Kamis, 25 Desember 2014

“Urgensi Dua Kalimat Syahadat”



Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْ
“Urgensi Dua Kalimat Syahadat”
Muqaddimah
Dua kalimat syahadat, Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah, adalah tujuan utama dari diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Menjadikan seluruh manusia memberikan kesaksian, ikrar, dan sumpah, bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah secara haq kecuali Allah‘Azza wa Jalla, dan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah hambaNya dan utusanNya. 
Dua kalimat syahadat merupakan bingkai dari semua tujuan da’wah lainnya. Semua aktifitas da’wah dan jihad diarahkan demi tegaknya kalimat ini. 
Maka, bagi aktifis da’wah, di mana pun mereka, apa pun profesinya, hendaknya menjadikan dua kalimat syahadat sebagai muara semua tujuan dan arahan da’wahnya.
Hal ini sesuai dengan nash-nash sebagai berikut:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ 
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhi lah Thaghut itu". (QS. An Nahl (16): 36)
Dengan sangat jelas dalam ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan tentang tujuan utama da’wah para rasul, yakni agar manusia menyembah Allah semata, dan tidak mempersekutukan diriNya dengan apa pun, yang oleh manusia dijadikan sebagai Ilah selain Allah ‘Azza wa Jalla, yakni Thaghut. (pembahasan thaghut akan ada babnya tersendiri Insya Alah) 
Imam  Ibnu Jarir Ath Thabari (w. 310H) menafsirkan ayat ini, demikian: 
ولقد بعثنا أيها الناس في كلّ أمة سلفت قبلكم رسولا كما بعثنا فيكم بأن اعبدوا الله وحده لا شريك له ، وأفردوا له الطاعة ، وأخلصوا له العبادة
“Wahai manusia, Kami telah mengutus pada setiap umat terdahulu sebelum kalian seorang rasul sebagaimana  Kami telah utus kepada kalian juga, dengan seruan: sembahlah Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya, dan hanya kepadaNyalah kalian ta’at, dan memurnikan ibadah hanya untukNya.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, 17/201. Mu’asasah Ar Risalah)
Ada pun ayat  yang menegaskan kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: 
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudhar kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran (3): 144) 
Ayat yang mulia ini menegaskan tentang kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagai hamba dan RasulNya, sebagaimana dahulu juga telah Allah ‘Azza wa Jalla utus para rasul sebelumnya.
وما محمد إلا رسول كبعض رسل الله الذين أرسلهم إلى خلقه، داعيًا إلى الله وإلى طاعته، الذين حين انقضت آجالهم ماتوا وقبضهم الله إليه
“Muhammad itu hanyalah seorang rasul,  seperti sebagian rasul-rasul Allah yang telah Dia utus kepada hambaNya, penyeru kepada Allah dan menuju ketaatan kepadaNya, mereka itu ketika telah ditetapkan ajalnya, maka mereka wafat dan Allah mencabut nyawa mereka kepadaNya.” (Ibid, 7/251)
Atau ayat:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya  adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al Fath 48): 29)
Dan masih banyak ayat lainnya.
Sedangkan dari As Sunnah, telah diriwayatkan beberapa hadits yang menyebutkan esensi diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، ويقيموا الصلاة، ويؤتوا الزكاة، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام، وحسابهم على الله
“Aku diutus untuk memerangi manusia hingga mereka  bersaksi (bersyahadat), bahwa tidak ada Ilahkecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas Allah-lah perhitungan mereka.” (HR. Bukhari, Kitabul Iman, No. 25, Muslim, Kitabul Iman, No. 36)
Hadits yang mulia ini telah menegaskan pula kepada kita bahwa tujuan Beliau diutus adalah agar manusia mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, dan zakat. Tentunya tidak melupakan kewajiban-kewajiban lain  kebagaimana disebutkan dalam riwayat yang masyhur, bahwa Islam dibangun dengan lima rukun. 
Al Hafizh Ibnu Hajar (w.  852H) mengomentari hadits ini:
جُعِلَتْ غَايَة الْمُقَاتَلَة وُجُود مَا ذُكِرَ ، فَمُقْتَضَاهُ أَنَّ مَنْ شَهِدَ وَأَقَامَ وَآتَى عُصِمَ دَمه وَلَوْ جَحَدَ بَاقِيَ الْأَحْكَام ، وَالْجَوَاب أَنَّ الشَّهَادَة بِالرِّسَالَةِ تَتَضَمَّن التَّصْدِيق بِمَا جَاءَ بِهِ
“Dijadikannya tujuan peperangan adalah demi eksistensi apa-apa yang telah disebutkan (syahadat, shalat, dan zakat, pen), maka konsekuensinya bahwa siapa saja yang telah bersaksi, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, maka telah dijaga darahnya walau dia masih berpaling pada hukum-hukum lainnya. Dan jawabannya adalah bahwa sesungguhnya kesaksian terhadap risalah (Islam) membawa konsekuensi meyakini apa pun yang datang bersamanya.” (Fathul Bari, 1/76. Darul Fikr)
Sementara, Imam Ibnu Rajab (w. 795) dalam kitab yang berjudul sama dengan Al Hafizh Ibnu Hajar, yakni Fathul Bari, mengatakan bahwa sekelompok sahabat ada yang memahami bahwa kalimat syahadat menjadi pelindung darah seseorang seihngga dia tidak boleh diperangi, kecuali   mereka menolak mengeluarkan zakat. Sampai akhirnya,   Abu Bakar Ash Siddiq Radhiallahu ‘Anhu menjelaskan kepada mereka tentang hadits ini, akhirnya para sahabat lain pun mengikuti beliau:
الكلمتان بحقوقهما ولوازمهما، وهو الإتيان ببقية مباني الإسلام.
“(yakni) dua kalimat beserta hak-haknya dan hal-hal yang menyertainya, yaitu dengan mendatangkan juga hal-hal lain dari rukun-rukun Islam.” (Lihat Fathul Bari-nya Ibnu Rajab, pembahasan Kitabush Shalah Bab Fadhlush Shalah li Waqtiha, Mauqi’ Ruh Al Islam. Ada pun versi Al Maktabah Asy Syamilah, pada Juz 4, Hal. 20)
Jadi, menurut Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu bukan hanya zakat, hal-hal lain dari rukun Islam yang wajib ada menyertai dua kalimat syahadat pun jika ditinggalkan karena mengingkari kewajibannya, maka orang tersebut boleh diperangi. 
Demikianlah. Betapa pentingnya dua kalimat syahadat bagi manusia secara umum, dan khususnya umat Islam untuk mempelajarinya.
Urgensi Pertama: Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pintu Gerbang Keislaman
Dua kalimat syahadat merupakan madkhalun ilal Islam (pintu gerbang masuk ke Islam). siapa pun yang ingin memeluk Islam, maka dia wajib mengucapkannya, tanpa keraguan, tanpa dipaksa atau terpaksa, jika demikian maka dia sah disebut muslim, tanpa harus ada saksi sebagaimana keislaman raja Najasyi
Ada pun tentang status orang yang sudah bersyahadat, maka Imam Muhyiddn An Nawawi (w. 676H) mengatakan ketika mengomentari hadits, “Aku diutus untuk memerangi manusia ...”:
وَفِيهِ دَلَالَة ظَاهِرَة لِمَذْهَبِ الْمُحَقِّقِينَ وَالْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف أَنَّ الْإِنْسَان إِذَا اِعْتَقَدَ دِين الْإِسْلَام اِعْتِقَادًا جَازِمًا لَا تَرَدُّد فِيهِ كَفَاهُ ذَلِكَ وَهُوَ مُؤْمِن مِنْ الْمُوَحِّدِينَ وَلَا يَجِب عَلَيْهِ تَعَلُّم أَدِلَّة الْمُتَكَلِّمِينَ وَمَعْرِفَة اللَّه تَعَالَى بِهَا ، خِلَافًا لِمَنْ أَوْجَبَ ذَلِكَ وَجَعَلَهُ شَرْطًا فِي كَوْنه مِنْ أَهْل الْقِبْلَة ، وَزَعَمَ أَنَّهُ لَا يَكُون لَهُ حُكْم الْمُسْلِمِينَ إِلَّا بِهِ . وَهَذَا الْمَذْهَب هُوَ قَوْل كَثِير مِنْ الْمُعْتَزِلَة وَبَعْض أَصْحَابنَا الْمُتَكَلِّمِينَ . وَهُوَ خَطَأ ظَاهِر فَإِنَّ الْمُرَاد التَّصْدِيق الْجَازِم ، وَقَدْ حَصَلَ ، وَلِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِكْتَفَى بِالتَّصْدِيقِ بِمَا جَاءَ بِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَشْتَرِط الْمَعْرِفَة بِالدَّلِيلِ ؛ فَقَدْ تَظَاهَرَتْ بِهَذَا أَحَادِيث فِي الصَّحِيحَيْنِ يَحْصُل بِمَجْمُوعِهَا التَّوَاتُر بِأَصْلِهَا وَالْعِلْم الْقَطْعِيّ .
“Dalam hadits ini terdapat petunjuk yang jelas  menurut  madzhab para muhaqqiq (peneliti) dan jumhur (mayoritas) salaf dan khalaf, bahwa manusia jika dia meyakini agama Islam dengan keyakinan yang pasti tanpa keraguan di dalamnya, maka itu telah cukup baginya, dan dia adalah seorang mu’min dari kalangan muwahhidin(orang-orang yang bertauhid). Dia tidak diharuskan mengetahui dalil-dalil para ahli kalam dan dalil-dalilma’rifatullah. Telah terjadi perselisihan bagi orang yang mewajibkan hal itu (pengetahuan terhadap dalil, pen) dan menjadikannya sebagai syarat bagi seseorang untuk termasuk sebagai ahli kiblat, mereka menyangka bahwa tidak bisa dihukumi sebagai muslim kecuali dia harus mengetahui dalil-dalilnya. Ini adalah pendapat kebanyakan kaum mu’tazilah dan sebagian kawan-kawan kami (madzhab syafi’i, pen) dari kelompok ahli kalam (teolog). Ini jelas pendapat yang salah. Sebab, sesungguhnya yang dimaksud adalah keyakinan yang pasti dan itu telah cukup. Sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mencukupkan dengan keyakinan terhadap apa-apa yang dia bawa, dan tidak mensyaratkan harus mengetahui dalil-dalilnya. Hadits-hadits tentang masalah ini sangat jelas tertera dalam shahihain (Bukhari-Muslim) yang mencapai derajat mutawatir dan membawa ilmu yang meyakinkan.”   (Syarh Shahih Muslim, Kitabul Iman, No. 31. Mauqi Ruh Al Islam. Ada pun versi Al Maktabah Asy Syamilah, Juz. 1, Hal. 93)

Jadi, keislaman seseorang sudah diakui, selama dia meyakininya secara pasti, tanpa harus mereka mengetahui dalil-dalil keimanan itu ada di ayat mana,  hadits riwayat siapa, dan seterusnya. Sebab, dahulu orang-orang pedalaman ketika masuk Islam pun oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap diakui keislamannya, walau mereka tidak mengetahui dalil-dalilnya. Namun,  alangkah lebih baiknya bagi seseorang yang sudah berislam dia berupaya mengetahui dalil-dalil keimanannya. 
Konsekuensi dua kalimat syahadat  bagi pengucapnya adalah maka dia hendaknya tidak sekedar bersyahadat tetapi menyempurnakannya dengan rukun Islam lainnya, sebagaimana yang dikataka oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu. Dia dimaafkan ketika masih awal muallaf belum mengetahui bahkan belum mengerjakan hal-hal urgen dalam Islam yang wajib dilakukan oleh semua orang Islam. Namun, dia tidak boleh berlama-lama dalam ketidaktahuannya, harus terus belajar dan mengamalkan Islam secara bertahap.
Sedangkan konsekuensi bagi saudara muslim lainnya, maka hendaknya melindungi muallaf baru ini baik darah, harta, dan kehormatannya, dan disikapi seperti muslim lainnya. Dia sudah berhak mendapatkan waris atau mewariskan[1] dengan sesama umat islam lainnya yang senasab dengannya atau karena faktor pernikahan. Dia sudah berhak diberikan dan dijawab salamnya secara wajar, dan sikap-sikap lainnya yang diajarkan syariat terhadap sesama muslim.
Selanjutnya, dua kalimat syahadat merupakan pintu masuk ke dalam Islam, namun bagi manusia yang lahir dari keluarga muslim, sehingga sejak kecil dia adalah muslim dan sampai dewasa tetap muslim, maka tidak ada istilah syahadat ulang bagi mereka dan itu tidak dibenarkan, sebagaimana yang dilakukan kelompok-kelompok sempalan dalam Islam yang meminta anggotanya untuk melakukan syahadat ulang, jika ingin bergabung dengan mereka, jika tidak melakukannya  maka kafir, menurut mereka. 
Sesungguhnya setiap anak manusia yang lahir maka dia sudah muslim, sesuai ayat:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi (bersyahadat)". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al A’raf (7): 172)
Ayat ini menjelaskan bahwa ketika manusia masih di alam ruh, sebelum mereka ada di rahim ibunya, mereka telah mengambil janji dan mengakui bahwa Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Tuhan mereka. Oleh karena itu, setiap bayi yang lahir maka dia dalam keadaan fitrah (muslim). Apalagi jika dia dilahirkan dari keluarga yang muslim dan dibesarkan dengan cara islam, maka tidak perlu lagi syahadat ulang, kecuali jika dia dibesarkan oleh orang tuanya dengan cara kafir, sehingga dia pun ikut menjadi kafir, maka jika dia ingin masuk Islam (tepatnya adalah kembali kepada Islam), wajiblah baginya mengucapkan dua kalimat syahadat.  Lantaran dia telah ‘menanggalkan’ kesaksiannya itu ketika dibesarkan secara kafir oleh kedua orang tuanya di dunia.
Hal ini diperkuat lagi oleh riwayat dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang mebuatnya menjadi  Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No. 2658)
Telah banyak tafsir tentang makna ‘fitrah’ dalam hadits ini, namun yang masyhur dan benar adalah Islam. Hal ini ditegaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah (w. 852H):
 وَأَشْهَرُ الْأَقْوَال أَنَّ الْمُرَاد بِالْفِطْرَةِ الْإِسْلَام ، قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : وَهُوَ الْمَعْرُوف عِنْد عَامَّة السَّلَف . وَأَجْمَعَ أَهْل الْعِلْم بِالتَّأْوِيلِ عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ النَّاس عَلَيْهَا ) الْإِسْلَام
“Pendapat yang paling masyhur adalah bahwa maksud dari fitrah adalah Islam. Berkata Ibnu Abdil Bar:‘Itu sudah dikenal oleh umumnya kaum salaf.’ Para ulama telah ijma’ (sepakat) dengan ta’wil maksud ayat:   “(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah,” adalah Islam.” (Fathul Bari, 3/248. Darul Fikr)
Sehingga, dengan berdalil pada hadits ini, maka jika ada seorang bayi yang wafat dan dia lahir dari orang tua yang  kafir maka dia tetaplah Islam menurut sebagian ulama dan dishalatkan, sebagaimana pendapat Az Zuhri. Atau jika yang wafat  adalah kedua orang tuanya,  maka dia pun dihukumi sebagai muslim. Berkata Imam Ahmad: 
مَنْ مَاتَ أَبَوَاهُ وَهُمَا كَافِرَانِ حُكِمَ بِإِسْلَامِهِ
“Barangsiapa  yang kedua orangtuanya wafat, dan mereka berdua kafir,  maka bayi itu dihukumi sebagai Islam.” (Ibid) selesai.
Pembahasan ini menegaskan sekali lagi bahwa dua kalimat syahadat merupakan pembatas antara muslim dan kafir. Dia adalah kalimat revolusioner yang telah merubah seorang budak seperti Bilal bin RabahRadhiallahu ‘Anhu  menjadi manusia mulia, seorang ‘preman’ seperti Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhumenjadi manusia agung. Bukan hanya dalam lingkup pribadi, juga dalam jangkauan komunitas, dua kalimat syahadat telah merubah masyarakat Arab yang jahiiyah menjadi berperikemanusiaan dengan bimbingan Islam. Bahkan menjadi guru dunia selama hampir satu mellenium lamanya.  
Sebenarnya, orang kafir –menurut keterangan Al Quran- mereka juga bertauhid, yakni hanya tauhid rububiyah yakni mengesakan Allah bahwa Allah Ta’ala dari sisi bahwa Dia satu-satunya Rabb, yaitu yang memberi rezeki, mencipta, dan mengatur. Dari sisi ini sajalah, kesamaan antara orang kafir dan muslim.  Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ
“Katakanlah: "Siapakah Rabb-nya langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah". (QS. Ar Ra’d (13): 16)           
Dalam ayat lain:
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (85) قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (88) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ (89)
“Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka Apakah kamu tidak ingat?"  Katakanlah: "Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya 'Arsy yang besar?"  Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka Apakah kamu tidak bertakwa?"  Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?"  Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka dari jalan manakah kamu ditipu?" (QS. Al Mu’minun (23): 84-89)
Ayat-ayat ini menerangkan bahwa orang kafir mengakui bahwa  Allah ‘Azza wa Jalla, sebagai pencipta langit dan bumi, pemiliki, dan pengaturnya. Maka, jika ada seorang mangakui muslim bertauhid hanya pada sampai titik ini maka dia memiliki kesamaan  dengan orang kafir.
Sedangkan seorang muslim sejati, dia juga meyakini tauhid uluhiyah yakni mengesakan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya Ilah yang layak disembah secara haq, karena Dia sebagai Penguasa, Raja, Pembuat undang-undang, dan ma’bud (yang disembah). Nah, di sisi inilah orang kafir tidak mengakui dan tidak meyakininya, sehingga mereka masih menyembah sesembahan selain Allah Ta’ala, walau mereka mengakui Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur hidup mereka. Jika kita perhatikan umat Islam hari ini, maka betapa banyak  yang sudah merasa muslim, tetapi tidak memiliki tauhid uluhiyah yang benar. Mereka masih mendatangi dukun, percaya tahayul, meminta kepada penghuni kubur, benda-benda keramat, tanggal dan hari keramat, angka keberuntungan, menjadikan selain Allah Ta’ala sebagai pembuat syariat, dan lain sebagainya, padahal itu semua tidak membawa manfaat dan mudharat bagi mereka di dunia, dan membawa malapetaka bagi mereka di akhirat.
Allah Ta’ala telah menyindir mereka:
قُلْ أَفَاتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ لَا يَمْلِكُونَ لِأَنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا
“Katakanlah: "Maka Patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, Padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?" (QS. Ar Ra’d (13): 16)
Urgensi Kedua: Dua kalimat Syahadat Merupakan Intisari Ajaran Kandungan Islam
Jika kita perhatikan semua kandungan ajaran Islam yang tertera dalam Al Quran dan As Sunah, baik cakupan individu, keluarga, atau komunitas, negara atau antara negara, ekonomi, budaya, politik, pendidikan, militer, dakwah,   jihad, silaturrahim, menutup aurat, puasa, shalat, berkata baik dan benar,  dan semua jenis perbuatan baik, maka semua ini memiliki satu tema yang sama yakni ibadah dan pengabdian kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Berada di mana pun dan profesi positif  apa pun, semuanya bisa bernilai ibadah di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah tujuan dari penciptaan jin dan manusia.
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (w. 728H) memberikan definisi ibadah yang sangat konprehensif sebagai berikut:
" الْعِبَادَةُ " هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ : مِنْ الْأَقْوَالِ ، وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ ؛ فَالصَّلَاةُ ، وَالزَّكَاةُ ، وَالصِّيَامُ ، وَالْحَجُّ ، وَصِدْقُ الْحَدِيثِ ، وَأَدَاءُ الْأَمَانَةِ ، وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ، وَصِلَةُ الْأَرْحَامِ ، وَالْوَفَاءُ بِالْعُهُودِ ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَالْجِهَادُ لِلْكُفَّارِ وَالْمُنَافِقِينَ ، وَالْإِحْسَانُ إلَى الْجَارِ ، وَالْيَتِيمِ ، وَالْمِسْكِينِ ، وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَالْمَمْلُوكِ مِنْ الْآدَمِيِّينَ وَالْبَهَائِمِ ، وَالدُّعَاءُ ، وَالذِّكْرُ ، وَالْقِرَاءَةُ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ مِنْ الْعِبَادَةِ . وَكَذَلِكَ حُبُّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَخَشْيَةُ اللَّهِ وَالْإِنَابَةُ إلَيْهِ ، وَإِخْلَاصُ الدِّينِ لَهُ ، وَالصَّبْرُ لِحُكْمِهِ ، وَالشُّكْرُ لِنِعَمِهِ ، وَالرِّضَا بِقَضَائِهِ ، وَالتَّوَكُّلُ عَلَيْهِ ، وَالرَّجَاءُ لِرَحْمَتِهِ ، وَالْخَوْفُ لِعَذَابِهِ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ هِيَ مِنْ الْعِبَادَةِ لِلَّهِ .
“Ibadah adalah nama yang mencakup untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan, amal batin dan lahir. Maka, shalat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berkata, memenuhi amanah, berbakti kepada dua orang tua, silaturrahim, menepati janji, amar ma’ruf, nahi munkar, jihad melawan orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin,  ibnu sabil, budak, hewan, doa, dzikir, membaca, dan yang sepertinya, itu semua termasuk ibadah. Demikian juga mencintai Allah dan RasulNya, takut kepada Allah dan kembali kepadaNya, ikhlas dalam beragama untukNya, sabar atas hukumNya, syukur atas nikmatNya, ridha atas ketetapanNya, tawakal kepadaNya, mengharap rahmatNya, takut atas adzabNya, dan yang semisal itu, juga termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala.”  (Al Fatawa Al Kubra, 7/257).
Beliau juga berkata:
أَنَّ الْعِبَادَةَ تَتَضَمَّنُ كَمَالَ الْحُبِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى الْحَمْدِ ، وَتَتَضَمَّنُ كَمَالَ الذُّلِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى التَّعْظِيمِ ، فَفِي الْعِبَادَةِ حُبُّهُ وَحَمْدُهُ عَلَى الْمَحَاسِنِ ، وَفِيهَا الذُّلُّ النَّاشِئُ عَنْ عَظَمَتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ .
“Bahwa Ibadah adalah mencakup di dalamnya  totalitas rasa cinta, mencakup di dalamnya  makna pujian, mencakup totalitas merendahkan diri, mencakup makna pengagungan, maka dalam ibadah terdapat cinta kepadaNya dan pujian kepadaNya atas segala bentuk kebaikan, dan dalam ibadah ada kerendahan pada malam hari terhadap keagunganNya dan kebesaranNya.”   (Al Fatawa Al Kubra, 7/348)
Sedangkan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah (w. 774H), mendefinisikan makna ibadah secara syara’adalah:
وفي الشرع: عبارة عما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف.
“Secara syariat, (makna ibadah) adalah semua makna (‘ibarah) tentang apa-apa yang mencakup kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut.”  (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1/134.  Dar ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Demikianlah intisari dua kalimat syahadat, Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah. Implikasi kalimat Laa Ilaha Illallah adalah ibadah itu hendaknya ditujukan untuk Allah ‘Azza wa Jalla semata (Al ‘Ibadat Lillah). Tidak memperuntukkan peribadatan semata-mata demi kepuasan, kekhusyu’an, ketenangan, apalagi pujian manusia. Bukan itu. Tetapi menjadikan peribadatan semua untuk Allah Ta’ala, ikhlas dan murni untukNya semata. Sebagai bukti kecintaan, khauf (takut), dan raja’ (harap) kepadaNya. Baik ibadah infiradi (pribadi) atau jama’i(bersama-sama).
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ..” (QS. Al Bayyinah (98): 5)
Ayat lainnya:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al An’am (6): 162)
Ayat lainnya:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya...” (QS. Al Mulk (67): 2)
Siapakah yang paling baik amalnya? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (w. 728H) mengutip dari Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh  (w. 187H) sebagai berikut:
قَالَ : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ فَقِيلَ : يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ؟ فَقَالَ : إنَّ الْعَمَلَ إذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ . وَإِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا . وَالْخَالِصُ : أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ . وَقَدْ رَوَى ابْنُ شَاهِينَ واللالكائي عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ : لَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ إلَّا بِنِيَّةِ وَلَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلَّا بِمُوَافَقَةِ السُّنَّة
(Yaitu) “yang paling ikhlas dan paling benar.” Ada orang bertanya: “Wahai Abu Ali, apakah yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Dia menjawab: “Sesungguhnya amal itu, jika benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima.Dan jika ikhlas tetapi tidak benar, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah menjadikan ibadah hanya untuk Allah, dan benar adalah sesuai dengan sunah. Ibnu Syahin dan Al Lalika’i meriwayatkan dari Said bin Jubeir, dia berkata: “Tidak akan diterima ucapan dan amal perbuatan, kecuali dengan niat, dan tidak akan diterima ucapan, perbuatan dan niat, kecuali bersesuaian dengan sunah.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’  Fatawa, 6/345)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ 
“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat pada penampilan kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim No. 2564. Ahmad No. 7493. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 10088. Ibnu Hibban No. 394)
Ibadah merupakan upaya kita untuk menuju diriNya dan itu merupakan manhaj Allah (manhajullah) yang sudah Dia tetapkan bagi hamba-hambaNya. Jika ingin mendekatkan diri kepadaNya, ingin menjadi ‘ibadurrahman sejati, ingin menjadi keluargaNya, ingin menjadikan Allah ‘Azza wa Jalla sebagai penglihatannya ketika dia melihat, sebagai pendengarannya ketika dia mendengar, sebagai kakinya ketika dia melangkah, maka mengabdikan diri kepadaNya, merendah, tunduk, patuh, cinta, takut, dan harap kepadaNya merupakan manhaj yang harus ditempuh bagi siapa saja yang ingin bertemu denganNya di akhirat dalam keadaan puas, ridha dan diridhai.
Allah ‘Aza wa Jalla berfirman:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr (89): 27-30)
Namun demikian, manhaj ini tidak bisa ditempuh dengan tata cara yang keliru, keluar dari koridor baik mengurangi atau menambahkan (baca: bid’ah) dengan hal-hal yang tidak dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Walau pun dipandang baik oleh manusia dan hawa nafsu, namun tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka menjadi sia-sia. Inilah implikasi dari Muhammadarrasulullah, yakni menjadikan Beliau sebagai satu-satunya teladan yang baik (qudwah hasanah) dalam beribadah kepada Allah ‘Azza wa  Jalla dengan pengertian ibadah yang sangat luas, tidak menyelisihinya, apalagi menentangnya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab (33): 21)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran (3): 31)
Jumhur (mayoritas) para ulama salaf mengatakan ayat ini turun karena pada zaman nabi ada kaum yang mengklaim, “Kami mencintai Allah.” Lalu turunlah ayat ini, bahwa jika ingin membuktikan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah dengan menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai panutan, dan itu merupakan tanda dari mencintaiNya. Sedangkan yang lain mengatakan, ayat ini turun merupakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar kaum Nasrani Bani Najran menepati janjinya bahwa mereka mengatakan mencintai Allah dan mengagungkanNya, maka untuk itu mereka harus mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan, 6/322-323. Mu’asasah Ar Risalah)    
Ayat lainnya:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur (24): 63)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini (Islam), dengan apa-apa yang tidak ada padanya maka itu tertolak.” (HR. Bukhari No. 2550. Muslim No. 1718. Abu Daud No. 4606. Ibnu Majah No. 14. Ahmad No. 24840. Lafaz ini milik Bukhari)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha pula, dengan lafaz agak berbeda, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal dengan sebuah perbuatan yang tidak ada contohnya dalam  agama kami, maka itu tertolak.” (HR. Muslim No. 1718. Ahmad No. 24298)
Imam An Nawawi (w. 676H) Rahimahullah mengatakan:
وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ مِنْ جَوَامِع كَلِمه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيح فِي رَدّ كُلّ الْبِدَع وَالْمُخْتَرَعَات .
“Hadits ini merupakan kaidah agung diantara kaidah-kaidah Islam. Ini adalah kalimat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bermakna luas. Ini begitu jelas dalam menolak bid’ah dan hal mengada-ada. “ (Syarh Shahih Muslim, No. 3242. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Imam Abul Abbas Ahmad bin Abu Hafsh Al Anshari Al Qurhubi mengomentari hadits ini:
من اخترع في الشرع ما لا يشهد له أصل من أصوله فهو مفسوخ ، لا يعمل به ، ولا يلتفت إليه
“Barangsiapa yang menciptakan dalam syariat sesuatu yang tidak disaksikan oleh dasar dari dasar-dasar syariat, maka hal itu batal, tidak boleh beramal dengannya,   dan tidak boleh mengikutinya.” (Al Mufhim Lima Asykala min Talkhishi Kitabi Muslim, 16/85. Al Maktabah Al Misykat)        
Maka hendaknya kaum muslimin menjadikan sunah nabi adalah sunah (jalan) bagi hidupnya, tidak yang lainnya. Inilah jalan yang ditempuh umat terbaik pada masa silam. Hanya jalan inilah kebaikan hidup dunia dan akhirat, serta kejayaannya. Demikianlah wasiat para imam kaum muslimin dari zaman ke zaman.
Berkata Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu:
 عليكم بالسبيل والسنة فإنه ليس من عبد على سبيل وسنة ذكر الرحمن ففاضت عيناه من خشية الله فتمسه النار وإن اقتصادا في سبيل وسنة خير من اجتهاد في إخلاف
“Hendaknya kalian bersama jalan kebenaran dan As Sunnah, sesungguhnya tidak akan disentuh neraka, orang yang di atas kebenaran dan As Sunnah dalam rangka mengingat Allah lalu menetes air matanya karena takut kepada Allah Ta’ala. Sederhana mengikuti kebenaran dan As Sunnah adalah lebih baik, dibanding bersungguh-sungguh dalam perselisihan.”
Dari Abul ‘Aliyah, dia berkata: 
عليكم بالأمر الأول الذي كانوا عليه قبل أن يفترقوا قال عاصم فحدثت به الحسن فقال قد نصحك والله وصدقك
“Hendaknya kalian mengikuti urusan orang-orang awal, yang dahulu ketika  mereka belum terpecah belah.” ‘Ashim berkata: “Aku menceritakan ini kepada Al Hasan, maka dia berkata: ‘Dia telah menasihatimu dan membenarkanmu.’ “
Dari Al Auza’i, dia berkata:
اصبر نفسك على السنة وقف حيث وقف القوم وقل بما قالوا وكف عما كفوا عنه واسلك سبيل سلفك الصالح فانه يسعك ما وسعهم
“Sabarkanlah dirimu di atas As Sunnah, berhentilah ketika mereka berhenti, dan katakanlah apa yang mereka katakan, tahanlah apa-apa yang mereka tahan, dan tempuhlah jalan pendahulumu yang shalih, karena itu akan membuat jalanmu lapang seperti lapangnya jalan mereka.”
Dari Yusuf bin Asbath, dia berkata:
قال سفيان يا يوسف إذا بلغك عن رجل بالمشرق أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام وإذا بلغك عن آخر بالمغرب أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام فقد قل أهل السنة والجماعة
“Berkata Sufyan: Wahai Yusuf, jika sampai kepadamu seseorang dari Timur bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya. Jika datang kepadamu dari Barat bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya, sungguh, Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sedikit.”
Dari Ayyub, dia berkata:
إني لأخبر بموت الرجل من أهل السنة فكأني أفقد بعض أعضائ
“Sesungguhnya jika dikabarkan kepadaku tentang kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan telah copot anggota badanku.”
Dan masih banyak lagi nasihat yang serupa. (Lihat semua ucapan salaf ini dalam Talbisu Iblis, hal. 10-11, karya Imam Abul Faraj bin Al Jauzi )
Urgensi Ketiga: Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pondasi Bagi Perubahan
Tentu kita pernah melihat gedung yang tinggi, kokoh, dan kuat. Apa gerangan yang menopangnya? Ya, itu adalah pondasinya yang menghujam. Dia tidak terlihat, tetapi sangat besar perannya bagi kekuatan bangunan. Semakin tingga dan besar bangunan, maka semakin dalam pula pondasi yang dibuat. Begitu pula dalam merancang peradaban Islam, menciptakan pribadi muslim, dan membentuk masyarakat muslim. Maka, kekuatan terhadap pemahaman dan keyakinan dua kalimat syahadat ini adalah hal yang paling utama dan penting. Dua kaimat inilah yang hendaknya pertama kali disampaikan, diajarkan, dan difahamkan kepada umat Islam oleh para da’i dan ulama. Agar tercipta peradaban berbasiskan tauhid, bukan materialisme dan derivasinya
Masyarakat dan pribadi bertauhid. Inilah yang kita inginkan. Di tangan merekalah dahulu umat ini pernah jaya, dan di tangan merekalah musuh-musuh Islam terkapar tak berdaya.  Namun, di manakah mereka gerangan hari ini? .. hari ini kalimat tauhid hanya diperlakukan sebagai dzikir kosong oleh umumnya umat Islam. Mereka melakukan tahlil sampai ratusan kali, tanpa mengerti apa yang mereka ucapkan itu. Tanpa mau tahu, konsekuensi yang harus mereka kerjakan dari dua kalimat syahadat.
Dalam tataran individu,   kalimat ini mampu menjinakkan hati Umar bin Al Khathab Al Faruq, hingga umat Islam saat itu begitu berbahagia dengan keislamannya. Bahkan dia menjadi orang yang memiliki banyak keutamaan,  paling keras dalam memegang agama, yang paling tahu pembeda antara haq dan batil,  bahkan nabi memujinya sebagai manusia di umat ini yang mendapatkan ilham.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ
“Dahulu pada umat-umat sebelum kamu ada manusia yang menjadi muhaddatsun, jika ada satu di antara umatku yang seperti itu, maka Umarlah di antara mereka.” (HR. Muslim No. 2398)
Berkata Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu: 
ما زلنا أعزة منذ أسلم عمر.
“Kami senantiasa memiliki ‘izzah semenjak keislaman Umar.” (HR. Bukhari No. 3481)
Dua kalimat syahadat ini bisa merubah seorang budak Bilal bin Rabbah, menjadi mulia bahkan dialah yang akhirnya berhasil membunuh Umayah bin Khalaf bekas majikannya yang kejam. Bahkan terompahnya mendahului dirinya di dalam surga, dan ini masyhur.
Dalam tataran masyarakat, kalimat ini mampu merubah jazirah Arab dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam, hanya butuh waktu 23 tahun kurang. Berbeda dengan bangunan peradaban lainnya yang membuktuhkan waktu berabad lamanya. Maka tepat dikatakan bahwa dua kalimat syahadat merupakan Asas Al Inqilab (dasar bagi perubahan).
Urgensi Empat: Dua kalimat syahadat memiliki Keutamaan yang agung
Dua kalimat syahadat merupakan kalimat pembeda antara muslim dan kafir, inilah keutamaan yang paling besar di dunia, yang dengan kalimat ini maka terlindunglah darah dan hartanya. Ini sudah disinggung pada urgensi pertama. Dan dua kalimat syahadat memiliki keutamaan-keutamaan agung lainnya bagi para pengucapnya. Di antaranya:
1. Jaminan Surga Bagi Pengucapnya
Telah kita ketahui, bahwa ketika manusia mengucapkan dua kakimat syhadat dengan benar, tidak terpaksa dan dipaksa, maka dia sudah muslim dan memilih jalan yang benar. Tentunya tak ada balasan baginya kecuali surga. Sedangkan yang tidak bersyahadat (baca: kafir) maka mereka telah memilih jalan yang sesat dan menjadi orang yang merugi.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran (3): 85)
Imam Al Qurthubi mengatakan, bahwa Mujahid dan As Sudi menyebutkan, ayat ini turun berkenaan tentang Al Harits bin Suwaid, saudara Al Halas bin Suwaid, dia seorang dari kalangan Anshar dan dia murtad bersama dua belas orang lainnya dan menuju Mekkah dalam keadaan kafir. Lalu turunlah ayat ini, maka saudaranya menyampaikan ayat ini dan memintanya untuk bertaubat. Ibnu Abbas dan lainnya meriwayatkan bahwa setelah turun ayat ini dia masuk Islam lagi. (Jami’ Li Ahkamil Quran, 4/128. Dar ‘Alim Al kutub, Riyadh)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, barangsiapa yang tidak beragama dengan agama yang diridhai Allah untuk hambaNya, maka amal perbuatannya tertolak dan tidak diterima. Karena agama Islam mengandung makna penyerahan diri kepada Allah  secara  murni dan mengikuti RasulNya, barang siapa seorang hamba yang datang kepadaNya tidak beragama Islam, maka dia tidak memiliki alasan untuk selamat dari azab Allah, dan setiap agama selain Islam adalah batil (sia-sia). (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir  Kalam Al Manan, 1/137. Muasasah Ar Risalah)
Ayat lainnya:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الأِسْلامُ
“Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imran (3): 19)
Ketika membahas ayat ini, Imam Al Qurthubi membawakan sebuah hadits, dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:
يجاء بصاحبها يوم القيامة فيقول الله تعالى عبدي عهد إلي وأنا أحق من وفى أدخلوا عبدي الجنة
“Didatangkan kepada para pembaca syahadat pada hari kiamat, maka Allah Ta’ala berfirman: HambaKu telah berjanji setia kepadaKu dan Aku lebih berhak untuk memenuhi janji, maka masukkanlah hambaKu ke surga.” (Ibid, 4/41)[4]
Ini menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahwa jika seorang sudah bersyahadat dengan ikhlas, sadar, dan penuh keyakinan, dan dia setelah itu tidak melakukan kesyirikan, maka baginya surga, walau pun dia juga melakukan dosa-dosa selain syirik. Dengan dosanya itu, orang tersebut tahta masyi’atillah (di bawah kehendak) Allah‘Azza wa Jalla, apakah dia akan disiksa dahulu sesuai kadar dosanya lalu setelah itu dimasukkan ke dalam surga, ataukah dosanya  itu akan diampunkan langsung oleh Allah ‘Azza wa Jalla sesuai rahmat dan kasih sayangNya. Ketetapan ini berdasarkan pada ayat berikut:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa’ (4): 116)
Dan hadits, dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أنه من مات من أمتي لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة . قلت: وإن زنى وإن سرق؟ قال:  وإن زنى وإن سرق .
“Barangsiapa di antara umatku yang wafat, dia tidak menyekutukan Allah Ta’ala dengan sesuatu apapun, maka dia akan masuk surga.” Aku (Abu Dzar) bertanya: “Walau dia berzina dan mencuri?” Rasulullah bersabda: “Walau  dia berzina dan mencuri.” (HR. Bukhari No. 1180, 5489, 7049)
Makna ‘Umatku’  adalah umat Rasulullah, yakni orang yang sudah menyatakan keislamannya (bersyahadat).

 Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:
وفي الحديث أن أصحاب الكبائر لا يخلدون في النار، وأن الكبائر لا تسلب اسم الإيمان، وأن غير الموحدين لا يدخلون الجنة.
“(pelajaran) Dalam hadits ini, bahwa pelaku dosa besar tidaklah kekal di neraka, dan sesungguhnya dosa-dosa besar tidaklah menghilangkan keimanan, dan sesungguhnya selain kaum bertauhid mereka tidak akan masuk surga.” (Fathul Bari, 3/111. Darul Fikr)

Namun, demikian hadits ini dan semisalnya, tidak boleh dimaknai bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat saja sudah cukup, lalu tanpa ditindaklanjuti dengan amal shalih dan ketaatan. Oleh karena itu,  Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Wahab bin Munabbih Radhiallahu ‘Anhu:
وقيل لوهب بن منبه: أليس لا إله إلا الله مفتاح الجنة؟ قال: بلى، ولكن ليس مفتاح إلا له أسنان، فإن جئت بمفتاح له أسنان فتح لك، وإلا لم يفتح لك.
Ditanyakan kepada Wahab bin Munabbih: “Bukankah Laa Ilaaha Illallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab: “Tentu, tetapi tidaklah kunci tu melainkan pasti memiliki gigi, maka jika engkau datang dengan kunci yang bergigi maka dia akan membukanya bagimu, dan jika tidak memiliki gigi, maka dia tidak bisa membukanya untukmu.”(Shahih Bukhari, Muqaddimah Kitabul Janaiz Bab Maa Ja’a fil Janaiz Man Kaana Akhiru Kalamihi ...)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
وأما قول وهب فمراده بالأسنان التزام الطاعة  
“Ada pun ucapan Wahhab bin Munabbih, yang dimaksud olehnya gigi, adalah komitmen dengan ketaatan.”(Fathul Bari, 3/110)
Imam Al ‘Aini Rahimahullah menambahkan:
فكأنه أشار بهذا إلى أنه لا بد له من الطاعات وأن بمجرد القول به بدون الطاعات لا يدخل الجنة
“Seakan-akan ucapan beliau ini mengisyaratkan bahwa wajib baginya melakukan ketaatan, dan sesungguhnya jika hanya ucapan saja, tanpa melakukan ketaatan maka tidak akan masuk surga.” (Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 12/115. Maktabah Misykah)
Lebih detil lagi, beliau menjelaskan:
 فإنه إذا قال لا إله إلا الله يحكم بإسلامه فإذا استمر على ذلك إلى أن مات دخل الجنة وأما الموحد من الذين ينكرون نبوة سيدنا محمد رسول الله أو يدعي أنه مبعوث للعرب خاصة فإنه لا يحكم بإسلامه بمجرد قوله لا إله إلا الله فلا بد من ضميمة محمد رسول الله على أن جمهور علمائنا شرطوا في صحة إسلامه بعد التلفظ بالشهادتين أن يقول تبرأت عن كل دين سوى دين الإسلام
“Maka, sesungguhnya jika seseorang berkata Laa Ilaaha Illallah, maka dia dihukumi dengan keislamannya, dan jika dia terus menerus seperti itu hingga wafat, maka dia masuk surga. Ada pun seorang yang bertauhid dari golongan yang mengingkari kenabian Sayyidina Muhammad Rasulullah, atau dia mengklaim bahwa Beliau diutus hanya untuk orang Arab saja, maka dia tidak dihukumi dengan keislamannya, lantaran hanya mengakui kalimat Laa Ilaaha Illallah, maka wajib untuk mengkaitkannya dengan Muhammad Rasulullah. Mayoritas ulama kita telah menetapkan syarat sahnya keislaman seseorang setelah melafazkan dua kalimat syahadat, hendaknya dia menyatakan  bara’ (berlepas diri, menjauhi, memusuhi) dari semua agama, selain agama Islam.” (Ibid, 12/115).
2. Barangsiapa yang Mengucapkan di akhir hidupnya maka akan masuk surga
Dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من كان آخر كلامه لا إله إلا اللّه دخل الجنة
“Barang siapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaaha Illallahu, dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud No. 3116. Al Hakim No. 1299, katanya: shahihul isnad (sanadnya shahih). Syaikh Al Albani juga menshahihkan dalamShahih Sunan Abi Daud, 3/190/3116)
Maksud ‘akhir ucapannya’ dalam hadits ini adalah ucapan menjelang kematian. Imam Abu Daud meletakkan hadits ini dalam Bab At Talqin. Sebagaimana kita ketahui bahwa disunahkan bagi orang yang sehat untuk mentalqinkan orang yang sedang naza’ (sakaratul maut), dan itu sebagai bimbingan baginya, agar akhir ucapannya adalah kalimat tauhid.
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ
“Talqinkanlah orang sedang menghadapi kematian di antara kalian, dengan ucapan: Laa Ilaha Illallah.”(HR. Muslim No. 916.   Abu Daud No. 3117. At Tirmidzi No. 983, beliau berkata: hasan shahih gharib. Ibnu Majah  No. 1445. Syaikh Al Albani menshahihkan, lihat Shahih Sunan Abi Daud,  3/190/3117. Maktabah Al Albani)
Talqin adalah memahamkan atau mengajarkan. Laqqana Al kalam artinya mengajarkan sebuah ucapan. Talqin menurut syariat adalah memahamkan kalimat tauhid ketika manusia mengalami sakaratul maut (naza’). (Mausu’ah Fiqh Al ‘Ibadah, 1/187. Al Maktabah Asy Syamilah).
Berkata Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi, “Maksudnya adalah barangsiapa orang sedang menghadapi kematian, bukan orang yang sudah mati, dan membacakan Laa Ilaha Illaha di sisinya, bukan memerintahkan untuk membacanya. (Syarh Sunan An Nasa’i, 3/146. Al Maktabah Asy Syamilah)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri mengatakan: “Ketahuilah! Maksud Al Mauta dalam hadits ini adalah orang yang sedang menghadapi kematian, bukan orang yang sudah mati secara hakiki.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/53. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawwarah)
Sementara Imam Al Qurthubi Rahimahullah (w.671H) mengatakan, “Ucapkanlah itu dan ingatkanlah mereka dengannya, saat menghadapi kematian.” Dia berkata: “Disebut Al Mauta karena kematian tengah hadir mengintai dirinya.” (Hasyiah As Suyuthi, 3/146. Al Maktabah Asy Syamilah) 
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Yakni barang siapa yang menghadapi kematian, maksudnya ingatkanlah dia dengan Laa Ilaha Illallah agar itu menjadi akhir ucapan dalam hidupnya. Sebagaimana hadits: “Barang siapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaha Illallahu maka dia akan masuk surga.” Dan perintah talqin di sini adalah sunah, dan ulama telah ijma’ (sepakat) tentang talqin.” (Syarh Shahih Muslim, No. 1523. Mausu’ah Syuruh Al Hadits. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544H) mengatakan bahwa talqin merupakan perbuatan yang ma’tsur (memiliki dasar) dan telah diamalkan kaum muslimin, namun dimakruhkan jika dilakukan secara berlebihan dan berturut-turut, agar tidak membosankan bagi orang tersebut, apalagi dalam kondisi sesaknya napas yang menyakitkan, dan hilangnya sensitiftas terhadap beratnya penderitaan. (Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 3/195. Maktabah Mishkah)
Jadi, maknanya adalah membaca Laa Ilaha Illallah untuk orang sedang menghadapi sakaratul maut, bukan membacanya setelah mati. Berbeda dengan pemahaman sebagian umat Islam hari ini, yang mentalqinkan mayat yang sudah di kubur. Namun demikian, jika yang dilakukan di kubur adalah mendoakannya maka itu sunah nabi. Tetapi, hal itu tidak dinamakan talqin sebab talqin menurut tuntunan As Sunnah, sebagaimana penjelasan para ulama di atas, adalah dilakukan sebelum wafat atau ketika naza’ (sakaratul maut).
Di sebutkan dalam Asna Al Mathalib –salah satu kitab bermadzhab Syafi’I karya   Imam Abu Yahya Zakaria Al Anshari Rahimahullah (w.926H), “Talqin secara mutlak tidaklah dianjurkan bagi mayat yang sudah dikubur.” (Asna Al Mathalib, 4/191. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah (w. 751H) mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamtidak pernah duduk di sisi kuburan dan membaca Al Quran, dan mentalqinkan mayat di kuburan sebagaimana yang dilakukan manusia hari ini. (Zaadul Ma’ad, 1/502. Al Maktabah Asy Syamilah)
3.  Bagi Yang Mengucapkan Dua alimat Syahadat Maka Terlindung Darah dan Hartanya
Tidak boleh siapa pun mengganggu muslim lainnya, bukan hanya menumpahkan darahnya dan mengambil hartanya secara tidak hak, tetapi juga menodai harga dirinya dan nasabnya. Bahkan melanggar ketetapan ini termasuk dosa besar.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: 
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، ويقيموا الصلاة، ويؤتوا الزكاة، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام، وحسابهم على الله
“Aku diutus untuk memerangi manusia hingga mereka  bersaksi (bersyahadat), bahwa tidak ada Ilahkecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas Allah-lah perhitungan mereka.” (HR. Bukhari No. 25, Muslim No. 36)
Dari Al Miqdad bin Amru Al Kindi, dia
أرأيت إن لقيت رجلا من الكفار فاقتتلنا، فضرب إحدى يدي بالسيف فقطعها، ثم لاذ مني بشجرة فقال: أسلمت لله، أقتله يا رسول الله بعد أن قالها؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لا تقتله). فقال: يا رسول الله إنه قطع إحدى يدي، ثم قال ذلك بعد ما قطعها؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لا تقتله، فإن قتلته فإنه بمنزلتك قبل أن تقتله، وإنك بمنزلته قبل أن يقول كلمته التي قال). 
“Apa pendapatmu jika aku berjumpa dengan orang kafir, kami berperang, dia menebas   tanganku dengan pedangnya hingga putus, kemudian dia mendekat ke sebuah pohon, lalu dia berkata: “Aku masuk Islam karena Allah” apakah aku boleh membunuhnya setelah dia mengatakan demikian?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Jangan membunuhnya.” Dia (Al Miqdad) berkata: “Ya Rasulullah dia memutuskan satu tanganku, kemudian dia berkata (pernyataan masuk Islam) itu setelah dia memutuskan tanganku?” RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Jangan kau membunuhnya, jika kau membunuhnya maka kedudukan orang itu adalah sama denganmu ketika kau belum membunuhnya, dan kedudukanmu adalah sama dengannya ketika sebelum dia mengatakan perkataannya itu (yakni ketika dia belum menyatakan masuk Islam).” (HR. Bukhari No. 3794, 6472. Muslim No. 155) 
Ada kisah tenar dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, ketika beliau bersama seorang dari anshar, berperang melawan orang kafir. Ketika orang kafir itu terdesak tak berdaya, dia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, namun Usamah tetap membunuhnya. Hal ini diceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan akhirnya Rasulullah pun bersabda:
يا أسامة، أقتلته بعد ما قال لا إله إلا اللهقال: قلت: يا رسول الله، إنما كان متعوذاً، قال: (أقتلته بعدما قال لا إله إلا الله). قال: فما زال يكررها علي، حتى تمنيت أني لم أكن أسلمت قبل ذلك اليوم.
“Wahai Usamah, apakah kau membunuhnya dan dia sudah mengucapkan Laa Ilaha Illallah?” Usamah berkata: “Ya Rasulullah, ucapan itu hanya untuk melindungi diri?” Rasulullah bersabda lagi: “Apakah kau membunuhnya dan dia sudah mengucapkan Laa Ilaha Illallah?” Usamah berkata: “maka, senantiasa hal itu terus-terus terngiang pada diri saya, sampai saya berharap bahwa saya belum masuk Islam sebelum hari itu.” (HR. Bukhari  No. 4021, 6478)
Dua hadits ini berisi sangat jelas bahwa kita dilarang membunuh musuh, ketika dia sudah bersyahadat. Ada pun apa latar belakang dia bersyahadat; apakah nyari selamat agar tidak dibunuh atau benar-benar ikhlas, kita tidak dibebankan untuk mengetahuinya.
Dalam hadits lain, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
سباب المسلم فسوق، وقتاله كفر
“Memaki seorang muslim adalah fasik, dan membunuhnya adalah kufur.” (HR. Bukhari No. 49, 5697, 6665. Muslim No. 116)
Kufur dalam hadits ini tidak bermakna keluar dari Islam, melainkan dia telah kufur terhadap hak saudaranya sesama muslim. Berkata Imam Ibnu Baththal Rahimahullah: 
الكفر الذى هو الجحد لله ولرسله ، وإنما يريد كفر حق المسلم على المسلم ، لأن الله قد جعل المؤمنين إخوةً ، وأمر بالإصلاح بينهم ونصرتهم ، ونهاهم برسوله ، ( صلى الله عليه وسلم ) ، عن التقاطع ، وقال : تمت المؤمن للمؤمن كالبنيان يَشُدُّ بعضه بعضًا - ، فنهى عن مقاتلة بعضهم بعضًا ، وأخبر أن من فعل ذلك ، فقد كفر حق أخيه المسلم .
“Kufur adalah perbuatan ingkar terhadap Allah dan RasulNya. Sedangkan kufur yang dimaksud di sini adalah seorang muslim telah kufur terhadap hak muslim lainnya, karena Allah telah menjadikan orang beriman bersaudara, memerintahkan mereka untuk berbuat baik di antara mereka dan saling tolong menolong, melalui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang mereka memutuskan silaturrahim. Beliau bersabda: “Seorang beriman terhadap orang beriman lainnya bagaikan bangunan, saling menguatkan satu sama lainnya.” Maka, dilarang saling membunuh satu sama lain, dan diberitakan bahwa perbuatan itu merupakan kekufuran terhadap hak saudaranya sesama muslim.” (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 1/111. Maktabah Misykat)
Dari Abu Bakrah, dari Ayahnya:
ذكر النبي صلى الله عليه وسلم قعد على بعيره، وأمسك إنسان بخطامه - أو بزمامه - قال: أي يوم هذا. فسكتنا حتى ظننا أنه سيسميه سوى اسمه، قال: (أليس يوم النحر). قلنا: بلى، قال: (فأي شهر هذا). فسكتنا حتى ظننا أنه سيسميه بغير اسمه، فقال: (أليس بذي الحجة). قلنا: بلى، قال: (فإن دماءكم، وأموالكم، وأعراضكم، بينكم حرام، كحرمة يومكم هذا، في شهركم هذا، في بلدكم هذا، ليبلغ الشاهد الغائب، فإن الشاهد عسى أن يبلغ من هو أوعى له منه).
“Menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang duduk di atas untanya, dan manusia memegangi tali kekangnya, beliau bersabda: “Hari apa ini?” Kami terdiam sampai kami menyangka bahwa dia akan menamakannya dengan bukan namanya. Beliau bersabda: “Bukankah ini hari Kurban?” Kami menjawab: “Benar.” Beliau bersabda: “Bulan apa ini?” Kami terdiam sampai kami menyangka bahwa dia akan menamakannya dengan bukan namanya. Beliau bersabda: “Bukankah ini bulan Dzulhijjah?” Kami menjawab: ”Benar.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan  kalian, adalah haram di antara kalian, sebagaimana diharamkannya pada hari ini dan pada bulan ini, di negeri kalian ini. Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, mudah-mudahan yang hadir bisa  menyampaikan kepada orang yang lebih paham darinya.” (HR. Bukhari No. 67, 1652, 5230, 6668, 7009. Muslim No. 1218, 1679. Abu Daud No. 1905. At Tirmidzi No. 2248, 5082. Ibnu Majah No. 3055, 3931.  Ibnu Hibban No. 1457. Ad Darimi No. 1850. Ibnu Abi Syaibah No. 54.  Lafaz ini milik Bukhari dari Abu Bakrah)
Demikianlah status seseorang muslim bagi muslim lainnya. Bukan hanya ini, tetapi dia juga berhak diperlakukan sebagaimana aturan Islam lainnya seperti dijawab bersinnya, saling memberikan salam dan menjawabnya,  dipenuhi undangannya, dijenguk ketika sakit, dibantu kebutuhan hidupnya ketika dia kekurangan, dan lainnya.
Wallahu A’lam bishowab.
Semoga bermanfaat.
Wasalamu’alaikum warahmatullohi wabarakaatuh


Sebagai rujukan :
1.Ijma’ (kesepakatan) ulama menyatakan   bahwa orang kafir tidak berhak mendapatkan waris begitu pula orang murtad, danjumhur (mayoritas) ulama  mengatakan orang kafir tidak boleh mewariskan ke orang Islam. Inilah pandangan empat khulafa’ ar rasyidin, Imam empat madzhab, dan mayoritas fuqaha yang diamalkan oleh umat Islam secara umum. Mereka beralasan hadits-hadits berikut:
“Seorang muslim tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan orang kafir tidaklah mewariskan ke seorang muslim.” (HR. Bukhari No. 6383, Muslim No. 1614, At Tirmidzi No. 2189, dari Usamah bin  Zaid Radhiallahu ‘Anhu)

“Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.” (HR. At Tirmidzi  No. 2191, dari Jabir bin Abdullah). Imam At Tirmidzi  tidak tegas mendhaifkan hadits ini, dia hanya berkata dalam Sunan-nya: “Aku tidak mengetahui hadits Jabir kecuali dari jalur Ibnu Abi Laila.” Tetapi, Al Hafiz Ibnu Hajar mengatakan tentang Abdurrahman bin Abi Laila ini: “Seorang yang jujur tetapi sangat buruk hafalannya”. (Lihat Taqribut Tahdzib, 2/105). Sementara Asy Syaukani mengatakan: “Sementara dari jalur Ibnu Umar, hadits juga dikeluarkan oleh Ad Daruquthni, Ibnu Sikkin, dan dalam sanad Abu Daud terdapat Amru bin Syu’aib, dia shahih”. (Nailul Authar, 6/73. Al Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar) sementara Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini, baik jalur Jabir bin Abdullah  maupun Usamah bin Zaid. (Shahihul Jami’ , No. 7613)

Namun, sebagian sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin ada yang membolehkan seorang muslim memperoleh waris dari orang kafir, yakni Muadz bin Jabal, Muawiyah, Said bin Al Musayyib, Masruq, dan lainnya.(Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, hadits No. 3027. Mauqi’ Ruh Al Islam)  juga Muhammad bin Al Hanafiyah, Ali bin Al Husein, Abdullah bin Ma’qil, Asy Sya’bi, An Nakha’i, Yahya bin Ya’mar, dan Ishaq. (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 14/58. Al Maktabah Asy Syamilah) Ini juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim.(Ahkam Ahludz Dzimmah, 3/322-325. Darul Kutub Al ‘Ilmiah) juga pendapat Al ‘Allamah Yusuf Al Qaradhawi hafizhahullah dalam Fatawa Mu’ashirah Jilid 3. Alasan mereka, makna kafir pada hadits di atas adalah kafir harbi. Alasan lain adalah hadits berikut, Hadits dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Islam itu bertambah, dan tidak berkurang.” (HR. Abu Daud, No. 2912. Ahmad, N0. 20998)

Namun hadits ini tidak bisa dijadikan dalil, karena kelemahannya. Imam Al Munawi mengatakan, dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang majhul (tidak dikenal) dan dhaif. (Faidhul Qadir, 3/232/3062. Al Maktabah Asy Syamilah)  begitu pula Syaikh Al Albani telah mendhaifkan hadits ini. (Dha’if Jami’us Shaghir No. 2282)  Ada jalur sanad lainnya, namun nasibnya lebih buruk, Imam Ibnul Jauzi menyebutnya batil, lantaran adanya seorang rawi bernama Muhammad bin Al Muhajir yang dituduh memalsukan hadits ini. Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa orang ini memalsukan hadits, dia meriwayatkan lalu merubah sanad dan lafaznya. (Al Maudhu’at, 3/230. Al Maktabah Asy Syamilah)

Dalil lainnya:
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (darinya)” (HR. Ad Daruquthni, No. 3663, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 6/205. Keduanya dari ‘A’idz bin Amru Al Muzanni. Demikianlah lafaz hadits ini adalah Al Islam Ya’lu wa Laa Yu’la. Tidak ada tambahan ‘Alaih, demikian juga dalam riwayat lainnya)

Imam Az Zaila’i mengatakan hadits ini ada yang marfu’ (sampai pada Rasulullah) dan juga mauquf (terhenti pada sahabat saja) yakni pada ucapan Ibnu Abbas. (Nashbur Rayyah, 6/174) dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Hasyraj dan ayahnya, oleh Ad Daruquthni keduanya dikatakan majhul (tidak dikenal). (Ibid) Namun, Al Hafizh Ibnu Hajar menghasankan hadits ini (Fathul Bari, 3/220. Darul Fikr) lantaran dikuatkan oleh riwayat shahih   secara mauquf dari Ibnu Abbas. (Shahih Bukhari, Kitab Al Janaiz, Bab Idza Maata Ash Shabiyyu ...) dan Syaikh Al Albani juga menghasankannya.(Shahihul Jami’ No. 2778). Imam Al ‘Ajluni mengatakan telah masyhur di lisan manusia tambahan ‘Alaih Akharan, tetapi itu sebenarnya riwayat Ahmad, dan juga yang masyhur Ya’lu walaa Yu’laa ‘Alaih (Kasyful Khafa, 1/127. Darul Kutub Al ‘Ilmiah). Namun, apa yang dikatakannya perlu ditinjau lagi, sebab tidak ada dalam musnad Ahmad seperti apa yang dikatakannya itu.

Hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil, sebab hadits ini seara umum membicarakan tentang keutamaan Islam, sama sekali tidak membicarakan warisan.  Oleh karena itu Imam An Nawawi mengatakan:

“Alasan jumhur ulama adalah lebih benar. Dan tidak dibenarkan berdalil dengan hadits “Islam adalah tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya” sebab  maksud hadits ini adalah tentang keunggulan Islam dibanding yang lainnya, tidak ada indikasi pembicaraan tentang warisan. Bagaimana bisa meninggalkan nash “Seorang muslim tidaklah mewariskan orang kafir ..”, semoga penyebabnya adalah   karena kelompok ini belum sampai hadits ini kepada mereka.” (Syarh Shahih Muslim, Kitab Al Janaiz, No. 3027. Mauqi Ruh Al Islam) Demikian. Wallahu A’lam.

 2. Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai muhaddatsun. Ibnu Wahab mengatakan, makna Muhaddatsun adalah orang yang mendapatkan ilham. Yang lain mengatakan: orang yang diajarkan kebenaran. Ada juga yang mengatakan: orang yang diajak bicara oleh malaikat. Bukhari mengatakan: dari lisan mereka mengalir kebenaran, dan itu merupakan kepastian karamah bagi para wali.” (Syarh Shahih Muslim, No. 4411. Mauqi’ Ruh Al Islam)

3. Al Inqilab bermakna perubahan yang cepat. Inqilab ijtima’i artinya revolusi. (Al Munawwir, Hal. 1146)
4. Sanad Hadits ini  dari Ghalib Al Qathan, dari A’masy, dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud, dari Rasulullah, lalu disebutkan hadits tersebut.  Abul Faraj Al Jauzi mengatakan Ghalib Al Qathan adalah Ghalib bin Khuthaf Al Qathan, dia meriwayatkan hadits syahidallah dari A’masy, yakni hadits mu’dhal. Ibnu ‘Adi mengatakan, kedhaifan haditsnya  sudah jelas. Ahmad bin Hambal mengatakan, Ghalib bin Khuthaf Al Qathan adalah tsiqah-nya orang tsiqah (kredibel). Ibnu Ma’in mengatakan, tsiqah. Abu Hatim mengatakan, jujur dan shalih. Al Qurthubi mengatakan, cukup bagimu tentang ke’adalahan  (kualitas) dan ketsiqahannya, sesungguhnya Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan hadits darinya (Ghalib Al Qathan) dalam kitab shahih mereka berdua. (Jami’ Li Ahkamil Quran, 4/41)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar