuan bernama Hajar.
Istri Ibrahim, Sarah, belum melahirkan anak hingga saat
itu. Oleh karena itu, ia menyarankan Ibrahim supaya
kawin dengan Hajar, dengan harapan kiranya beliau
diberkati seorang putra, yang akan menjadi sumber
kebahagiaan dan kesenangan mereka. Perkawinan
dilangsungkan, dan Hajar kemudian melahirkan seorang
putra yang diberi nama Ismai'l. Itu terjadi jauh
sebelum Sarah hamil dan melahirkan seorang putra yang
diberi nama Ishaq. (Lihat Sa'd as-Su'ud, hal. 41-42;
Bihar al-Anwar, hal. 118).
Setelah beberapa waktu, sebagaimana diperintahkan
Allah, Ibrahim membawa Isma'il dan ibunya, Hajar ke
selatan (Mekah), dan menempatkan mereka di suatu lembah
yang tak dikenal. Lembah ini tak berpenghuni, dan hanya
kafilah dari Sunah ke Yaman dan sebaliknya yang
memasang tenda di sana. Bila tidak ada kafilah, tempat
ini benar-benar sepi dan hanya merupakan hamparan pasir
membakar sebagaimana bagian-bagian tanah Arab lainnya.
Tinggal di tempat yang mengerikan itu sungguh sulit
bagi seorang perempuan yang telah melewatkan
hari-harinya di negeri Amaliqa. Terik gurun yang
membakar dan anginnya yang amat sangat panas memberikan
bayangan kematian di hadapan mata. Ibrahim sendiri
sangat prihatin atas kenyataan ini. Sementara memegang
kendali hewan tunggangannya dengan maksud mengucapkan
selamat tinggal kepada istri dan anaknya, air matanya
mengalir, dan ia berkata kepada Hajar, "Wahai.Hajar!
Semua ini dilakukan menurut perintah Yang Mahakuasa,
dan perintah-Nya tak dapat dilawan. Bersandarlah pada
rahmat Allah, dan yakinlah bahwa Ia tak akan menistakan
kamu." Kemudian Ibrahim berdoa kepada Allah dengan
penuh khusyuk, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dan
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian." (QS, al-Baqarah, 2:126).
Ketika sedang menuruni bukit, Ibrahim menengok ke
belakang dan berdoa kepada Allah untuk mencurahkan
rahmat-Nya kepada mereka.
Walaupun perjalanan tersebut tampak sangat sulit dan
susah, di kemudian hari terbukti bahwa hal itu
mengandung makna yang amat penting. Di antaranya adalah
pembangunan Ka'bah yang memberikan dasar yang agung
bagi para penganut tauhid untuk mengibarkan panji
penyembahan kepada Allah Yang Esa di Arabia, dan
merupakan fundasi gerakan keagamaan yang besar, yang
akan mendapat bentuk di kemudian hari, yaitu gerakan
besar yang beroperasi di negeri ini melalui pengunci
segala nabi.
BAGAIMANA TERJADINYA SUMBER AIR ZAM-ZAM
Ibrahim mengambil kendali hewan tunggangannya. Dengan
air mata, ia memohon diri kepada tanah Mekah, Hajar,
dan putranya. Tetapi, tak berapa lama kemudian, makanan
dan minuman yang dapat diperoleh si anak dan ibunya
habis, dan air susu Hajar pun kering. Kondisi putranya
mulai merosot. Air mata mengucur dari ibu yang terasing
itu dan membasahi pangkuannya. Dalam keadaan amat
bingung, ia bangkit berdiri lalu pergi ke bukit Shafa.
Dari sana ia melihat suatu bayangan dekat bukit Marwah.
Ia pun lari ke sana. Namun, pemandangan palsu itu
sangat mengecewakannya. Tangisan dan keresahan putranya
tercinta menyebabkan ia lari lebih keras ke sana ke
mari. Demikianlah, ia berlari tujuh kali antara bukit
Shafa dan Marwah untuk mencari air, tetapi pada
akhirnya ia kehilangan semua harapan, lalu kembali
kepada putranya.
Si anak tentulah telah hampir sampai pada nafasnya yang
terakhir. Kemampuannya meratap atau menangis sudah
tiada. Namun, justru pada saat itu doa Ibrahim
terkabul. Ibu yang letih lesu itu melihat bahwa air
jernih telah mulai keluar dari bawah kaki Isma'il. Sang
ibu, yang sedang menatap putranya dan mengira ia akan
mati beberapa saat lagi, merasa sangat gembira melihat
air itu. Ibu dan anak itu minum sampai puas, dan kabut
putus asa vang telah merentangkan bayangannya pada
kehidupan mereka pun terusir oleh angin rahmat
Ilahi.(lihat Tafsir al-Qummi, hal. 52; Bihar al-Anwar,
II, hal. 100).
Munculnya sumber air ini, yang dinamakan Zamzam, sejak
hari itu, membuat burung-burung air terbang di atasnya,
membentangkan sayapnya yang lebar sebagai penaung
kepala ibu dan anak yang telah menderita itu.
Orang-orang dari suku Jarham, yang tinggal jauh dari
lembah ini, melihat burung-burung yang beterbangan ke
sana ke mari itu. Mereka lalu menyimpulkan bahwa telah
ada air di sekitarnya. Mereka mengutus dua orang untuk
mengetahui keadaan itu. Setelah lama berkeliling, kedua
orang itu sampai ke pusat rahmat Ilahi itu. Ketika
mendekat, mereka melihat seorang wanita dan seorang
anak sedang duduk di tepi suatu genangan air. Mereka
segera kembali dan melaporkan hal itu kepada para
pemimpin sukunya. Para anggota suku itu segera memasang
kemah mereka di sekitar sumber air yang diberkati itu,
dan Hajar pun terlepas dari kesulitan dan pahitnya
kesepian yang dideritanya. Isma'il tumbuh sampai dewasa
sebagai pemuda yang ramah. Ia pun mengadakan ikatan
perkawinan dengan wanita suku Jarham. Dengan demikian,
ia beroleh dukungan dan menjadi anggota masyarakat
mereka. Oleh karena itu, dari sisi ibu, keturunan
Isma'il berfamili dengan suku Jarham.
MEREKA BERTEMU KEMBALI
Setelah meninggalkan putranya yang tercinta di tanah
Mekah atas perintah Allah Yang Mahakuasa, kadang-kadang
Ibrahim berpikir untuk pergi melihat putranya. Pada
salah satu perjalanannya, ia sampai di Mekah dan
mendapatkan bahwa putranya tidak ada di rumah. Waktu
itu, Isma'il telah tumbuh menjadi lelaki dewasa dan
telah kawin dengan seorang gadis suku Jarham. Ibrahim
bertanya kepada istri Ismai'l, "Di mana suamimu?"
Perempuan itu menjawab, "Ia telah keluar untuk
berburu!" Kemudian Ibrahim bertanya kepadanya apakah ia
mempunyai makanan. Ia menjawab tak ada.
Ibrahim sangat sedih melihat kekasaran istri putranya.
Ia lalu berkata kepada menantunya itu, "Bila Isma'il
pulang, sampaikan kepadanya salam saya, dan katakan
pula kepadanya untuk mengganti ambang pintu rumahnya."
Kemudian Ibrahim pergi.
Ketika kembali, Isma'il mencium bau ayahnya. Dari
keterangan istrinya, ia menyadari bahwa orang yang
telah mengunjungi rumahnya adalah memang ayahnya. Ia
juga mengerti bahwa pesan yang ditinggalkan ayahnya
berati bahwa beliau (Ibrahim) menghendakinya
menceraikan istrinya sekarang dan menggantikannya
dengan yang lain, karena beliau memandang istrinya yang
sekarang tidak pantas menjadi kawan hidupnya.(lihat
Bihar al-Anwar, hal. 112, sebagaimana dikutip dari
Qishash al-Anbiya'))
Mungkin dapat dipertanyakan mengapa setelah melakukan
perjalanan sejauh itu, Ibrahim tidak menunggu sampai
putranya pulang dari berburu, tapi langsung pergi lagi
tanpa melihatnya. Para sejarawan menerangkan bahwa
Ibrahim pulang dengan tergesa-gesa karena telah
berjanji kepada Sarah bahwa beliau tak akan tinggal
lama di sana. Setelah perjalanan ini, ia juga
diperintahkan Allah Yang Mahakuasa untuk melaksanakan
suatu perjalanan lagi ke Mekah, untuk mendirikan Ka'bah
guna menarik hati orang yang beriman tauhid .
Al-Qur'an menyatakan bahwa menjelang hari-hari terakhir
Ibrahim, Mekah telah tumbuh menjadi sebuah kota,
karena, setelah menyelesaikan tugasnya, ia berdoa
kepada Allah, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri
yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari
menyembah berhala." (QS Ibrahim, 14:35). Dan ketika
tiba di gurun Mekah, ia berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini negeri yang aman sentosa." (QS al-Baqarah,
2:126).
(Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3)
Langganan:
Postingan (Atom)