Rabu, 20 Februari 2013

Mari Menggali Warisan Nabi


Mari Menggali Warisan Nabi

Mari Menggali Warisan Nabi (Bag. 1) Saudaraku…
Seringkali kali kita menjumpai orang-orang di sekitar kita memperebutkan harta warisan orang tua mereka, bahkan terkadang antara dua orang yang bersaudara sampai bermusuhan hanya karena memperebutkan harta warisan. Namun, pernahkah engkau menjumpai mereka memperebutkan warisan para nabi? Sungguh seandainya mereka tahu, sesunggunya warisan para nabi jauh lebih bermanfaat bagi mereka daripada warisan berupa harta dunia yang seringkali mereka perebutkan.
Apa itu warisan Nabi?
Saudariku.. taukah engkau apa yang dimaksud dengan warisan Nabi?
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Begitulah warisan para nabi wahai saudariku. Warisan mereka bukanlah harta dunia yang seringkali banyak diperebutkan orang, akan tetapi warisan mereka adalah ilmu. Dan yang perlu diketahui bahwa ilmu yang diwariskan para nabi hanyalah ilmu tentang syari’at Allah ‘Azza wa Jalla, dan bukan yang lainnya. Ilmu yang diturunkan Allah kepada RasulNya berupa keterangan dan petunjuk. Ilmu yang di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan bagi para pemiliknya.
Ada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ath-Thabraani dalam Al Ausath dengan sanad hasan dari Abu Hurairah, bahwasanya suatu ketika Abu Hurairah melewati pasar di kota Madinah, lalu beliau berhenti di sana. Beliau berkata, “Wahai orang-orang yang di pasar, alangkah ruginya kalian!”. Mereka menjawab: “Ada apa wahai Abu Hurairah?!”. Dia berkata: “Di sana ada warisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dibagikan, kenapa kalian masih di sini? Kenapa kalian tidak pergi ke sana mengambil bagian kalian?”. Mereka menjawab: “Di mana itu?!” Dia berkata: “Di Masjid.”Lalu orang-orang tadi bergegas menuju ke masjid, sedangkan Abu Hurairah masih tetap menunggu di pasar hingga orang-orang tadi kembali. Ketika mereka kembali ke pasar Abu Hurairah bertanya kepada mereka: “Kenapa kalian kembali?” Mereka manjawab: “Wahai Abu Hurairah! Sungguh kami telah pergi ke masjid dan kami tidak melihat apapun dibagikan di sana!” kemudian Abu Hurairah bertanya kepada mereka: “Bukankah kalian melihat ada orang di sana?” Mereka menjawab: “Tentu saja, kami melihat ada sekelompok orang yang sedang sholat, sekelompok yang lain sedang membaca Al Qur’an, dan sekelompok yang lain lagi sedang menyebutkan tentang perkara halal dan haram!” Maka Abu Hurairah berkata kepada mereka: “Sesungguhnya itulah warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Inilah yang dimaksud oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan warisan para nabi, sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham akan tetapi sesungguhnya mereka mewariskan ilmu. Maka setiap kali seorang hamba mengambil bagian ilmu yang banyak maka dia telah mengambil bagian warisan kenabian dengan bagian yang banyak. (Tsamaratul ‘Ilmi Al ‘Amalu)
Keutamaan ilmu syar’i (Ilmu Agama)
Jika harus menyebutkan keutamaan ilmu syar’i dan pemiliknya, maka sungguh kita akan menemukan begitu banyak ayat dan hadits yang menyebutkan tentang keutamaannya. Di antara keutamaan-keutamaan ilmu syar’i antara lain adalah:
  • Ilmu adalah warisan para nabi
Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang telah disebutkan di atas, bahwa para nabi ‘alaihimush-sholaatu wassalam tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Saudariku… sekarang kita berada pada abad ke 15 hijriyyah, jika engkau adalah seorang ahli ilmu berarti engkau telah menerima warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan hal ini adalah sebuah keutamaan yang paling besar. Maka, tidakkah engkau menginginkannya wahai saudariku yang semoga dirahmati Allah…
  • Ilmu itu abadi, sedangkan harta adalah fana (akan sirna)
Contohnya adalah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia termasuk sahabat yang faqir sehingga ia pernah terjatuh pingsan karena menahan lapar. Akan tetapi lihatlah wahai Saudariku, bukankah Engkau melihat nama beliau banyak disebut-sebut hingga sekarang? Semua itu bukanlah disebabkan karena kekayaan beliau, akan tetapi semua itu karena ilmu beliau. Lihatlah wahai Saudariku, betapa ilmu itu akan kekal dan harta itu akan habis.
  • Ilmu adalah jalan menuju surga
Sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

ومَنْ سَلَكَ طَريقاً يَلتَمِسُ فِيه عِلماً ، سَهَّلَ الله لَهُ بِهِ طَريقاً إلى الجَنَّةِ

“Barangsiapa meniti jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
  • Ilmu tidak akan membuat lelah pemiliknya dalam menjaganya, karena tempat ilmu adalah di dalam hati, sehingga hal itu tidak membutuhkan kotak khusus ataupun kunci khusus untuk menjaganya.
  • Kebaikan seseorang dinilai dari pemahamannya terhadap agamanya
Hal ini disebutkan dalam sebuah hadits dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu , ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan membuatnya faham tentang agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
  • Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan hidup seorang hamba
Karena dengan ilmu, seorang hamba akan mengetahui bagaimana seharusnya beribadah kepada Rabb-nya dan bagaimana cara bergaul dengan sesama hamba-Nya.
Saudariku… sungguh begitu banyak keutamaan ilmu, tidakkah Engkau ingin meraih keutamaan dan kemuliaannya? Jika iya, maka bersegeralah!
Hukum mempelajari ilmu syar’i
Allah Ta’ala berfirman

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan untuk dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Allah Ta’ala juga berfirman (artinya),

فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Sepatutnya ada sekelompok orang dari masing-masing golongan untuk memperdalampengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila dia telah kembali kepada mereka, supaya mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Dua ayat di atas menunjukkan bahwasanya Allah Ta’ala mewajibkan kepada hamba-hambaNya untuk mengilmui agama mereka. Dan tidak diragukan lagi bahwa kemuliaan agama akan tetap ada selagi masih tersisa ilmu dan para ulama. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda

إِنَّ اللهَ لاَيَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَ أَضَلُّوْا

“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu (dalam riwayat lain: tidaklah menggenggam ilmu) dengan cara mencabutnya dari dada-dada para ulama, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mematikan para ulama hingga tidak tersisa satupun orang yang berilmu. Sehingga manusia akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, kemudian mereka bertanya kepadanya dan diapun memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka (para pemimpin) itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari). Sungguh agama Islam ini tidaklah terjaga kecuali karena pertolongan, rahmat dan nikmat dari Allah Ta’ala dan dengan sebab kesungguhan para sahabat dalam menjaga ilmu yang telah diwariskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka.(Dhoruurah At-Tafaqquh fid-diin)
Para ulama membagi hukum mempelajari ilmu syar’i menjadi dua yaitu fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Fardhu kifayah yaitu apabila ada orang yang sudah mempelajarinya maka hukumnya menjadi sunnah bagi yang lainnya. Sedangkan fardhu ‘ain yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap orang islam. Batasan suatu ilmu dihukumi fardhu ‘ain yaitu ilmu yang dapat menyebabkan akidah seseorang tidak sah kecuali jika dia memahami ilmu tersebut. Seperti ilmu tentang makna syahadat, ilmu tentang hakikat Tauhid, ilmu tentang hakikat iman. Selain itu termasuk juga ilmu yang mencakup tentang ibadah-ibadah wajib yang akan dia jalankan atau mu’amalah yang akan dia kerjakan, maka dalam keadaan ini dia wajib mengetahui bagaimana cara melakukan ibadah tersebut dan juga bagaimana dia melaksanakan mu’amalah tersebut. Seperti seseorang yang akan mengerjakan sholat, maka dia wajib mempelajari tentang tata cara sholat yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa saja yang membuat sholatnya dapat diterima, apa saja yang membatalkan sholat dan lain-lain. Atau contoh lain dalam perkara mu’amalah adalah jika dia ingin menjadi seorang pedagang, maka dia wajib mengetahui batasan-batasan syari’at dalam perkara dagang, sehingga dia tidak terjatuh dalam praktek-praktek perdagangan yang diharamkan oleh agama seperti jual beli yang mengandung riba.
Adapun ilmu yang lainnya (yang tidak akan dikerjakan pada saat itu), maka mempelajari ilmu tersebut tetap dihukumi fardhu kifayah. Dan sudah sepantasnya setiap pencari ilmu menyadari bahwa dirinya sedang melaksanakan amalan yang hukumnya fardhu kifayah ketika mencari ilmu agar dia memperoleh pahala mengerjakan amalan fardhu seraya memperoleh ilmu.
Oleh karena itu wahai saudariku… bersemangatlah dalam mencari ilmu agama yang mulia ini, karena sungguh di sana ada begitu banyak keutamaan dan kemuliaan…
Wallahu Ta’ala A’lam bish Showwab
***
Artikel bulletin zuhairah
Penulis: Ummu Zaid Wakhidatul Latifah
Murajaah: Ustadz Adika Minaoki
Sumber : Muslimah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar