"Al Islam adalah agama Allah yang diperintahkan mempelajari aqidah dan syariatnya kepada Nabi Muhammad dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada manusia, serta mengajak mereka untuk menganutnya. "Aqidah artinya sesuatu yang menjadi pengikat hati dan batin manusia. "Syari'at adalah undang-undang yang diturunkan Allah yang mengatur hubungan Allah dengan manusia, mengatur hubungan sesama muslim,dgn manusia lainnya, dgn kehidupan dan alam semesta.
Selasa, 10 April 2012
Aisyah binti Abu Bakar, Radhiyallahu ‘anha, Wanita Cerdas Yang Paling Banyak Meriwayatkan Hadits
Aisyah binti Abu Bakar, Radhiyallahu ‘anha, Wanita Cerdas Yang Paling Banyak Meriwayatkan Hadits
Aisyah adalah istri Nabi Shallalahu ‘alaihi Wassalam putri Abu Bakar ash-Shiddiq teman dan orang yang paling dikasihi Nabi, Aisyah masuk Islam ketika masih kecil sesudah 18 orang yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam memperistrinya pada tahun 2 H.
Beliau mempelajari bahasa, Syair, ilmu kedokteran, nasab nasab dan hari hari Arab . Berkata Az-Zuhri “ Andaikata ilmu yang dikuasai Aisyah dibandingkan dengan yang dimiliki semua istri Nabi Shallallahu ’alaihi Wassalam dan ilmu seluruh wanita niscaya ilmu Aisyah yang lebih utama”. Urwah mengatakan “ aku tidak pernah melihat seorangpun yang mengerti ilmu kedokteran, syair dan fiqh melebihi Aisyah”.
Aisyah meriwayatkan 2.210 hadits, diantara keistimewaannya beliau sendiri kadang kadang mengeluarkan beberapa masalah dari sumbernya, berijtihad secara khusus, lalu mencocokannya dengan pendapat pada sahabat yang alim. Berkenaan dengan keahlian Aisyah, Az-Zarkasyi mengarang sebuah kitab khusus berjudul Al-Ijabah li Iradi mastadrakathu Aisyah ‘ala ash Shahabah.
Hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menyatakan bahwa beliau bersabda “ Ambillah separuh agama kalian dari istriku yang putih ini “, Sesungguhnya hadist ini tidak bersanad. Ibnu Hajar. Al-Mizzi, Adz Dzahabi dan Ibnu Katsir menandaskan bahwa hadist itu dusta dan dibuat buat.
Aisyah meriwayatkan hadits dari ayahnya Abu Bakar, dari Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Usaid bin Khudlair dan lain lain. Sedangkan sahabat yang meriwayatkan dari beliau ialah Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid bin Khalid al-Juhniy, Syafiyah binti Syabah dan beberapa yang lain. Tabi’in yang mengutip beliau ialah: Sa’id bin al-Musayyab, alqamah bin Qais, Masruq bin al-Ajda, Aisyah binti Thalhal, Amran binti Abdirrahman, dan Hafshah binti Sirin. Ketiga wanita yang disebutkan terakhir adalah murid murid Aisyah yang utama Ilmu Fiqh.
Sanad yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id dan Ubaidullah bin Umar bin Hafshin, dari Al Qasim bin Muhammad, dari Aisyah. Juga diriwayatkan oleh az-Zuhri atau Hisyam bin Urwah, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah. Yang paling Dlaif adalah yang diriwayatkan oleh al-Harits bin Syabl, dari Umm an Nu’man dari Aisyah.
Aisyah wafat pada 57 H, dan Abu Hurairah ikut mensholatkannya.
Sumber : Disalin dari Biografi Sayyidah Aisyah dalam Al-Ishabah, kitab an-Nis no 701; Thabaqat Ibn Sa’ad 8/39Adi bin Hatim, Pemimpin Suku At-Thai Yang Dijanjikan Menyaksikan Tiga Kebesaran Islam
Adi bin Hatim, Pemimpin Suku At-Thai Yang Dijanjikan Menyaksikan Tiga Kebesaran Islam
11 April 2012 pada 07:32 ·
Nama lengkapnya adalah Adi bin Hatim bin Abdullah bin Saad bin Hasyraj At-Thai, dijuluki dengan Abu Wahab dan Abu Tarif. Sahabat yang masuk Islam pada tahun 9 H ini terkenal sebagai orator yang sangat pandai. Beliau adalah kepala suku Thai baik pada masa jahiliah maupun masa Islam. Dia mempunyai jasa besar dalam menumpas kaum murtad dan ikut serta dalam penaklukan Irak. Beliau berdomisili di Kota Kufah dan wafat di sana.
Sejumlah raja Arab mulai menerima Islam sesudah mereka menentang keras. Mereka tunduk dan patuh kepada Rasulullah . Dari riwayat keislaman, tersebutlah kisah ‘Adi bin Hatim at-Tha’i yang pemurah. ‘Adi mewarisi kepemimpinan ayahnya sebagai penguasa suku at-Tha’i. Kaum Tha’i mengeluarkan seperempat harta mereka sebagai pajak kepada ‘Adi, untuk imbalan bagi kepemimpinannya.
Ketika Rasulullah mendakwahkan Islam, berangsur bangsa Arab mulai mendekat kepada beliau, suku demi suku. Tetapi, ‘Adi justru melihat pengaruh Rasulullah merupakan ancaman yang akan melenyapkan kepemimpinannya. Karena itu, dia memusuhi Rasulullah meski dia sendiri belum mengenal pribadi Nabi yang mulia itu.
Hampir dua puluh tahun dia memusuhi Islam. Sampai pada suatu hari hatinya menerima dakwah Rasul. Islamnya ‘Adi mempunyai kisah tersendiri. Dia menceritakannya sendiri, kisah yang menarik dan patut dipercaya. ‘Adi berkata: Tidak seorang pun bangsa Arab yang lebih benci daripada aku terhadap Rasulullah ketika mendengar berita tentang beliau dan kegiatan dakwahnya. Aku seorang pemimpin yang dihormati dan tinggal dengan kaumku di daerah kekuasaanku. Aku memungut pajak dari mereka seperempat dari penghasilan mereka, sama dengan yang dilakukan raja-raja Arab yang lain.
Ketika pengaruh Rasulullah bertambah besar dan tentaranya bertambah banyak, aku berkata kepada sahaya gembala ontaku, “Hai, anak manis! Siapkan onta betina yang gemuk dan jinak, lalu tambatkan selalu di dekatku. Bila kamu dengar tentara Muhammad atau ekspedisinya menjejakkan kaki di negeri ini, beritahukan kepadaku segera!”
Hingga suatu pagi, sahayaku datang menghadap. Katanya, “Wahai Tuanku! Apa yang akan Tuan-ku perbuat jika tentara berkuda Muhammad datang ke negeri ini, maka lakukanlah sekarang!”
Tanyaku, “Mengapa?” Jawabnya, “Hamba melihat beberapa bendera sekeliling kampung.” Lalu aku bertanya,” Bendera apa itu?”. Jawabnya, “Itulah bendera tentara Muhammad.”
Aku perintahkan sahayaku untuk menyiapkan onta tadi. Seketika itu juga aku memanggil istri dan anak-anakku untuk segera berangkat ke negeri yang aman, (Syam). Di sana kami bergabung dengan orang-orang seagama dengan kami dan tinggal di rumah mereka. Aku terburu-buru mengumpulkan semua keluargaku.
Setelah melewati tempat yang mencemaskan, ternyata ada keluargaku yang tertinggal. Saudara perempuanku tertinggal di negeri kami, Nejed, beserta penduduk Tha’i yang lain. Tidak ada jalan lain bagiku untuk menjemputnya kecuali kembali ke Tha’i. Aku terus berjalan dengan rombonganku sampai ke Syam dan menetap di sana. Saudara perempuanku aku biarkan tertinggal di Tha’i, tetapi mencemaskan hatiku. Ketika berada di Syam, aku mendapat berita, tentara berkuda Muhammad menyerang negeri kami. Saudara perempuanku tertangkap dan menjadi tawanan, kemudian dibawa ke Yatsrib bersama beberapa penduduk lainnya.
Di sana mereka ditempatkan dalam penjara dekat pintu masjid. Ketika Rasulullah lewat, saudaraku menyapa, “Ya Rasulullah! Bapakku telah binasa. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkan kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.” Rasul bertanya, “Siapa yang menjamin engkau?” Jawab saudaraku, “‘Adi bin Hatim!” Rasululah menjawab, “Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya.” Sesudah berkata begitu, Rasulullah pergi. Besok pagi Rasulullah lewat dekat saudaraku. Saudaraku berkata pula seperti kemarin kepada beliau. Kemudian beliau menjawab seperti yang kemarin pula.
Hari ketiga Rasulullah lewat, saudaraku lupa menyapa beliau. Seorang laki-laki memberi isyarat kepada saudaraku supaya menyapa beliau. Saudaraku berdiri menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah! Bapakku telah meninggal. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”
Rasulullah menjawab, “Saya penuhi permintaanmu!” Saudaraku berujar, “Saya ingin pergi ke Syam menemui keluargaku.” Rasulullah berkata, “Tetapi, engkau jangan buru-buru pergi ke sana, sebelum engkau dapatkan orang yang dapat dipercaya dari kaummu untuk mengantarmu. Bila engkau dapatkan orang yang dipercaya, beritahukan kepada saya.”
Setelah Rasulullah pergi, saudaraku menanyakan siapa laki-laki yang memberi isyarat kepadanya supaya menyapa Rasulullah. Dikatakan bahwa orang itu adalah Ali bin Abi Thalib.
Saudaraku tinggal di sana sebagai tawanan sampai datang orang yang dipercaya untuk membawanya ke Syam. Setelah orang itu datang, dia memberitahu kepada Rasulullah. Katanya, “Ya Rasulullah! Telah datang serombongan kaumku yang dipercaya dan mereka menyanggupi mengantarku.” Rasulullah memberi saudaraku pakaian, onta untuk kendaraan dan belanja secukupnya. Maka berangkatlah dia beserta rombongan tersebut.
Kami selau mencari-cari berita tentang saudaraku dan menunggu kedatangannya. Kami hampir tidak percaya apa yang diberitakan tentang Muhammad dengan segala kebaikannya terhadap saudaraku. Demi Allah! Pada suatu hari ketika aku sedang duduk di lingkungan keluargaku, tiba-tiba muncul seorang wanita dalam hawdaj (sekedup) menuju ke arah kami. Aku berkata, “Nah, itu anak perempuan Hatim!” Dugaan itu betul. Dia adalah saudaraku yang ditunggu-tunggu.
Setelah turun dari kendaraan, dia segera menghampiriku seraya berkata, “Anda tinggalkan kami, Anda dzalim! Istri dan anak-anak Anda, Anda bawa. Tetapi, bapak dan saudara perempuan Anda, serta yang lainnya Anda tinggalkan.” Aku menjawab, “Hai Adikku! Janganlah berkata begitu!” Aku berhasil menenangkannya. Setelah itu aku minta dia menceritakan pengalamannya. Selesai bercerita, aku berkata kepadanya, “Engkau wanita cerdik dan pintar. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang bernama Muhammad itu?” Dia menjawab, “Menurut pendapatku, demi Allah, sebaiknya temui dia segera. Jika dia Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya beruntunglah dia. Dan jika dia raja, tidak ada hinanya Anda berada di sampingnya. Anda adalah seorang raja pula.”
Maka, aku siapkan perlengkapanku, lalu aku pergi ke Madinah menemui Rasulullah . Tanpa iman dan kitab, aku mendengar berita bahwa beliau pernah berkata, “Sesungguhnya saya berharap semoga ‘Adi bin Hatim masuk Islam di hadapan saya.” Sampai di Yastrib, aku langsung masuk ke majelis Nabi , ketika beliau berada di dalam masjid. Aku memberi salam kepadanya. Mendengar salamku beliau bertanya, “Siapa itu?” Jawabku, “‘Adi bin Hatim!” Rasulullah berdiri menyongsongku. Beliau menggandeng tanganku lalu dibawa ke rumahnya. Ketika beliau membawaku, tiba-tiba seorang wanita tua yang dhaif (lemah) sedang menggendong seorang bayi, menemuinya minta sedekah. Wanita tua itu berbicara tentang kesulitan hidupnya. Beliau mendengarkan bicara wanita itu sampai selesai. Aku pun tegak menunggu.
Aku berkata kepada diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja!” Kemudian beliau menggandeng tanganku dan berjalan bersama-sama denganku sampai ke rumah beliau. Tiba di rumah, beliau mengambil sebuah bantal kulit yang diisi sabut kurma, lalu diberikan kepadaku. Beliau berkata, “Silahkan Anda duduk di atas bantal ini!” Aku malu. Karena itu aku berkata, “Andalah yang pantas duduk di situ.” Jawab Rasulullah, “Anda lebih pantas.”
Aku menuruti kata beliau lalu duduk di atas bantal. Nabi duduk di tanah, karena tidak ada lagi bantal lain selain yang satu itu. Aku berkata dalam diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja.” Kemudian, beliau menoleh kepadaku seraya berkata, “Hai ‘Adi! Sudahkah Anda membanding-bandingkan agama yang Anda anut, antara Nasrani dengan Shabiah?” Jawabku, “Sudah.”
Beliau bertanya lagi, “Bukankah Anda memungut pajak dari rakyat seperempat penghasilan mereka. Bukankah itu tidak halal menurut agama Anda?” Jawabku, “Betul”. Sementara itu, aku telah yakin Muhammad sesungguhnya rasul Allah. Kemudian, beliau berkata, “Hai ‘Adi! Agaknya Anda enggan masuk Islam karena pernyataan yang Anda lihat tentang kaum Muslim, mereka miskin. Demi Allah! Tidak lama lagi harta akan berlimpah-ruah di kalangan mereka, sehingga susah didapat orang yang mau menerima sedekah. Atau barangkali Anda enggan masuk agama ini karena kaum Muslim sedikit jumlahnya sedangkan musuh-musuh mereka banyak. Demi Allah! Tidak lama lagi Anda akan mendengar berita seorang wanita datang dari Qadisiyah mengendarai onta ke Baitullah tanpa takut kepada siapa pun selain kepada Allah.”
“Atau mungkin juga Anda enggan masuk Islam karena ternyata raja-raja dan para sultan terdiri dari orang yang bukan Islam. Demi Allah! Tidak lama lagi Anda akan mendengar Istana Putih di negeri Babil (Iraq) direbut kaum Muslim dan kekayaan Kisra bin Hurmuz pindah menjadi milik mereka.”
Aku bertanya kagum, “Kekayaan Kisra bin Hurmuz?” Jawab beliau, “Ya kekayaan Kisra bin Hurmuz.” Maka seketika itu juga aku mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan beliau dan aku menjadi Muslim.
‘Adi bin Hatim dikaruniai Allah usia panjang. ‘Adi bercerita lagi, “Dua perkara yang dikatakan Rasulullah sudah terbukti kebenarannya. Tinggal lagi yang ketiga. Namun, itu pasti terjadi. Aku telah menyaksikan seorang wanita berkendaraan onta datang dari Qadisiyah tanpa takut kepada siapa pun, sehingga dia sampai ke Baitullah. Dan aku adalah tentara berkuda yang pertama-tama menyerang masuk ke gudang perbendaharaan Kisra dan merampas harta kekayaannya. Aku bersumpah demi Allah, yang ketiga pasti akan terjadi pula.
Allah pasti membuktikan setiap perkataan Nabi-Nya yang mulia. Peristiwa ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz. Yakni, ketika kemakmuran merata di kalangan kaum Muslim. Saat itu setiap orang mencari-cari dengan susah payah orang yang berhak menerima zakat. Tetapi, mereka tidak mendapatkan orang yang mau menerima, karena kaum Muslim hidup berkecukupan seluruhnya. Memang benar ucapan Rasulullah dan tepat pula sumpah yang diucapkan ‘Adi bin Hatim. Semoga Allah meridhainya.
Pada tahun kesembilan hijriyah, beberapa raja Arab mulai mendekat kepada Islam sesudah mereka lari dari Islam. Hati mereka lembut menerima iman setelah menentang keras. Mereka menyerah, tunduk dan patuh kepada Rasulullah sesudah enggan. Tersebutlah kisah “Adi bin Hatim at-Tha’i” yang pemurah seperti bapaknya.
‘Adi mewarisi kepemimpinan dari bapaknya. Karena itu, suku at-Tha’i mengangkatnya jadi penguasa suku tersebut. Kaum Tha’i mengeluarkan seperempat harta mereka sebagai pajak yang diserahkannya kepada Adi, sebagai imbalan bagi kepemimpinannya memimpin suku tersebut.
Tatkala Rasulullah memproklamirkan da’wah Islam, bangsa Arab mendekat kepada Rasulullah suku demi suku. ‘Adi melihat pengaruh Rasulullah sebagai suatu ancaman yang akan melenyapkan kepemimpinannya. Karena itu, dia memusuhi Rasulullah dengan sikap keras. Padahal dia sendiri belum mengenal pribadi Nabi yang mulia itu. Dia benci kepada Rasulullah sebelum bertemu dengan orangnya. Hampir dua puluh tahun lamanya dia memusuhi Islam, sampai pada suatu hari hatinya lapang menerima da’wah yang hak itu.
Islamnya ‘Adi mempunyai kisah tersendiri yang tak dapat dilupakannya. Karena itu, marilah kita simak, dia menceritakan kisahnya sendiri, kisah yang menarik dan patut dipercaya. ‘Adi berkata:
Tidak seorang pun bangsa Arab yang lebih benci daripada aku terhadap Rasulullah ketika aku mendengar berita tentang beliau dan kegiatan da’wahnya. Aku seorang pemimpin yang dihormati. Aku tinggal dengan kaumku dalam daerah kekuasaanku. Aku memungut pajak dari mereka seperempat dari penghasilan mereka, sama dengan yang dilakukan raja-raja Arab yang lain. Karena itu ketika aku mendengar da’wah Rasulullah , aku membencinya. Ketika pengaruh dan kekuatan Rasulullah b ertambah besar dan tentaranya bertambah banyak yang tersebar di Timur dan Barat negeri Arab, aku berkata kepada sahaya gembala ontaku, “Hai, anak manis! Siapkan onta betina yang gemuk dan jinak, lalu tambatkan selalu di dekatku. Bila kamu dengar tentara Muhammad atau ekspedisinya menjejakkan kaki di negeri ini, beritahukan kepadaku segera!”
Maka, pada suatu pagi sahayaku datang menghadap kepadaku. Katanya, “Wahai Tuanku! Apa yang akan Tuanku perbuat jika tentara berkuda Muhammad datang ke negeri ini, maka lakukanlah sekarang!” Tanyaku, “Mengapa?” Jawabnya, “Hamba melihat beberapa bendera sekeliling kampung. Lalu aku bertanya, bendera apa itu. Jawabnya, itulah bendera tentara Muhammad “.
Kemudian, aku perintahkan kepada sahayaku, “siapkan onta yang kuperintahkan kepadamu, bawa kemari.”Aku bangkit, ketika itu juga aku memanggil istri dan anak-anakku untuk segera berangkat ke negeri yang kami anggap aman, (Syam). Di sana kami bergabung dengan orang- orang seagama dengan kami dan bertempat tinggal di rumah mereka. Aku terburu-buru mengumpulkan semua keluargaku. Setelah melewati tempat yang mencemaskan, ternyata ada di antara keluargaku yang tertinggal. Saudara perempuanku tertinggal di negeri kami, Nejed, beserta pendduk Tha’i yang lain. Tidak ada jalan lain bagiku untuk mendapatkannya kecuali kembali ke Tha’i. Aku terus berjalan dengan rombonganku sampai ke Syam dan menetap di sana di tengah-tengah penduduk yang seagama denganku. Saudara perempuanku aku biarkan tertinggal di Tha’i, tetapi mencemaskan hatiku.
Sementara, ketika aku berada di Syam, aku mendapatkan berita, tentara berkuda Muhammad menyerang negeri kami. Saudara perempuanku tertangkap beserta sejumlah wanita menjadi tawanan, kemudian mereka dibawa ke Yatsrib. Di sana mereka ditempatkan dalam sebuah penjara dekat pintu masjid. Ketika Rasulullah lewat, saudaraku menyapa, “Ya Rasulullah! Bapakku telah binasa. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkan kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”Rasul bertanya, “Siapa yang menjamin engkau?” Jawab saudaraku, “Adi bin Hatim!” Rasululah menjawab, “Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya.” Sesudah berkata begitu, Rasulullah pergi meninggalkannya. Besok pagi Rasulullah lewat pula dekat saudaraku. Saudaraku berkata pula seperti kemarin kepada beliau. Dan beliau menjawab seperti kemarin pula. Hari ketiga Rasulullah lewat, saudaraku lupa menyapa beliau dan tidak berkata-kata kepadanya. Seorang laki-laki memberi isyarat kepadaku supaya menyapa beliau. Saudaraku berdiri menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah! Bapakku telah meninggal. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”
Rasulullah menjawab, “Saya penuhi permintaanmu!” Saudaraku berujar, “Saya ingin pergi ke Syam menemui keluargaku di sana.” Rasulullah berkata, “Tetapi, engkau jangan terburu- buru pergi ke sana, sebelum engkau dapatkan orang yang dapat dipercaya dari kaummu untuk mengantarmu. Bila engkau dapatkan orang yang dipercaya, beritahukan kepada saya.”
Setelah Rasulullah pergi, saudaraku menanyakan siapa laki-laki yang memberi isyarat kepadanya supaya menyapa Rasulullah. Dikatakan orang kepadanya, orang itu adalah Ali bin Abu Thalib.
Saudaraku tinggal di Madinah sebagai tawanan sampai datang orang yang dipercaya untuk membawanya ke Syam. Setelah orang itu datang, dia memberitahu kepada Rasulullah. Katanya, ‘Ya Rasulullah! Telah datang serombongan kaumku yang dipercaya dan mereka menyanggupi mengantarku. Rasulullah memberi saudaraku pakaian, onta untuk kendaraan dan belanja secukupnya. Maka berangkatlah dia beserta rombongan tersebut.
Kata ‘Adi, selanjutnya, “Kami selalu mencari-cari berita tentang saudaraku itu dan menunggu kedatangannya. Kami hampir tidak percaya apa yang diberitakan kepada kami tentang Muhammad dengan segala kebaikan beliau terhadap saudaraku, di samping rasa tinggiku dari beliau.
Demi Allah! Pada suatu hari ketika aku sedang duduk di lingkungan keluargaku, tiba-tiba muncul seorang wanita dalam hawdaj(sekedup) menuju ke arah kami. Aku berkata, “Nah, itu anak perempuan Hatim!” Dugaan itu betul. Dia adalah saudaraku yang ditunggu-tunggu.
Setelah turun dari kendaraan, dia segera menghampiriku seraya berkata, “Anda tinggalkan kami, Anda dzalim! Istri dan anak-anak Anda, Anda bawa. Tetapi, bapak dan saudara perempuan Anda, serta yang lainnya Anda tinggalkan.”
Aku menjawab, “Hai Adikku! Janganlah berkata begiutu!” Aku berhasil menenangkannya. Setelah itu aku minta dia menceritakan pengalamannya. Selesai bercerita, aku berkata kepadanya, “Engkau wanita cerdik dan pintar. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang bernama Muhammad itu?” Dia menjawab, “Menurut pendapatku, demi Allah sebaiknya Anda temui dia segera. Jika dia Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya beruntunglah dia. Dan jika dia raja, tidak ada hinanya Anda berada di sampingnya. Anda adalah seorang raja pula.”
‘Adi berkata, “Maka, aku siapkan perlengkapanku, lalu aku pergi ke Madinah menemui Rasulullah . Tanpa Iman dan Kitab, aku mendengar berita bahwa beliau pernah berkata, “Sesunguhnya saya berharap semoga ‘Adi bin Hatim masuk Islam di hadapan saya.” Aku masuk ke majlis Nabi , ketika beliau berada di dalam masjid. Aku memberi salam kepadanya. Mendengar salamku beliau bertanya, “Siapa itu?” Jawabku, “‘Adi bin Hatim !”
Rasululah berdiri menyongsongku. Beliau menggandeng tanganku lalu dibawanya ke rumahnya. Ketika beliau membawaku, tiba-tiba seorang wanita tua yang dhaif (lemah) sedang menggendong seorang bayi, menemuinya minta sedekah. Wanita tua itu berbicara dengan beliau mengatakan kesulitan hidupnya. Beliau berhenti mendengarkan bicara wanita itu sampaui selesai. Dan aku pun tegak menunggumu.
Aku berkata kepada diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja!” Kemudian beliau menggandeng tanganku dan berjalan bersama-sama denganku sampai ke rumah beliau. Tiba di rumah, beliau mengambil sebuah bantal kulit yang diisi dengan sabut kurma, lalu diberikannya kepadaku. Beliau berkata, “Silahkan Anda duduk di atas bantal ini!” Aku malu. Karena itu aku berkata, “Andalah yang pantas duduk di situ.” Jawab Rasulullah, “Anda lebih pantas.” Aku menuruti kata beliau. Lalu aku duduk di atas bantal. Nabi duduk di tanah, karena tidak ada lagi bantal lain selain yang satu itu. Aku berkata dalam diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja.” Kemudian, beliau menoleh kepadaku seraya berkata, “Hai Adi! Sudahkah Anda membanding-bandingkan agama yang Anda anut, antara Nasrani dengan Shabiah?” Jawabku, “Sudah.” Beliau bertanya lagi, “Bukankah Anda memungut pajak dari rakyat Anda seperempat penghasilan mereka. Bukankah itu tidak halal menurut agama Anda?” Jawabku, “Betul”. Sementara itu, aku telah yakin Muhammad ini sesungguhnya Nabi dan rasul Allah. kemudian, beliau berkata pula, “Hai ‘Adi! Agaknya Anda enggan masuk Islam karena pernyataan yang Anda lihat tentang kaum muslimin, mereka miskin. Demi Allah! Tidak lama lagi harta akan berlimpah-ruah di kalangan mereka, sehingga susah didapat orang yang mau menerima sedekah.
Atau barangkali Anda hai ‘Adi enggan masuk agama ini karena kaum muslimin sedikit jumlahnya sedangkan musuh-musuh mereka banyak. Demi Allah! Tidak lama lagi Anda akan mendengar berita seorang wanita datang dari Qadisiyah mengendarai onta ke Baitullah tanpa takut kepada siapa pun selain kepada Allah.
Atau mungkin juga Anda enggan masuk Islam karena ternyata raja-raja dan para Sultan terdiri dari orang-orang yang bukan Islam. Demi Allah! Tidak lama lagi Anda akan mendengar Istana Putih di negeri Babil (Iraq) direbut kaum muslimin dan kekayaan Kisra bin Hurmuz pindah menjadi milik mereka.
Aku bertanya kagum, “Kekayaan kisra bin Hurmuz?” Jawab beliau, “Ya kekayaan Kisra bin Hurmuz.” ‘Adi berkata, “Maka seketika itu juga aku mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan beliau dan aku menjadi muslim.”
‘Adi bin Hatim dikaruniai Allah usia yang panjang. ‘Adi bercerita lagi, “Dua perkara yang dikatakan Rasulullah sudah terbukti kebenarannya. Tinggal lagi yang ketiga. Namun, itu pasti terjadi. Aku telah menyaksikan seorang wanita berkendaraan onta datang dari Qadisiyah tanpa takut kepada siapa pun, sehingga dia sampai ke Baitullah. Dan aku adalah tentara berkuda yang pertama-tama menyerang masuk ke gudang perbendaharaan Kisra dan merampas harta kekayaannya. Aku bersumpah demi Allah, yang ketiga pasti akan terjadi pula.
Allah pasti membuktikan setiap perkataan Nabi-Nya yang mulia. Peristiwa ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz. Yakni, ketika kemakmuran merata di kalangan kaum muslimin. Ketika itu setiap orang mencari-cari dengan susah payah orang yang berhak menerima zakat. Tetapi, mereka tidak mendapatkan orang yang mau menerima, karena kaum muslimin hidup berkecukupan seluruhnya. Memang benar ucapan Rasulullah dan tepat pula sumpah yang diucapkan ‘Adi bin Hatim. Semoga Allah meridhainya.
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat BasyaAli bin Abi Thalib, Pemuda Cerdas Yang Menjadi Khalifah Islam Ke Empat
Ali bin Abi Thalib, Pemuda Cerdas Yang Menjadi Khalifah Islam Ke Empat
Nama Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Abu Thalib adalah saudara kandung Abdullah bin Abdul Muththalib, ayah baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi Ali bin Abi Thalib adalah saudara sepupu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau dijuluki Abul Hasan dan Abu Turab.
Semenjak kecil beliau hidup diasuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ayahnya terlalu banyak beban dan tugas yang sangat banyak dan juga banyak keluarga yang harus dinafkahi, sedangkan Abu Thalib hanya memiliki sedikit harta semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih anak-anak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengasuhnya sebagai balas budi terhadap pamannya, Abu Thalib yang telah mengasuh beliau ketika beliau tidak punya bapak dan ibu serta kehilangan kakek tercintanya, Abdul Muththalib.
Ali bin Abi Thalib masuk Islam:
Mayoritas ahli sejarah Islam menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah orang kedua yang masuk Islam setelah Khadijah radhiyallahu ‘anha, di mana usia beliau saat itu masih berkisar antara 10 dan 11 tahun. Ini adalah suatu kehormatan dan kemuliaan bagi beliau, di mana beliau hidup bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan terdepan memeluk Islam. Bahkan beliau adalah orang pertama yang melakukan shalat berjamaah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana ditulis oleh al-Askari (penulis kitab al-Awa`il).
Sifat fisik dan kepribadian beliau:
Beliau adalah sosok yang memiliki tubuh yang kekar dan lebar, padat berisi dengan postur tubuh yang tidak tinggi, perut besar, warna kulit sawo matang, berjenggot tebal berwarna putih seperti kapas, kedua matanya sangat tajam, murah senyum, berwajah tampan, dan memiliki gigi yang bagus, dan bila berjalan sangat cepat.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah sosok manusia yang hidup zuhud dan sederhana, memakai pakaian seadanya dan tidak terikat dengan corak atau warna tertentu. Pakaian beliau berbentuk sarung yang tersimpul di atas pusat dan menggantung sampai setengah betis, dan pada bagian atas tubuh beliau adalah rida’ (selendang) dan bahkan pakaian bagian atas beliau bertambal. Beliau juga selalu mengenakan kopiah putih buatan Mesir yang dililit dengan surban.
Ali bin Abi Thalib juga suka memasuki pasar, menyuruh para pedagang bertakwa kepada Allah dan menjual dengan cara yang ma`ruf.
Beliau menikahi Fatimah az-Zahra putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dikarunia dua orang putra, yaitu al-Hasan dan al-Husain.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah sosok pejuang yang pemberani dan heroik, pantang mundur, tidak pernah takut mati dalam membela dan menegakkan kebenaran.
Keberanian beliau dicatat di dalam sejarah, sebagai berikut:
a) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin berhijrah ke Madinah pada saat rumah beliau dikepung di malam hari oleh sekelompok pemuda dari berbagai utusan kabilah Arab untuk membunuh Nabi, Nabi menyuruh Ali bin Abi Thalib shallallahu ‘alaihi wasallam tidur di tempat tidur beliau dengan mengenakan selimut milik beliau. Di sini Ali bin Abi Thalib benar-benar mempertaruhkan nyawanya demi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan penuh tawakal kepada Allah Ta’ala.
Keesokan harinya, Ali disuruh menunjukkan keberadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun beliau menjawab tidak tahu, karena beliau hanya disuruh untuk tidur di tempat tidurnya. Lalu beliau disiksa dan digiring ke Masjidil Haram dan di situ beliau ditahan beberapa saat, lalu dilepas.
b) Beliau kemudian pergi berhijrah ke Madinah dengan berjalan kaki sendirian, menempuh jarak yang sangat jauh tanpa alas kaki, sehingga kedua kakinya bengkak dan penuh luka-luka setibanya di Madinah.
c) Ali bin Abi Thalib terlibat dalam semua peperangan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, selain perang Tabuk, karena saat itu beliau ditugasi menjaga kota Madinah. Di dalam peperangan-peperangan tersebut beliau sering kali ditugasi melakukan perang tanding (duel) sebelum peperangan sesungguhnya dimulai. Dan semua musuh beliau berhasil dilumpuhkan dan tewas. Dan beliau juga menjadi pemegang panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiayallahu ‘anhu:
Keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sangat banyak sekali. Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi keutamaan dan keistimewaan beliau. Berikut ini di antaranya:
- Ali adalah manusia yang benar-benar dicintai Allah dan RasulNya.
Pada waktu perang Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bendera ini sungguh akan saya berikan kepada seseorang yang Allah memberikan kemenangan melalui dia, dia mencintai Allah dan RasulNya, dan dia dicintai Allah dan RasulNya.” Maka pada malam harinya, para sahabat ribut membicarakan siapa di antara mereka yang akan mendapat kehormatan membawa bendera tersebut. Dan keesokan harinya para sahabat datang menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, masing-masing berharap diserahi bendera. Namun beliau bersabda, “Mana Ali bin Abi Thalib?” Mereka menjawab, “Matanya sakit, ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah menyuruh untuk menjemputnya dan Ali pun datang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyemburkan ludahnya kepada kedua mata Ali dan mendoakannya. Dan Ali pun sembuh seakan-akan tidak pernah terkena penyakit. Lalu beliau memberikan bendera kepadanya. Ali berkata, “Ya Rasulullah, aku memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Beliau menjawab, “Majulah dengan tenang sampai kamu tiba di tempat mereka, kemudian ajaklah mereka masuk Islam dan sampaikan kepada mereka hak-hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, sekiranya Allah memberikan hidayah kepada seorang manusia melalui dirimu, sungguh lebih baik bagimu dari pada unta-unta merah.” (HR. Muslim, no. 2406).
- Jiwa juang Ali sangat melekat di dalam kalbunya, sehingga ketika Rasulullah ingin berangkat pada perang Tabuk dan memerintah Ali agar menjaga Madinah, Ali merasa keberatan sehingga mengatakan, “Apakah engkau meninggalkan aku bersama kaum perempuan dan anak-anak?”
Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru menunjukkan kedudukan Ali yang sangat tinggi seraya bersabda, “Apakah engkau tidak ridha kalau kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada kenabian sesudahku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
- Beliau juga adalah salah satu dari sepuluh orang yang telah mendapat “busyra biljannah” (berita gembira sebagai penghuni surga), sebagaimana dinyatakan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, “bahwa tidak ada yang mencintainya kecuali seorang Mukmin dan tidak ada yang membencinya, kecuali orang munafik.” (HR. Muslim)
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda kepada Ali radhiyallahu ‘anhu,
“Engkau adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu.” (HR. al-Bukhari).
- Beliau juga sangat dikenal dengan kepandaian dan ketepatan dalam memecahkan berbagai masalah yang sangat rumit sekalipun, dan beliau juga seorang yang memiliki `abqariyah qadha’iyah (kejeniusan dalam pemecahan ketetapan hukum) dan dikenal sangat dalam ilmunya. (Lihat: Aqidah Ahlussunnah fi ash-Shahabah, jilid I, halaman 283).
Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah:
Ketika Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah keempat, situasi dan suasana kota Madinah sangat mencekam, dikuasai oleh para pemberontak yang telah menodai tanah suci Madinah dengan melakukan pembunuhan secara keji terhadap Khalifah ketiga, Uts-man bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Ali bin Abi Thalib dalam pemerintahannya benar-benar menghadapi dilema besar yang sangat rumit, yaitu:
1) Kaum pemberontak yang jumlahnya sangat banyak dan menguasai Madinah.
2) Terbentuknya kubu penuntut penegakan hukum terhadap para pemberontak yang telah membunuh Utsman bin ‘Affan, yang kemudian melahirkan perang saudara, perang Jamal dan Shiffin.
3) Kaum Khawarij yang dahulunya adalah para pendukung dan pembela beliau kemudian berbalik memerangi beliau.
Namun dengan kearifan dan kejeniusan beliau dalam menyikapi berbagai situasi dan mengambil keputusan, beliau dapat mengakhiri pertumpahan darah itu melalui albitrasi (tahkim), sekalipun umat Islam pada saat itu masih belum bersatu secara penuh.
Abdurrahman bin Muljam, salah seorang pentolan Khawarij memendam api kebencian terhadap Ali bin Abi Thalib, karena dianggap telah menghabisi rekan-rekannya yang seakidah, yaitu kaum Khawarij di Nahrawan. Maka dari itu ia melakukan makar bersama dua orang rekannya yang lain, yaitu al-Barak bin Abdullah dan Amr bin Bakar at-Tamimi, untuk menghabisi Ali, Mu’awiyah dan Amr bin al-’Ash, karena dia anggap sebagai biang keladi pertumpahan darah.
Al-Barak dan Amr gagal membunuh Mu’awiyah dan Amr bin al-’Ash, sedangkan Ibnu Muljam berhasil mendaratkan pedangnya di kepala Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib, pada dini hari Jum’at, 17 Ramadhan, tahun 40 H. dan beliau wafat keesokan hari-nya.
Sumber :
http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/27/ali-bin-abi-thalib/
Langganan:
Postingan (Atom)