Selasa, 23 April 2013

JAUHI SIFAT - SIFAT MUNAFIK

Di awal surat Al-Baqarah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tiga golongan manusia:
1. Kaum mukminin
2. Orang-orang kafir
3. Orang-orang munafik
Allah Subhanahu wa Ta’ala membeberkan kepada kaum mukminin di dalam ayat-ayat tersebut tentang kebusukan hati orang-orang munafik dan permusuhan mereka kepada kaum mukminin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat kerusakan namun mengklaim sebagai orang yang melakukan perbaikan:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ. أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi.” Maka mereka berkata, “Kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ketahuilah, mereka adalah umat yang melakukan kerusakan namun mereka tidak mengetahuinya. (Al-Baqarah: 11-12)
Mereka adalah orang-orang dungu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ ءَامِنُوا كَمَا ءَامَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا ءَامَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.” Mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh (dungu), tetapi mereka tidak tahu. (Al-Baqarah: 13)
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperolok mereka:
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (Al-Baqarah: 15)
Di antara bentuk balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ketika di hari kiamat nanti, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ. يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada meraka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.” Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.” Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu, di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kalian?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah, dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.” (Al-Hadid: 12-14)
Di dalam ayat-ayat lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang munafikin dengan ancaman yang keras. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ
“Tidakkah mereka (orang-orang munafik) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya maka bagi dia neraka jahanam. Dia kekal di dalamnya dan itu adalah kehinaan yang besar.” (At-Taubah: 63)
Di dalam ayat yang lain:
وَعَدَ اللهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا
“Allah mengancam orang-orang munafik yang laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya.” (At-Taubah: 68)
Kelak mereka akan ada di kerak neraka yang terbawah:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa: 145)
Banyak lagi nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keburukan orang-orang munafik dan ancaman bagi mereka. Sehingga seyogianya bagi seorang muslim untuk berhati-hati dari mereka dan juga menjauhi sifat-sifat mereka.

Pengertian nifaq (kemunafikan)

Kemunafikan adalah menyembunyikan kebatilan dan menampakkan kebaikan. Kemunafikan adalah penyakit hati yang berbahaya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al-Baqarah: 10)

Jenis nifaq (kemunafikan)

Ada dua jenis, yakni nifaq akbar (kemunafikan besar) dan nifaq asghar (kemunafikan kecil). Kemunafikan akbar yang disebut juga kemunafikan i’tiqadi (keyakinan) adalah menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman. Kemunafikan ini mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Kemunafikan asghar yang disebut pula kemunafikan amali (amalan) adalah menampakkan lahiriah yang baik dan menyembunyikan kebalikannya. Pokok kemunafikan asghar kembali kepada lima perkara: Sering berdusta ketika berbicara, sering tidak menepati janji, jika berselisih melampaui batas, jika melakukan perjanjian melanggarnya, dan sering khianat jika diberi amanah.
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya, kemunafikan asghar semuanya kembali kepada berbedanya seseorang ketika sedang sendiri dan ketika terlihat (bersama) orang lain, sebagaimana dikatakan oleh Hasan Al-Bashri rahimahullahu.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 747)

Perbedaan kemunafikan kecil dan kemunafikan besar

Di antara perbedaan antara keduanya adalah:
1. Kemunafikan akbar pelakunya keluar dari Islam, adapun kemunafikan asghar tidak mengeluarkan dari Islam.
2. Kemunafikan akbar tidak mungkin bersatu dengan keimanan, adapun kemunafikan asghar mungkin ada pada seorang yang beriman.
3. Kemunafikan akbar pelakunya kekal di neraka, sedangkan kemunafikan asghar pelakunya tidak kekal di neraka. (Lihat Kitabut Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Bahaya kemunafikan asghar

Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati, demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Orang beriman senantiasa khawatir terjatuh ke dalam kemunafikan
Ibnu Mulaikah rahimahullahu berkata: “Aku mendapati tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya.”
Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu sampai bertanya kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, apakah dirinya termasuk yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang munafik.
Sebagian ulama menyatakan: “Tidak ada yang takut dari kemunafikan kecuali mukmin, dan tidak ada yang merasa aman darinya kecuali munafik.” (dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengkhawatirkan atas dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Siapa yang merasa dirinya aman dari kemunafikan?” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Jauhi sifat-sifat munafik

Kami akan sebutkan beberapa sifat kemunafikan amali yang telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kemunafikan amali inilah yang kadang dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin. Padahal kemunafikan amali sangatlah fatal akibatnya jika terus dilakukan seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab rahimahullahu: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati. Demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ؛ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
Tanda orang munafik ada tiga: Jika bicara berdusta, jika diberi amanah berkhianat, dan jika berjanji menyelisihinya.”
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلةٌ مِنْهُنَّ فِيهِ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
Empat perkara, barangsiapa yang ada pada dirinya keempat perkara tersebut maka ia munafik tulen. Jika ada padanya satu di antara perangai tersebut berarti ada pada dirinya satu perangai kemunafikan sampai meninggalkannya: Yaitu seseorang jika bicara berdusta, jika membuat janji tidak menepatinya, jika berselisih melampui batas, dan jika melakukan perjanjian mengkhianatinya.
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa di antara perangai kemunafikan adalah:
1. Berdusta ketika bicara
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Inti kemunafikan yang dibangun di atasnya kemunafikan adalah dusta.
2. Mengingkari janji
3. Mengkhianati amanah
4. Membatalkan perjanjian secara sepihak
Perjanjian yang dimaksud dalam hadits ini ada dua:
1. Perjanjian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk senantiasa beribadah kepada-Nya.
2. Perjanjian dengan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ini mencakup banyak perkara.
Oleh karena itu, seorang mukmin seharusnya senantiasa berusaha memenuhi perjanjiannya, terlebih lagi perjanjiannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23)
Lain halnya dengan orang-orang kafir dan munafik. Mereka adalah orang-orang yang suka membatalkan secara sepihak serta tidak menepati perjanjian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya serta membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لَا يَتَّقُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 56)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللهَ لَئِنْ ءَاتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ. فَلَمَّا ءَاتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ. فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.” Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta. (At-Taubah: 75-77)
Wajib hukumnya memenuhi perjanjian dengan hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ibnu Rajab rahimahullahu menyatakan: “Mengingkari (mengkhianati) perjanjian adalah haram dalam semua perjanjian seorang muslim dengan yang lainnya walaupun dengan seorang kafir mu’ahad. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad tidak akan mencium bau surga padahal wanginya surga tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3166) [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 744]
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu juga menyatakan: “Adapun perjanjian di antara kaum muslimin maka keharusan untuk memenuhinya lebih kuat lagi, dan membatalkannya lebih besar dosanya. Yang paling besar adalah membatalkan perjanjian taat kepada pemimpin muslimin yang (kita) telah berbai’at kepadanya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: …وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ…
Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat nanti, tidak akan disucikan, dan mereka akan mendapatkan azab yang pedih –di antaranya: “Seorang yang membai’at pemimpinnya hanya karena dunia, jika pemimpinnya memberi apa yang dia mau dia penuhi perjanjiannya dan jika tidak maka dia pun tidak menepati perjanjiannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2672, Muslim no. 108)

Berhati-hatilah dari berbagai bentuk kemunafikan

Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Sebagian orang mengira kemunafikan hanyalah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang salah. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemunafikan pada zaman ini lebih dahsyat dari kemunafikan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana (bisa dikatakan demikian)?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan kemunafikan mereka. Adapun sekarang, mereka (berani) menampakkan kemunafikan mereka’.”
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Kemunafikan sekarang ini banyak terjadi pada pergerakan politik, sebagaimana telah dipersaksikan oleh sebagian mereka. Sebagian mereka menyatakan: ‘Aku tidak pernah tahu ada politikus yang tidak berdusta.’ Sebagian bahkan menyatakan: ‘Sesungguhnya politik adalah kemunafikan.’ Sehingga kebanyakan politikus terkena kemunafikan amali dalam partai-partai politik.”
Beliau juga menyatakan: “Di antara tanda kemunafikan amali adalah ber-wala’ (berloyalitas) dengan ahlul bid’ah serta membuat manhaj-manhaj berbahaya dalam rangka melawan dan meruntuhkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Syarh Ushulus Sunnah)
Penutup
Saudaraku sekalian…
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita bersikap keras dan menjauhi orang-orang munafik serta menjadikannya sebagai musuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
Wahai Nabi, jihadilah orang-orang kafir dan munafikin serta bersikap keraslah kepada mereka.” (At-Tahrim: 9)
Dalam ayat yang lain:
هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ
Mereka (orang-orang munafik) adalah musuh maka hati-hatilah dari mereka…” (Al-Munafiqun: 4)
Maka, sepatutnya seorang muslim menjauhkan diri dari amalan dan sifat-sifat musuh mereka, serta menjauhkan diri dari semua perkara yang akan menjatuhkan dirinya ke dalam kemunafikan, seperti politik praktis dan berbagai jenis kebid’ahan. Nas’alullah al-’afwa wal afiyah.
Sumber: http://www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Abu Abdurrahman Mubarak Judul: Jauhilah Sifal-sifat Munafik

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Insyirah/ Alam Nasyrah


Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Insyirah (Kelapangan)
Surah Makkiyyah; Surah ke 94: 8 ayat

“1. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, 2. dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, 3. yang memberatkan punggungmu? 4. dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu, 5. karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, 6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. 7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, 8. dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (al-Insyirah: 1-8)
Firman Allah: a lam nasyrah laka shadraka (“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?”) maksudnya, Kami telah menerangi dadamu, yaitu dengan cahaya Kami. Dan Kami jadikan dadamu lapang, lebar, dan luas. Yang demikian itu seperti firman-Nya: famay yuridillaaHu ay yaHdiyaHu  yasyrah shadraHuu lil islaami (“Barangsiapa yang Allah berkehendak untuk memberi petunjuk kepadanya, maka Dia akan melapangkan dadanya  untuk Islam.” (al-An’am: 125) dan sebagaimana Allah telah melapangkan dada beliau, maka Diapun menjadikan syariat-Nya demikian lapang dan luas, penuh toleransi dan kemudahan, tidak mengandung kesulitan, benban dan kesempitan.
Firman Allah: wawadla’naa ‘angka wizraka (“Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu.” Mempunyai pengertian: liyaghfiralakallaaHu maa taqaddama min dzambika wamaa ta-akhkhara (“Supaya Allah member ampunan  kepadamu akan dosa yang telah engkau perbuat dulu dan yang akan dating.”)(al-Fath: 2)
Alladzii angqadla dzaHraka (“yang memberatkan punggungmu.”)  kala “al-inqaadu” disini berarti suara. Dan lebih dari satu ulama salaf yang mengenai firman-Nya, Alladzii angqadla dzaHraka (“yang memberatkan punggungmu.”) mengatakan: “Yakni bebannya telah memberatkanmu.”
Firman Allah: wa rafa’naa laka dzikraka (“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan [nama]mu.” Mujahid mengatakan, “Aku tidak disebut melainkan disebutkan bersamaku kesaksian bahwa tidak ada ilah  yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Qatadah mengatakan: “Allah meninggikan sebutan beliau di dunia dan di akhirat. Tidak ada seorang khatib, orang yang mengucapkan syahadat, dan juga orang yang mengerjakan shalat, melainkan menyebutkan kesaksian:  asyHadu allaa ilaaHa illaallaaHu wa asyHadu anna muhammadar rasuulullaH (Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak untuk diibadahi  dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Ibnu Katsir menyebutkan sejumlah baik syair Hasan bin Tsabit: “Dipancarkan pada penutup kenabian, dari Allah berupa cahaya yang kemilau lagi disaksikan  Ilah telah menggabungkan nama Nabi  pada Nama-Nya, Dimana pada kumandang kelima mu-adzin menyebutkan syaHadat. Dan diambil nama dari Nama-Nya untuk mengagungkannya. Demikian Pemilik Arsy sangat terpuji, dan inilah Muhammad.
Firman Allah Ta’ala: fa inna ma’al ‘usri yusran, inna ma’al ‘usri yusran (“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”) Allah memberitahukan bahwa bersama kesulitan itu  terdapat kemudahan. Kemudian Dia mempertegas berita tersebut. Ibnu Jarir meriwayatkan dari al-Hasaan, dia berkata: “Nabi saw. Pernah  keluar rumah pada suatu hari dalam keadaan senang dan gembira, dan beliau juga dalam keadaan tertawa seraya bersabda: “Satu kesulitan itu tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu terdapat kemudahan.”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesulitan itu dapat diketahui pada dua keadaan, dimana kalimatnya dalam bentuk mufrad (tunggal). Sedangkan kemudahan (al-yusr) dalam bentuk nakirah (tidak ada ketentuannya) sehingga bilangannya bertambah banyak. Oleh karena itu beliau bersabda: “Satu kesulitan itu tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan.”
Ibnu Duraid berkata: “Abu Hatim as-Sijistani mengumandangkan syair untukku: “Jika hati telah menguasai keputusasaan. Dan sudah menjadi sempit oleh dada yang lapang. Ia menginjak semua yang tidak disukai dan menjadi tenang,. Dan menancapkan kesulitan di beberapa tempat. Dan untuk menyingkap mudharat, ia tidak melihat jalan. Dia mendatangimu dalam keadaan putus asa dari meminta bantuan. Yang diberikan oleh Yang Mahalembut lagi Mahamengabulkan. Dan setiap kejadian itu jika berakhir, maka akan membawa kepada kebahagiaan yang dekat.”
Penyair lain mengungkapkan: “Tidak jarang musibah itu membuat sempit gerak pemuda, dan pada sisi Allah jalan keluar diperoleh. Lengkap sudah penderitaan. Dan ketika kepungannya mendominasi, maka terbukalah jalan, yang sebelumnya dia menduga musibah itu tiada akhir.”
Firman Allah: fa idzaa faraghta fangshab. Wa ilaa rabbika farghab (“Maka apabila kamu telah selesai [dari suatu urusan], kerjakanlah dengan sungguh-sungguh [urusan] yang lain. Dan hanya  kepada Rabb-mu lah  hendaknya kamu  berharap.”) maksudnya, jika engkau telah selesai mengurus berbagai kepentingan dunia dan semua kesibukannya serta telah  memutus semua jarigannya, maka bersungguh-sungguhlah untuk  menjalankan ibadah serta melangkahlah kepadanya dengan penuh semangat, dengan hati yang kosong lagi tulus, serta niat karena Allah. Dari pengertian ini terdapat sabda Rasulullah saw. Di dalam hadits yang diserpakati keshahihannya: “Tidak sempurna shalat seseorang ketika makanan telah dihidangkan dan tidak sempurna pula shalat dalam keadaan menahan buang air kecil dan besar.”
Dan dari Ibnu Mas’ud: “Jika engkau telah selesai menunaikan berbagai kewajiban, maka bersungguh-sungguhlah untuk melakukan Qiyamul lain. Dan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud: fangshab. Wa ilaa rabbika farghab (“dan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh. Dan hanya kepada Rabb-mu lah hendaknya kamu berharap.”) setelah selesai dari shalat yang engkau kerjakan sedang engkau masih dalam keadaan duduk. ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Jika engkau telah selesai, maka bersungguh-sunguhlah, yakni berdoa. wallaaHu a’lam.