Minggu, 29 Januari 2012

Jangan Ada Dusta Mencintai Allah

Jangan Ada Dusta Mencintai Allah

Hubbud Dunia (Cinta Dunia). Itulah sebuah judul besar penyakit yang menghinggapi banyak umat hari ini. Eksistensi dunia melebihi eksistensi Allah. Celakanya lagi, bahkan banyak manusia yang sudah merusak fitrahnya sebagai makhluk. Dengan menuhankan dunia. Na’udzubillahi mindzaliq. Semoga hal yang demikian ini terhindar dari diri kaum muslimin dan orang-orang yang beriman. Orang-orang yang masih meninggikan asma-Nya, dan memuliakan kekasihnya, Muhammadur rasulullahu salallahu ’alaihi wasallam. Penyakit cinta dunia dan takut mati memang bukan hari ini saja terjadi. Ini adalah kisah dan perilaku yang berulang-ulang. Tentu ingat bagaimana Fir’aun (Ramses II) yang menganggap dirinya Tuhan. Berkuasa penuh atas diri manusia. Tapi, ketika maut menjemputnya (tatkala ia digulung lautan saat mengejar nabi Musa as), barulah ia bermunajat pada Allah swt. Sayang, semuanya terlambat. Hanya saja, tubuhnya hingga kini tetap dijaga oleh Allah, sebagai pelajaran bagi umat di kemudian hari.
Dasar penyakit, cinta dunia hingga kini masih saja terus berulang. Wujud dan bentuknya beragam. Namun, pada prinsipnya, cinta dunia selalu dipicu oleh materi. Sehingga, banyak manusia hari ini berlomba-lomba mencari rezki tanpa mengenal siang dan malam. Kerja keras siang malam, pergi pagi pulang malam, peras keringat banting tulang demi dunia. Sayang, mereka lupa dengan Maha Pemilik Materi, Allah ’Azza wa Jalla. Tak takutkah mereka dengan azab Allah?
Obatnya segeralah bertobat. Kembalilah mencintai Allah dengan tidak menafikan dunia. Karena sungguh besar manfaatnya untuk jiwa dan raga. Syurga balasannya bagi orang yang mau mencintai Allah. Tapi tidak pula mencintai Allah dengan jalan riya’. Cintailah Allah dengan ikhlas. Zuhud-lah kepada Allah, seperti halnya Muhammad saw yang hingga akhir hayatnya memilih menjadi anak-anak langit, bukan anak-anak dunia.
Abu Bakr ash-Shiddiq ra, (rela) memberikan seluruh harta kekayaannya kepada Nabi Muhammad saw, demi berjuang di jalan Allah swt, demi Islam sebagai totalitas hidup. Seorang pecinta tidak akan menyembunyikan apa pun dari kekasihnya, bahkan ia akan memberikan segala sesuatu padanya. Begitulah pelajaran yang dapat dipetik dari Abu Bakar, orang terpandang di zamannya.
Syarat mencintai Allah memang dengan bala cobaan. Hal itu pulalah yang dilalui oleh nabi-nabi Allah terdahulu hingga Rasulullah saw. Maka, setiap bala cobaan disertai pula dengan kesetiaan. Agar tidak dicap hanya mengaku-ngaku cinta Allah dengan kebohongan, kemunafikan, dan riya’. Jalan (menuju) al-Haqq ’Azza wa Jalla membutuhkan kejujuran (kesungguhan-shidq) dan cahaya makrifat. Di akhir cinta itulah seorang muslim akan meraih kebahagiaan hidup yang diimpikannya. Seperti halnya Muhammad saw berhasil membuat Islam jaya berabad-abad lamanya.
Jikalau kedekatan dengan-Nya sudah benar-benar shahih, maka Dia akan mengucurkan anugerah kemurahan-Nya. Dia akan membuka pintu-pintu bagian-Nya (qadha dan qadar), pintu kelembutan, pintu rahmat, dan jendela anugerah-Nya. Dia genggam dunia untuk umat yang bersyukur, lalu membentangkannya seluas-luasnya. Tentunya semua anugerah ini hanya diberikan-Nya para manusia-manusia pilihan. Karena Dia Maha Mengetahui akan ketaqwaan mereka. Mereka tidak pernah menyibukkan diri dengan sesuatu sampai terlena melupakan-Nya.
Nabi saw termasuk orang yang ditawari dunia, namun tidak sibuk mengurusinya dan lupa melayani-Nya. Beliau tidak menoleh pada bagian-bagian (rezki) dengan segala kesempurnaan zuhud dan penentangan. Beliau pernah ditawari kunci-kunci kekayaan bui, namun justru beliau mengembalikannya sembari berkata, “Tuhan, hidupkanlah aku sebagai orang miskin dan matikan aku sebagai orang miskin, serta kumpulkan aku kelak bersama orang-orang miskin”. Bagi kita kaum muslimin, tentu perjuangan Rasulullah saw ini sangat mulia di sisi-Nya. Perjuangan yang diberikannya, adalah demi umat Islam, sebagai umat terbaik di atas bumi Allah swt.
Zuhud adalah anugerah kesalehan. Seorang Mukmin bebas lepas dari beban ambisi mengumpulkan duniawi, tidak pula rakus dan terburu-buru. Berzuhud atas segala sesuatu dengan segenap hati dan berpaling darinya dengan segenap nurani. Seorang muslim hanya sibuk dengan apa yang diperintahkan kepadanya. Dia tahu pasti bagiannya tidak akan lepas darinya, hingga dia pun tidak perlu mencarinya. Dia biarkan bagian-bagian (duniawi) berlari mengejar di belakangnya, merendah dan memohon-mohon padanya untuk menerimanya.
Dikisahkan kembali oleh ’Abdul Kadir al Jilani tentang Sufyan ash-Shawri, pada awal menuntut ilmu, di perutnya terikat sabuki himyan berisi uang 500 dinar untuk keperluan hidup dan belajar. Dia ketuk-ketuk sabuk itu dengan tangannya seraya berkata, ”Jika tidak ada engkau, pastilah mereka sudah membuang kita”. Setelah diperolehnya ilmu dan makrifat pengetahuan al-Haqq Azza wa Jalla, maka dia sumbangkan sisa uang yang ada padanya untuk kaum fakir dalam waktu satu hari seraya berkata, ”Jikalau langit adalah besi yang tak mencurahkan hujan, bumi berupa batu cadas yang menumbuhkan (tanaman) dan aku pun (harus) berkonsentrasi mencari rezki, maka pastilah aku menjadi kafir”.
Maka setiap orang mukmin bekerja dan berinteraksi dengan sarana sampai iman benar-benar kuat, baru setelah itu berpindah dari sarana (sabab) pada Pemberi sarana (Musabib). Para nabi juga bekerja, bermodal, dan berhubungan dengan sarana duniawi pada awal keadaan mereka, baru pada akhirnya, mereka pasrah diri (tawakal). Mereka mensinergikan kerja dan tawakal sebagai awalan dan akhiran, syariat dan hakikat. Diriwayatkan dari Nabi saw, “Bahwasanya seorang laki-laki datang menghadapnya, lalu berkata, ‘Aku mencintaimu karena Allah ‘Azza wa Jalla’. Beliau pun bersabda padanya, ’Jadikan bala cobaan sebagai jubah, jadikan kefakiran sebagai jubah’”. Sebuah pepatah Arab juga mengatakan: Jangan dekati ular dan macan, sebab mereka bisa membinasakanmu. Jika engkau seorang pawang, bolehlah engkau dekati ular itu, dan jika engkau sudah memilih kekuatan, maka dekatilah macan itu.
Nabi Sulaiman as, misalnya. Setelah Allah melengserkan tahta kerajaannya, kemudian Dia menghukumnya dengan banyak hal, di antaranya mengemis dan meminta-minta. Dulu pada masa pemerintahannya, dia bekerja dan bisa makan dari hasil keringatnya sendiri, namun kemudian al-Haqq ’Azza wa Jalla menyempitkan ruang geraknya, mengusirnya dari kerajaannya dan menyempitkan jalan rezki baginya, hingga terpaksa dia harus meminta-minta. Semua itu dikarenakan istrinya menyembah patung di rumahnya (Sulaiman) selama 40 hari, maka selama 40 hari juga ia terus mendapat siksaan hari demi hari.
Seorang laki-laki pernah bertemu Abu Yazid al-Bisthami, kemudian lama menengok ke kanan dan ke kiri. Abu Yazid pun menegurnya “Ada apa gerangan?” Ia menjawab, ”Aku ingin (mencari) tempat bersih untuk melaksanakan shalat”. Abu Yazid langsung menukas, “Bersihkan hatimu dulu dan barulah shalat sebagaimana kehendakmu”. Memang, riya’ adalah rintangan di tengah jalan kaum (Sufi) yang tidak mau harus mereka seberangi. Riya’, ujub, dan kemunafikan, termasuk anak-anak panah Setan yang dileparkan ke dalam hati.
Jangan terlena dengan hembusan-hembusan (bujuk rayu) Setan, dan jangan kalah oleh panah-panah nafsu. Sebab ia (nafsu) melempari jiwa orang mukmin dengan panah Setan, dan memang Setan tidak dapat menguasai jiwa orang mukmin kecuali dengan sarana nafsu. Setan jin tidak dapat menguasai kecuali lewat media Setan manusia, yaitu nafsu kolega-kolega yang buruk. Memohonlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla’ dan mintalah tolong pada-Nya dalam menghadapi musuh-musuh ini, niscaya Dia akan memberi pertolongan.
Orang yang tertolak (al-mahrum) adalah orang yang menolak al-Haqq ‘Azza wa Jalla dan kehilangan kedekatan bersama-Nya di dunia dan akhirat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam beberapa kitab-Nya, “Hai anak Adam! Jika Aku melewatkanmu, maka akan lepas (dari)mu segala sesuatu”. Bagaimana al-Haqq ‘Azza wa Jalla tidak melewatkan harapan orang mukmin jika mereka berpaling dari-Nya, dan dari kaum Mukmin serta hamba-hamba-Nya yang saleh, bahkan malah menyakiti mereka secara lahir dan batin. Nabi saw bersabda, “Menyakiti orang Mukmin lima belas kali lebih besar (dosanya) di sisi Allah daripada merobohkan Ka’bah dan a-Bait al-M’mur”.
Janganlah takut pada siapa pun, baik jin, manusia, maupun malaikat. Jangan takut pula pada apa pun, baik hewan yang berbicara maupun yang diam. Jangan takut dengan penderitaan dunia, dan jangan takut pula dengan siksa akhirat, akan tetapi takutlah pada Sang Pemberi azab siksaan. Yang menurunkan penyakit adalah juga yang menurunkan obat. Tentu saja, ia pula yang lebih mengerti tentang kemaslahatan daripada selainnya. Jangan kecam Allah ‘Azza wa Jalla’dalam segala tindakan-Nya (fi’l. Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Dia akan merampasnya (ikhtiar dan duniawinya), jika memang ia bersabar (menghadapinya), maka Dia akan mengangkat (derajat)nya, membaguskan (taraf kehidupannya), memberinya (anugerah), dan membuatnya kaya.
Hal itu pulalah yang terjadi pada diri nabi-nabi Allah. Mohonlah pertolongan kepada Allah dalam menghadapi musuh-musuh umat. Si pemenang adalah orang yang bersabar menghadapinya, dan si pecundang adalah orang yang menyerah pada mereka. Kaum (saleh) tidak memiliki obat keceriaan bagi mendung kesedihan mereka, juga tidak meletakkan beban mereka, dan tidak pula memiliki permata kasih di mata mereka serta hiburan bagi musibah mereka, hingga mereka bertemu Tuhan mereka. Pertemuan kaum saleh dengan Tuhannya meliputi dua jenis; pertama, pertemuan di dunia, yaitu melalui hati dan nurani kaum saleh, dan ini termasuk jarang terjadi. Kedua, pertemuan di Akhirat. Kaum saleh baru bisa merasakan kebahagiaan dan keceriaan setelah bertemu dengan Tuhan mereka, meskipun sebelumnya, musibah (kesedihan) terus menerus menimpanya.
Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Cegahlah nafsu dari syahwat kesenangan dan kelezatan. Berilah dia makanan yang suci tanpa najis. Makanan yang suci adalah makanan yang halal. Adapun makanan yang najis adalah haram. Berilah dia sarapan yang halal hingga dia tidak menjadi sombong, tinggi hati, dan kurang ajar. Ya Allah, kenalkanlah kami dengan-Mu, hingga kami mengenal-Mu”. Amin. (dkwt)

Ma’rifatullah (Bagian 1)

Ma’rifatullah (Bagian 1)

Mungkin ada di kalangan kaum muslimin yang bertanya kenapa pada saat ini kita masih perlu berbicara tentang Allah padahal kita sudah sering mendengar dan menyebut namaNya, dan kita tahu bahwa Allah itu Tuhan kita. Tidakkah itu sudah cukup untuk kita? Tidak. Jangan sekali-kali kita merasa cukup dengan pemahaman dan pengenalan kita terhadap Allah. Karena, semakin memahami dan mengenaliNya kita merasa semakin dekat denganNya. Selain itu, dengan pengenalan yang lebih dalam lagi, kita bisa terhindar dari pemahaman-pemahaman yang keliru tentang Allah dan kita terhindar dari sikap-sikap yang salah terhadap Allah.
Ketika kita membicarakan makrifatullah, maknanya kita berbicara tentang Rabb, Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa. Kata Ilah mengandung arti yang dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber pengharapan. Makna seperti ini ada di dalam surat An-Naas (114): 1-3.
Dengan demikian jelaslah bahwa usaha kita untuk lebih jauh memahami dan mengenal Allah adalah bagian terpenting di dalam hidup ini. Lantas, bagaimana metoda yang harus kita tempuh untuk bisa mengenal Allah? Apa saja halangan yang senantiasa menghantui manusia dari mengenalNya? Benarkan kalimat yang mengatakan, “Kenalilah dirimu niscaya engkau akan mengenali Tuhanmu.” Dari pengenalan diri sendiri, maka ia akan membawa kepada pengenalan (makrifah) yang menciptakan diri, yaitu Allah. Ini adalah karena pada hakikatnya makrifah kepada Allah adalah sebenar-benar makrifah dan merupakan asas segala kehidupan rohani.
Setelah makrifah kepada Allah, akan membawa kita kepada makrifah kepada Nabi dan Rasul, makrifah kepada alam nyata dan alam ghaib dan makrifah kepada alam akhirat.
Keyakinan terhadap Allah swt. menjadi mantap apabila kita mempunyai dalil-dalil dan bukti yang jelas tentang kewujudan (eksistensi) Allah lantas melahirkan pengesaan dalam mentauhidkan Allah secara mutlak. Pengabdian diri kita hanya semata-mata kepada Allah saja. Ini memberi arti kita menolak dan berusaha menghindarkan diri dari bahaya-bahaya disebabkan oleh syirik kepadaNya.
Kita harus berusaha menempatkan kehidupan kita di bawah bayangan tauhid dengan cara kita memahami ruang perbahasan dalam tauhid dengan benar tanpa penyelewengan sesuai dengan manhaj salafush shalih. Kita juga harus memahami empat bentuk tauhidullah yang menjadi misi ajaran Islam di dalam Al-Qur’an maupun sunnah, yaitu tauhid asma wa sifat, tauhid rububiah, tauhid mulkiyah, dan tauhid uluhiyah. Dengan pemahaman ini kita akan termotivasi untuk melaksanakan sikap-sikap yang menjadi tuntutan utama dari setiap empat tauhid tersebut.
Kehidupan paling tenang adalah kehidupan yang bersandar terus kecintaannya kepada Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu kita harus mampu membedakan di antara cinta kepada Allah dengan cinta kepada selainNya serta menjadikan cinta kepada Allah mengatasi segala-galanya. Apa yang menjadi tuntutan kepada kita ialah kita menyadari pentingnya melandasi seluruh aktivitas hidup dengan kecintaan kepada Allah, Rasul, dan jihad secara minhaji.
Di dalam memahami dan mengenal Allah ini, kita seharusnya memahami bahwa Allah sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Ilmu-ilmu yang Allah berikan itu menerusi dua jalan yang membentuk dua fungsi yaitu sebagai pedoman hidup dan juga sebagai sarana hidup. Kita juga sepatutnya menyadari kepentingan kedua bentuk ilmu Allah dalam pengabdian kepada Allah untuk mencapai tahap takwa yang lebih cemerlang.
Ayat-ayat Allah ada dalam bentuk ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Kedua jenis ayat-ayat Allah ini terbuka bagi siapa saja yang ingin membaca dan menelitinya. Namun terdapat berbagai halangan akan muncul di hadapan kita dalam mengenali Allah. Halangan-halangan ini muncul dalam bentuk sifat-sifat pribadi kita yang bersumberdari syahwat –seperti nifaq, takabbur, zhalim, dan dusta– dan sifat-sifat yang bersumber dari syubhat –seperti jahil, ragu-ragu, dan menyimpang. Kesemua sifat-sifat fujur itu akan menghasilkan kekufuran terhadap Allah swt.
Ahammiyah Ma’rifatullah (Urgensi mempelajari Makrifatullah)
Riwayat ada menyatakan bahwa perkara pertama yang mesti dilaksanakan dalam agama adalah mengenal Allah (awwaluddin ma’rifatullah). Bermula dengan mengenal Allah, maka kita akan mengenali diri kita sendiri. Siapakah kita, di manakah kedudukan kita berbanding makhluk-makhluk yang lain? Apakah sama misi hidup kita dengan binatang-binatang yang ada di bumi ini? Apakah tanggung jawab kita dan ke manakah kesudahan hidup kita? Semua persoalan itu akan terjawab secara tepat setelah kita mengenali betul Allah sebagai Rabb dan Ilah, Yang Mencipta, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan.
Dalil-dalil:
QS. Muhammad (47): 19
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.
Ayat ini mengarahkan kepada kita dengan kalimat “ketahuilah olehmu” bahwasanya tidak ada ilah selain Allah dan minta ampunlah untuk dosamu dan untuk mukminin dan mukminat. Apabila Al-Qur’an menggunakan sibghah amar (perintah), maka menjadi wajib menyambut perintah tersebut. Dalam konteks ini, mengetahui atau mengenali Allah (ma’rifatullah) adalah wajib.
QS. Ali Imran (3): 18
Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan melainkan Dia, dan telah mengakui pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu sedang Allah berdiri dengan keadilan. Tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
QS. Al-Hajj (22): 72-73
Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah, “Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?” Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.

QS. Az-Zumar (39): 67

Mereka tidak mentaqdirkan Allah dengan ukuran yang sebenarnya sedangkan keseluruhan bumi berada di dalam genggamanNya pada Hari Kiamat dan langit-langit dilipatkan dengan kananNya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan.
Tema Perbicaraan Makrifatullah – Allah Rabbul Alamin.
Ketika membicarakan ma’rifatullah, artinya kita sedang membicarakan tentang Rabb, Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, dan Penguasa. Sedangkan kata Ilah mengandungi arti yang dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber pengharapan. Hal ini termaktub dalam surat An-Naas (114): 1-3. Inilah tema yang dibahas dalam ma’rifatullah. Jika kita menguasai dan menghayati keseluruhan tema ini, bermakna kita telah mampu menghayati makna ketuhanan yang sebenarnya.
Dalil-dalil:
QS. Ar-Ra’du (13): 16
Katakanlah, “Siapakah Rabb segala langit dan bumi?” Katakanlah, “Allah.” Katakanlah, “Adakah kamu mengambil wali selain dariNya yang tiada manfaat kepada dirinya dan tidak pula dapat memberikan mudarat?” Katakanlah, “Apakah sama orang buta dengan orang yang melihat? Apakah sama gelap dan nur (cahaya)?” Bahkan adakah mereka mengadakan bagi Allah sekutu-sekutu yang menjadikan sebagaimana Allah menjadikan, lalu serupa makhluk atas mereka? Katakanlah, “Allah. Allah yang menciptakan tiap tiap sesuatu dan Dia Esa lagi Maha Kuasa.”
QS. Al-An’am (6): 12
Katakanlah, “Bagi siapakah apa-apa yang di langit dan bumi?” Katakanlah, “Bagi Allah.” Dia telah menetapkan ke atas diriNya akan memberikan rahmat. Sesungguhnya Dia akan menghimpun kamu pada Hari Kiamat, yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang merugikan diri mereka, maka mereka tidak beriman.”

QS. Al-An’am (6): 19

Katakanlah, “Apakah saksi yang paling besar?” Katakanlah, “Allah lah saksi di antara aku dan kamu. Diwahyukan kepadaku Al-Qur’an ini untuk aku memberikan amaran kepada engkau dan sesiapa yang sampai kepadanya Al-Qur’an. Adakah engkau menyaksikan bahawa bersama Allah ada tuhan-tuhan yang lain?” Katakanlah, “Aku tidak menyaksikan demikian.” Katakanlah, “Hanya Dia-lah Tuhan yang satu dan aku bersih dari apa yang kamu sekutukan.”
QS. An-Naml (27): 59
Katakanlah, “Segala puji-pujian itu adalah hanya untuk Allah dan salam sejahtera ke atas hamba-hambanya yang dipilih. Adakah Allah yang paling baik ataukah apa yang mereka sekutukan?”

QS. An-Nur (24): 35

“Allah memberi cahaya kepada seluruh langit dan bumi.”
QS. Al-Baqarah (2): 255
“Allah. Tidak ada tuhan melainkan Dia. Dia hidup dan berdiri menguasai seluruh isi bumi dan langit.”
Didukung Dengan Dalil Yang Kuat
QS. Al-Qiyamah (75): 14-15
Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.
Makrifatullah yang sahih dan tepat itu mestilah bersandarkan dalil-dalil dan bukti-bukti kuat yang telah siap disediakan oleh Allah untuk manusia dalam berbagai bentuk agar manusia berpikir dan membuat penilaian. Oleh karena itu banyak fenomena alam yang dibahas oleh Al-Qur‘an dan diakhiri dengan kalimat pertanyaan: tidakkah kamu berpikir, tidakkah kamu mendengar. Pertanyaan-pertanyaan itu mendudukkan kita pada satu pandangan yang konkrit betapa semua fenomena alam adalah di bawah milik dan aturan Allah swt.
Dalil-dalil:
Naqli [QS. Al-An'am (6): 19]
Katakanlah, “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah, “Allah.” Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qu’ran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?” Katakanlah, “Aku tidak mengakui.” Katakanlah, “Sesungguhnya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).”
Aqli, [QS. Ali Imran (3): 190]
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Fitri, [QS. Al-A'raf (7): 172]
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan).”
Dapat Menghasilkan: peningkatan iman dan taqwa.
Apabila kita betul-betul mengenal Allah mentadaburi dalil-dalil yang dalam, hubungan kita dengan Allah menjadi lebih akrab. Apabila kita dekat dengan Allah, Allah lebih dekat lagi kepada kita. Setiap ayat Allah baik ayat qauliyah maupun kauniyah tetap akan menjadi bahan berpikir kepada kita dan penambah keimanan serta ketakwaan. Dari sini akan menghasilkan pribadi muslim yang merdeka, tenang, penuh keberkatan, dan kehidupan yang baik. Tentunya tempat abadi baginya adalah surga yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang telah diridhaiNya.

Kemerdekaan [QS. Al-An'am (6): 82]

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan; dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ketenangan [QS. Al-Ra'du (13): 28]
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Barakah [QS. Al-A'raf (7): 96]
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Kehidupan Yang Baik [QS. Al-Nahl (16): 97]
Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Surga [QS. Yunus (10): 25-26]
Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.
Mardhotillah [QS. Al-Bayinah (98): 8]
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (dkwt)

Ma’rifatullah (Bagian 2)

Ath-Thariqu Ila Ma’rifatullah, Jalan Menuju Pengenalan Terhadap Allah swt.
Allah swt. tidak menampilkan wujud Dzatnya Yang Maha Hebat di hadapan makhluk-makhluknya secara langsung dan dapat dilihat seperti kita melihat sesama makhluk. Maka, segala sesuatu yang tampak dan dapat dilihat dengan mata kepala kita, pasti itu bukan tuhan. Allah menganjurkan kepada manusia untuk mengikuti Nabi saw. supaya berpikir tentang makhluk-makhluk Allah. Jangan sekali-kali berpikir tentang Dzat Allah. Makhluk-makhluk yang menjadi tanda kebesaran dan keagungan Allah inilah yang disarankan di d`lam banyak ayat Al-Qur’an agar menjadi bahan berpikir tentang kebesaran Allah.

Ayat Qauliyah

Ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah swt. di dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek, termasuk tentang cara mengenal Allah.
QS. At-Tin (95): 1-5
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman; sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
Ayat Kauniyah
Ayat kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah. Ayat-ayat ini adalah dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di dalam alam ini. Oleh karena alam ini hanya mampu dilaksanakan oleh Allah dengan segala sistem dan peraturanNya yang unik, maka ia menjadi tanda kehebatan dan keagungan Penciptanya.
QS. Nuh (41): 53
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Metode Islam Dengan Naqli dan Akal
Islam menghargai nilai akal yang dimiliki manusia. Karena dengan sarana akal ini, manusia mampu berpikir dan memilih antara yang benar atau salah. Walau begitu, dengan akal semata-mata tanpa panduan dari Pencipta akal, pencapai pemikiran manusia cukup terbatas. Apa lagi jika dicampurkan dengan unsur (anasir) hawa nafsu dan zhan (prasangka). Gabungan antara kemampuan akal dan panduan dari Penciptanya akan menghasilkan pengenalan yang tepat dan mantap terhadap Allah swt. Maka, menjadi satu kesalahan besar apabila manusia tidak menggunakan akalnya untuk berpikir.
QS. Yunus (10): 100-101
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. Katakanlah, “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.”
QS. Ath-Thalaaq (65): 10
Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah, hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.
QS. Al-Mulk (67): 10
Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”
Tasdiq (membenarkan)
Hasil dari berpikir dan meneliti secara terus menurut pedoman-pedoman yang sewajarnya, akan mencetuskan rasa kebenaran, kehebatan dan keagungan Allah. Boleh jadi ia berbetulan dengan firman Allah di An-Najm (53): 11 yang berbunyi, “Tiadalah hatinya mendustakan (mengingkari) apa-apa yang dilihatnya). Hati mula membenarkan dan akur kepada kebijaksanaan Tuhan.”
QS. Ali Imran (3): 191
Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.

QS. Qaf (50): 37

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.
Menghasilkan Iman.
Metode pengenalan kepada Allah yang dibawa oleh Islam ini cukup efektif secara berurutan sehingga akhirnya menghasilkan keimanan sejati kepada Allah azzawajalla.
Metode Selain Islam
Pemikiran berkenaan theologi dan ketuhanan banyak juga dibawa oleh pemikir-pemikir dari penjuru dunia, tetapi tidak berlandaskan kepada metoda yang sebenarnya. Kebanyakannya berlandaskan duga-dugaan, sangka-sangkaan, dan hawa nafsu. Pastinya metoda itu tidak akan sampai kepada tujuan (natijah) yang sebenar karena bayang-bayang khayalan tetap menghantui pemikiran mereka. Ada tuhan angin, tuhan api, tuhan air yang berasingan dengan rupa-rupa yang berbeda seperti yang digambarkan oleh Hindu, Budha, dan seumpamanya.
Dugaan dan Hawa Nafsu
Dua unsur utama dalam metoda mengenal tuhan yang tidak berlandaskan disiplin yang sebenar adalah sangka-sangkaan dan juga hawa nafsu. Campur tangan dua unsur ini sangat tidak mungkin untuk mencapai natijah yang tepat dan shahih.
QS. Al-Baqarah (2): 55
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang,” karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.
QS. Yunus (10): 36
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
QS. Al-An’am (6): 115
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ragu-Ragu
Apabila jalan yang dilalui tidak jelas dan tidak tepat, maka hasil yang didapati juga sangat tidak meyakinkan. Mungkin ada hasil yang didapati, tetapi bukan hasil yang sebenarnya. Bagaimanakah kita ingin mengenal Allah tetapi kaidah pengenalan yang kita gunakan tidak menurut neraca dan panduan yang telah ditetapkan oleh Allah. Kadangkala Umar bin Khattab tersenyum sendiri mengenangkan kebodohannya menyembah patung yang dibuatnya sendiri dari gandum sewaktu jahiliyah. Apabila terasa lapar, dimakannya pujaan itu.
QS. Al-Hajj (22): 55
Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al-Qur’an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.

QS. An-Nur (24): 50

Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu, ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.

Berakibat Kufur

Semua metoda pengenalan yang tidak berasaskan cara yang dianjurkan oleh Islam, yaitu mengikuti aqli dan naqli, akan membawa ke jalan kekufuran terhadap Allah swt. (dkwt)

Ma’rifatullah (Bagian 3)

Ma’rifatullah (Bagian 3)

Mawani’ Ma’rifatullah
Sifat yang berasal dari penyakit syahwat.
Fasiq
Yaitu orang-orang yang melanggar janji Allah, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah menghubungkannya dan mereka melakukan bencana di atas muka bumi.
QS. Al-Baqarah (2): 26-27
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? ” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.

QS. Al-Hasyr (59): 19

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Sombong

Adalah orang yang hatinya ingkar dan membantah terhadap ayat-ayat Allah dan mereka tidak beriman dengan Allah

QS. Al-Nahl (16): 22

Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.

QS. Ghaafir (40): 35

(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.

QS. Ghaafir (40): 56

Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha Melihat.

QS. Al-A’raf (7): 12

Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Zalim
QS. As-Sajdah (32): 22

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.

Dusta
QS. Al-Baqarah (2): 10

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

QS. Mursalaat (77): 9-19

Dan apabila langit Telah dibelah, dan apabila gunung-gunung Telah dihancurkan menjadi debu, dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktu (mereka). (Niscaya dikatakan kepada mereka,) “Sampai hari apakah ditangguhkan (mengazab orang-orang kafir itu)?” Sampai hari Keputusan. Dan tahukah kamu apakah hari Keputusan itu? Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Bukankah kami telah membinasakan orang-orang yang dahulu? Lalu kami iringkan (azab kami terhadap) mereka dengan (mengazab) orang-orang yang datang kemudian. Demikianlah kami berbuat terhadap orang-orang yang berdosa. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.

Banyak Dosa
QS. Al-Muthaffifin (83): 14

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.
Semua sifat-sifat yang disebutkan di atas tadi akan berakhir dengan kemurkaan dari Allah swt. Karena itu, sifat-sifat itu harus diobati. Obatnya dengan mujahadah. Manakala kelompok kedua adalah sifat-sifat yang berasal dari penyakit syubhat yang ada pada personaliti seseorang.

Jahil.
QS. Az-Zumar (39): 65

Dan Sesungguhnya Telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.

Ragu-Ragu.
QS. Al-Hajj (22): 55

Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu- raguan terhadap Al Quran, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.

Menyimpang.
QS. Al-Maidah (5): 13

(tetapi) Karena mereka melanggar janjinya, kami kutuki mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya[407], dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka Telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Lalai
QS. Al-A’raf (7): 179

Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.(dkwt)

Kemukjizatan Al-Quran

Kemukjizatan Al-Quran

Pengertian i’jaz menurut bahasa
Kata I’jaz adalah isim mashdar dari ‘ajaza-yu’jizu-i’jazan yang mempunyai arti “ketidakberdayaan atau keluputan” (naqid al-hazm). Kata i’jaz juga berarti “terwujudnya ketidakmampuan”, seperti dalam contoh: a’jaztu zaidan “aku mendapati Zaid tidak mampu”.
Pengertian i’jaz secara istilah
-          Penampakan kebenaran pengklaiman kerasulan nabi Muhammad SAW dalam ketidakmampuan orang Arab untu menandingi mukjizat nabi yang abadi, yaitu al-Quran.
-          Perbuatan seseorang pengklaim bahwa ia menjalankan fungsi ilahiyah dengan cara melanggar ketentuan hukum alam dan membuat orang lain tidak mampu melakukannya dan bersaksi akan kebenaran klaimnya.
Pengertian mukjizat
هي أمر خارق للعادة مقرون بالتحدي سالم عن المعارضة يظهر على يد مدعي النبوة موافقاً لدعواه
Mukjizat adalah  Sebuah perkara luar biasa (khoriqun lil ‘adah) yang disertai tantangan (untuk menirunya), yang Selamat dari pengingkaran, dan muncul pada diri seorang yang mengaku nabi menguatkan /menyesuaikan dakwahnya.
Dari pengertian mukjizat di atas, maka ada beberapa syarat disebut mukjizat,yaitu :
1)      Hal yang di luar kebiasaan : seperti tongkat berubah ular, menghidupkan orang mati, dll
2)      Disertai Tantangan : untuk meniru, agar mereka yang ditantang merasa ‘tidak mampu’ untuk kemudian mengakui bahwa itu dari Allah SWT
3)      Selamat dari pengingkaran : artinya tantangan itu berupa sebuah tantangan yang layak bukan sesuatu yang tidak masuk akal. Misalnya : tantangan membuat Al-Quran untuk orang Arab yg berbahasa Arab, bukan untuk orang Jawa.
4)      Muncul dari Nabi : untuk menguatkan risalah kenabiannya, jika bukan dari nabi biasa disebut dengan Karomah.

PEMBAGIAN JENIS MUKJIZAT DAN HIKMAHNYA
Secara umum mukjizat dapat digolongkan menjadi dua klasifikasi, yaitu:
a)      Mu’jizat Indrawi (Hissiyyah)
Mukjizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang muncul dari segi fisik yang mengisyaratkan adanya kesaktian seorang nabi. Secara umum dapat diambil contoh adalah mukjizat nabi Musa dapat membelah lautan, mukjizat nabi Daud dapat melunakkan besi serta mukjizat nabi-nabi dari bani Israil yang lain.
b) Mukjizat Rasional (’aqliyah)
Mukjizat ini tentunya sesuai dengan namanya lebih banyak ditopang oleh kemampuan intelektual yang rasional. Dalam kasus al-Quran sebagai mukjizat nabi Muhammad atas umatnya dapat dilihat dari segi keajaiban ilmiah yang rasional dan oleh karena itulah mukjizat al-Quran ini bias abadi sampai hari Qiamat.
Hikmah pembagian Mukjizat :
Imam Jalaludin as-Suyuthi, berkomentar mengenai hikmah pembagian mukjizat tersebut  dimana beliau berpendapat bahwa kebanyakan maukjizat yang ditanpakkan Allah pada diri para nabi yang diutus kepada bani Israil adalah mukjizat jenis fisik.  Beliau menambahkan hal itu dikarenakan atas lemah dan keterbelakangan tingkat intelegensi bani Israil.
Sementara, sebab yang melatarbelakangi diberikannya mukjizat rasional atas umat nabi Muhammad adalah keberadaan mereka yang sudah relative matang dibidang intelektual. Beliau menambahkan, oleh karena itu al-Quran adalam meukjizat rasional, maka sisi i’jaznya hanya bisa diketahui dengan kemampuan intelektual, lain halnya dengan mukjizat fisik yang bias diketahui dengan instrument indrawi.
Meskipun al-Quran diklasifikasian sebagai mukjizat rasional ini tidak serta merta menafikan mukjizat-mukjizat fisik yang telah dianugerahkan Allah kepadanya untuk memperkuat dakwahnya.
PERBEDAAN MUKJIZAT QURAN DENGAN NABI-NABI SEBELUMNYA
Ada beberapa perbedaan besar antara mukjizat Al-Quran dengan mukjizat para Nabi-nabi sebelumnya, antara lain :
a)      Mukjizat Nabi sebelumnya bersifat fisik (hissiyah), maka habis sesuai dengan berlalunya zaman. Generasi setelahnya tidak lagi bisa menyaksikan mukjizat tersebut. Sementara Al-Quran adalah mukjizat yang terjaga, abadi dan berkelanjutan. Karenanya hingga hari ini masih banyak temuan-temuan tentang mukjizat Al-Quran.
b)      Mukjizat Nabi-nabi sebelumnya terfokus pada ‘penakjuban pandangan’, sementara mukjizat Al-Quran mengarah pada ‘pembukaan hati dan penundukan akal’, karena itu daya pengaruhnya lama dan bertahan. Sementara mukjizat ‘pandangan’ kadang begitu mudah terlupakan.
c)       Mukjizat Nabi sebelumnya di luar konteks isi risalah mereka dan tidak bersesuain, karena fungsinya utamanya hanya untuk menguatkan kenabian atau membuktikan bahwa mereka adalah utusan Allah SWT. Contoh : menghidupkan orang mati, tongkat menjadi ular, tidak ada hubungan langsung dengan isi kitab Taurat dan Injil. Sementara Al-Quran benar-benar mukjizat yang bersesuaian dan menguatkan isi risalah kenabian.

Muhasabah dalam membaca Al-Qur’an

Muhasabah dalam membaca Al-Qur’an

Diantara adab secara batin tatkala membaca Al-Qur’an ialah apa yang disebut Al-Imam Al-Ghazaly dengan istilah takhshish (pengkhususan). Artinya, membuat ketetapan di dalam hati bahwa dialah yang dimaksudkan dari setiap seruan di dalam Al-Qur’an, sehingga dia beralih dari hal yang bersifat umum ke hal yang bersifat khusus. Jjika dia m embaca atau mendengar suatu perintah atau larangan di dalam Al-Qur’an, maka dia menganggap bahwa dialah yang sedang diperintah dan dilarang yang pertama kalinya. Begitu pula ketika dia membaca atau mendengar janji dengan suatu pahala, ancaman dengan suatu siksaan, maka dia menganggap bahwa dirinya dimaksud dengan kabar gembira atau dialah yang diperingatkan dengan suatu siksaan. Jika dia mendengar atau membaca suatu kisah orang-orang terdahulu dan para nabi beserta kaumnya, maka tidak mungkin dia melibatkan diri dalam kisah itu, tapi dari harus mengambil pelajaran dari kisah itu dan mengambil apa yang bisa diambilnya atau dibutuhkannya, sebagaimana firman-Nya, “ Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Yusuf : 111)
“Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu;” (Hud : 120)
Hendaklah seorang hamba yakin bahwa Allah meneguhkan hatinya tentang kisah para nabi, bagaimana kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai macam gangguan, bagaimana ketegaran mereka dalam menegakkan agama sambil menunggu pertolongan dari Allah. Bagaiamna mungkin dia tidak menyakini hal ini, padahal Al-Qur’an diturunkan secara khusus kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang menjadi obat penawar, petunjuk, rahmat dan cahaya bagi semesta alam. Karena itulah Allah memerintahkan agar semua orang bersyukur atas nikmat Kitab ini. Firman-Nya.
“Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”(Al-Baqarah : 231)
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka Apakah kamu tiada memahaminya?”(Al-Anbiyaa’ : 10)
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” (An-Nahl : 44)
“Yang demikian adalah karena Sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang bathil dan Sesungguhnya orang-orang mukmin mengikuti yang haq dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka.” (Muhammad : 3)
“Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”, (Az-Zumar : 55)
“(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”.(Ali Imran : 138)
Masih banyak ayat-ayat lain yang senada. Jika seruan di sini ditujukan kepada semua manusia, berarti ia juga ditujukan kepada individu-individu. Seorang qari’ termasuk orang yang dimaksudkan dalam seruan Allah, sama dengan seruan terhadap semua manusia. Maka hendaklah dia beranggapan bahwa dialah yang dituju dan yang dimaksud. Firman Allah,
Menurut Muhammad bin Ka’b Al-Qurththuby, siapa yang Al-Qur’an sampai kepadanya, seakan-akan Allah berbicara kepadanya.
“Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku, supaya dengannnya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya),” (Al-An’am :19).
Jika seorang hamba mempunyai anggapan seperti itu, maka dia tidak perlu mempelajari Al-Qur’an yang menghabiskan amalnya, tapi dia membacanya seperti seorang budak yang membaca surat tuanya yang sengaja ditulis untuk dirinya, agar dia berbuat seperti apa yang tertera dalam surat itu.
Karena itu sebagian ulama berkata, “Al-Qur’an ini merupakan surat-surat yang datang kepada kita dari sisi Rabb kita, agar kita membacanya di waktu shalat, memperhatikannya di kala sendirian, melaksanakannya dalam ketaat dan sesuai dengan As-Sunnah yang harus diikuti.”
Malik bin Dinar berkata, “Apa yang telah ditanamkan Al-Qur’an ….. dalam hati kalian hai orang-orang yang membaca Al-Qur’an? Al-Qur’an adalah musim semi bagi orang Mukmin  sebagaimana hujan yang  merupakan berseminya tanaman di bumi.”
Qatadah berkata, “Tidaklah seseorang duduk di sisi Al-Qur’an ini melainkan dia bangkit dengan membawa tambahan atau pengurangan. Allah berfirman,
“Dan kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.” (Al-Isra’ : 82)
Memasukkan Pengaruh
Di antara adab yang bersifat batin kala membaca Al-Qur’an, seperti yang dikatakan Al-Imam Al-Ghazaly ialah ta’atsur. Artinya membuat hatinya terpengaruh dengan berbagai macam pengaruh, tergantung dari jenis ayat, yang berarti juga bergantung kepada pemahaman keadaan dan kesungguhan sifat di dalam hati, seperti rasa sedih, takut, berharap dan lain-lainnya. Jika ma’rifatnya sempurna, maka ketakutan akan lebih merasuki hatinya. Sebab pengaruh tekanan lebih banyak dihasilkan ayat-ayat Al-Qur’an. Tidak ada penyembutan ampunan dan rahmat melainkan disertai dengan beberapa syarat, sehingga orang yang tahu pun memiliki keterbatasan  untuk mendapatkannya. Contohnya adalah firman Allah,
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun.” (Thaha : 82)
Yang kemudian disusuli dengan empat macam syarat, “Bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha : 82).
Begitu pula Firman Allah,
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang  beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihat supaya menetapi kesabaran.” (Al-Ashar : 1-3)
Di surat ini disebutkan empat syarat. Tapi di samping itu Al-Qur’an juga menyebutkan satu syarat yang bersifat menyeluruh,
“Sesungguhnya rahmat Allah itu amat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-A’raf : 56).
Berbuat baik meliputi segala hal.  Begitulah yang bisa didapatkan orang yang membuka lembaran-lembaran Al-Qur’an dari awal hingga akhirnya.
Wahib bin Al-Warad berkata, “Di dalam nasihat-nasihat yang disampaikan ini kami tidak mendapatkan sesuatu yang lebih halus bagi hati dan tidak mendatangkan  kesedihan daripada membaca Al-Qur’an, memahami dan mencermatinya.”
Pengaruh yang dirasakan hamba ketika membaca harus sejalan dengan sifat ayat yang dibaca. Ketika membaca ayat ancaman dan pembatasan ampunan dengan beberapa syarat yang rasanya berat untuk dilaksanakan, maka diaharus merasa seakan-akan hampir mati. Ketika membaca ayat yang mengandung kelapangan  dan janji ampunan yang akan diterimanya, maka seakan-akan dia bisa terbang karena gembira. Ketika disebutkan nama Allah, sifat-sifat dan asma’-Nya, maka dia harus merunduk dan menekur karena pengagungan kepada-Nya dan measakan keagungan-Nya. Ketika membaca ayat-ayat tentang orang-orang kafir, maka dia mearsakan anggota tubuhnya gemetar karena takut kepada Allah.  Maka ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meminta Ibnu Mas’ud membaca Al-Qur’an bagi beliau, dan Ibnu Mas’ud sampai kepada ayat, “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu?” (An-Nisa : 41), maka kedua mata beliau berlinang air mata, karena membayangkan kesaksian pada hari itu, sehinga hal i ni menguasai seluruh hatinya.
Diantara orang-orang yang benar-benar takut ada yang pingsan ketika mendengar ayat yang berisa peringatan dan ancaman. Bahkan di antara mereka ada yang meninggal saat itu pula. Keadaan yang seperti ini sudah keluar dari pembicaraan kita kali ini dan terlalu sulit untuk dikisahkan.
Jika seseorang membaca ayat, “Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali”, tapi keadaannya b ukan layaknya orang yang tawakal dan kembali kepada Allah, maka orang semacam inilah yang perlu dibicarakan.
Jika dia membaca ayat, “Dan  kami sungguh-sungguh  akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kalian lakukan kepada kami,” maka hendaklah keadaannya sebagaimana keadaan oarng yang sabar dan teguh hati, agar dia merasakan kenikmatan membaca. Jika dia tidak memiliki sifat-sifat ini dan hatinya tidak tergetar, maka apa yang dilakukannya saat membaca hanya sekedar gerakan lidah, yang bisa jadi dia akan mendapat laknat dan kemurkaan Allah, seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat berikut,
“Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zhalim”(Hud :18)
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tiada kalian kerjakan.”(Ash-Shaff :3)
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.”(An-Najm: 29).
“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka adalah orang-orang yang zhalim.” (Al-Hujarat :11)
Masih banyak ayat lain yang senada, yang semuanya masuk dalam makna firman Allah,
“Dan di antara mereka ada yang buta hruuf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga,” (Al-Baqarah : 78).
Artinya, mereka hanya sekedar membaca. Titik. Maka firman Allah, bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling darinya.”(Yusuf : 105).
Al-Qur’anlah yang menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dan di bumi. Jika ayat-ayat Al-Qur’an itu dibaca sepintas  lalu saja tanpa merasakan pengaruhnya, maka dia sama dengan orang yang berpaling darinya. Karena itu ada yang berkata, “Siapa yang tidak berperilaku sesuai dengan akhlak Al-Qur’an, maka Allah akan berseru kepadanya, ‘Mengapa kamu berpaling dari-Ku padahal kamu sudah membaca kalam-Ku? Tinggalkan kalam-Ku jika kamu tidak bertaubah’.”
Perumpamaan orang durhaka saat membaca Al-Qur’an dan dia mengulang-ulangnya ialah seperti orang yang membaca surat raja secara berulang-ulang setiap hari, yang isinya perintah untuk memajukan negara, sementara dia hanya sibuk membaca surat dan mempelajari surat itu. Sekiranya saja dia tidak sibuk hanya dengan perbuatannya itu, tentu dia tidakakan ditegur dan dimurkai raja. Karena itu Yusuf bin Asbath berkata, “Aku benar-benar ingin membaca Al-Qur’an. Jika aku mengingat apa yang terkandung di dalamnya, maka aku takut datangnya murkaan. Karena itu aku ganti bertasbih dan memohon ampunan.”
Tentang orang yang tidak mengamalkan isi Al-Qur’an ini telah terkandung dalam makna firman Allah,
“Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatllah buruk tukaran yang mereka terima.”(Ali Imran : 187).
Karena itulah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an selagi hati kalian menyatu dengannya, dan jika kalian berseberangan dengannya, maka tinggalkanlah.” (Muttafaq Alaihi).
Allah berfirman.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebutkan nama Allah, gemetarlah hati mereka, dana apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb mereka bertawakal.” (Al-Anfal : 2),
Al-Qur’an dimaksudkan untuk mendatangkan keadaan hati seperti ini dan untuk membuatnya aktif. Jika tidak, maka beban menggerakkan lidah dengan huruf-hurufnya menjadi terasa ringan. Karena itu sebagian qari’ berkata, “Aku membaca Al-Qur’an di hadapan seorang guruku. Kemudian aku mengulang sekali lagi, dan guruku itu pun menghardik dengan berkata, ‘Kamu menimbulkan pengaruh terhadap diriku. Pergilah dan bacalah di hadapan Allah, lalu lihatlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan apayang dilarang-Nya darimu’.”

Mengenal Ilmu Tauhid

Mengenal Ilmu Tauhid

Apakah ilmu tauhid itu? Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas pengokohan keyakinan-keyakinan agama Islam dengan dalil-dalil naqli maupun aqli yang pasti kebenarannya sehingga dapat menghilangkan semua keraguan, ilmu yang menyingkap kebatilan orang-orang kafir, kerancuan dan kedustaan mereka. Dengan ilmu tauhid ini, jiwa kita akan kokoh, dan hati pun akan tenang dengan iman. Dinamakan ilmu tauhid karena pembahasan terpenting di dalamnya adalah tentang tauhidullah (mengesakan Allah). Allah swt. berfirman: أَفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d: 19)
Bidang Pembahasan Ilmu Tauhid
Apa saja yang dibahas? Ilmu tauhid membahas enam hal, yaitu:
1. Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah hanya untuk-Nya tanpa sekutu apapun bentuknya.
2. Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk ilahi, mengetahui sifat-sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti jujur dan amanah, mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka seperti dusta dan khianat, mengetahui mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan mereka, khususnya mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad saw.
3. Iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia yang panjang.
4. Iman kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan hubungan mereka dengan manusia di dunia dan akhirat.
5. Iman kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah sebagai balasan bagi orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang kafir (neraka).
6. Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur dengan takdir-Nya semua yang ada di alam semesta ini.
Allah swt berfirman:
“آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (Al-Baqarah: 285)
Rasulullah saw. ditanya tentang iman, beliau menjawab,
أنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
“Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim).
Kedudukan Ilmu Tauhid di Antara Semua Ilmu
Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemulian tema yang dibahasnya. Ilmu kedokteran lebih mulia dari teknik perkayuan karena teknik perkayuan membahas seluk beluk kayu sedangkan kedokteran membahas tubuh manusia. Begitu pula dengan ilmu tauhid, ini ilmu paling mulia karena objek pembahasannya adalah sesuatu yang paling mulia. Adakah yang lebih agung selain Pencipta alam semesta ini? Adakah manusia yang lebih suci daripada para rasul? Adakah yang lebih penting bagi manusia selain mengenal Rabb dan Penciptanya, mengenal tujuan keberadaannya di dunia, untuk apa ia diciptakan, dan bagaimana nasibnya setelah ia mati?
Apalagi ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama.
Karena itu, hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah sampai ia betul-betul memiliki keyakinan dan kepuasan hati serta akal bahwa ia berada di atas agama yang benar. Sedangkan mempelajari lebih dari itu hukumnya fardhu kifayah, artinya jika telah ada yang mengetahui, yang lain tidak berdosa. Allah swt. berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Al-Quran adalah Kitab Tauhid Terbesar
Sesungguhnya pembahasan utama Al-Quran adalah tauhid. Kita tidak akan menemukan satu halaman pun yang tidak mengandung ajakan untuk beriman kepada Allah, rasul-Nya, atau hari akhir, malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, atau taqdir yang diberlakukan bagi alam semesta ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ayat Al-Quran yang diturunkan sebelum hijrah (ayat-ayat Makkiyyah) berisi tauhid dan yang terkait dengan tauhid.
Karena itu tak heran masalah tauhid menjadi perhatian kaum muslimin sejak dulu, sebagaimana masalah ini menjadi perhatian Al-Quran. Bahkan, tema tauhid adalah tema utama dakwah mereka. Umat Islam sejak dahulu berdakwah mengajak orang kepada agama Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Mereka mendakwahkan bukti-bukti kebenaran akidah Islam agar manusia mau beriman kepada akidah yang lurus ini.
Bagi seorang muslim, akidah adalah segala-galanya. Tatkala umat Islam mengabaikan akidah mereka yang benar -yang harus mereka pelajari melalui ilmu tauhid yang didasari oleh bukti-bukti dan dalil yang kuat– mulailah kelemahan masuk ke dalam keyakinan sebagian besar kaum muslimin. Kelemahan akidah akan berakibat pada amal dan produktivitas mereka. Dengan semakin luasnya kerusakan itu, maka orang-orang yang memusuhi Islam akan mudah mengalahkan mereka. Menjajah negeri mereka dan menghinakan mereka di negeri mereka sendiri.
Sejarah membuktikan bahwa umat Islam generasi awal sangat memperhatikan tauhid sehingga mereka mulia dan memimpin dunia. Sejarah juga mengajarkan kepada kita, ketika umat Islam mengabaikannnya akidah, mereka menjadi lemah. Kelemahan perilaku dan amal umat Islam telah memberi kesempatan orang-orang kafir untuk menjajah negeri dan tanah air umat Islam. (dkwt)

Syurut Qobulu Syahadatain (Syarat Diterimanya Syahadatain), bagian ke-1

Syurut Qobulu Syahadatain (Syarat Diterimanya Syahadatain), bagian ke-1

شُرُوْطُ قَبُوْلِ الشَّهَادَتْيِن
Syahadah yang diikrarkan seorang muslim tidak hanya sebagai ibadah lisan yang hanya diucapkan. Ia juga mencakup sikap dan perbuatan. Di mana syahadah menuntut seseorang untuk melakukan dan bersikap sesuai dengan tuntutan syahadah tersebut. Dan agar Syahadah diterima serta seseorang mendapatkan apa yang dijanjikan Allah kepadanya dengan syahadahnya itu, maka ada beberapa syarat yang mesti dimiliki oleh seseorang yang telah mengikrarkan syahadahnya. Di antaranya adalah:
1. Ilmu yang menolak kebodohan
(الْعِلْمُ الْمُنَافِي لِلْجَهْلِ )
Seseorang yang bersyahadah mesti memiliki ilmu tentang syahadatnya. Ia wajib memahami arti dua kalimat ini (Laa Ilaha Illa Allah, Muhammadur rasulullah) serta bersedia menerima hasil ucapannya. Dari kalimat syahadatain tersebut, maka seorang muslim juga harus memiliki ilmu tentang Allah, ma’rifatullah (mengenal Allah), dan ilmu tentang Rasulullah. Mengenal secara baik terhadap Allah dan Rasul-Nya menjadikan seseorang dapat memberikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya tidak mengenal (bodoh) terhadap Allah dan Rasul-Nya menyebabkan seseorang tidak mampu menunaikan hak-hak Allah dan Rasul-Nya . Allah SWT berfirman dalam surat Muhammad:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ �$88َمَثْوَاكُمْ
”Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (QS. Muhammad: 19).
Orang yang jahil atau bodoh tentang makna syahadatain tidak mungkin dapat mengamalkan dua kalimat syahadat tersebut.
2. Keyakinan yang menolak keraguan
(اَلْيَقِيْنُ الْمُنَافِي لِلشَّكِّ )
Syahadah yang diikrarkan juga harus dibarengi dengan keyakinan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Yakin bahwa Allah sebagai Pencipta, Pemberi Rezki, Ma’bud (Yang layak disembah), dan lain sebagainya, serta yakin bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir yang diutus Allah. Seseorang yang bersyahadat mesti meyakini ucapannya sebagai suatu yang diimaninya dengan sepenuh hati tanpa keraguan. Keyakinan membawa seseorang pada istiqamah dan mendorong seseorang melakukan konsekuensinya, sedangkan ragu-ragu menimbulkan kemunafikan.
Iman yang benar adalah yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun tentang ketauhidan Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15).
Selain itu, keyakinan kepada Allah SWT menjadikan seseorang terpimpin dalam hidayah. Allah SWT berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (QS. As-Sajadah: 24).
Keyakinan kepada Allah menuntut keyakinan kepada firman-Nya yang tertulis pada kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi dan rasul. Allah SWT menurunkan kitab-kitab itu sebagai petunjuk hidup. Dan di antara ciri mukmin adalah tidak ragu terhadap kebenaran Kitabullah dan yakin terhadap hari Akhir. Sebagaimana dalam firman-Nya:
الم
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
”Alif laam miin. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5). (dkwt)

Syurut Qobulu Syahadatain (Syarat Diterimanya Syahadatain), bagian ke-2

Syurut Qobulu Syahadatain (Syarat Diterimanya Syahadatain), bagian ke-2

Dua kalimat syahadat 3. Keikhlasan Yang Menolak Kesyirikan
Ucapan syahadat mesti diiringi dengan niat yang ikhlas lillahi ta’ala. Ucapan syahadat yang bercampur dengan riya’ atau ada niat lain yang bukan untuk Allah SWT, maka ia akan tertolak. Terlebih lagi ketika nilai tauhid terkotori oleh kesyirikan. Ikhlas dalam bersyahadat merupakan dasar yang paling penting dalam pelaksanaan syahadat.
Syahadat merupakan ibadah, karenanya harus dilakukan dengan ikhlas. Allah SWT berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Selain itu, kesyirikan menghapus amal-amal seseorang, betapapun banyaknya amal itu.
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
”Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65).
Dan ibadah yang tidak diniatkan dengan ikhlas tidak diterima oleh Allah Ta’ala.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
”Katakanlah: Sesungguhnya Aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya“. (QS. Al-Kahfi: 110).
4. As-Shidqu (Benar) Yang Menolak Kebohongan (Dusta)
Dalam pernyataan syahadat muslim wajib membenarkannya tanpa dicampuri sedikit pun dusta (bohong). Ash-Shidqu ma’allah mutlak diperlukan demi menjaga kemurnian tauhid seseorang. Benar adalah landasan iman, sedangkan dusta landasan kufur. Sikap shiddiq akan menimbulkan ketaatan dan amanah. Sedangkan dusta menimbulkan kemaksiatan dan pengkhianatan. Dusta dan berbohong bertentangan dengan nilai kejujuran, membuat keimanan seseorang ditolak oleh Allah.
Ciri-ciri taqwa adalah sikap shiddiq (jujur). Sebagaimana firman Allah SWT,
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka Itulah orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zumar: 33).
Orang yang benar dan jujur syahadahnya akan terbukti dalam medan jihad dan Allah membalas mereka, sedangkan orang-orang munafik akan mendapat siksa.
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
لِيَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya). Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 23-24).
Sedangkan ciri kemunafikan adalah dusta. Sebagaimana dalam firman-Nya,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 8-10).
Kebenaran dan kemunafikan diuji melalui cobaan. Untuk dilihat siapa sesungguhnya yang jujur dengan keimanannya.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 2-3).
Sikap benar mengajak kepada kebaikan dan kebaikan membawa ke surga. Sifat dusta mengajak kepada keburukan dan keburukan membawa ke neraka. Rasulullah bersabda,
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارـ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا
“Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebajikan dan kebajikan menunjukkan kepada surga. Seseorang berlaku jujur sehingga ia dicatat sebagai orang jujur. Sesungguhnya dusta menunjukkan kepada kejahatan dan kejahatan menunjukkan kepada neraka. Seseorang berlaku dusta hingga ia ditulis sebagai pendusta.” (HR. Bukhari Muslim).
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim melakukan hal-hal yang sejalan dengan keyakinannya dan meninggalkan yang meragukannya, sesungguhnya benar itu menenangkan (hati) sedangkan dusta itu meragu-ragukan.
Rasulullah bersabda,
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (dkwt)

Syurut Qobulu Syahadatain (Syarat Diterimanya Syahadatain), bagian ke-3

Syurut Qobulu Syahadatain (Syarat Diterimanya Syahadatain), bagian ke-3

5. Mahabbah (Kecintaan) Yang Menolak Kebencian.
Dalam menyatakan syahadat ia mendasarkan pernyataannya dengan cinta. Cinta ialah rasa suka yang melapangkan dada.  Ia merupakan ruh dari ibadah, sedangkan syahadatain merupakan ibadah yang paling utama. Dengan rasa cinta ini segala beban akan terasa ringan, tuntutan syahadatain akan dapat dilaksanakan dengan mudah.
Cinta kepada Allah yang teramat sangat merupakan sifat utama orang beriman. Allah berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
”Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al Baqarah: 165)
Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya menyebabkan datangnya rasa manis keimanan, sabda Rasulullah saw.,
قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
”Ada tiga perkara yang barangsiapa pada dirinya terdapat perkara itu akan mendapatkan manisnya iman; agar Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selainnya. Agar mencintai seseorang atau membencinya karena Allah. Dan agar benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci jika dilemparkan ke neraka.” (Muttafaq Alaihi).
Seorang mukmin mendahulukan kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad dari kecintaan terhadap yang lain.
قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
”Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24),
6. Menerima Yang Jauh Dari Penolakan.
Muslim secara mutlak menerima nilai-nilai serta kandungan isi syahadatain.  Tidak ada keberatan dan tanpa rasa terpaksa sedikit pun.  Baginya tidak ada pilihan lain kecuali Kitabullah dan sunnah Rasul. Ia senantiasa siap untuk mendengar, tunduk, patuh dan taat terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.
Mukmin adalah mereka yang bertahkim (berhukum) kepada Rasul Allah dalam seluruh persoalannya kemudian ia menerima secara total keputusan Rasul, tanpa ragu-ragu dan kebenaran sedikit pun.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereja perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’: 65).
Ciri orang beriman ialah menerima ketentuan dan perintah Allah tanpa keberatan dan pilihan lain.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36).
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (QS. Al-Qashash: 68).
Ciri mukmin ialah mendengar dan taat terhadap Allah dan Rasul dalam seluruh masalah hidup mereka.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh“. dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur: 51).
7. Pelaksanaan Yang Jauh Dari Sikap Statis atau Diam.
Syahadatain hanya dapat dilaksanakan apabila diwujudkan dalam amal yang nyata. Maka muslim yang bersyahadat selalu siap melaksanakan ajaran Islam yang menjadi aplikasi syahadatain. Ia menentukan agar hukum dan undang-undang Allah berlaku pada diri, keluarga maupun masyarakatnya.
Perintah Allah untuk bekerja di jalan-Nya dengan perhitungan nilai kerja itu di sisi Allah.
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105).
Orang yang beramal shalih karena Allah, baik-laki-laki maupun perempuan akan mendapat kehidupan yang baik dan surga Allah.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) (dkwt)

Wujud dan Sifat Allah

Wujud dan Sifat Allah

Pembahasan ini merupakan pembahasan yang wajib diketahui oleh setiap muslim, sebagaimana wajibnya seorang muslim untuk mengenal Tuhannya, Allah swt. Pembahasan ini merupakan pengantar dari kajian Ilmu Tauhid (Keesaan Allah swt.). Diharapkan dengan menguasai kajian ini seorang hamba dapat lebih mengenal dirinya sebagai hamba dan bagaimana seharusnya bersikap sebagai hamba, dan juga lebih mengenal Tuhannya, Allah swt., sehingga mengetahui bagaimana ia bersikap di hadapan Tuhannya serta beribadah sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya menurut apa yang disukai-Nya. Sebagai contoh dari harapan pembahasan ini adalah mengenal (salah satu) Sifat Allah swt. bahwa Dia adalah Maha Besar; dan sebaliknya bahwa manusia penuh dengan kelemahan. Setelah mengetahuinya diharapkan seorang hamba akan dapat merasakan kebesaran Allah swt dan merasakan kelemahan dirinya sehingga tidak ada lagi padanya sifat sombong, merasa hebat, merasa besar, merasa paling benar dan sebagainya.
A. Mengetahui Wujud Allah (مَعْرِفَةُ وُجُوْدِ اللهِ)
Bagaimana kita dapat mengetahui wujud Allah swt.? Bila Anda melihat mobil bergerak di depan Anda dari jauh, atau menyaksikan pesawat terbang melintas di udara, maka dengan yakin Anda mengatakan bahwa pasti ada sopir yang menyetir mobil dan ada pilot yang mengendalikan pesawat meskipun Anda tidak melihat mereka berdua. Karena jika yang mengendalikan mobil atau pesawat itu tidak ada, mustahil mobil atau pesawat itu dapat melalui rutenya dengan selamat.
Bagaimana kaitannya dengan wujud Allah? Jawabnya, kita melihat matahari, bulan, bintang dan planet bergerak teratur, malam dan siang berganti dengan keteraturan yang amat detil. Mungkinkah mereka ada dan bergerak sendiri? Tidak diragukan lagi bahwa semuanya telah diciptakan dan diatur oleh Allah swt. Jika Allah tidak ada – kita memohon ampun kepada-Nya – mustahil matahari, bulan, bintang-bintang, planet, siang, dan malam menjadi ada dan bertahan dengan pergerakannya yang amat teratur. Dengan demikian pula tidak akan ada makhluk yang sangat tergantung dengan mereka semua.
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (52:35-36).
Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’ dan indera.
1. Dalil Fitrah.
Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya. Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
“Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Kristen, atau Majusi. ” (HR. Al Bukhari)
Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya.
Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an:
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘ (Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’” (QS. Al A’raf: 172-173).
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)
2. Dalil Al Hissyi (Dalil Indrawi)
Bukti indera tentang wujud Allah dapat dibagi menjadi dua:
a. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” (Al Anbiyaa 76)
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu…” (Al Anfaal 9)
Anas bin Malik berkata, “Pernah ada seorang Badui datang pada hari Jum’at. Pada waktu itu Nabi tengah berkhutbah. Lelaki itu berkata, “Hai Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah untuk mengatasi kesulitan kami. ” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa. Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada hari Jum’at yang kedua, orang Badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul Allah, bangunan kami hancur dan harta benda pun tenggelam, doakanlah akan kami ini (agar selamat) kepada Allah. ” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa: “Ya Rabbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan janganlah Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami. ” Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat, kecuali menjadi terang (tanpa hujan). ” (HR. Al Bukhari)
b. Tanda-tanda para Nabi yang disebut mu’jizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang keberadaan Yang Mengutus para Nabi tersebut, yaitu Allah, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para Rasul.
Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman, yang artinya: “Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. ” (Asy Syu’ara 63)
Contoh kedua adalah mu’jizat Nabi Isa ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah.
“…dan aku menghidupkan orang mati dengan seijin Allah…” (Al Imran 49)
“…dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan ijin-Ku…” (Al Maidah 110)
Contoh ketiga adalah mu’jizat Nabi Muhammad ketika kaum Quraisy meminta tanda atau mu’jizat. Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-orang dapat menyaksikannya. Allah berfirman tentang hal ini, yang artinya: “Telah dekat (datangnya) saat (Kiamat) dan telah terbelah pula bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mu’jizat), mereka berpaling dan berkata: “ (Ini adalah) sihir yang terus-menerus. ” (Al Qomar 1-2)
Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujud-Nya.
3. Dalil ‘Aqli (dalil akal pikiran)
Bukti akal tentang adanya Allah adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.
Lihatlah sekeliling anda dari tempat duduk anda. Akan anda dapati bahwa segala sesuatu di ruang ini adalah “buatan”: dindingnya sendiri, pelapisnya, atapnya, kursi tempat duduk anda, gelas di atas meja dan pernak-pernik tak terhitung lainnya. Tidak ada satu pun yang berada di ruang anda dengan kehendak mereka . Gulungan tikar sederhana pun dibuat oleh seseorang: mereka tidak muncul dengan spontan atau secara kebetulan.
Begitu pula, orang yang memandang suatu pahatan tidak sangsi sama sekali bahwa pahatan ini dibuat oleh seorang pemahat. Hal ini bukan mengenai karya seni saja: batu bata yang bertumpukan pun pasti dikira oleh siapa saja bahwa tumpukan batu bata sedemikian itu disusun oleh seseorang dengan rencana tertentu. Karena itu, di mana saja yang terdapat suatu keteraturan, entah besar entah kecil, pasti ada penyusun dan pelindung keteraturan ini. Jika pada suatu hari seseorang berkata dan menyatakan bahwa besi mentah dan batu bara bersama-sama membentuk baja secara kebetulan, yang kemudian membentuk Menara Eiffel secara lagi-lagi kebetulan, tidakkah ia dan orang yang mempercayainya akan dianggap gila?
Pernyataan teori evolusi, suatu metode unik penyangkal keberadaan Allah, tidak berbeda daripada ini. Menurut teori ini, molekul-molekul anorganik membentuk asam-asam amino secara kebetulan, asam-asam amino membentuk protein-protein secara kebetulan, dan akhirnya protein-protein membentuk makhluk hidup secara lagi-lagi kebetulan. Akan tetapi, kemungkinan pembentukan makhluk hidup secara kebetulan ini lebih kecil daripada kemungkinan pembentukan Menara Eiffel dengan cara yang serupa, karena sel manusia bahkan lebih rumit daripada segala struktur buatan manusia di dunia ini.
Bagaimana mungkin mengira bahwa keseimbangan di dunia ini timbul secara kebetulan bila keserasian alam yang luar biasa ini pun bisa teramati dengan mata telanjang? Pernyataan bahwa alam semesta, yang semua unsurnya menyiratkan keberadaan Penciptanya, muncul dengan kehendaknya sendiri itu tidak masuk akal.
Karena itu, pada keseimbangan yang bisa dilihat di mana-mana dari tubuh kita sampai ujung-ujung terjauh alam semesta yang luasnya tak terbayangkan ini pasti ada pemiliknya. Jadi, siapakah Pencipta ini yang mentakdirkan segala sesuatu secara cermat dan menciptakan semuanya?
Ia tidak mungkin Dzat material yang hadir di alam semesta ini, karena Ia pasti sudah ada sebelum adanya alam semesta dan menciptakan alam semesta dari sana. Pencipta Yang Maha Kuasa, Dialah yang mengadakan segala sesuatu, sekalipun keberadaan-Nya tanpa awal atau pun akhir.
Agama mengajari kita identitas Pencipta kita yang keberadaannya kita temukan melalui akal kita. Melalui agama yang diungkapkan kepada kita, kita tahu bahwa Dia itu Allah, Maha Pengasih dan Maha Pemurah, Yang menciptakan langit dan bumi dari kehampaan.
Meskipun kebanyakan orang mempunyai kemampuan untuk memahami kenyataan ini, mereka menjalani kehidupan tanpa menyadari hal itu. Bila mereka memandang lukisan pajangan, mereka takjub siapa pelukisnya. Lalu, mereka memuji-muji senimannya panjang-lebar perihal keindahan karya seninya. Walau ada kenyataan bahwa mereka menghadapi begitu banyak keaslian yang menggambarkan hal itu di sekeliling mereka, mereka masih tidak mengakui keberadaan Allah, satu-satunya pemilik keindahan-keindahan ini. Sesungguhnya, penelitian yang mendalam pun tidak dibutuhkan untuk memahami keberadaan Allah. Bahkan seandainya seseorang harus tinggal di suatu ruang sejak kelahirannya, pernak-pernik bukti di ruang itu saja sudah cukup bagi dia untuk menyadari keberadaan Allah.
Tubuh manusia menyediakan begitu banyak bukti yang mungkin tidak terdapat di berjilid-jilid ensiklopedi. Bahkan dengan berpikir beberapa menit saja mengenai itu semua sudah memadai untuk memahami keberadaan Allah. Tatanan yang ada ini dilindungi dan dipelihara oleh Dia.
Tubuh manusia bukan satu-satunya bahan pemikiran. Kehidupan itu ada di setiap milimeter bidang di bumi ini, entah bisa diamati oleh manusia entah tidak. Dunia ini mengandung begitu banyak makhluk hidup, dari organisme uniseluler hingga tanaman, dari serangga hingga binatang laut, dan dari burung hingga manusia. Jika anda menjumput segenggam tanah dan memandangnya, di sini pun anda bisa menemukan banyak makhluk hidup dengan karakteristik yang berlainan. Di kulit anda pun, terdapat banyak makhluk hidup yang namanya tidak anda kenal. Di isi perut semua makhluk hidup terdapat jutaan bakteri atau organisme uniseluler yang membantu pencernaan. Populasi hewan di dunia ini jauh lebih banyak daripada populasi manusia.
Jika kita juga mempertimbangkan dunia flora, kita lihat bahwa tidak ada noktah tunggal di bumi ini yang tidak mengandung kehidupan. Semua makhluk ini yang tertebar di suatu bidang seluas lebih daripada jutaan kilometer persegi itu mempunyai sistem tubuh yang berlainan, kehidupan yang berbeda, dan pengaruh yang berbeda terhadap keseimbangan lingkungan. Pernyataan bahwa semua ini muncul secara kebetulan tanpa maksud atau pun tujuan itu gila-gilaan. Tidak ada makhluk hidup yang muncul melalui kehendak atau upaya mereka sendiri. Tidak ada peristiwa kebetulan yang bisa menghasilkan sistem-sistem yang serumit itu.
Semua bukti ini mengarahkan kita ke suatu kesimpulan bahwa alam semesta berjalan dengan “kesadaran” (consciousness) tertentu. Lantas, apa sumber kesadaran ini? Tentu saja bukan makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya. Tidak ada satu pun yang menjaga keserasian tatanan ini. Keberadaan dan keagungan Allah mengungkap sendiri melalui bukti-bukti yang tak terhitung di alam semesta. Sebenarnya, tidak ada satu orang pun di bumi ini yang tidak akan menerima kenyataan bukti ini dalam hati sanubarinya. Sekalipun demikian, mereka masih mengingkarinya “secara lalim dan angkuh, kendati hati sanubari mereka meyakininya” sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Qur’an. (Surat An-Naml: 14)
Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.
Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.
Allah menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath Thuur: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath Thuur 35)
Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah.
Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah yang tengah membaca surat Ath Thuur dan sampai kepada ayat-ayat ini: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekakah yang berkuasa?” (Ath Thuur 35-37)
“Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku. ” (HR. Al Bukhari)
Dalam hal ini kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang berkata kepada Anda tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan penyempurna, lalu orang itu mengatakan kepada Anda bahwa istana dengan segala kesempurnaannya ini tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti Anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini kami bertanya pada Anda, masih mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang berada di dalamnya tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan?!
4. Dalil Naqli (Dalil Syara’)
Bukti syara’ tentang wujud Allah bahwa seluruh kitab langit berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. 4:82)
Demikian juga adanya para Rasul dan agama yang bersesuaian dengan kemaslahatan umat manusia menunjukkan adanya Allah, karena tidak mungkin ada agama dan Rasul kecuali ada yang mengutusnya. Akan tetapi agama-agama yang ada selain Islam telah mengalami penyimpangan dan perubahan sehingga mereka menyimpang dari jalan yang lurus.
Setelah kita mengenal dan mengimani keberadaan Allah sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka perlu kita kenali Allah sebagai Rabb yang telah menciptakan, memiliki dan mengatur semua makhluknya, Dialah satu-satunya pencipta yang mengadakan sesuatu dari ketiadaan, Allah berfirman:
Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya:”Jadilah”. Lalu jadilah ia. (QS. 2:117)
Dialah satu-satunya pemilik sebagaimana Dia adalah satu-satunya pencipta, demikian juga Dia pengatur satu-satunya yang mengatur segala sesuatu. Semua ini diakui oleh kaum musyrikin Makkah, sebagaimana diberitakan dalam Al Qur’an: Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan.” Maka mereka menjawab: “Allah.” Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (QS. 10:31)
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah: “Sipakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (QS. 23:84-89)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka :”Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah). (QS. 43:87)
Ini semua menunjukkan imannya kaum musyrikin terhadap Rububiyah Allah, akan tetapi hal ini tidak cukup untuk menyelamatkan mereka. Memang demikianlah, sebab mereka belum merealisasikan iman mereka terhadap Allah sebagai satu-satunya sesembahan.
5. Dalil Sejarah.
Adalah dalil-dalil kekuasaan dan keagungan Allah yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang telah berlaku di atas muka bumi.
• Q. 3:137, Sesungguhnya telah lalu beberapa peraturan (Allah) sebelum kamu, maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibatnya orang-orang yang mendustakan agama.
• Q. 7:176, Demikianlah umpamanya kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sebab itu kisahkanlah kisah itu, mudah-mudahan mereka berpikir.
• Q. 12:111, Sesungguhnya dalam kisah-kisah mereka itu ada ibrah (pengajaran) bagi orang-orang yang berakal.
• Q. 11:120, Setiap riwayat kami kisahkan kepadamu di antara perkhabaran para Rasul supaya Kami tenteramkan hatimu dengannya.
6. Mengagungkan Allah dan MenTauhidkan Allah.
Dari semua dalil-dalil yang dapat dilihat di atas itu adalah berfungsi menguatkan pandangan kita betapa keagungan Allah swt begitu luar biasa dan menundukkan kita sendiri di hadapan keagungan ini. Langsung mencetuskan Tauhidullah yang luar biasa.
• Q. 21:92, Sesungguhnya ini, ummat kamu (hai mukminin) ummat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu sembahlah Aku.
B. Mengenal sifat-sifat Allah swt (مَعْرِفَةُ صِفَاتِ اللهِ)
Bagaimana kita mengenal sifat Allah? Kita dapat mengenal sifat Allah swt melalui:
• التَّفْكِيْرُ فِي مَخْلُوقَاتِ اللهِ Tafakkur (memikirkan) ciptaan Allah.
• التَّعَلُّمُ مِنْ رُسُلِهِ Belajar dari ajaran yang dibawa para rasul
Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptakan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini. (45:3-4).
Apa maksudnya kita dapat mengenal sifat Allah melalui tafakkur terhadap ciptaan-Nya? Bila Anda memperhatikan sebuah mobil, Anda dapat memastikan bahwa:
• Logam yang ada pada mobil itu menunjukkan kepada Anda bahwa pembuat mobil tersebut memiliki logam dan kemampuan membentuk logam menjadi bentuk yang sesuai untuk mobil.
• Kaca yang Anda lihat menunjukkan bahwa pembuat mobil itu memiliki kaca serta kemampuan untuk membentuk kaca sesuai kebutuhan mobil (jendela, kaca depan, dll..).
• Begitu pula dengan kabel tembaga …
• Yang tidak kalah penting bahwa mobil tersebut menunjukkan bahwa pembuatnya mempunyai kehendak, dan ilmu untuk membuat mobil.
Apa hubungan antara contoh tadi dengan mengenal sifat Allah swt? Beberapa sifat pembuat mobil dapat kita ketahui melalui produk mobilnya, begitu pula dengan Allah swt (bagi-Nya permisalan yang maha agung, Dia tidak seperti makhluk-Nya) kita dapat mengetahui sebagian sifat-sifat Allah swt melalui tafakkur terhadap ciptaan-Nya.
• Bahwa hikmah (maksud & manfaat) dari setiap makhluk yang diciptakan menunjukkan bahwa Penciptanya memilki sifat Al-Hakim (Maha Bijaksana).
• Bahwa khibrah (ketelitian dan kedalaman) dari penciptaan semua makhluk menunjukkan bahwa Penciptanya memiliki sifat Al-Khabir (Maha dalam dan detil pengetahuan-Nya).
Mungkinkah kita mengetahui seluruh sifat-sifat Allah swt melalui tafakkur terhadap ciptaan-Nya? Tidak mungkin. Mengapa? Bila kita berpikir tentang sebuah mobil, kita mengetahui bahwa pembuatnya memiliki kemampuan, ilmu, ketelitian dan kehendak, dan bahwa ia memiliki materi untuk membuat mobil berupa logam, kaca, dll.. Tapi kita tahu apakah ia dermawan atau bakhil? Tinggi atau pendek? Menyukai kita atau membenci kita, adil atau zhalim?
Demikian juga kita tidak mungkin mengenal semua sifat Allah swt hanya dengan tafakkur, misalnya mengapa Allah menciptakan kita? Dan Mengapa Dia mematikan kita? Kita juga tidak mungkin tahu bahwa Allah adalah:
المَعْبُودُ Al-ma’bud (yang wajib diibadahi),
القُدُّوسُ Al-quddus (Maha Suci),
الأَعْلَى (Maha Tinggi),
الحَسِيْبُ (Maha Menghitung),
الغَفُورُ (Maha Pengampun).
Lalu bagaimana kita mengenal sifat Allah swt yang belum kita ketahui? Melalui para rasul ‘alaihimus salam yang telah mengajarkan kepada kita apa yang dikehendaki Allah untuk kita ketahui.
“dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (2:255).
C. Kesimpulan (الخُلاَصَةُ)
• Mobil dan pesawat terbang yang bergerak terarah sesuai rutenya menunjukkan adanya supir atau pilot
• Matahari, bulan, bintang, planet, malam dan siang yang bergerak teratur pasti menunjukkan adanya Zat yang Maha Mengatur, Allah swt.
• Seandainya Allah swt tidak ada, maka alam semesta ini pasti tidak ada.
• Bahwa mobil yang terdiri dari bahan pembentuknya menunjukkan bahwa pembuatnya memiliki semua bahan-bahan itu, bahwa ia memilki kehendak, ilmu dan kemampuan untuk membuat mobil dengan baik.
• Alam semesta yang sempurna menunjukkan bahwa Allah memiliki semua sifat-sifat kesempurnaan, manfaat dan hikmah yang dimiliki setiap makhluk menunjukkan bahwa Dia adalah AL-Hakim (Maha Bijaksana), kekuatan yang dimiliki oleh makhluk sebagai bukti bahwa Dia Maha Kuat.
• Allah swt mengutus kepada kita rasul-Nya untuk mengajarkan hal-hal yang tidak dapat kita ketahui hanya melalui tafakkur, seperti perintah & larangan-Nya, apa saja yang Dia ridhai atau murkai. (dkwt)