Selasa, 06 November 2012

Obat Penyakit Hati dan Sempitnya Dada


Obat Penyakit Hati dan Sempitnya Dada

Saudaraku, berikut kami nukilkan beberapa sebab dan sarana pengobatan yang sangat bermanfaat bagi berbagai penyakit hati, sekaligus penyembuh yang sangat ampuh untuk menghilangkan kegoncangan jiwa. Semoga kita bisa mengamalkannya secara jujur dan penuh keikhlasan sehingga kita bisa mendapatkan manfaat darinya berupa kebahagiaan hidup dan ketenangan hati. Aamiin..
1. Mengikuti petunjuk, memurnikan tauhid, dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah saja, sebagaimana kesesatan dan syirik itu merupakan faktor terbesar bagi sempitnya dada.
2. Menjaga iman yang Allah sematkan ke dalam hati hamba-hamba-Nya dan juga amal shalih yang dilakukan seseorang.
3. Mencari ilmu syar’i , yag bermanfaat. Setiap ilmu syar’i seseorang bertambah luas, maka akan semakin lapang pula hatinya.
4. Bertaubat dan kembali melakukan ketaatan kepada Allah yang Maha Suci, mencintai-Nya dengan sepenuh hati, serta menghadapkan diri kepada-Nya dan menikmati ibadah kepada-Nya.
5. Terus menerus berdzikir kepada-Nya dalam segala kondisi dan tempat. Sebab dzikir mempunyai pengaruh yang sangat menakjubkan dalam melapangkan dan meluaskan dada, menenangkan hati, serta menghilangkan kebimbangan dan kedukaan.
6. Berbuat baik kepada sesama makhluk sebisa mungkin. Sebab, seseorang yang murah hati lagi baik adalah manusia yang paling lapang dadanya, paling baik jiwanya dan paling bahagia hatinya.
7. Mengeluarkan berbagai kotoran hati dari berbagai sifat tercela yang menyebabkan hatinya menjadi sempit dan tersiksa, seperti dengki, kebencian, iri, permusuhan, dan kedhaliman.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam pernah ditanya tentang sebaik-baik manusia, maka beliaupun menjawab, “Setiap orang yang bersih hatinya dan selalu benar atau jujur lisannya.” Kemudian mereka para sahabat berkata, mengenai jujur atau benar lisannya,kami sudah mengetahuinya, tetapi apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya ?” Beliau menjawab, “yaitu seseorang yang bertakwa dan bersih, yang tidak terdapat dosa pada dirinya, tidak dholim, tidak iri, dan juga tidak dengki.” [1]
8. Keberanian dalam membela kebenaran. Orang yang berani mempunyai dada yang lebih lapang dan hati yang lebih luas.
9. Meninggalkan sesuatu yang berlebihan dalam memandang, berbicara, mendengar, bergaul, makan, dan tidur. Meninggalkan hal itu semua merupakan salah satu faktor yang dapat melapangkan dada, menyenangkan hati, dan menghilangkan keduakaan dan kesedihan.
10. Menyibukkan diri dengan amal atau ilmu syar’i yang bemanfaat karena hal tersebut dapat menghindarkan hati dari hal-hal yang menimbulkan keraguan hati.
11. Memperhatikan kegiatan hari ini dan tidak perlu khawatir terhadap masa yang akan datang serta tidak sedih terhadap keadaan yang terjadi pada masa-masa lalu. Seorang hamba harus selalu berusaha dengan sungguh-sungguh dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, baik dalam hal agama maupun dunia. Juga memohon kesuksesan kepada Rabb-Nya dalam mencapai maksud dan tujuan serta memohon agar Dia membantunya dalam mencapai tujuan tersebut. Ini akan dapat menghibur dari keduakaan dan kesedihan.
12. Melihat kepada orang yang ada di bawah dan jangan melihat kepada orang yang ada di atas dalam ‘afiat (kesehatan dan keselamatan) dan rizki serta kenikmatan dunia lainnya.
13. Melupakan hal-hal tidak menyenangkan yang telah terjadi pada masa lalu, sehingga tidak larut memikirkannya.
14. Jika tertimpa musibah maka hendaknya berusaha meringankan agar dampak buruknya bisa dihindari, serta berusaha keras untuk mencegahnya sesuai dengan kemampuannya.
15. Menjaga kekuatan hati, tidak mudah tergoda serta tidak terpengaruh angan-angan yang ditimbulkan oleh pemikiran-pemikiran buruk, menahan marah, serta tidak mengkhawatirkan hilangnya hal-hal yang disukai. Tetapi menyerahkan semuanya hanya kepada Allah dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat, serta memohon ampunan dan afiat kepada Allah.
16. Menyandarkan hati hanya kepada Allah seraya bertawakal kepada-Nya. Berhusnudzan kepada Allah, Rabb Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Sebab, orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan dipengaruhi oleh kebimbangan dan keraguan.
17. Seseorang yang berakal menegetahui bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan yang bahagia dan tenang. Karena kehidupan itu singkat sekali, karena itu, jangan dipersingkat lagi dengan adanya berbagai kesedihan dan memperbanyak keluhan. Karena justru hal itu bertolak belakang dengan kehidupan yang benar dan sehat.
18. Jika tertimpa suatu hal yang tidak menyenangkan hendaknya ia membandingkannya dengan berbagai kenikmatan yang telah dilimpahkan kepadanya, baik berupa agama maupun duniawi. Ketika orang itu membandingkannya maka akan tampak jelas kenikmatan yang diperolehnya jauh lebih banyak dibandingkan musibah yang dia alami. Disamping itu, perlu kiranya ia membandingkan antara terjadinya bahaya di masa depan yang ditakutkan dengan banyaknya kemungkinana keselamatan. Karena kemungkinan yang lemah tidak mungkin mengalahkan kemungkinan yang lebih banyak dan kuat. Dengan demikian akan hilanglah rasa sedih dan takutnya.
19. Mengetahui bahwa gangguan dari orang lain tidak akan memberikan mudharat atau bahaya kepadanya, khususnya yang berupa ucapan buruk, tatapi hal itu justru akan memberikan mudharat kepada diri mereka sendiri. Hal itu tidak perlu dimasukkan ke dalam hati dan tidak perlu dipikirkan, sehingga tidak akan membahayakannya.
20. Mengarahkan pikirannya terhadap hal-hal yang membawa manfaat bagi dirinya, baik dalam urusan agama maupun dunia.
21. Hendaklah dia tidak menuntut terima kasih atas kebaikan yang dilakukannya, kecuali mengharapkan balasan dari Allah. Dan hendaklah dia mengetahui bahwa amal yang dia lakukan, pada hakekatnya merupakan muamalah (jalinan) dengan Allah, sehingga tidak mempedulikan terima kasih dari orang terhadap apa yang dia berikan kepadanya. Allah berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan darimu dan tidak pula ucapan terima kasih”. (QS. Al-Insan:9)
22. Memperhatikan hal-hal yang bermanfaat dan berusaha untuk dapat merealisasikannya, serta tidak memperhatikan hal-hal yang buruk baginya, sehingga otak dan pikirannya tidak disibukkan olehnya.
23. Berkonsentrasi pada aktivitas yang ada sekarang dan menyisihkan aktivitas yang akan datang, sehingga aktivitas yang akan datang kelak dikerjakan secara maksimal dan sepenuh hati.
24. Memilih dan berkonsentrasi pada aktivitas yang bermanfaat, dengan mengutamakan yang lebih penting. Hendaklah ia memohon pertolongan pada Allah, kemudian meminta pertimbangan orang lain, dan jika pilihan itu telah sesuai dengan kemantapan hatinya, maka silahkan diamalkan dengan penuh tawakal pada Allah.
25. Menyebut-nyebut nikmat Allah dengan memujinya, baik yang dhahir maupun yang batin. Sebab, dengan menyadari dan menyebut-nyebut nikmat Allah, maka Dia akan menghindarkan dirinya dari kebimbangan dan kesusahan.
26. Hendaklah bergaul dan memperlakukan pasangan (suami maupun istri) dan kaum kerabat serta semua orang yang mempunyai hubungan secara baik . jika menemukan suatu aib, maka jangan disebarluaskan, tetapi lihat pula kebaikan yang ada padanya. Dengan cara ini, persahabatan dan hubungan akan terus terjalin dengan baik dan hati akan semakin lapang. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah bersabda, “Janganlah seorang mukmin laki-laki membenci mukmin perempuan (istri) seandainya dia membenci suatu akhlaknya, maka dia pasti meridhai sebagian lainnya.” (HR. Muslim)
27. Do’a memohon perbaikan semua hal dan urusan. Dan doa paling agung berkenaan dengan hal itu adalah :

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ

Allahumma ashlihlii diinii lladzii huwa ‘ishmatu amrii, wa ashlihlii dunyaya llatii fiihaa ma’asyii, wa ashlihlii akhirotii llatii fiihaa ma’adii, waj’alilhayaata ziyaadatan lii fii kulli khair, waj’alil mauta raahatan lii min kulli syarr.” (HR. Muslim)
Ya Allah perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng urusanku; perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini penambah kebaikan bagiku dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejelekan.
Demikian juga dengan do’a berikut ini :

اَللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ

Allahumma rahmataka arjuu falaa takilnii ilaa nafsii thorfata’ainin wa ashlihlii sya’nii kullahu, laa ilaha illa anta.”
Ya Allah hanya rahmatMu aku berharap mendapatkannya. karena itu, jangan Engkau biarkan diriku sekejap mata (tanpa pertolongan atau rahmat dariMu). Perbaikilah seluruh urusanku, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau
28. Jihad di jalan Allah. Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah shalallu’alaihi wassalam, “ Berjihadlah di jalan Allah, karena jihad di jalan Allah merupakan pintu dari pintu-pintu surga, yang dengannya Allah menyelamatkan dari kedukaan dan kesedihan.”
Sumber : Do’a dan Wirid, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, Pustaka Imam Syafi’i.
Sumber  :  Muslimah.or.Id
[1] Lafal hadits tersebut berbunyi,

أفضل الناس كل مخموم القلب صدوق اللسان ، قالوا : صدوق اللسان نعرفه فما مخموم القلب ؟ قال : التقي النقي ، لا إثم فيه و لا بغي و لا غل و لا حسد

“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bersih hatinya dan selalu benar atau jujur lisannya.” Kemudian mereka para sahabat berkata, mengenai jujur atau benar lisannya, kami sudah mengetahuinya, tetapi apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya?” Beliau menjawab, “Yaitu seseorang yang bertakwa dan bersih, yang tidak terdapat dosa pada dirinya, tidak dholim, tidak iri, dan juga tidak dengki.”
HR. Ibnu Majah 4216 dan Ibnu ‘Asakir (17/29/2). Syaikh Albani berkata, “Hadits ini memiliki sanad yang shahih dan rijal yang tsiqat (terpercaya)”.

MAQOM TAUBAT

“Kedudukan Taubat dalam Pelarian Hamba Menuju Allah Subhannahu wa Ta’ala”


Taubat merupakan gerbang awal bagi seorang hamba dalam pelariannya menuju Allah, Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Allah berfirman dalam kitab-Nya yang suci:

فَفِرُّوا إِلَى اللهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ

“Maka segera berlarilah kalian (kembali) menuju Allah. Sungguh aku (Rasul) seorang pemberi peringatan yang nyata dari-Nya bagi kalian.” [QS. adz-Dzaariyaat: 50]
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera berlari (kembali) kepada-Nya; berlari dari kekufuran menuju iman, dari kesyirikan menuju tauhid, dari bid’ah menuju sunnah, dari maksiat menuju ketaatan, dari kejahilan menuju ilmu, dari kelalaian menuju dzikir, dan dari kesesatan menuju petunjuk. [Hayaatus Su’adaa’ hal. 63, oleh Syaikh Shaalih bin Thoha Abdul Wahid, Taqdim oleh Syaikh Dr. Masyhur Hasan Salman]
Allah menurunkan segala macam adzab dan cobaan (baik itu berupa derita maupun bahagia, sesuatu  yang buruk ataupun baik), itu semua ditujukan agar manusia berlari kembali menuju Allah. Dalam banyak ayat al-Qur-aan Allah menegaskan hal ini, di antaranya adalah:

وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَـاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“…dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali.” [QS. al-A’raaf: 168]

وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ الْقُرَى وَصَرَّفْنَا الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Dan Sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertaubat).” [QS. al-Ahqaaf: 27]
Pelarian itu ada 2 macam; pelarian orang-orang yang bahagia dan pelarian  orang-orang yang sengsara. Pelarian orang-orang yang berbahagia adalah mereka yang berlari dari Allah menuju Allah, yaitu mereka yang berlari dari apa-apa yang dibenci oleh Allah secara lahir-batin menuju apa-apa yang dicintai oleh Allah secara lahir-batin pula. Makna ini selaras dengan tafsiran Ibnu ‘Abbaas Radhiallahu ‘anhu terhadap ayat di atas (adz-Dzaariyaat: 50], beliau Radhiallahu ‘anhu mengatakan sebagaimana yang dinukil dalam Tafsir al-Qurthubi (49/17):

فَرُّوْا مِنْهُ إِلَيْهِ، وَاعْمَلُوْا بِطَاعَتِهِ

“Berlarilah dari Allah menuju Allah, dan beramallah dengan ketaatan kepada-Nya.”
Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyyah yang menunjukkan makna ini adalah ucapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam do’anya:

اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَـاكَ مِنْ سَخَـطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“Wahai Allah, sungguh aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dengan ’afiah (keselamatan)-Mu dari siksaan-Mu, dan aku berlindung dari (siksa)-Mu kepada-Mu (Ya Allah), aku tidak mampu menghitung pujian (yang pantas) bagi-Mu, (pujian yang pantas bagi) Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji diri-Mu  sendiri.” [Shahih Muslim: 486]
Dalam do’a tersebut Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam mengajarkan kepada kita bagaimana pelarian dilakukan dari Allah menuju Allah, yakni dari maksiat menuju keataatan kepada-Nya. [Hayaatus Su’adaa’ hal. 65]
Sedangkan pelarian orang-orang yang celaka adalah mereka yang berlari dari Allah, tidak menuju Allah. Mereka berlari dari peringatan Allah, belari dari ajakan-Nya, dari rahmat dan ampunan-Nya, menuju hal-hal yang dibenci dan dimurkai Allah. Padahal toh mereka tidak bisa lari dari maut di dunia dan siksa Allah di akhirat.

يَقُولُ الإنْسَانُ يَوْمَئِذٍ أَيْنَ الْمَفَرُّ. كَلاَّ لاَ وَزَرَ

“Pada hari itu manusia berkata: “Ke mana tempat berlari? Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung.” [QS. al-Qiyaamah: 10-11]
DARI MANA HARUS MEMULAI..?
Siapapun yang ingin kembali kepada Allah, maka ia harus memulainya dengan taubat, siapapun dia tidak terkecuali orang-orang yang melakukan amal ketaatan. Karena pada dasarnya semua hamba pasti pernah berbuat dosa:

كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

“Setiap anak Adam (pasti pernah) berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” [Hadits Hasan, lih. Shahiih Ibnu Majah: 3447]
TAUBAT, UNTUK SIAPA..?
Taubat bukanlah kewajiban semata para pendosa. Justru orang-orang shalih harus semakin banyak bertaubat kepada Allah atas segala kemungkinan ketidakikhlasan dalam setiap amalnya, atas segala kelalaiannya dalam berdzikir, dan atas segala kekurangannya dalam beribadah kepada Allah.

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“…dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” [QS. an-Nuur: 31]
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertaubat kepada-Nya, suatu perintah yang mengisyaratkan bahwa orang-orang mukmin (taat) dan orang-orang fasik sama-sama membutuhkan taubat. [lihat Hayaatus Su’adaa hal. 67]
Bahkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, dalam kedudukannya sebagai kekasih Allah yang paling dekat dengan-Nya dan terpelihara (ma’shum), pun masih bertaubat kepada Allah dalam sehari tidak kurang dari 100x taubat -Subhaanallaah. [lihat Shahih Muslim No. 2702].
AKHIRI SETIAP AMAL DENGAN TAUBAT
Taubat sudah sepatutnya menjadi teman yang selalu menyertai setiap amal ibadah seorang hamba. Ia ibarat ikrar keterbatasan seorang hamba dalam mengabdi kepada Khaaliq (Pencipta)-nya. Demikian agung kedudukan taubat dan betapa butuhnya segenap hamba akannya, sampai-sampai taubat disyari’atkan sebagai penutup amalan-amalan yang tergolong pokok dan besar dalam Islam, di antaranya adalah:
1.   Sholat. Sebagaimana diriwayatkan dari salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, Tsauban Radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلاَتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلاَثًا كَانَ رَسُـوْلُ اللهِ 

“Dulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam jika telah selesai dari sholatnya, beliau ber-istigfar tiga kali.” [Shahih Muslim No. 591]
2.   Wukuf ‘Arafah (Haji). al-Qur-aan menegaskan disyari’atkannya taubat setelah menunaikan rukun utama Haji, yaitu Wukuf di ‘Arafah. Allah berfirman:

فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُـمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ. ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“…maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. al-Baqarah: 198-199]
3. Wudhu. Setelah melakukan wudhu, disyari’atkan membaca do’a yang terkandung di dalamnya taubat dan istigfar:

اللّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Wahai Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang selalu bertaubat, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mensucikan diri.” [Hadits Shahih, lih. Shahiihul Jaami’ no. 6167]
Kemudian setelah itu membaca:

سُبْحَـانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

“Mahasuci Engkau wahai Allah, dan dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak di sembah (dengan benar) kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu.” [Hadits Shahih, lih. Silsilah ash-Shahiihah no. 2333]
4. Sholat Malam. Istigfar dan taubat juga diperintahkan bagi mereka yang mendekatkan diri kepada Allah di akhir malam. Sebagaimana Allah berfirman tentang sifat-sifat kekasih-Nya yang gemar melakukan Sholat Tahajjud:

كَانُوا قَلِيلاً مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالأسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam, dan mereka selalu memohon ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” [adz-Dzaariyaat: 17-18]
5.   Istiqomah. Setelah memerintahkan hamba-Nya untuk istiqomah, Allah lanjutkan dengan perintah untuh bertaubat, dalam firman-Nya:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: ‘Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya.” [QS. Fushilat: 6]
Demikianlah kedudukan taubat yang teramat agung. Sampai-sampai setelah menunaikan ibadah-ibadah yang agung dan besar sekalipun, kita tetap dituntut bertaubat kepada-Nya.
Karena seandainya segenap amal ibadah makhluk di jagad raya ini dikumpulkan sebagai persembahan di hadapan Allah, baik berupa sholat, zakat, puasa, haji, sedekah harta, jihad dengan jiwa dan raga, semua itu masih belum cukup untuk memenuhi hak-hak Allah atas segenap hamba-Nya berupa peribadatan, penyembahan dan pengagungan.
Begitu pula nikmat Allah berupa kejayaan Islam dan kemenangan dakwah, tak akan pernah terbayar oleh ibadah makhluk-Nya. Renungkanlah bagaimana Allah memerintahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam untuk ber-istigfar setelah beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat meraih  kemenangan:

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” [QS. an-Nashr]
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim (no. 484) bahwasanya setelah ayat ini turun, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memperbanyak tasbih, tahmid dan terutama taubat kepada Allah.
***
(Disusun oleh Redaksi al-Hujjah dengan referensi utama dari kitab: “Hayaatus Su’adaa fil Firoori Ilallaah” hal. 63-69 karya Syaikh Shalih bin Thoha ‘Abdul Wahid, Taqdim oleh Syaikh Dr. Masyhur Hasan Salman)
 Muroja’ah: Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.