Adi bin Hatim, Pemimpin Suku At-Thai Yang Dijanjikan Menyaksikan Tiga Kebesaran Islam
11 April 2012 pada 07:32 ·
Nama lengkapnya adalah Adi bin Hatim bin Abdullah bin Saad bin
Hasyraj At-Thai, dijuluki dengan Abu Wahab dan Abu Tarif. Sahabat yang
masuk Islam pada tahun 9 H ini terkenal sebagai orator yang sangat
pandai. Beliau adalah kepala suku Thai baik pada masa jahiliah maupun
masa Islam. Dia mempunyai jasa besar dalam menumpas kaum murtad dan ikut
serta dalam penaklukan Irak. Beliau berdomisili di Kota Kufah dan wafat
di sana.
Sejumlah raja Arab mulai menerima Islam sesudah mereka menentang
keras. Mereka tunduk dan patuh kepada Rasulullah . Dari riwayat
keislaman, tersebutlah kisah ‘Adi bin Hatim at-Tha’i yang pemurah. ‘Adi
mewarisi kepemimpinan ayahnya sebagai penguasa suku at-Tha’i. Kaum Tha’i
mengeluarkan seperempat harta mereka sebagai pajak kepada ‘Adi, untuk
imbalan bagi kepemimpinannya.
Ketika Rasulullah mendakwahkan Islam, berangsur bangsa Arab mulai
mendekat kepada beliau, suku demi suku. Tetapi, ‘Adi justru melihat
pengaruh Rasulullah merupakan ancaman yang akan melenyapkan
kepemimpinannya. Karena itu, dia memusuhi Rasulullah meski dia sendiri
belum mengenal pribadi Nabi yang mulia itu.
Hampir dua puluh tahun dia memusuhi Islam. Sampai pada suatu hari
hatinya menerima dakwah Rasul. Islamnya ‘Adi mempunyai kisah tersendiri.
Dia menceritakannya sendiri, kisah yang menarik dan patut dipercaya.
‘Adi berkata: Tidak seorang pun bangsa Arab yang lebih benci daripada
aku terhadap Rasulullah ketika mendengar berita tentang beliau dan
kegiatan dakwahnya. Aku seorang pemimpin yang dihormati dan tinggal
dengan kaumku di daerah kekuasaanku. Aku memungut pajak dari mereka
seperempat dari penghasilan mereka, sama dengan yang dilakukan raja-raja
Arab yang lain.
Ketika pengaruh Rasulullah bertambah besar dan tentaranya bertambah
banyak, aku berkata kepada sahaya gembala ontaku, “Hai, anak manis!
Siapkan onta betina yang gemuk dan jinak, lalu tambatkan selalu di
dekatku. Bila kamu dengar tentara Muhammad atau ekspedisinya menjejakkan
kaki di negeri ini, beritahukan kepadaku segera!”
Hingga suatu pagi, sahayaku datang menghadap. Katanya, “Wahai
Tuanku! Apa yang akan Tuan-ku perbuat jika tentara berkuda Muhammad
datang ke negeri ini, maka lakukanlah sekarang!”
Tanyaku, “Mengapa?” Jawabnya, “Hamba melihat beberapa bendera
sekeliling kampung.” Lalu aku bertanya,” Bendera apa itu?”. Jawabnya,
“Itulah bendera tentara Muhammad.”
Aku perintahkan sahayaku untuk menyiapkan onta tadi. Seketika itu
juga aku memanggil istri dan anak-anakku untuk segera berangkat ke
negeri yang aman, (Syam). Di sana kami bergabung dengan orang-orang
seagama dengan kami dan tinggal di rumah mereka. Aku terburu-buru
mengumpulkan semua keluargaku.
Setelah melewati tempat yang mencemaskan, ternyata ada keluargaku
yang tertinggal. Saudara perempuanku tertinggal di negeri kami, Nejed,
beserta penduduk Tha’i yang lain. Tidak ada jalan lain bagiku untuk
menjemputnya kecuali kembali ke Tha’i. Aku terus berjalan dengan
rombonganku sampai ke Syam dan menetap di sana. Saudara perempuanku aku
biarkan tertinggal di Tha’i, tetapi mencemaskan hatiku. Ketika berada di
Syam, aku mendapat berita, tentara berkuda Muhammad menyerang negeri
kami. Saudara perempuanku tertangkap dan menjadi tawanan, kemudian
dibawa ke Yatsrib bersama beberapa penduduk lainnya.
Di sana mereka ditempatkan dalam penjara dekat pintu masjid. Ketika
Rasulullah lewat, saudaraku menyapa, “Ya Rasulullah! Bapakku telah
binasa. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkan kepadaku karunia
yang dikaruniakan Allah kepada Anda.” Rasul bertanya, “Siapa yang
menjamin engkau?” Jawab saudaraku, “‘Adi bin Hatim!” Rasululah menjawab,
“Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya.” Sesudah berkata begitu, Rasulullah
pergi. Besok pagi Rasulullah lewat dekat saudaraku. Saudaraku berkata
pula seperti kemarin kepada beliau. Kemudian beliau menjawab seperti
yang kemarin pula.
Hari ketiga Rasulullah lewat, saudaraku lupa menyapa beliau. Seorang
laki-laki memberi isyarat kepada saudaraku supaya menyapa beliau.
Saudaraku berdiri menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah!
Bapakku telah meninggal. Yang menjaminku telah lenyap. Maka,
limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”
Rasulullah menjawab, “Saya penuhi permintaanmu!” Saudaraku berujar,
“Saya ingin pergi ke Syam menemui keluargaku.” Rasulullah berkata,
“Tetapi, engkau jangan buru-buru pergi ke sana, sebelum engkau dapatkan
orang yang dapat dipercaya dari kaummu untuk mengantarmu. Bila engkau
dapatkan orang yang dipercaya, beritahukan kepada saya.”
Setelah Rasulullah pergi, saudaraku menanyakan siapa laki-laki yang
memberi isyarat kepadanya supaya menyapa Rasulullah. Dikatakan bahwa
orang itu adalah Ali bin Abi Thalib.
Saudaraku tinggal di sana sebagai tawanan sampai datang orang yang
dipercaya untuk membawanya ke Syam. Setelah orang itu datang, dia
memberitahu kepada Rasulullah. Katanya, “Ya Rasulullah! Telah datang
serombongan kaumku yang dipercaya dan mereka menyanggupi mengantarku.”
Rasulullah memberi saudaraku pakaian, onta untuk kendaraan dan belanja
secukupnya. Maka berangkatlah dia beserta rombongan tersebut.
Kami selau mencari-cari berita tentang saudaraku dan menunggu
kedatangannya. Kami hampir tidak percaya apa yang diberitakan tentang
Muhammad dengan segala kebaikannya terhadap saudaraku. Demi Allah! Pada
suatu hari ketika aku sedang duduk di lingkungan keluargaku, tiba-tiba
muncul seorang wanita dalam hawdaj (sekedup) menuju ke arah kami. Aku
berkata, “Nah, itu anak perempuan Hatim!” Dugaan itu betul. Dia adalah
saudaraku yang ditunggu-tunggu.
Setelah turun dari kendaraan, dia segera menghampiriku seraya
berkata, “Anda tinggalkan kami, Anda dzalim! Istri dan anak-anak Anda,
Anda bawa. Tetapi, bapak dan saudara perempuan Anda, serta yang lainnya
Anda tinggalkan.” Aku menjawab, “Hai Adikku! Janganlah berkata begitu!”
Aku berhasil menenangkannya. Setelah itu aku minta dia menceritakan
pengalamannya. Selesai bercerita, aku berkata kepadanya, “Engkau wanita
cerdik dan pintar. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang bernama
Muhammad itu?” Dia menjawab, “Menurut pendapatku, demi Allah, sebaiknya
temui dia segera. Jika dia Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya
beruntunglah dia. Dan jika dia raja, tidak ada hinanya Anda berada di
sampingnya. Anda adalah seorang raja pula.”
Maka, aku siapkan perlengkapanku, lalu aku pergi ke Madinah menemui
Rasulullah . Tanpa iman dan kitab, aku mendengar berita bahwa beliau
pernah berkata, “Sesungguhnya saya berharap semoga ‘Adi bin Hatim masuk
Islam di hadapan saya.” Sampai di Yastrib, aku langsung masuk ke majelis
Nabi , ketika beliau berada di dalam masjid. Aku memberi salam
kepadanya. Mendengar salamku beliau bertanya, “Siapa itu?” Jawabku,
“‘Adi bin Hatim!” Rasulullah berdiri menyongsongku. Beliau menggandeng
tanganku lalu dibawa ke rumahnya. Ketika beliau membawaku, tiba-tiba
seorang wanita tua yang dhaif (lemah) sedang menggendong seorang bayi,
menemuinya minta sedekah. Wanita tua itu berbicara tentang kesulitan
hidupnya. Beliau mendengarkan bicara wanita itu sampai selesai. Aku pun
tegak menunggu.
Aku berkata kepada diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan
raja-raja!” Kemudian beliau menggandeng tanganku dan berjalan
bersama-sama denganku sampai ke rumah beliau. Tiba di rumah, beliau
mengambil sebuah bantal kulit yang diisi sabut kurma, lalu diberikan
kepadaku. Beliau berkata, “Silahkan Anda duduk di atas bantal ini!” Aku
malu. Karena itu aku berkata, “Andalah yang pantas duduk di situ.” Jawab
Rasulullah, “Anda lebih pantas.”
Aku menuruti kata beliau lalu duduk di atas bantal. Nabi duduk di
tanah, karena tidak ada lagi bantal lain selain yang satu itu. Aku
berkata dalam diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja.”
Kemudian, beliau menoleh kepadaku seraya berkata, “Hai ‘Adi! Sudahkah
Anda membanding-bandingkan agama yang Anda anut, antara Nasrani dengan
Shabiah?” Jawabku, “Sudah.”
Beliau bertanya lagi, “Bukankah Anda memungut pajak dari rakyat
seperempat penghasilan mereka. Bukankah itu tidak halal menurut agama
Anda?” Jawabku, “Betul”. Sementara itu, aku telah yakin Muhammad
sesungguhnya rasul Allah. Kemudian, beliau berkata, “Hai ‘Adi! Agaknya
Anda enggan masuk Islam karena pernyataan yang Anda lihat tentang kaum
Muslim, mereka miskin. Demi Allah! Tidak lama lagi harta akan
berlimpah-ruah di kalangan mereka, sehingga susah didapat orang yang mau
menerima sedekah. Atau barangkali Anda enggan masuk agama ini karena
kaum Muslim sedikit jumlahnya sedangkan musuh-musuh mereka banyak. Demi
Allah! Tidak lama lagi Anda akan mendengar berita seorang wanita datang
dari Qadisiyah mengendarai onta ke Baitullah tanpa takut kepada siapa
pun selain kepada Allah.”
“Atau mungkin juga Anda enggan masuk Islam karena ternyata raja-raja
dan para sultan terdiri dari orang yang bukan Islam. Demi Allah! Tidak
lama lagi Anda akan mendengar Istana Putih di negeri Babil (Iraq)
direbut kaum Muslim dan kekayaan Kisra bin Hurmuz pindah menjadi milik
mereka.”
Aku bertanya kagum, “Kekayaan Kisra bin Hurmuz?” Jawab beliau, “Ya
kekayaan Kisra bin Hurmuz.” Maka seketika itu juga aku mengucapkan dua
kalimah syahadat di hadapan beliau dan aku menjadi Muslim.
‘Adi bin Hatim dikaruniai Allah usia panjang. ‘Adi bercerita lagi,
“Dua perkara yang dikatakan Rasulullah sudah terbukti kebenarannya.
Tinggal lagi yang ketiga. Namun, itu pasti terjadi. Aku telah
menyaksikan seorang wanita berkendaraan onta datang dari Qadisiyah tanpa
takut kepada siapa pun, sehingga dia sampai ke Baitullah. Dan aku
adalah tentara berkuda yang pertama-tama menyerang masuk ke gudang
perbendaharaan Kisra dan merampas harta kekayaannya. Aku bersumpah demi
Allah, yang ketiga pasti akan terjadi pula.
Allah pasti membuktikan setiap perkataan Nabi-Nya yang mulia.
Peristiwa ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin
‘Abdul Aziz. Yakni, ketika kemakmuran merata di kalangan kaum Muslim.
Saat itu setiap orang mencari-cari dengan susah payah orang yang berhak
menerima zakat. Tetapi, mereka tidak mendapatkan orang yang mau
menerima, karena kaum Muslim hidup berkecukupan seluruhnya. Memang benar
ucapan Rasulullah dan tepat pula sumpah yang diucapkan ‘Adi bin Hatim.
Semoga Allah meridhainya.
Pada tahun kesembilan hijriyah, beberapa raja Arab mulai mendekat
kepada Islam sesudah mereka lari dari Islam. Hati mereka lembut menerima
iman setelah menentang keras. Mereka menyerah, tunduk dan patuh kepada
Rasulullah sesudah enggan. Tersebutlah kisah “Adi bin Hatim at-Tha’i”
yang pemurah seperti bapaknya.
‘Adi mewarisi kepemimpinan dari bapaknya. Karena itu, suku at-Tha’i
mengangkatnya jadi penguasa suku tersebut. Kaum Tha’i mengeluarkan
seperempat harta mereka sebagai pajak yang diserahkannya kepada Adi,
sebagai imbalan bagi kepemimpinannya memimpin suku tersebut.
Tatkala Rasulullah memproklamirkan da’wah Islam, bangsa Arab
mendekat kepada Rasulullah suku demi suku. ‘Adi melihat pengaruh
Rasulullah sebagai suatu ancaman yang akan melenyapkan kepemimpinannya.
Karena itu, dia memusuhi Rasulullah dengan sikap keras. Padahal dia
sendiri belum mengenal pribadi Nabi yang mulia itu. Dia benci kepada
Rasulullah sebelum bertemu dengan orangnya. Hampir dua puluh tahun
lamanya dia memusuhi Islam, sampai pada suatu hari hatinya lapang
menerima da’wah yang hak itu.
Islamnya ‘Adi mempunyai kisah tersendiri yang tak dapat
dilupakannya. Karena itu, marilah kita simak, dia menceritakan kisahnya
sendiri, kisah yang menarik dan patut dipercaya. ‘Adi berkata:
Tidak seorang pun bangsa Arab yang lebih benci daripada aku terhadap
Rasulullah ketika aku mendengar berita tentang beliau dan kegiatan
da’wahnya. Aku seorang pemimpin yang dihormati. Aku tinggal dengan
kaumku dalam daerah kekuasaanku. Aku memungut pajak dari mereka
seperempat dari penghasilan mereka, sama dengan yang dilakukan raja-raja
Arab yang lain. Karena itu ketika aku mendengar da’wah Rasulullah , aku
membencinya. Ketika pengaruh dan kekuatan Rasulullah b ertambah besar
dan tentaranya bertambah banyak yang tersebar di Timur dan Barat negeri
Arab, aku berkata kepada sahaya gembala ontaku, “Hai, anak manis!
Siapkan onta betina yang gemuk dan jinak, lalu tambatkan selalu di
dekatku. Bila kamu dengar tentara Muhammad atau ekspedisinya menjejakkan
kaki di negeri ini, beritahukan kepadaku segera!”
Maka, pada suatu pagi sahayaku datang menghadap kepadaku. Katanya,
“Wahai Tuanku! Apa yang akan Tuanku perbuat jika tentara berkuda
Muhammad datang ke negeri ini, maka lakukanlah sekarang!” Tanyaku,
“Mengapa?” Jawabnya, “Hamba melihat beberapa bendera sekeliling kampung.
Lalu aku bertanya, bendera apa itu. Jawabnya, itulah bendera tentara
Muhammad “.
Kemudian, aku perintahkan kepada sahayaku, “siapkan onta yang
kuperintahkan kepadamu, bawa kemari.”Aku bangkit, ketika itu juga aku
memanggil istri dan anak-anakku untuk segera berangkat ke negeri yang
kami anggap aman, (Syam). Di sana kami bergabung dengan orang- orang
seagama dengan kami dan bertempat tinggal di rumah mereka. Aku
terburu-buru mengumpulkan semua keluargaku. Setelah melewati tempat yang
mencemaskan, ternyata ada di antara keluargaku yang tertinggal. Saudara
perempuanku tertinggal di negeri kami, Nejed, beserta pendduk Tha’i
yang lain. Tidak ada jalan lain bagiku untuk mendapatkannya kecuali
kembali ke Tha’i. Aku terus berjalan dengan rombonganku sampai ke Syam
dan menetap di sana di tengah-tengah penduduk yang seagama denganku.
Saudara perempuanku aku biarkan tertinggal di Tha’i, tetapi mencemaskan
hatiku.
Sementara, ketika aku berada di Syam, aku mendapatkan berita,
tentara berkuda Muhammad menyerang negeri kami. Saudara perempuanku
tertangkap beserta sejumlah wanita menjadi tawanan, kemudian mereka
dibawa ke Yatsrib. Di sana mereka ditempatkan dalam sebuah penjara dekat
pintu masjid. Ketika Rasulullah lewat, saudaraku menyapa, “Ya
Rasulullah! Bapakku telah binasa. Yang menjaminku telah lenyap. Maka,
limpahkan kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”Rasul
bertanya, “Siapa yang menjamin engkau?” Jawab saudaraku, “Adi bin
Hatim!” Rasululah menjawab, “Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya.” Sesudah
berkata begitu, Rasulullah pergi meninggalkannya. Besok pagi Rasulullah
lewat pula dekat saudaraku. Saudaraku berkata pula seperti kemarin
kepada beliau. Dan beliau menjawab seperti kemarin pula. Hari ketiga
Rasulullah lewat, saudaraku lupa menyapa beliau dan tidak berkata-kata
kepadanya. Seorang laki-laki memberi isyarat kepadaku supaya menyapa
beliau. Saudaraku berdiri menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Ya
Rasulullah! Bapakku telah meninggal. Yang menjaminku telah lenyap. Maka,
limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”
Rasulullah menjawab, “Saya penuhi permintaanmu!” Saudaraku berujar,
“Saya ingin pergi ke Syam menemui keluargaku di sana.” Rasulullah
berkata, “Tetapi, engkau jangan terburu- buru pergi ke sana, sebelum
engkau dapatkan orang yang dapat dipercaya dari kaummu untuk
mengantarmu. Bila engkau dapatkan orang yang dipercaya, beritahukan
kepada saya.”
Setelah Rasulullah pergi, saudaraku menanyakan siapa laki-laki yang
memberi isyarat kepadanya supaya menyapa Rasulullah. Dikatakan orang
kepadanya, orang itu adalah Ali bin Abu Thalib.
Saudaraku tinggal di Madinah sebagai tawanan sampai datang orang
yang dipercaya untuk membawanya ke Syam. Setelah orang itu datang, dia
memberitahu kepada Rasulullah. Katanya, ‘Ya Rasulullah! Telah datang
serombongan kaumku yang dipercaya dan mereka menyanggupi mengantarku.
Rasulullah memberi saudaraku pakaian, onta untuk kendaraan dan belanja
secukupnya. Maka berangkatlah dia beserta rombongan tersebut.
Kata ‘Adi, selanjutnya, “Kami selalu mencari-cari berita tentang
saudaraku itu dan menunggu kedatangannya. Kami hampir tidak percaya apa
yang diberitakan kepada kami tentang Muhammad dengan segala kebaikan
beliau terhadap saudaraku, di samping rasa tinggiku dari beliau.
Demi Allah! Pada suatu hari ketika aku sedang duduk di lingkungan
keluargaku, tiba-tiba muncul seorang wanita dalam hawdaj(sekedup) menuju
ke arah kami. Aku berkata, “Nah, itu anak perempuan Hatim!” Dugaan itu
betul. Dia adalah saudaraku yang ditunggu-tunggu.
Setelah turun dari kendaraan, dia segera menghampiriku seraya
berkata, “Anda tinggalkan kami, Anda dzalim! Istri dan anak-anak Anda,
Anda bawa. Tetapi, bapak dan saudara perempuan Anda, serta yang lainnya
Anda tinggalkan.”
Aku menjawab, “Hai Adikku! Janganlah berkata begiutu!” Aku berhasil
menenangkannya. Setelah itu aku minta dia menceritakan pengalamannya.
Selesai bercerita, aku berkata kepadanya, “Engkau wanita cerdik dan
pintar. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang bernama Muhammad itu?”
Dia menjawab, “Menurut pendapatku, demi Allah sebaiknya Anda temui dia
segera. Jika dia Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya
beruntunglah dia. Dan jika dia raja, tidak ada hinanya Anda berada di
sampingnya. Anda adalah seorang raja pula.”
‘Adi berkata, “Maka, aku siapkan perlengkapanku, lalu aku pergi ke
Madinah menemui Rasulullah . Tanpa Iman dan Kitab, aku mendengar berita
bahwa beliau pernah berkata, “Sesunguhnya saya berharap semoga ‘Adi bin
Hatim masuk Islam di hadapan saya.” Aku masuk ke majlis Nabi , ketika
beliau berada di dalam masjid. Aku memberi salam kepadanya. Mendengar
salamku beliau bertanya, “Siapa itu?” Jawabku, “‘Adi bin Hatim !”
Rasululah berdiri menyongsongku. Beliau menggandeng tanganku lalu
dibawanya ke rumahnya. Ketika beliau membawaku, tiba-tiba seorang wanita
tua yang dhaif (lemah) sedang menggendong seorang bayi, menemuinya
minta sedekah. Wanita tua itu berbicara dengan beliau mengatakan
kesulitan hidupnya. Beliau berhenti mendengarkan bicara wanita itu
sampaui selesai. Dan aku pun tegak menunggumu.
Aku berkata kepada diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan
raja-raja!” Kemudian beliau menggandeng tanganku dan berjalan
bersama-sama denganku sampai ke rumah beliau. Tiba di rumah, beliau
mengambil sebuah bantal kulit yang diisi dengan sabut kurma, lalu
diberikannya kepadaku. Beliau berkata, “Silahkan Anda duduk di atas
bantal ini!” Aku malu. Karena itu aku berkata, “Andalah yang pantas
duduk di situ.” Jawab Rasulullah, “Anda lebih pantas.” Aku menuruti kata
beliau. Lalu aku duduk di atas bantal. Nabi duduk di tanah, karena
tidak ada lagi bantal lain selain yang satu itu. Aku berkata dalam
diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja.” Kemudian, beliau
menoleh kepadaku seraya berkata, “Hai Adi! Sudahkah Anda
membanding-bandingkan agama yang Anda anut, antara Nasrani dengan
Shabiah?” Jawabku, “Sudah.” Beliau bertanya lagi, “Bukankah Anda
memungut pajak dari rakyat Anda seperempat penghasilan mereka. Bukankah
itu tidak halal menurut agama Anda?” Jawabku, “Betul”. Sementara itu,
aku telah yakin Muhammad ini sesungguhnya Nabi dan rasul Allah.
kemudian, beliau berkata pula, “Hai ‘Adi! Agaknya Anda enggan masuk
Islam karena pernyataan yang Anda lihat tentang kaum muslimin, mereka
miskin. Demi Allah! Tidak lama lagi harta akan berlimpah-ruah di
kalangan mereka, sehingga susah didapat orang yang mau menerima sedekah.
Atau barangkali Anda hai ‘Adi enggan masuk agama ini karena kaum
muslimin sedikit jumlahnya sedangkan musuh-musuh mereka banyak. Demi
Allah! Tidak lama lagi Anda akan mendengar berita seorang wanita datang
dari Qadisiyah mengendarai onta ke Baitullah tanpa takut kepada siapa
pun selain kepada Allah.
Atau mungkin juga Anda enggan masuk Islam karena ternyata raja-raja
dan para Sultan terdiri dari orang-orang yang bukan Islam. Demi Allah!
Tidak lama lagi Anda akan mendengar Istana Putih di negeri Babil (Iraq)
direbut kaum muslimin dan kekayaan Kisra bin Hurmuz pindah menjadi milik
mereka.
Aku bertanya kagum, “Kekayaan kisra bin Hurmuz?” Jawab beliau, “Ya
kekayaan Kisra bin Hurmuz.” ‘Adi berkata, “Maka seketika itu juga aku
mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan beliau dan aku menjadi
muslim.”
‘Adi bin Hatim dikaruniai Allah usia yang panjang. ‘Adi bercerita
lagi, “Dua perkara yang dikatakan Rasulullah sudah terbukti
kebenarannya. Tinggal lagi yang ketiga. Namun, itu pasti terjadi. Aku
telah menyaksikan seorang wanita berkendaraan onta datang dari Qadisiyah
tanpa takut kepada siapa pun, sehingga dia sampai ke Baitullah. Dan aku
adalah tentara berkuda yang pertama-tama menyerang masuk ke gudang
perbendaharaan Kisra dan merampas harta kekayaannya. Aku bersumpah demi
Allah, yang ketiga pasti akan terjadi pula.
Allah pasti membuktikan setiap perkataan Nabi-Nya yang mulia.
Peristiwa ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin
‘Abdul Aziz. Yakni, ketika kemakmuran merata di kalangan kaum muslimin.
Ketika itu setiap orang mencari-cari dengan susah payah orang yang
berhak menerima zakat. Tetapi, mereka tidak mendapatkan orang yang mau
menerima, karena kaum muslimin hidup berkecukupan seluruhnya. Memang
benar ucapan Rasulullah dan tepat pula sumpah yang diucapkan ‘Adi bin
Hatim. Semoga Allah meridhainya.
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar