Minggu, 22 Januari 2012

Kisah Nabi Ya’qub A.s.

Nabi Ya’qub adl putera dari Nabi Ishaq bin Ibrahim sedang ibunya adl anak saudara dari Nabi Ibrahim bernama Rifqah binti A’zar. Ia adl saudara kembar dari putera Ishaq yg kedua bernama Ishu.
Antara kedua saudara kembar ini tidak terdapat suasana rukun dan damai serta tidak ada menaruh kasih-sayang satu terhadap yg lain bahkan Ishu mendendam dengki dan iri hati terhadap Ya’qub saudara kembarnya yg memang dimanjakan dan lbh disayangi serta dicintai oleh ibunya. Hubungan mereka yg renggang dan tidak akrab itu makin buruk dan tegang setelah diketahui oleh Ishu bahwa Ya’qublah yg diajukan oleh ibunya ketika ayahnya minta kedatangan anak-anaknya utk diberkahi dan didoakan sedangkan dia tidak diberitahu dan karenanya tidak mendapat kesempatan seperti Ya’qub memperoleh berkah dan doa ayahnya Nabi Ishaq.
Melihat sikap saudaranya yg bersikap kaku dan dingin dan mendengar kata-kata sindirannya yg timbul dari rasa dengki dan irihati bahkan ia selalu diancam maka datanglah Ya’qub kepada ayahnya mengadukan sikap permusuhan itu. Ia berkata mengeluh : ” Wahai ayahku! Tolonglah berikan fikiran kepadaku bagaimana harus aku menghadapi saudaraku Ishu yg membenciku mendendam dengki kepadaku dan selalu menyindirku dgn kata-kata yg menyakitkan hatiku sehinggakan menjadihubungan persaudaraan kami ber dua renggang dan tegang tidak ada saling cinta mencintai saling sayang-menyayangi. Dia marah krn ayah memberkahi dan mendoakan aku agar aku memperolehi keturunan soleh rezeki yg mudah dan kehidupan yg makmur serta kemewahan . Dia menyombongkan diri dgn kedua orang isterinya dari suku Kan’aan dan mengancam bahwa anak-anaknya dari kedua isteri itu akan menjadi saingan berat bagi anak-anakku kelak didalam pencarian dan penghidupan dan macam-macam ancaman lain yg mencemas dan menyesakkan hatiku. Tolonglah ayah berikan aku fikiran bagaimana aku dapat mengatasi masalah ini serta mengatasinya dgn cara kekeluargaan.
Berkata si ayah Nabi Ishaq yg memang sudah merasa kesal hati melihat hubungan kedua puteranya yg makin hari makin meruncing:” Wahai anakku krn usiaku yg sudah lanjut aku tidak dapat menengahi kamu berdua ubanku sudah menutupi seluruh kepalaku badanku sudah membongkok raut mukaku sudah kisut berkerut dan aku sudak berada di ambang pintu perpisahan dari kamu dan meninggalkan dunia yg fana ini. Aku khuatir bila aku sudah menutup usia gangguan saudaramu Ishu kepadamu akan makin meningkat dan ia secara terbuka akan memusuhimu berusaha mencari kecelakaan mu dan kebinasaanmu. Ia dalam usahanya memusuhimu akan mendapat sokongan dan pertolongan dan saudara-saudara iparnya yg berpengaruh dan berwibawa di negeri ini. Maka jalan yg terbaik bagimu menurut fikiranku engkau harus pergi meninggalkan negeri ini dan berhijrah engkau ke Fadan A’raam di daerah Irak di mana bermukin bapa saudaramu saudara ibumu Laban bin Batu;il. Engkau dapat mengharap dikahwinkan kepada salah seorang puterinya dan dgn demikian menjadi kuatlah kedudukan sosialmu disegani dan dihormati orang krn karena kedudukan mertuamu yg menonjol di mata masyarkat. Pergilah engkau ke sana dgn iringan doa drpku semoga Allah memberkahi perjalananmu memberi rezeki murah dan mudah serta kehidupan yg tenang dan tenteram.
Nasihat dan anjuran si ayah mendapat tempat dalam hati si anak. Ya’qub melihat dalam anjuran ayahnya jalan keluar yg dikehendaki dari krisis hubungan persaudaraan antaranya dan Ishu apalagi dgn mengikuti saranan itu ia akan dapat bertemu dgn bapa saudaranya dan anggota-anggota keluarganya dari pihak ibunya .Ia segera berkemas-kemas membungkus barang-barang yg diperlukan dalam perjalanan dan dgn hati yg terharu serta air mata yg tergenang di matanya ia meminta kepada ayahnya dan ibunya ketika akan meninggalkan rumah.
Nabi Ya’qub Tiba di Irak
Dengan melalui jalan pasir dan Sahara yg luas dgn panas mataharinya yg terik dan angi samumnya yg membakar kulit Ya’qub meneruskan perjalanan seorang diri menuju ke Fadan A’ram dimana bapa saudaranya Laban tinggal. Dalam perjalanan yg jauh itu ia sesekali berhenti beristirehat bila merasa letih dan lesu .Dan dalam salah satu tempat perhentiannya ia berhenti krn sudah sgt letihnya tertidur dibawah teduhan sebuah batu karang yg besar .Dalam tidurnya yg nyenyak ia mendapat mimpi bahwa ia dikurniakan rezeki luas penghidupan yg aman damai keluarga dan anak cucuc yg soleh dan bakti serta kerajaan yg besar dan makmur. Terbangunlah Ya’qub dari tidurnya mengusapkan matanya menoleh ke kanan dan ke kiri dan sedarlah ia bahawa apa yg dilihatnya hanyalah sebuah mimpi namun ia percaya bahwa mimpinya itu akan menjadi kenyataan di kemudian hari sesuia dgn doa ayahnya yg masih tetap mendengung di telinganya. Dengan diperoleh mimpi itu ia merasa segala letih yg ditimbulkan oleh perjalanannya menjadi hilang seolah-olah ia memperolehi tanaga baru dan bertambahlah semangatnya utk secepat mungkin tiba di tempat yg di tuju dan menemui sanak-saudaranya dari pihak ibunya.
Tiba pada akhirnya Ya’qub di depan pintu gerbang kota Fadan A’ram setelah berhari-hari siang dan malam menempuh perjalanan yg membosankan tiada yg dilihat selain dari langit di atas dan pasir di bawah. Alangkah lega hatinya ketika ia mulai melihat binatang-binatang peliharaan berkeliaran di atas ladang-ladang rumput burung-burung berterbangan di udara yg cerah dan para penduduk kota berhilir mundir mencari nafkah dan keperluan hidup masing-masing.
Sesampainya disalah satu persimpangan jalan ia berhenti sebentar bertanya salah seorang penduduk di mana letaknya rumah saudara ibunya Laban barada. Laban seorang kaya-raya yg kenamaan pemilik dari suatu perusahaan perternakan yg terbesar di kota itu tidak sukar bagi seseorang utk menemukan alamatnya. Penduduk yg ditanyanya itu segera menunjuk ke arah seorang gadis cantik yg sedang menggembala kambing seraya berkata kepada Ya’qub:”Kebetulan sekali itulah dia puterinya Laban yg akan dapat membawamu ke rumah ayahnya ia bernama Rahil.
Dengan ahti yg berdebar pergilah Ya’qub menghampiri yg ayu itu dan cantik itu lalu dgn suara yg terputus-putus seakan-akan ada sesuatu yg mengikat lidahnya ia mengenalkan diri bahwa ia adl saudara sepupunya sendiri. Ibunya yg bernama Rifqah adl saudara kandung dair ayah si gadis itu. Selanjutnya ia menerangkan kepada gadis itu bahwa ia datang ke Fadam A’raam dari Kan’aan dgn tujuan hendak menemui Laban ayahnya utk menyampaikan pesanan Ishaq ayah Ya’qub kepada gadis itu. Maka dgn senang hati sikap yg ramah muka yg manis disilakan ya’qub mengikutinya berjalan menuju rumah Laban bapa saudaranya.
berpeluk-pelukanlah dgn mesranya si bapa saudara dgn anak saudara menandakan kegembiraan masing-masing dgn pertemuan yg tidak disangka-sangka itu dan mengalirlah pada pipi masing-masing air mata yg dicucurkan oleh rasa terharu dan sukcita. Maka disapkanlah oleh Laban bin Batu’il tempat dan bilik khas utk anak saudaranya Ya’qub yg tidak berbeda dgn tempat-tempat anak kandungnya sendiri di mana ia dapat tinggal sesuka hatinya seperti di rumahnya sendiri.
Setelah selang beberapa waktu tinggal di rumah Laban bapa saudaranya sebagai anggota keluarga disampaikan oleh Ya’qub kdp bapa saudranya pesanan Ishaq ayahnya agar mereka berdua berbesan dgn mengahwinkannya kepada salah seorang dari puteri-puterinya. Pesanan tersebut di terima oleh Laban dan setuju akan mengahwinkan Laban dgn salah seorang puterinya dgn syarat sebagai maskahwin ia harus memberikan tenaga kerjanya di dalam perusahaan penternakan bakal mentuanya selama tujuh tahun. Ya’qub menyetujuinya syarat-syarat yg dikemukakan oleh bapa saudaranya dan bekerjalah ia sebagai seorang pengurus perusahaan penternakan terbesar di kota Fadan A’raam itu.
Setelah mas tujuh tahun dilampaui oleh Ya’qub sebagai pekerja dalam perusahaan penternakan Laban ia menagih janji bapa saudaranya yg akan mengambilnya sebagai anak menantunya. Laban menawarkan kepada ya’qub agar menyunting puterinya yg bernama Laiya sebagai isteri namun anak saudaranya menghendaki Rahil adik dari Laiya kerana lbh cantik dan lbh ayu dari Laiya yg ditawarkannya itu.Keinginan mana diutarakannya secara terus terang oleh Ya’qub kepada bapa saudaranya yg juga dari pihak bapa saudaranya memahami dan mengerti isi hati anak saudaranya itu. Akan tetapi adat istiadat yg berlaku pada waktu itu tidak mengizinkan seorang adik melangkahi kakaknya kahwin lbh dahulu. karenanya sebagi jalan tengah agak tidak mengecewakan Ya’qub dan tidak pula melanggar peraturan yg berlaku Laban menyarankan agar anak saudaranya Ya’qub menerima Laiya sebagai isteri pertama dan Rahil sebagai isteri kedua yg akan di sunting kelak setelah ia menjalani mas kerja tujuh tahun di dalam perusahaan penternakannya.
Ya’qub yg sangat hormat kepada bapa saudaranya dan merasa berhutang budi kepadanya yg telah menerimanya di rumah sebagai keluarga melayannya dgn baik dan tidakdibeda-bedakan seolah-olah anak kandungnya sendiri tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima cadangan bapa saudaranya itu . Perkahwinan dilaksanakan dan kontrak utk masa tujuh tahun kedua ditanda-tangani.
Begitu masa tujuh tahun kedua berakhir dikahwinkanlah Ya’qub dgn Rahil gadis yg sangat dicintainya dan selalu dikenang sejak pertemuan pertamanya tatkala ia masuk kota Fadan A’raam. Dengan demikian Nabi Ya’qub beristerikan dua wanita bersaudara kakak dan adik hal mana menurut syariat dan peraturan yg berlaku pada waktu tidak terlarang akan tetapi oleh syariat Muhammad s.a.w. hal semacam itu diharamkan.
Laban memberi hadiah kepada kedua puterinya iaitu kedua isteri ya’qub seorang hamba sahaya utk menjadi pembantu rumahtangga mereka. Dan dari kedua isterinya serta kedua hamba sahayanya itu Ya’qub dikurniai dua belas anak di antaraya Yusuf dan Binyamin dari ibu Rahil sedang yg lain dari Laiya.
Kisah Nabi Ya’qub Di Dalam Al-Quran
Kisah Nabi Ya’qub tidak terdapat dalam Al-Quran secara tersendiri namun disebut-sebut nama Ya’qub dalam hubungannya dgn Ibrahim Yusuf dan lain-lain nabi. Bahn kisah ini adl bersumberkan dari kitab-kitab tafsir dan buku-buku sejarah.
sumber : file hlp kisah para nabi dan tokoh islam

"Cara Praktis Memperkaya Hafalan Al - Qur'an"

Jiwa yang tak pernah dibacakan Al-Quran, seperti kuburan. Sepi, sendirian, dan kering-kerontang. Zaman ini, sedikit sekali orang-orang yang hafal Al-Quran. Kita bisa melihat, para orang tua lebih resah kalau anaknya tidak bisa matematika atau bahasa Inggris, ketimbang tidak tahu Al-Quran. Padahal, itu adalah keluarga Muslim. Padahal, sebagai orang Islam, kita harus yakin, hanya Al-Quran lah sebagai petunjuk hidup kita.

Ketika zaman semakin berputar mengikuti arus syahwat manusia, selayaknya lah kita sebagai orang Islam (mungkin) harus mulai kembali menanamkan azam dan niat, tekad dan keinginan untuk mulai menghafal Al-Quran.

Dan untuk memudahkan menghafalnya, ada beberapa teknik dan persiapan yang khusus yang bisa dipakai. Beberapa di antaranya:

* lkhlaskan niat dan bersabar
* Jangan lupa baca basmillah dulu
* Berdoa kepada Allah swt
* Bersih dari hadas kecil dan besar
* Sebaiknya menghadap kiblat
* Memakai pakaian putih yang bersih dan menutup aurat
* Jangan banyak berkata dan ketawa ketika membaca dan menghafal
* Memberikan perhatian sepenuhnya
* Jangan membaca ketika mengantuk atau menguap
* Berhenti membaca ketika ingin buang angin
* Salat dua rakaat sebelum memulai

SEBELUM MENGHAFAL

1. Mempunyai azam dan minat untuk menghafal
2. Memilih waktu yang sesuai untuk menghafal
3. Memilih tempat yang sesuai untuk menghafal
4. Berada dalam keadaan tenang
5. Tenangkan pikiran sebelum menghafal
6. Pilih sebuah jenis mushaf dan jangan ubah dengan jenis mushaf lain
7. Beristighfar, membaca selawat dan doa sebelum mulai menghafal

TEKNIK-TEKNIK MENGHAFAL

A. Teknik "Chunking” (potongan-potongan)

* Mengelompokan ayat yang panjang dalam beberapa bagian yang memang sesuai mengikuti arahan guru atawa ustadz, jika belajar bersama mereka
* Mengelompokan awal surat pada beberapa bagian (2 atau 3 bagian) yang sesuai
* Mengelompokan surat dalam beberapa bagian, contohnya mengikut pertukaran cerita
* Mengelompokan juz kepada beberapa bagian mengikut surah, hizib, rubu', cerita dan sebagainya
* Mengelompokan kelompok surah, setiap 10 juz dan sebagainya

B. Teknik Mengulang

* Membaca sepotong atau sebagian ayat sekurang-kurangnya lima kali sebelum mulai menghafalnya
* Membaca ayat yang telah dihafal berulang-ulang kali (10 atau lebih)
* sebelum berpindah ke ayat seterusnya
* Selepas menghafal setiap setengah halaman, harus diulang beberapa kali sebelum diteruskan bagian yang setengah halaman lagi
* Sebelum menghafal bagian Al-Qur'an seterusnya, harus diulang bagian yang sebelumnya.

C. Teknik Menghafal Dengan Teman

* Pilih seorang teman yang sama-sama berminat
* Orang pertama membaca dan disimak oleh orang kedua
* Orang kedua membaca dan disimak oleh orang pertarna
* Saling menyebut ayat antara satu sama lain

E. Teknik Mendengar Kaset/CD

* Pilih seorang qari yang baik bagi seluruh Alquran atau beberapa qari bagi surah-surah tertentu
* Sebelum mulai menghafal, dengar bacaan ayat-ayat yang ingin dihafal beberapa kali
* Amati cara, lagu dan tempat berhenti bacaan qari tersebut sehingga terpahat di pikiran
* Mulai menghafal ayat-ayat tersebut dengan cara dan gaya qari tersebut
* Sentiasa mendengar kaset/CD bacaan Alquran dan kurangi atau tinggalkan mendengerkan lagu-lagu kerana akan mengganggu penghafalan

F. Teknik Merekam

* Rekam bacaan kita di dalam kaset dan dengarkan lagi untuk memastikan bacaan dan hafalan yang betul
* Bagi kanak-kanak, rekam bacaan ibu-bapa atau guru kemudian diikuti oleh bacaan kanak-kanak tersebut
* Minta kanak-kanak tersebut mendengar kembali rekaman tersebut beberapa kali hingga menghafalnya

G. Teknik Menulis

* Tulis kembali surat yang telah dihafal. Kemudian cek lagi dengan mushaf.
* Menulis setiap ayat pertama awal surat, atau setiap rubu', atau setiap juz, atau setiap surah dalam sehelai kertas.

MEMELIHARA HAFALAN

1. Jauhi maksiat mata, maksiat telinga dan maksiat hati
2. Banyak berdoa, terutama waktu mustajab doa seperti ketika berbuka puasa, ketika dalam perjalanan, selepas azan dan lain-lain lagi
3. Menetapkan kadar bacaan setiap hari, contohnya, selembar, setengah juz, 1 juz dan sebagainya
4. Membaca pada waktu pagi dan mengulangnya pada waktu malam
5. Jangan membaca ketika sedang bosan, marah atau ngantuk
6. Menulis setiap ayat yang mutasyabih

Tafsir Surat Al-Fatihah

Tafsir Surat Al-Fatihah
Disusun Oleh:
Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahhab
Syeikhul Islam Muhammad bin Abdul wahhab rahimahullah berkata:
Perhatikanlah, semoga Allah memberimu petunjuk untuk mentaatinya, melindungi  dan senantiasa menjagamu di dunia dan akhirat. Sesungguhnya maksud doa dan ruhnya dan hati adalah memasrahkan hati pada Allah. Jika engkau berdoa tanpa hati maka laksana jasad yang tiada ruh di dalamnya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya” (al-Ma’un 4-5).
Maka lalai ditafsirkan “lalai” dengan kelalaian dari melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Yaitu membuang-buang waktu dan melupakan kewajibannya, lupa untuk menghadirkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim bahwasannya Rasulullah bersabda :
“Hal seperti itu adalah shalatnya orang munafik. Ia duduk menanti matahari hingga saat berada di antara dua tanduk setan ia berdiri lalu mematuk empat kali, ia tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali” (riwayat muslim).
Ditafsirkan “membuang waktu” berdasarkan firmannya: “menanti matahari” dan “melalaikan rukun-rukunnya” sebagaimana firmannya: “tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali”.
Jika engkau telah mengerti hal ini maka pahamilah satu cabang dari shalat ini yaitu membaca Al-Fatihah. Semoga Allah menjadikan doamu diterima dengan balasan berlipat ganda dan menjadi penghapus dosa-dosa.
Penjelasan terbaik bagimu dalam memahami al-Fatihah ini adalah hadits Abu Hurairah dalam Shahih Muslim, ia mengatakan, “Aku mendengan Rasulullah bersabda :
“Allah berfirman: Aku membagi bagian shalat antara Aku dan hamba-hambaKu sama rata. Dan bagi hamba-Ku Aku berikan apa yang dia minta. Jika dia mengatakan “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin ”, Allah akan mengatakan, “Hambaku memuji-Ku”. Jika dia mengatakan: “Maliki yaumiddin ”, Allah akan mengatakan, “Hamba-Ku mengagungkan-Ku”, jika dia mengatakan: “iyyakana’budu wa iyyaka nastain ”, Allah akan mengatakan: “Ini adalah diantara Aku dan hamba-Ku, bagi hamba-Ku Aku berikan apa yang dia minta”. Jika dia mengatakan: “Shiratalladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh dhallin ”, Allah mengatakan, “Ini untuk hamba-Ku dan bagi hambaku Aku berikan apa yang dia minta” (diriwayatkan oleh Muslim).
Jika seseorang memperhatikan hal ini, sesungguhnya ada dua bagian. Bagian milik Allah, yaitu bagian awal sampai ucapan “Iyyaka na’budu…”. Kemudian ada bagian bagi hambanya ialah doa yang diucapkannya untuk dirinya. Ketahuilah bahwa Allah lah yang mengajarkan semua ini dan Allah pula yang memerintahkan untuk berdoa dengan bacaan itu dengan mengulang-ulangnya setiap rakaat. Sesungguhnya Allah pula yang menjamin terkabulnya doa ini jika dilakukan dengan ikhlas diiringi kehadiran hati . Maka jelaslah bahwa hal ini luput dari kebanyakan manusia.
Engkau telah diperelok dengan satu perkara yang sekiranya engkau pahami
Maka akan bertambah untukmu keterpeliharaan tanpa kehilangan
Disini aku sebutkan sebagian makna surat yang agung ini dengan harapan shalatmu menjadi teriring dengan hati. Adapun hatimu menjadi mampu memahami apa yang diucapkan lidahmu. Karena apa yang dilisankan lidah tetapi tidak diiringi keykinan hati bukanlah termasuk amal saleh, sebagaimana firman Allah :
Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya” (Al-Fath, 11)
Maka dimulai dengan makna isti’adzah kemudian bismillah, dengan metode yang ringkas.
Adapun makna “a’udzubillahi minasy syaithanir rajim” ialah aku berlindung dan berpegang teguh kepada Allah dan memohon dijauhkan dari keburukan setan ini. Serta dijauhkan dari pengaruh buruk terhadap duniaku dan akhiratku dan menghalangiku dari melakukan perbuatan yang tidak Engkau perintahkan. Atau memotivasiku untuk perbuatan yang tidak Engkau larang. Karena meningkatkan hasrat seorang hamba jika ingin mengerjakan kebaikan berupa shalat, membaca qur’an dan selainnya. Sseungguhnya tidak ada cara bagimu dalam menangkalnya kecuali dengan memohon perlindungan pada Allah sebagaimana firmannya :
Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” (Al-A’raf, 27)
Jika engkau memohon pada Allah perlindungan dari godaan setan dan berpegang teguh kepada-Nya, maka itu merupakan sebab hadirnya hati. Maka pahamilah kandungan kalimat ini dan jangan merasa cukup hanya menyebutnya secara lisan sebagaimana kebanyakan manusia.
Adapun bismillah maknanya memasukkan perkara ini, baik berupa bacaan maupun doa atau selain itu dengan nama Allah. Bukan atas kemampuanku maupun semata kekuatanku. Bahkan terjadinya perbuatan itu berkat pertolongan Allah semata, melalui keutamaan namanya yang mulia. Seluruh perbuatan ini dibacakan ketika mengawali urusan agama maupun urusan dunia. Jika engkau hadirkan dalam dirimu tatkala masuk pada bacaan dengan memohon pertolongan Allah, terlepas dari segala daya dan kekuatan lain, maka ini merupakan sebab terbesar munculnya hati dan pengusir segala penghalang kebaikan.
Arrahmaanir rahim” merupakan dua kata pecahan dari “rahmah” yang makna salah satunya lebih luas dari lainnya. Seperti kata “allaam” dan “aliim . Ibnu Abbas berkata, “Keduanya merupakan dua kata yang tipis perbedaannya. Salah satunya lebih tipis dari yang lainnya. Yaitu salah satunya bermakna “lebih banyak rahmatnya””.
Surat al-Fatihah terdiri atas tujuh ayat, yaitu tiga setengah untuk Allah dan tiga setengah untuk hamba-Nya.
Bagian awalnya “Alhamdulillahhi rabbil ‘alamin”. Ketahuilah, Al Hamdu ialah “pujian secara lisan atas besarnya kebaikan yang dikehendaki-Nya”. Maka dikecualikan dari hal itu berupa pujian secara perbuatan yang dinamakan “lisanul hal” karena yang demikian merupakan bagian dari perbuatan syukur.
Dan ucapan “atas besarnya kebaikan yang dikehendaki-Nya” maksudnya perbuatan yang dilakukan seseorang atas kehendak-Nya. Adapun besarnya kebaikan yang tidak diperbuat untuk Allah di dalamnya seperti “indah” dan semisalnya, pujian demikian itu dinamakan dengan istilah “madah”, bukan “hamd” .
Perbedaan antara “Al-Hamdu - pujian” dan “syukur – terima kasih” ialah :
Al-Hamdu, padanya terkandung makna “madah” dan “tsana” terhadap yang dipuji dengan menyebutkan segala keutamaannya, baik apakah itu perbuatan ihsan kepada pengucap pujian atau pun tidak. Adapun syukur hanya semata terkait rasa terimakasih semata atas satu perbuatan yang dialamatkan rasa syukur itu kepadanya.
Dari sisi ini jelas bahwa al-Hamdu itu lebih umum dari syukur, karena mencakup kebaikan dan juga perbuatan baiknya. Allah terpuji atas nama-namanya yang baik, Asmaul husna serta apa-apa yang Allah ciptakan di awal dan di akhir. Maka Allah berfirman :
Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak” (Al-Israa:111)
Dan juga :
Segala puji bagi Allah Yang menciptakan langit dan bumi” (Al-An’am:1)
Dan juga ayat-ayat semisalnya.
Adapun “syukur, terima kasih” adalah ucapan yang hanya dialamatkan atas jasa yang telah memberikan nikmat saja. Maka dari sisi ini dia lebih khusus daripada al-Hamdu. Tetapi ucapan ini dilakukan melalui hati, tangan, dan lisan. Maka Allah berfirman :
Beramallah, Hai keluarga Daud dengan rasa syukur
Adapun al-Hamdu dilakukan dengan hati dan lisan saja. Maka jika dari sisi jenis, syukur lebih umum dari al-Hamdu dan dari sisi sebab al-Hamdu lebih umum dari syukur.
Alif lam pada ucapan al-Hamdu memberi makna penggabungan, yaitu segenap pujian kepada Allah semata dan tidak untuk selain-Nya. Maka setiap ucapan yang tidak dimaksudkan untuk makhluk seperti penciptaan manusia, penciptaan pendengaran dan mata, langit dan bumi, rizki dan lainnya maka sudah jelas. Adapun untuk pujian kepada makhluk semisal pujian kepada orang-orang saleh, para nabi dan rasul, dan mereka yang berbuat ma’ruf maka secara khusus jika diperluas kepadamu. Semua ini juga bagi Allah dari segi Dia-lah yang jadikan sebab pelaku, dan memberinya apa yang telah dia berbuat itu,   dan mencintai dia dan memberi dia kekuatan dan lainnya dari keagungan Allah yang apa bila gagal salah satunya maka tidaklah dipuji maka semua pujian kepada Allah ini merupakan ganjaran.
Adapun ucapan “lillahi rabbil ‘alamin” maka Allah merupakan nama Tuhan yang maha kuasa. Artinya : Al-ilah ialah al-ma’bud . Sebagaimana firmannya :
وَهُوَ اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ
Artinya : Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi. (al-an’am, ayat: 3). Yaitu disembah dilangit dan di bumi.
إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْداً
Artinya : Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (Maryam, ayat: 93)
Adapun rabb artinya adalah raja yang Maha Mengatur.
Sedangkan alamiin adalah kata untuk setiap yang selain Allah. Maka setiap raja, nabi, manusia, jin dan selainnya selain Allah merupakan hamba yang diatur, tunduk dengan segala tindakannya. Miskin, butuh dan sangat tergantung satu sama lain, tidak ada sekutu bagi_nya dalam agama. Yang Maha Kaya dan Tempat Bergantung
Lanjutannya adalah maaliki yaumiddin atau dalam bacaan yang lain maliki yaumiddin . Disebutkan diawal surat, yaitu awal mushaf tentang uluhiyah, rububiyah, dan muluk, sebagaimana disebutkan pula di akhir mushaf :
  مَلِكِ النَّاسِ * قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
Artinya : Katakanlah: “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. (An-Naas:1-2)
Ini adalah tiga  deskripsi tuhan, disebutkan dalam satu grup di awal qur’an,  dan kemudian disebutkan dalam satu grup di akhir qur’an dari apa yang kamu dengar dari qur’an. Maka hendaknya diperhatikan topik ini. Sesungguhnya Yang Maha Mengetahui menggabungkan antara keduanya itu karena pentingnya seorang hamba memahaminya dan mengetahui perbedaan sifat-sifat-Nya. Setiap sifat Allah memilik makna yang berbeda satu sama lain. Sebagaimana disebut “Muhammad rasulullah”, “penutup para nabi”, “pemimpin anak-anak Adam”; setiap sifat tersebut memiliki makna yang berbeda satu dengan yang lain.
Jika telah paham bahwa makna Allah adalah al ilah, sembahan, maka pahamilah bahwa sembahan itu merupakan sesuatu yang diibadahi. Maka jika engkau berdoa, menyembelih, bernadzar, lakukanlah untuk Allah. Jika engkau berdoa, menyembelih, dan bernadzar kepada makhluk baik itu bagus maupun jelek maka sesungguhnya engkau telah menjadikan dia sembahan.
Maka siapa pun yang menjadikan Syamsan atau Taj (Syamsan dan Taj – contohnya Yusuf – orang yang diyakini sebagai wali pada zaman syeikh penulis. Maka mereka beribadah dengan memanjatkan doa dan sejenisnya kepada sesuatu yang tidak layak kecuali hanya untuk Allah ) pada momen hidupnya sebagai Tuhan, serta mengetahui apa yang bani israel sembah yaitu berupa anak lembu, dan ketika mereka sadar mereka pun gempar dan mengatakan Tuhan belum menjelaskan mereka :
Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, merekapun berkata: “Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi.” (al-A’raf, ayat: 149).
Adapun rabb artinya adalah raja yang Maha Mengatur. Allah adalah raja segala sesuatu dan dia pula lah yang mengurus mereka, demikianlah sebenarnya. Tetapi para penyembah berhala yang dahulu diperangi oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun juga menetapkan demikian sebagaimana dalam firman Allah :
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
Artinya : “Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?”” (Yunus:31)
Maka siapapun yang memohon pertolongan dan agar permintaannya dikabulkan kemudian berdoa kepada makhluk dengan menyandarkan padanya maka ini merupakan peribadatan semisal mengucapkan “dari si Fulan hambamu” atau “hamba Ali ” atau “Hamba Nabi” atau “Hamba Zubair ” maka telah menetapkan ketuhanan rububiyah mereka. Maka dengan berdoa kepada Ali atau Zubair bersamaan dengan berdoa kepada Allah berarti menetapkan peribadatan kepada mereka. Harapannya agar mereka mendatangkan kebaikan atau menolak keburukan dengan menamai diri mereka sebagai hamba dari orang yang diibadahi tersebut merupakan bentuk penuhanan makhluk.
Semoga Allah merahmati hambanya yang mengingatkan dirinya serta peduli terhadap perkara ini dengan bertanya pada para ulama’. Kare para ulama merupakan orang-orang yang berada di jalan yang lurus. Sudahkan mereka menafirkan surat tadi dengan benar?
Adapun malik maka penjelasannya adalah maaliki yaumiddin atau dalam bacaan yang lain maliki yaumiddin maknanya menurut kebanyakan ahli tafsir adalah sebagaimana Allah menafsirkannya sendiri :
 يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْئاً وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ * ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ
Artinya : Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (Al-Infithar:17-19).
Jika memahami ayat ini dan pengkhususan penguasa dari hari pembalasan – dan Allah adalah penguasa segala sesuatu baik hari itu maupun hari lainnya- maka jelas bahwa pengkhususan ini merupakan perkara besar yang menjadikan sebab seorang hamba berhak masuk ke dalam surga serta yang bodoh terhadapnya menjadi sebab masuk neraka. Demikianlah sekiranya seseorang menempuh perjalanan selama lebih 20 tahun ke sana belumlah sampai haknya untuk masuk. Maka bagaimana makna dan keimanan terhadap kejelasan Al-Qur’an, padahal Rasulullah bersabda :
“Wahai Fatimah binti nabi Muhammad, aku tidak dapat menolongmu dari Allah“ (al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah).  Kata ahli burdah :
Tidaklah rasulullah menyempitkan kemuliaanmu denganku
ketika Yang Maha Mulia berhias dengan nama Al-muntaqim
Sesungguhnya aku memiliki jaminan perlindungan
dengan penamaan Muhammad sebagai semulia makhluk yang memiliki jaminan
Sekiranya bukan karena materi yang kuperoleh dengan tanganku lebih utama
Tetapi karena ucapkanlah duhai aku telah tergelincir
Perhatikanlah orang yang menasehati dirinya pada bait diatas, dan orang-orang yang telah dibuatnya takjub, serta mereka yang telah menjadikan dia ulama’. Merekapun menjadikan bacaan ini seperti bacaan Al-Qura’an.
Bagaimana mungkin bersatu dalam hati pembenaran terhadap isi bait diatas dengan dengan pembenaran ayat :
“(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” dan hadits :
“Wahai Fatimah binti nabi Muhammad, aku tidak dapat menolongmu dari Allah“
Demi Allah tidak…..
Kecuali jika tergabung dalam hatinya bahwa Nabi Musa benar dan Fir’aun pun juga benar. Bahwa Nabi Muhammad diatas kebenaran dan Abu Jahal diatas kebenaran. Demi Allah tidak mungkin. Tidak akan pernah sama dan tidak akan terkumpul dua perbedaan dalam persimpangan.
Jika mengetahui ini dan mengetahui kerusakan syair burdah dan juga fitnah keterasingan Islam, serta kebencian dan hal-hal yang menghalalkan darah, harta, dan wanita bukanlah dari sisi penghinaan pada Tuhan dan perang. Bahkan merekalah yang menantang kami dengan kekafiran dan perang ketika :
فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً
Artinya : “Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (Al-Jin:18)
dan dalam firman-Nya : “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)” (Al-Israa’:57). Dan dalam firman-Nya : “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka” (Ar-Ra’d:14).
Demikianlah sebagian makna maliki yaumiddin berdasarkan ijma mufassirin dan Allah pun telah menjelaskan sebagaimana dalam ayat surat Al-Infithar diatas.
Ketahuilah – semoga Allah merahmatimu – bahwasannya kebenaran bisa dikenali dengan adanya kebatilan sebagaimana kaidah : wa bi dhiddiha tubayyinul asyaa’ (dengan mengetahui lawannya, maka jelaslah masalahnya)
Perhatikanlah pejelasanku jam demi jam, dari hari ke hari dan bulan ke bulan, tahun demi tahun, semoga engkau akan memahami agama moyang kita Nabi Ibrahim dan Nabi kita. Semoga Allah menyatukan kita semua nanti dan tidak dihalangi dari meminum telaga haudh hari kiamat sebagaimana yang akan dialami mereka yang meninggalkan jalannya. Semoga engkau mampu melewati shiratal mustaqim dan tidak terjatuh sebagaimana mereka yang telah terjatuh di dunia dari jalan yang lurus. Maka biasakanlah membaca al-Fatihah dengan kehadiran hati dan penuh rasa tunduk dan takut.
Adapun Iyyaka na’budu wa iyyaka nastain, maka ibadah merupakan kesempurnaan cinta dan kesempurnaan ketaatan, takut dan tunduk. Dalam ayat ini maf’ul-nya didahulukan yaitu iyyaka dan diulang dua kali unuk menegaskan bahwa hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami bertawakal. Inilah yang disebut kesempurnaan ketaatan.
Adapun agama seluruhnya kembali kepada dua makna yaitu, berlepas dari syirik dan berlepas dari daya dan kekuatan selain Allah. “Hanya kepadamu kami menyembah” maknanya hanya kepadamu kami mengesakan dengan menegaskan perjanjianmu dengan Allah untuk tidak mempersekutukan-Nya dalam perkara ibadah. Tidak untuk nabi dan tidak untuk malaikat. Sebagaimana ucapan-Nya kepada para sahabat :
Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (Ali Imran:80)
Perhatikanlah ayat ini dan pahami tentang rububiyah-Nya. Adapun mereka yang menisbatkan diri kepada Taj dan Muhammad bin Syamsan, sekiranya saja sahabat melakukannya dikafirkan saat nabi masih ada, maka bagaimana yang melakukannya terhadap Taj dan Syamsan?
Iyyaka nastain, ini merupakan dua perkara yang salah satunya berupa permohonan pertolongan kepada Allah berupa tawakal dan keterlepasan dari daya dan kekuatan selain-Nya. Selain itu juga permohonan pertolongan kepada Allah sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwasannya hal itu termasuk bagian milik hambanya.
Ihdinash shiratal mustaqim, ini merupakan doa dengan memohon rizki dari Allah dengan permintaan besar ini, yang tidak ada karunia yang lebih besar di dunia dan akhirat dari ini. Sebagaimana Allah mengaruniakan pada Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam waktu Fathu Makkah :
وَيَهْدِيَكَ صِرَاطاً مُّسْتَقِيماً
“dan memberi kamu hidayah kepada jalan yang lurus” (Al-Fath:2)
Kata hidayah pada ayat diatas berarti taufik dan petunjuk. Maka perhatikanlah masalah ini. Dengan demikian, pada hidayah terkandung ilmu sekaligus amal saleh yang istiqamah, sempurna, dan senantiasa konsisten sampai berjumpa dengan Allah nanti.
Ash Shirath, yaitu jalan yang terang lagi lurus tidak bengkok. Maksudnya adalah agama yang Allah turunkan melalui rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu :
Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (al-Fatihah:7).
Mereka yang dimaksud adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Engkau senantiasa membacanya pada setiap rakaat dengan memohon kepada Allah hidayah agar selalu berada di jalan mereka. Maka wajib diyakini kebenaran jalan ini. Adapun jalan-jalan, ilmu, maupun ibadah lain yang menyelisihinya bukanlah dia jalan yang lurus. Inilah kewajiban pertama pada ayat ini dengan meyakininya dalam hati serta waspada dari tipu daya setan. Yaitu meyakini secara umum tetapi tidak perduli terhadap rinciannya. Sesungguhnya orang-orang yang batal keislamannya meyakini kebenaran risalah nabi dan memahami siapapun yang menyelisihinya batil. Tetapi jika datang hal-hal yang tidak sejalan hawa nafsu mereka, maka sebagaimana dalam ayat :
فَرِيقاً كَذَّبُواْ وَفَرِيقاً يَقْتُلُونَ
Artinya : (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh. (Al-Maidah:70)
Adapun ­ghairil maghdub bi ‘alaihim waladh dhaalliin , maka yang dimaksud “mereka yang dimurkai” adalah para ulama’ yang tidak mengamalkan ilmu mereka. Sedangkan “mereka yang sesat” adalah orang-orang yang beramal tanpa ilmu. Yang pertama itu merupakan sifat orang-orang yahudi, sedangkan yang kedua merupakan sifat orang-orang nasrani.
Kebanyakan orang jika melihat tafsir -bahwasannya Yahudi adalah yang dimaksud dengan “mereka yang dimurkai” dan Nasrani sebagai “mereka yang sesat”- menyangka dengan bodohnya bahwa bahwa yang dimaksud sebatas mereka saja. Orang-orang ini yakin bahwa Tuhannya dengan ayat itu mewajibkan mereka berdoa dan berlindung dari jalan mereka yang disifati menyimpang dalam ayat ini. Maha Suci Allah, bagaimana bisa Allah mengajarkan mereka dan membimbing jalan bagi mereka serta mewajibkan mereka senantiasa berdoa dengan ayat ini tetapi mereka tidak merasa diperingatkan dari peringatan Allah. Mereka tidak menyadari bahwa mereka pun termasuk pelaku yang diperingatkan. Inilah persangkaan yang buruk pada Allah, wallahu a’lam. Ini bagian terakhir penjelasan al-Fatihah.
Adapun ucapan amien bukan termasuk dalam al-Fatihah melainkan sebagai permohonan pengabulan doa yang artinya “Ya Allah, kabulkanlah”. Maka wajib mengajarkan orang-orang yang jahil agar mereka tidak menyangka hal ini bagian dari ayat.
Beberapa hal dari al-Fatihah:
Pertama: “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” maksudnya ialah tauhid.
Kedua: “Tunjukilah kami jalan yang lurus” artinya senantiasa mengikutinya.
Ketiga: rukun agama adalah hubb, raja’, dan khauf. Cinta pada mulanya dan kedua di pengaharapan dan takut yang ketiga.
Keempat: kerusakan kebanyakan dari kejahilan di ayat pertama yang saya maksud mudah terpengaruh hasad dan mudah terpengaruh untuk cinta dunia.
Kelima: adalah mereka pertama yang diberi nikmat dan mereka pertama yang dimurkai dan tersesat.
Keenam: penjelasan kedermawanan dan pujian untuk mereka yang diberi nikmat.
Ketujuh: penjelasan kekuatan dan kemuliaan pada penyebutan mereka yang dimurkai dan tersesat.
Kedelapan: doa al-Fatihah serta ucapannya untuk tidak mengabulkan doa orang yang lalai.
Kesembilan: penjelasan “Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” berdasarkan dalil ijma’.
Kesepuluh: penjelasan banyaknya orang-orang yang celaka dan kesemuanya sama.
Kesebelas: penjelasan tawakal.
Keduabelas: penjelasan bahaya kemusyrikan.
Ketigabelas: penjelasan bahaya bid’ah.
Keempatbelas: jika setiap orang mempelajari makna surat al-Fatihah maka dia akan paham. Setiap ayat memiliki penjelasan tersendiri. Wallahu a’lam
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam

Tuhan pemilik hari penghakiman

Kepada-Mu lah kami menyembah dan kepada-Mu lah kami memohon pertolongan

Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat

Keduanya sama-sama bermakna mengetahui, tetapi makna aliim lebih bermakna “sangat mengetahui”

Keduanya dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan pujian, tetapi dari sisi bahasa arab memiliki perbedaan sebagaimana dijelaskan.

Keduanya sama-sama berarti pujian dengan perbedaan khusus dari sisi bahasa arab

Allah, Tuhan semesta alam

sembahan

Yang diibadahi, disembah

مالك يوم الدين

ملك يوم الدين

Lihat Kasyfu Syubhat karangan penulis

Abdu Ali

Abdu Nabi

Abdu Zubair

مالك يوم الدين

ملك يوم الدين

bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat

ANTISIPASI TUMBUHNYA GENERASI TAK SHALAT

Anak-anak sampai umur tujuh tahun biasanya lbh terpengaruh oleh kebiasaan dan didikan orang tuanya. Namun setelah mulai masuk sekolah ia akan terbina oleh gurunya dan terpengaruh oleh teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan guru-gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik maka insya Allah jiwa anak terbina dgn baik. Sebaliknya kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya sekadarnya dan pengaruh teman-temannya buruk maka si anak terbentuk dalam pola yg kurang baik.
Di saat seperti itu pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tuanya yg ditanamkan kepada si anak selama 7 tahun itu lambat laun terkikis lama-lama bisa habis. Sedang pembinaan dari orang tua belum tentu berlanjut atau setidak-tidaknya tak ada peningkatan. Karena orang tua merasa anaknya sudah disekolahkan pasti telah dibina oleh guru-gurunya di sekolah. Wal hal guru-guru belum tentu membina si anak dgn baik/ intensip. Apalagi kebanyakan pendidikan selama ini kurikulumnya hanya sekadar menyampaikan pelajaran yg sasarannya hanya membekali otak dgn ilmu teori dan itupun sifatnya lbh menjurus kepada materi keduniaan. Sedikit sekali yg menyangkut pembinaan rohani akhlaq jiwa hati keimanan keikhlasan atau akhlaq secara keseluruhan. Sehingga aspek ukhrawi justru terabaikan.
Pincangnya dunia pendidikan itu sendiri sudah menjadi masalah besar lagi berat bagi tiap orangtua Muslim. Masih pula pengaruh dari teman-teman si anak di sekolah yg belum tentu baik. Ditambah lagi kesibukan-kesibukan orang tua hingga tak instensip dalam mengontrol si anak. Belum lagi pengaruh-pengaruh yg kurang baik dari tayangan-tayangan televisi bacaan-bacaan yg merusak moral dan aqidah. Anak yg belum dibina fitrah Islamnya dgn baik itu sudah langsung menghadapi aneka pengaruh negatif yg tidak mendukung fitrahnya alias akan membredel fitrahnya.
Secara Islami anak-anak wajib dibina fitrahnya agar menjadi Muslim yg shalih. Maka ketika anak umur 7 tahun orang tuanya disuruh oleh Nabi ` utk memerintah anak-anaknya shalat. Nabi ` bersabda “Perintahkanlah anak itu shalat ketika ia telah sampai tujuh tahun. Dan jika telah sampai sepuluh tahun maka pukullah dia” . .
Dalam Hadits lain Rasulullah ` bersabda “Perintahkanlah anak-anakmu sekalian shalat sedang mereka tujuh tahun dan pukullah mereka ketika sepuluh tahun dan pisahkanlah mereka tempat tidurnya” . dan Abu Daud .
Al-’Alqami dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi dalam syarah Al-Jami’ush Shaghir berkata “Hen-daklah mengajarkan mereka hal-hal yg diperlukan mengenai shalat di antaranya tentang syarat-syarat dan rukun shalat. Dan memerintahkan mereka utk mengerjakan shalat setelah belajar.” Dia katakan juga bahwa “Diperintah-kannya memukul itu hanyalah terhadap yg telah berumur sepuluh tahun krn saat itu ia telah mampu menahan derita pukulan pada umumnya. Dan yg dimaksud dgn memukul itu pukulan yg tidak mem-bahayakan dan hendaknya menghindari wajah dalam memukul.
Kapan Anak Diajari Shalat? Tidak boleh tidak anak-anak mesti diajari cara-cara shalat sebelum diperintah menger-jakannya. Kalau tidak bagaimana kita menyuruh utk mengerjakan sesuatu yg ia tidak tahu. Ibnu Abid Dunya v berkata “Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al-Ja’d telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-Hajjaj dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar ia berkata bahwa “Dulu ia mengajar anak utk shalat ketika anak itu tahu kanan dari kirinya.” .
Jundub bin Abi Tsabit berkata “Dulu mereka mengajari anak-anak shalat ketika mereka menghitung 20.” . Pendidikan orang tua yg mengenalkan pada anaknya cara-cara shalat lalu mempraktekkannya pada umur tujuh tahun itu semestinya berlanjut. Hingga anak-anak itu terbiasa menjalankan shalat.
Pada umur tujuh tahun anak-anak mulai masuk sekolah dia mendapatkan pelajaran dan kebiasaan dari guru-gurunya serta pengaruh dari teman-temannya. Didikan orang tua selama 7 tahun itu akan sinkron sejalan dgn pendidikan di sekolah bila sekolah mengajarkan shalat dan mempraktekannya berjama’ah. Namun sayang sekali sangat sedikit sekolahan yg demikian. Sebab anak-anak kelas satu dan dua biasanya waktu belajarnya hanya sampai pukul 10 atau 11 siang. Tidak ada praktek shalat berjama’ah. Bahkan selama bersekolah di SD 6 tahun rata-rata mereka tidak digerakkan utk menyelenggarakan shalat berjama’ah. Kebanyakan sekolah Dasar tidak ada mushollanya apalagi masjid. Bahkan tempat wudhu’ pun rata-rata tiada. Sehingga didikan shalat dari orang tua itu seakan hanya praktek informal di keluarga menurut perasaan anak-anak. Sedang didikan yg dirasa “wajib” diikuti secara disiplin hanyalah yg produk atau perintah dari sekolahan dari guru. Hingga anak-anak merasa takut kalau tidak mengerjakan PR yg diwajibkan gurunya namun tidak ada rasa takut ketika meninggalkan shalat. Karena ketika tidak mengerjakan PR si anak langsung mendapatkan teguran hukuman bahkan pengurangan nilai dari gurunya. Sedang meninggalkan shalat tidak ditanya apa-apa oleh gurunya. Rata-rata anak tumbuh dalam perasaan dan suasana seperti itu. Itupun kalau orang tuanya mendidik shalat pada anak-anaknya. Bisa kita bayangkan lebih-lebih lagi kalau orang tuanya tidak mendidik dan tak mencontohkan shalat kepada anak-anaknya. Padahal generasi yg orang-orang tua mereka rajin shalat pun lama-lama keturunannya meninggalkan shalat dan bahkan mengikuti syahwat. Allah I telah memper-ingatkan kasus itu “Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka maka mereka bersimpuh dgn bersujud dan menangis. Maka datanglah sesudah mereka pengganti yg menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yg bertaubat beriman dan beramal shaleh maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya sedikitpun.” .
Faktor tumbuhnya generasi jelek Faktor-faktor tumbuhnya generasi yg jelek di antaranya telah tertanam di dalam jiwa anak-anak sejak umur tujuh tahun berupa perasaan bahwa shalat itu hanyalah perintah informal tidak dikerjakan toh tidak ada hukuman . Kalau para orang tua dan wali konsekuen maka mereka memperhatikan betul shalat-tidaknya anak-anaknya. Hanya saja rata-rata orang tua kurang memahami perasaan anak yg di dalam jiwanya telah tertanam suatu sikap bahwa shalat itu hanyalah perintah informal keluarga tidak sewajib perintah guru sekolah seperti keharusan mengerjakan PR. Karena tidak memahami sikap dan jiwa anak seringkali orang tua melengahkan bahkan “memaafkan” alias membiarkan anak-anaknya meninggalkan atau melalaikan shalat. Dengan anggapan toh mereka masih anak-anak. Padahal dalam jiwa anak itu sudah tumbuh rasa dan sikap “meremehkan” kewajiban shalat akibat didikan guru sekolah yg rata-rata tidak menghiraukan shalat tidaknya anak-anak murid.
Masalah ini serius tidak bisa dianggap sepele. Hampir tiap anak kini merasakan hal itu. Sedang orang tuanya pun memaafkan dgn longgar tanpa merasa bersalah. Sehingga makin kentallah perasaan si anak bahwa shalat itu hanya urusan kecil tidak ada sangsi tidak ada hukuman tidak ada resiko bagi yg melalaikannya bahkan meninggalkannya. Apalagi kalau si anak melihat ayahnya atau ibunya atau pamannya bibinya dan tetangganya tidak shalat maka perasaan yg meremehkan shalat yg ada pada jiwa si anak itu akan lbh kental lagi.
Anak-anak yg terbebas dari perasaan buruk seperti itu sedikit sekali. Hanyalah anak-anak yg dididik oleh orang tuanya dalam lingkungan Islami yg teguh disekolahkan/ dipesantrenkan di pendidikan yg mendisiplinkan penegakan shalat berjama’ah.
Jalan keluar Setelah kita ketahui betapa seriusnya masalah jiwa anak yg meremehkan kewajiban shalat maka penanggulangannya adl diadakan kondisi dan situasi bagaimana agar anak-anak tumbuh dgn sikap jiwa yg sadar bahwa shalat itu merupakan kewajiban tiap Muslim bahkan pembeda antara mukminin dan kafirin. Orang tua mengikuti perintah Nabi ` menyuruh anak-anaknya shalat sejak 7 tahun dgn memberikan kesadaran bahwa perintah itu nilainya justru lbh wajib dibanding sakadar mengerjakan PR tanpa mengajari utk melengahkan PR.
Para penyelenggara pendidikan hendaknya membimbing anak-anak sejak SD kelas satu utk shalat dan diselenggarakan shalat berjama’ah. Anak kelas satu dan dua yg kini biasa dipulangkan pukul 10-11 hendaknya dialihkan waktunya sampai anak-anak digerakkan utk shalat berjama’ah dhuhur di masjid atau mushalla terdekat. Syukur-syukur sekolahan itu sendiri memiliki tempat utk shalat berjama’ah.
Apabila masalah ini tidak dipecahkan bersama-sama antara pihak orang tua dan sekolah maka sulit bagi ummat Islam utk menurunkan generasi yg taat shalat. Dan itu merupakan ancaman yg benar-benar sudah menghadang di depan mata kita. Tinggal bagaimana tekad kita utk memecahkannya demi mengamalkan perintah Rasulullah `. .
Rujukan Tarbiyatul Athfal fil Hadits as-Syarif Khalid Ahmad Al-Syantut Mathabiur Rasyid Al-Madinah Al-Munawwarah 1417H./ 1996M.

Sedekah yang Paling Utama

Sedekah yg Paling Utama
Penulis Al Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah
Sakinah Mengayuh Biduk 17 - Oktober - 2004
Kata orang tua kita hidup berkeluarga adl kehidupan orang dewasa. Perkataan seperti ini memang sesuai dgn kenyataan yg ada krn orang yg menjalani hidup berkeluarga harus siap bersikap dewasa dlm menghadapi liku-liku hidup berumah tangga.
Salah satu sikap kedewasaan dari seseorang adl bila ia tdk semata menuntut agar semua hak dipenuhi tanpa menyeimbangkan dgn pemenuhan kewajiban dan tanggung jawabnya. Sudah seharus orang yg berumah tangga mengerti apa yg menjadi kewajiban terhadap pasangan dan memahami tanggung jawab kemudian berupaya semampunya memenuhi dan melaksanakan kewajiban tersebut.
Salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adl memberi nafkah kepada istri dan anak-anak sesuai kemampuan. Kewajiban ini selain ditunjukkan dlm Al Qur’an dan As-Sunnah juga dgn ijma’ .
Sengaja kita angkat permasalahan ini krn ada di antara suami yg tdk tahu atau pura-pura tdk tahu dgn kewajiban yg satu ini sehingga ia berlepas tangan dari memberi nafkah kepada keluarganya. Satu contoh kasus seorang ibu dari tiga anak mengeluhkan suami yg enggan bekerja utk menafkahi keluarganya. Kalaupun ia bekerja mk hasil semata utk diri sendiri utk makan enak dan membeli kebutuhannya. Sementara utk makan sehari-hari anak dan istri ditanggung oleh sang istri yg terpaksa berjualan makanan ringan utk menghidupi diri dan anak-anaknya. Sesekali si suami mau mengeluarkan uang dari saku bila istri telah marah-marah dan menuntut tanggung jawabnya.
Lain lagi kisah seorang ibu setengah baya yg telah memiliki beberapa orang cucu. Setelah berhenti dari pekerjaan sang suami hanya tinggal di rumah tdk mau mencari nafkah utk keluarganya. Akhir tanggung jawab memberi nafkah pun beralih kepada sang istri sementara suami bersikap masa bodoh.
Dua kasus yg kami sebutkan di atas benar-benar terjadi dan mungkin banyak pula kejadian yg sejenis baik itu di kalangan orang yg kelihatan mengerti agama terlebih lagi di kalangan orang awam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyebutkan kewajiban suami ini:
وَ عَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dgn cara yg ma’ruf.”
Ketika Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu berta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apa hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Beliau menjawab:
}
“Engkau beri makan istrimu bila engkau makan dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajah jangan engkau jelekkan1 dan jangan engkau boikot kecuali di dlm rumah.”
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajib suami memberi makan kepada istri dgn apa yg ia makan dan memberi pakaian kepada istri dgn apa yg ia pakai tdk boleh memukul dan tdk pula menjelekkannya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah beliau memberi peringatan dan nasehat. Kemudian beliau berkata:
}
“Ketahuilah berpesanlah tentang kebaikan terhadap para wanita 2 krn mereka hanyalah tawanan di sisi kalian kalian tdk menguasai dari mereka sedikitpun kecuali hanya itu3 terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yg nyata4. mk bila mereka melakukan hal itu boikotlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dgn pukulan yg tdk meninggalkan bekas. Namun bila mereka menaati kalian tdk ada jalan bagi kalian utk menyakiti mereka. Ketahuilah kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adl mereka tdk boleh membiarkan seorang yg kalian benci utk menginjak permadani kalian dan mereka tdk boleh mengijinkan orang yg kalian benci utk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adl kalian berbuat baik terhadap mereka dlm hal pakaian dan makanan mereka.”
Hendak para suami mengetahui bahwa nafkah yg ia berikan kepada keluarga tidaklah bernilai sia-sia di hadapan Allah. Bahkan nafkah itu terhitung sebagai amalan sedekah sebagaimana hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
}
“Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarga dan dia mengharapkan pahala dengan mk nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya.”
Sampaipun satu suapan yg diberikan seorang suami kepada istri teranggap sebagai amalan sedekah sang suami. Demikian disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat beliau Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu:
}
“Dan apa pun yg engkau nafkahkan mk itu teranggap sebagai sedekah bagimu sampaipun suapan yg engkau berikan ke mulut istrimu.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
}
“Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yg dengan engkau mengharap wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengan sampaipun satu suapan yg engkau berikan ke mulut istrimu.”
Al-Muhallab berkata: “Nafkah utk keluarga hukum wajib dgn ijma’ . Adapun Penetap syariat menamakan dgn sedekah hanyalah dikarenakan kekhawatiran ada sangkaan bahwa mereka tdk akan diberi pahala atas kewajiban yg mereka tunaikan. Mereka telah mengetahui pahala sedekah mk Penetap syariat mengenalkan kepada mereka bahwa nafkah/infak yg mereka keluarkan adl sedekah mereka sehingga mereka tdk mengeluarkan sedekah itu kepada selain keluarga kecuali setelah mereka mencukupi keluarga mereka. Dan penamaan infak ini dgn sedekah adl dlm rangka mendorong mereka agar mendahulukan sedekah yg wajib daripada sedekah yg sunnah.”
Namun tentu nafkah itu barulah bernilai sedekah bila dibarengi dgn niat krn Allah sebagaimana ditunjukkan dlm hadits Sa’ad di atas.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiallahu ‘anhu: “Hadits ini menerangkan bahwa yg dimaukan dgn sedekah dan nafkah secara mutlak dlm hadits-hadits yg ada adl bila orang yg mengeluarkan itu ihtisab makna ia menginginkan wajah Allah dgn nafkah tersebut. Sehingga bila seseorang memberikan nafkah dlm keadaan lupa atau kacau pikiran tidaklah ia mendapatkan nilai sedekah seperti yg dinyatakan dlm hadits ini namun yg masuk dlm hadits ini hanyalah bila seseorang itu muhtasib ia ingat kewajiban utk memberikan infak kepada istri anak-anak budak dan orang2 yg wajib ia nafkahi selain mereka…”
Beliau juga berkata ketika mensyarah hadits Sa’ad: “Hadits ini menunjukkan disenangi memberi infak dlm berbagai perkara kebaikan dan menunjukkan bahwa amalan itu tergantung niat sehingga seseorang itu hanyalah diberi pahala atas amal dgn niatnya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa memberi infak kepada keluarga akan diberi pahala bila mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana pula dlm hadits ini ditunjukkan bahwa perkara mubah bila diniatkan utk mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadi amalan ketaatan dan diberi pahala karenanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan tentang hal ini dgn sabda beliau: “Sampaipun satu suapan yg engkau berikan ke mulut istrimu” sementara istri termasuk bagian dunia yg paling khusus bagi seorang laki2 tempat pelampiasan syahwat dan tempat kelezatan yg mubah. Biasa menyuapi istri hanya terjadi ketika sedang bercengkerama berlemah lembut dan bercumbu dgn sesuatu yg mubah. Bila dipikir keadaan seperti ini tentu sangat jauh dari ketaatan dan perkara-perkara akhirat. Namun bersamaan dgn itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bila si suami memaksudkan suapan tersebut dlm rangka mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala mk ia akan memperoleh pahala dgn perbuatan tersebut.
Tentu perbuatan yg selain ini lbh pantas utk memperoleh pahala bila ditujukan krn wajah Allah . Terkandung dlm hal ini apabila manusia melakukan sesuatu yg asal mubah dgn mengharap wajah Allah mk ia akan diberi pahala seperti bila seseorang makan dgn niat agar kuat dlm melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidur utk istirahat agar bisa bangun utk melaksanakan ibadah dlm keadaan segar lagi bersemangat bercumbu dgn istri dan budak wanita yg dimiliki dgn tujuan menjaga diri pandangan dan selain dari perkara yg haram juga utk tujuan memenuhi hak istri dan utk memperoleh anak yg shalih. Inilah makna dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Wallahu a’lam.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah berkata: “Dari hadits ini diambil faidah bahwasa satu amalan tdk akan diperoleh pahala karena kecuali bila amalan itu bergandengan dgn niat.”
Kemudian beliau menukilkan ucapan Al-Imam Ath-Thabari secara ringkas: “Wajib memberi nafkah kepada keluarga. Orang yg melakukan akan diberi pahala dgn tujuannya. Dan tidaklah saling bertentangan antara keberadaan nafkah ini sebagai sesuatu yg wajib dgn penamaan sebagai sedekah bahkan nafkah ini lbh utama daripada sedekah yg sunnah.”
Nafkah yg diberikan seorang suami kepada keluarga merupakan nafkah yg paling utama dan paling besar pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tsauban radhiallahu ‘anhu menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
}
“Dinar yg paling utama yg dibelanjakan oleh seseorang adl dinar yg dinafkahkan utk keluarga dan dinar yg dibelanjakan oleh seseorang utk tunggangan dlm jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dinar yg diinfakkan oleh seseorang utk teman-teman di jalan Allah.”
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
}
“Satu dinar yg engkau belanjakan di jalan Allah satu dinar yg engkau keluarkan utk membebaskan budak satu dinar yg engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yg engkau nafkahkan utk keluargamu mk yg paling besar pahala dari semua nafkah tersebut adl satu dinar yg engkau nafkahkan utk keluargamu.”
Tentu nafkah ini dikeluarkan oleh seorang suami sesuai dgn kadar kemampuan krn Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Orang yg mampu hendak memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yg disempitkan rizki hendaklah memberi nafkah dari harta yg diberikan Allah kepadanya. Allah tdk memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yg Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan yg ada.”
Tidak ada penetapan besar nafkah yg wajib dikeluarkan oleh suami namun yg jadi patokan adl kecukupan nafkah tersebut bagi yg dinafkahi demikian pendapat jumhur ulama dari perselisihan pendapat yg ada.
Para suami hendak mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji utk mengganti nafkah yg telah diberikan oleh seorang hamba dan tentu ganti dari Allah lbh baik dan lbh mulia.
“Dan apa saja yg kalian nafkahkan mk Allah akan mengganti dan Dialah Pemberi rizki yg sebaik-baiknya.”
Seorang suami yg tdk memberikan nafkah kepada keluarga sementara ia punya kemampuan berarti ia telah melalaikan satu kewajiban yg Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan di pundak dan cukuplah bagi utk mendapatkan dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal ini dlm sabdanya:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوَّتَهُ
“Cukuplah bagi seseorang utk mendapatkan dosa bila ia menahan makanan dari orang yg berhak mendapatkan makanan darinya.”6
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan dalil tentang wajib seseorang memberi nafkah kepada orang yg di bawah tanggungannya. Karena tidaklah seseorang dihukumi berdosa kecuali krn ia telah meninggalkan kewajibannya. Disampaikan di sini bahwa dosa tersebut cukup utk membinasakan diri tanpa harus menyertakan dosa yg selainnya.”
Bila ternyata seorang suami tdk memberikan nafkah kepada istri dgn pemberian yg mencukupi atau malah tdk memberikan sama sekali diperkenankan bagi seorang istri utk mengambil dari harta suami walau tanpa sepengetahuannya. Hal ini pernah terjadi pada diri Hindun bintu ‘Utbah radhiallahu ‘anha istri Abu Sufyan dan ibu dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhuma. Ia mengadukan keadaan diri kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَ لَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَ وَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَ هُوَ لاَ يَعْلَم ُ7 .
فَقَالَ : }
“Abu Sufyan itu seorang lelaki yg bakhil.8 Ia tdk memberi nafkah yg cukup padaku dan anakku kecuali bila aku mengambil dari harta dlm keadaan ia tdk tahu.”9 Rasulullah menjawab: “Ambillah untukmu dan anakmu dgn apa yg mencukupimu dgn cara yg ma’ruf.”
Namun tentu seorang istri hanya dibolehkan mengambil harta tersebut dgn cara yg ma’ruf yaitu kadar harta yg diambil tersebut diketahui secara kebiasaan telah mencukupi.
Adapun bila suami telah memberikan nafkah dgn cukup sesuai kemampuan tdk boleh seorang istri mengambil harta suami tanpa ijinnya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Maksud kata Abu Dawud dgn mengatakan: “Semoga Allah menjelekkanmu.” . Demikian pula mengucapkan ucapan yg jelek mencerca mencela dan semisalnya.
2 Berkata Al-Qadhi: “Al-Istisha adl menerima wasiat mk makna ucapan Nabi ini adalah: Aku wasiatkan kalian utk berbuat kebaikan terhadap para istri mk terimalah wasiatku ini.”
3 Yakni selain istimta’ menjaga diri utk suami menjaga harta suami dan anak serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya.
4 Seperti nusyuz buruk pergaulan dgn suami dan tdk menjaga kehormatan diri.
5 Yang dimaksud dgn yahtasibuha adl bertujuan utk mencari pahala.
6 Orang yg ia beri makan adl mereka yg wajib utk ia berikan infak/nafkah yaitu istri anak-anak budak yg diimiliki.
7 dlm lafadz lain Hindun berkata:
“Apakah aku berdosa bila aku mengambil dari harta dgn sembunyi-sembunyi?”
8 Al-Qurthubi menyatakan: “Hindun tidaklah memaksudkan bahwa sifat Abu Sufyan itu bakhil dlm seluruh keadaannya. Namun ia hanyalah mensifatkan keadaan diri bersama Abu Sufyan bahwa Abu Sufyan menyempitkan pemberian nafkah untuk dan utk anak-anaknya. Dan ini tidaklah berkonsekuensi bahwa Abu Sufyan itu memiliki sifat bakhil secara mutlak krn kebanyakan para tokoh/pemimpin melakukan hal tersebut terhadap istri dan ia mementingkan/lebih mendahulukan orang lain dlm rangka mengambil hati mereka.”
9 Hadits ini merupakan satu dalil tentang boleh seseorang menyebut perkara orang lain yg tdk ia sukai bila dlm rangka meminta fatwa kepada seorang alim atau mengadukan perkara kepada orang yg berwenang dan semisalnya. Ini salah satu bentuk ghibah yg diperbolehkan.
Sumber: www.asysyariah.com

ISTIQOMAH

ISTIQOMAH

“Sesungguhnya orang-orang yg menyatakan ” Tuhan kami adl Allah ” kemudian mereka istiqomah maka para malaikat akan turun kepada mereka ” Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dgn syurga yg telah dijanjikan Allah kepadamu”
Penjelasan Istiqomah menurut etimotogi bahasa adl sedang-sedang atau tengah-tengah. Menurut terminologi syara` adl menetapi jalan yg benar dgn menjalankan perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya baik dhohir maupun bathin . Beberapa sahabat Nabi SAW pernah ditanya tentang istiqomah dan jawaban mereka berbeda-beda.
Abu Bakar Ash-Shidiq menyatakan istiqomah adl Anda tidak menyekutukan Allah SWT sama sekali. Umar bin Khattab menyatakan istiqomah adl engkau menjalankan perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya dan tidak bersikap seperti musang.
Ustman bin Affan berpendapat istiqomah itu ya ikhlas. Sedangkan Ali bin Abi Thalib mengatakan istiqomah itu mengerjakan kewajiban-kewajiban. Sementara sebagian para `ulama berkesimpulan bahwa istiqomah itu terbagai kepada tiga hal yaitu ;
    Istiqomah dalam ucapan berarti menjaga lisan sesuai dgn ketentuan syahadat.
    Istiqomah dalam hati berupa kejujuran kemauan dalam kalbu.
    Kejujuran dalam raga berupa menjalankan ibadah dan ketaatan. Iman manusia itu terdapat gradasi naik-turun. Manakala iman seseorang naik maka amal sholehnya akan banyak. Tapi sebaliknya bila iman sedang turun maka timbul rasa malas utk beramal shaleh. Untuk itu kita perlu istiqomah agar menjaga iman ini selalu stabil dalam amal sholeh. Hal ini membutuhkan beberapa perangkat ;
      Kita perlu utk menjaga kesholehan kita baik dhahir maupun bathin krn kita hidup utk diuji dan mati sewaktu-waktu akan menghampiri kita sehingga kita perlu persiapan selalu.
      Kita harus menetapi keyakinan yg benar berdasarkan ajaran Rasulullah SAW dan salaf sholeh yg disebut dgn ahlissunnah wal jamaah.
      Kita perlu selalu bersikap moderat sesuai dgn ajaran Islam tidak ekstrim dan tidak pula kendor.
      Kita harus berpakaian dgn akhlak mulia yg diajartkan oleh Al Qur`an dan dicontohkan Rasulullah SAW .
      Kita perlu pendamping atau kawan yg sholeh agar selalu mengingatkan kita kalau pada suatu saat kita teledor. Semoga kita selalu istiqomah dijalan Allah SWT dgn mempraktekkan Islam dalam kehidupan kita. Wallahu `Alam. Oleh Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia sumber file al_islam.chm