Sedekah yg Paling Utama
Penulis Al Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al AtsariyyahSakinah Mengayuh Biduk 17 - Oktober - 2004
Kata orang tua kita hidup berkeluarga adl kehidupan orang dewasa. Perkataan seperti ini memang sesuai dgn kenyataan yg ada krn orang yg menjalani hidup berkeluarga harus siap bersikap dewasa dlm menghadapi liku-liku hidup berumah tangga.
Salah satu sikap kedewasaan dari seseorang adl bila ia tdk semata menuntut agar semua hak dipenuhi tanpa menyeimbangkan dgn pemenuhan kewajiban dan tanggung jawabnya. Sudah seharus orang yg berumah tangga mengerti apa yg menjadi kewajiban terhadap pasangan dan memahami tanggung jawab kemudian berupaya semampunya memenuhi dan melaksanakan kewajiban tersebut.
Salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adl memberi nafkah kepada istri dan anak-anak sesuai kemampuan. Kewajiban ini selain ditunjukkan dlm Al Qur’an dan As-Sunnah juga dgn ijma’ .
Sengaja kita angkat permasalahan ini krn ada di antara suami yg tdk tahu atau pura-pura tdk tahu dgn kewajiban yg satu ini sehingga ia berlepas tangan dari memberi nafkah kepada keluarganya. Satu contoh kasus seorang ibu dari tiga anak mengeluhkan suami yg enggan bekerja utk menafkahi keluarganya. Kalaupun ia bekerja mk hasil semata utk diri sendiri utk makan enak dan membeli kebutuhannya. Sementara utk makan sehari-hari anak dan istri ditanggung oleh sang istri yg terpaksa berjualan makanan ringan utk menghidupi diri dan anak-anaknya. Sesekali si suami mau mengeluarkan uang dari saku bila istri telah marah-marah dan menuntut tanggung jawabnya.
Lain lagi kisah seorang ibu setengah baya yg telah memiliki beberapa orang cucu. Setelah berhenti dari pekerjaan sang suami hanya tinggal di rumah tdk mau mencari nafkah utk keluarganya. Akhir tanggung jawab memberi nafkah pun beralih kepada sang istri sementara suami bersikap masa bodoh.
Dua kasus yg kami sebutkan di atas benar-benar terjadi dan mungkin banyak pula kejadian yg sejenis baik itu di kalangan orang yg kelihatan mengerti agama terlebih lagi di kalangan orang awam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyebutkan kewajiban suami ini:
وَ عَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dgn cara yg ma’ruf.”
Ketika Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu berta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apa hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Beliau menjawab:
}
“Engkau beri makan istrimu bila engkau makan dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajah jangan engkau jelekkan1 dan jangan engkau boikot kecuali di dlm rumah.”
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajib suami memberi makan kepada istri dgn apa yg ia makan dan memberi pakaian kepada istri dgn apa yg ia pakai tdk boleh memukul dan tdk pula menjelekkannya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah beliau memberi peringatan dan nasehat. Kemudian beliau berkata:
}
“Ketahuilah berpesanlah tentang kebaikan terhadap para wanita 2 krn mereka hanyalah tawanan di sisi kalian kalian tdk menguasai dari mereka sedikitpun kecuali hanya itu3 terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yg nyata4. mk bila mereka melakukan hal itu boikotlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dgn pukulan yg tdk meninggalkan bekas. Namun bila mereka menaati kalian tdk ada jalan bagi kalian utk menyakiti mereka. Ketahuilah kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adl mereka tdk boleh membiarkan seorang yg kalian benci utk menginjak permadani kalian dan mereka tdk boleh mengijinkan orang yg kalian benci utk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adl kalian berbuat baik terhadap mereka dlm hal pakaian dan makanan mereka.”
Hendak para suami mengetahui bahwa nafkah yg ia berikan kepada keluarga tidaklah bernilai sia-sia di hadapan Allah. Bahkan nafkah itu terhitung sebagai amalan sedekah sebagaimana hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
}
“Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarga dan dia mengharapkan pahala dengan mk nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya.”
Sampaipun satu suapan yg diberikan seorang suami kepada istri teranggap sebagai amalan sedekah sang suami. Demikian disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat beliau Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu:
}
“Dan apa pun yg engkau nafkahkan mk itu teranggap sebagai sedekah bagimu sampaipun suapan yg engkau berikan ke mulut istrimu.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
}
“Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yg dengan engkau mengharap wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengan sampaipun satu suapan yg engkau berikan ke mulut istrimu.”
Al-Muhallab berkata: “Nafkah utk keluarga hukum wajib dgn ijma’ . Adapun Penetap syariat menamakan dgn sedekah hanyalah dikarenakan kekhawatiran ada sangkaan bahwa mereka tdk akan diberi pahala atas kewajiban yg mereka tunaikan. Mereka telah mengetahui pahala sedekah mk Penetap syariat mengenalkan kepada mereka bahwa nafkah/infak yg mereka keluarkan adl sedekah mereka sehingga mereka tdk mengeluarkan sedekah itu kepada selain keluarga kecuali setelah mereka mencukupi keluarga mereka. Dan penamaan infak ini dgn sedekah adl dlm rangka mendorong mereka agar mendahulukan sedekah yg wajib daripada sedekah yg sunnah.”
Namun tentu nafkah itu barulah bernilai sedekah bila dibarengi dgn niat krn Allah sebagaimana ditunjukkan dlm hadits Sa’ad di atas.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiallahu ‘anhu: “Hadits ini menerangkan bahwa yg dimaukan dgn sedekah dan nafkah secara mutlak dlm hadits-hadits yg ada adl bila orang yg mengeluarkan itu ihtisab makna ia menginginkan wajah Allah dgn nafkah tersebut. Sehingga bila seseorang memberikan nafkah dlm keadaan lupa atau kacau pikiran tidaklah ia mendapatkan nilai sedekah seperti yg dinyatakan dlm hadits ini namun yg masuk dlm hadits ini hanyalah bila seseorang itu muhtasib ia ingat kewajiban utk memberikan infak kepada istri anak-anak budak dan orang2 yg wajib ia nafkahi selain mereka…”
Beliau juga berkata ketika mensyarah hadits Sa’ad: “Hadits ini menunjukkan disenangi memberi infak dlm berbagai perkara kebaikan dan menunjukkan bahwa amalan itu tergantung niat sehingga seseorang itu hanyalah diberi pahala atas amal dgn niatnya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa memberi infak kepada keluarga akan diberi pahala bila mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana pula dlm hadits ini ditunjukkan bahwa perkara mubah bila diniatkan utk mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadi amalan ketaatan dan diberi pahala karenanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan tentang hal ini dgn sabda beliau: “Sampaipun satu suapan yg engkau berikan ke mulut istrimu” sementara istri termasuk bagian dunia yg paling khusus bagi seorang laki2 tempat pelampiasan syahwat dan tempat kelezatan yg mubah. Biasa menyuapi istri hanya terjadi ketika sedang bercengkerama berlemah lembut dan bercumbu dgn sesuatu yg mubah. Bila dipikir keadaan seperti ini tentu sangat jauh dari ketaatan dan perkara-perkara akhirat. Namun bersamaan dgn itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bila si suami memaksudkan suapan tersebut dlm rangka mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala mk ia akan memperoleh pahala dgn perbuatan tersebut.
Tentu perbuatan yg selain ini lbh pantas utk memperoleh pahala bila ditujukan krn wajah Allah . Terkandung dlm hal ini apabila manusia melakukan sesuatu yg asal mubah dgn mengharap wajah Allah mk ia akan diberi pahala seperti bila seseorang makan dgn niat agar kuat dlm melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidur utk istirahat agar bisa bangun utk melaksanakan ibadah dlm keadaan segar lagi bersemangat bercumbu dgn istri dan budak wanita yg dimiliki dgn tujuan menjaga diri pandangan dan selain dari perkara yg haram juga utk tujuan memenuhi hak istri dan utk memperoleh anak yg shalih. Inilah makna dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Wallahu a’lam.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah berkata: “Dari hadits ini diambil faidah bahwasa satu amalan tdk akan diperoleh pahala karena kecuali bila amalan itu bergandengan dgn niat.”
Kemudian beliau menukilkan ucapan Al-Imam Ath-Thabari secara ringkas: “Wajib memberi nafkah kepada keluarga. Orang yg melakukan akan diberi pahala dgn tujuannya. Dan tidaklah saling bertentangan antara keberadaan nafkah ini sebagai sesuatu yg wajib dgn penamaan sebagai sedekah bahkan nafkah ini lbh utama daripada sedekah yg sunnah.”
Nafkah yg diberikan seorang suami kepada keluarga merupakan nafkah yg paling utama dan paling besar pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tsauban radhiallahu ‘anhu menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
}
“Dinar yg paling utama yg dibelanjakan oleh seseorang adl dinar yg dinafkahkan utk keluarga dan dinar yg dibelanjakan oleh seseorang utk tunggangan dlm jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dinar yg diinfakkan oleh seseorang utk teman-teman di jalan Allah.”
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
}
“Satu dinar yg engkau belanjakan di jalan Allah satu dinar yg engkau keluarkan utk membebaskan budak satu dinar yg engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yg engkau nafkahkan utk keluargamu mk yg paling besar pahala dari semua nafkah tersebut adl satu dinar yg engkau nafkahkan utk keluargamu.”
Tentu nafkah ini dikeluarkan oleh seorang suami sesuai dgn kadar kemampuan krn Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Orang yg mampu hendak memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yg disempitkan rizki hendaklah memberi nafkah dari harta yg diberikan Allah kepadanya. Allah tdk memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yg Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan yg ada.”
Tidak ada penetapan besar nafkah yg wajib dikeluarkan oleh suami namun yg jadi patokan adl kecukupan nafkah tersebut bagi yg dinafkahi demikian pendapat jumhur ulama dari perselisihan pendapat yg ada.
Para suami hendak mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji utk mengganti nafkah yg telah diberikan oleh seorang hamba dan tentu ganti dari Allah lbh baik dan lbh mulia.
“Dan apa saja yg kalian nafkahkan mk Allah akan mengganti dan Dialah Pemberi rizki yg sebaik-baiknya.”
Seorang suami yg tdk memberikan nafkah kepada keluarga sementara ia punya kemampuan berarti ia telah melalaikan satu kewajiban yg Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan di pundak dan cukuplah bagi utk mendapatkan dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal ini dlm sabdanya:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوَّتَهُ
“Cukuplah bagi seseorang utk mendapatkan dosa bila ia menahan makanan dari orang yg berhak mendapatkan makanan darinya.”6
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan dalil tentang wajib seseorang memberi nafkah kepada orang yg di bawah tanggungannya. Karena tidaklah seseorang dihukumi berdosa kecuali krn ia telah meninggalkan kewajibannya. Disampaikan di sini bahwa dosa tersebut cukup utk membinasakan diri tanpa harus menyertakan dosa yg selainnya.”
Bila ternyata seorang suami tdk memberikan nafkah kepada istri dgn pemberian yg mencukupi atau malah tdk memberikan sama sekali diperkenankan bagi seorang istri utk mengambil dari harta suami walau tanpa sepengetahuannya. Hal ini pernah terjadi pada diri Hindun bintu ‘Utbah radhiallahu ‘anha istri Abu Sufyan dan ibu dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhuma. Ia mengadukan keadaan diri kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَ لَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَ وَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَ هُوَ لاَ يَعْلَم ُ7 .
فَقَالَ : }
“Abu Sufyan itu seorang lelaki yg bakhil.8 Ia tdk memberi nafkah yg cukup padaku dan anakku kecuali bila aku mengambil dari harta dlm keadaan ia tdk tahu.”9 Rasulullah menjawab: “Ambillah untukmu dan anakmu dgn apa yg mencukupimu dgn cara yg ma’ruf.”
Namun tentu seorang istri hanya dibolehkan mengambil harta tersebut dgn cara yg ma’ruf yaitu kadar harta yg diambil tersebut diketahui secara kebiasaan telah mencukupi.
Adapun bila suami telah memberikan nafkah dgn cukup sesuai kemampuan tdk boleh seorang istri mengambil harta suami tanpa ijinnya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Maksud kata Abu Dawud dgn mengatakan: “Semoga Allah menjelekkanmu.” . Demikian pula mengucapkan ucapan yg jelek mencerca mencela dan semisalnya.
2 Berkata Al-Qadhi: “Al-Istisha adl menerima wasiat mk makna ucapan Nabi ini adalah: Aku wasiatkan kalian utk berbuat kebaikan terhadap para istri mk terimalah wasiatku ini.”
3 Yakni selain istimta’ menjaga diri utk suami menjaga harta suami dan anak serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya.
4 Seperti nusyuz buruk pergaulan dgn suami dan tdk menjaga kehormatan diri.
5 Yang dimaksud dgn yahtasibuha adl bertujuan utk mencari pahala.
6 Orang yg ia beri makan adl mereka yg wajib utk ia berikan infak/nafkah yaitu istri anak-anak budak yg diimiliki.
7 dlm lafadz lain Hindun berkata:
“Apakah aku berdosa bila aku mengambil dari harta dgn sembunyi-sembunyi?”
8 Al-Qurthubi menyatakan: “Hindun tidaklah memaksudkan bahwa sifat Abu Sufyan itu bakhil dlm seluruh keadaannya. Namun ia hanyalah mensifatkan keadaan diri bersama Abu Sufyan bahwa Abu Sufyan menyempitkan pemberian nafkah untuk dan utk anak-anaknya. Dan ini tidaklah berkonsekuensi bahwa Abu Sufyan itu memiliki sifat bakhil secara mutlak krn kebanyakan para tokoh/pemimpin melakukan hal tersebut terhadap istri dan ia mementingkan/lebih mendahulukan orang lain dlm rangka mengambil hati mereka.”
9 Hadits ini merupakan satu dalil tentang boleh seseorang menyebut perkara orang lain yg tdk ia sukai bila dlm rangka meminta fatwa kepada seorang alim atau mengadukan perkara kepada orang yg berwenang dan semisalnya. Ini salah satu bentuk ghibah yg diperbolehkan.
Sumber: www.asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar