Selasa, 13 November 2012

BERILAH KEMUDAHAN DAN JANGAN MEMPERSULIT BERILAH MEREKA KABAR GEMBIRA JANGAN ENGAKA TAKUT-TAKUTI


Jangan Buat Mereka Lari

Jangan Buat Mereka Lari
Berdakwah kepada masyarakat bukanlah perkara yang mudah, tak selalu diterima dan tak jarang mendapat penolakan keras. Sebagian menerima, sebagian malah lari dari dakwah kita. Hidayah memang milik Allah, namun Dia membuat hidayah itu teranugerahi kepada seseorang melalui usaha. Dan tentunya, usaha kita mengajak manusia kepada hidayah mesti merujuk pada sebaik-baik teladan, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa Al Asy’ari -radhiyallahu ‘anhumaa- untuk berdakwah ke Yaman, beliau menyampaikan pesan emas kepada kedua sahabat tersebut:
“Berilah kemudahan dan jangan mempersulit, Berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari..” [HR Bukhari dan Muslim].
Meskipun pesan tersebut singkat, namun maknanya sangat luas dan mendalam. Disebutkannya “jangan mempersulit” sebagai antonim setelah “berilah kemudahan”, memberikan faidah penegasan, bahwa perintah tersebut tidak hanya sekali saja, namun dalam segala kondisi. Karena bisa jadi seseorang memberi kemudahan pada orang lain di satu waktu namun di waktu yang lain dia mempersulit. Begitu pula perintah memberi kabar gembira dan larangan membuat lari. Demikian yang dijelaskan oleh Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
Dalam sebuah riwayat dalam Shahihain, diceritakan bahwa Mu’adz bin Jabal shalat Isya bersama Rasulullah lalu pulang ke masjid kampungnya di Bani Salimah (sekarang dikenal dengan Masjid Qiblatain) dan mengimami shalat orang-orang di sana dengan membaca surat Al Baqarah. Ada seorang laki-laki yang keluar dari barisan dan shalat sendiri. Maka setelah itu Mu’adz menegurnya. Laki-laki ini tidak terima lalu mengadu kepada Rasulullah bahwa Mu’adz shalatnya panjang, sedangkan dia telah lelah bekerja seharian. Rasulullah pun menegur Mu’adz, lalu bersabda, “Sesungguhnya di antara kalian ada yang membuat lari orang lain.”
Barangkali ada di antara kita yang masuk ke dalam sabda beliau tersebut? Karena kita sering tidak sadar telah membuat orang lain lari dengan mendakwahkan hal-hal yang memberatkan mereka,yaitu dengan menekankan hal-hal yang sunnah menjadi seolah wajib, dan menekankan hal mubah seolah-oleh makruh bahkan haram.
Misalnya, mendakwahi orang yang shalat fardhunya masih sering bolong. Tentunya kita dakwahkan ke mereka bahwa shalat itu yang wajib hanya 5 kali, sekali shalat juga paling sekitar10 menit. Mudah. Jangan dulu didakwahi suruh shalat rawatib, dhuha, dan shalat sunnah lainnya. Inilah wujud dari kabar gembira bahwa Islam itu mudah dan tidak sulit.
Tentang bersuci, amat banyak kemudahan dari Islam mengenainya. Jika sedang di daerah yang susah air, Anda boleh bertayamum, dan dijadikan oleh Allah seluruh tempat di bumi ini suci untuk bersuci dan tempat sujud. Bisa shalat dimana saja. Anda pegawai di bengkel, tubuh dan baju belepotan oli? Jangan khawatir, oli tidak najis, dan anda bisa gunakan sabun untuk mencuci anggota tubuh yang kena wudhu. Tidak perlu menunda apalagi sampai tidak shalat hanya karena masalah-masalah semacam itu. Dan jika Anda musafir, terdapat kemudahan untuk jama’ shalat.. Shalat bisa kapan saja, dimana saja.
Tentang pakaian, apakah sehari-hari harus pakai gamis, berpeci, dan celana setengah betis? Jawabannya, tentu tidak. Sebagian dari itu sunnah saja dan sebagian yang lain mubah. Kondangan pake batik instead of baju koko? Tidak masalah, malah bagus. Pakaian boleh apa saja asal menutup aurat dengan sempurna, celana boleh sampai tepat di mata kaki. Jilbab tidak harus hitam, boleh warna lain asal tidak mengundang perhatian. Percuma warna hitam kalau bordirnya banyak dan di tempat yang menggoda pula.
Tentang menuntut ilmu, apakah harus selalu hadir di majelis ilmu terus padahal kondisi tidak memungkinkan, harus bekerja menghidupi keluarga? Mari kita simak penuturan sahabat ‘Umar bin Khaththab: Sesungguhnya aku dan seorang tetanggaku dari kaum Anshar dari kabilah Bani Umayyah bin Zaid, yang bertempat tinggal di daerah atas kota Madinah, saling bergiliran dalam hal menghadiri majelis Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam-, sehingga ia hadir satu hari, dan aku pun hadir hari selanjutnya. Bila aku yang mendapat giliran untuk hadir, maka aku pun menyampaikan kepadanya kabar yang terjadi pada hari itu, berupa perintah atau lainnya. Dan bila ia yang hadir, ia pun melakukan hal yang sama. [HR Bukhari]
Itu cerita zaman dulu di mana fasilitas tidak selengkap sekarang. Di masa sekarang, kalau memang tidak sempat hadir, masih ada mp3 rekaman kajian, masih ada buku yang bisa dibaca, masih ada radio dakwah yang tersebar di banyak kota, masih bisa tanya teman. Banyak sekali sarana menuju ilmu, sehingga tidak ada alasan ketinggalan ilmu.
Tulisan ini bukan untuk melemahkan semangat kita untuk menjalankan yang sunnah dan menjauhi yang mubah, namun untuk memberi pengertian bahwa seringkali kita mendakwahkan sesuatu yang tanpa kita sadari ternyata memberatkan objek dakwah kita, yaitu dengan mengesankan bahwa yang sunnah itu wajib, dan yang mubah itu makruh atau haram. Dakwahkanlah bagi mereka yang awam, yang mudah dan tidak menyulitkan, supaya tidak lari duluan. Yang wajib dulu dan yang paling mudah mereka terima, sebelum yang sunnah. Ketika mendakwahkan hal-hal yang diharamkan Allah, juga perlu pelan-pelan. Jangan sampai, belum apa-apa sudah bid’ah, sudah haram ini itu. Mungkin tidak ada yang salah dari yang anda dakwahkan itu, bahwa ini bid’ah, ini haram, dan lain-lain, namun semua itu ada urutannya, ada tahapnya.

Semoga tulisan ini bisa sebagai pengingat bagi kita semua yang berjuang di medan dakwah. Wallahu a’lam.
Sumber Artikel Muslim.Or.Id