Assalamu'alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْ
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْ
Tazkiyatun Nafs (Membersihkan
Jiwa )
Cita-cita terbesar yang ingin
dicapai setiap hamba adalah kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dan itu hanya bisa diraih dengan senantiasa mensucikan dirinya (tazkiyatun li
nafsih) dengan beramal sholeh dan taat kepada Aah SWT. Menjauhi segala perbuatan
dosa dan semua yang diharamkan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam [QS.
Asy-Syams (91): 9-10], yang maknanya: “Sungguh beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya”.
Ada dua perkara yang wajib dipenuhi oleh
orang yang akan mensucikan jiwanya: Pertama, adalah menjauhkan diri dari segala
perbuatan buruk, meninggalkan segala akhlak yang tercela. Kedua, adalah
bersungguh-sungguh (mujahadah) dengan selalu mengerjakan amal shaleh, dan amal
keutamaan. Maka dengan dua hal tersebut insya Allah kita dapat mewujudkan
tazkiyatun nafs.
Adapun tazkiyatun nafs dengan
mengerjakan amal shaleh hendaklah kita mengerjakan shalat, mendengarkan khutbah
dan shalat Jumat [QS. Al-A’laa (87): 14 -151], puasa, haji, berbuat baik kepada
kedua orang tua, menyambung tali shilarurrahim, menegakkan hak-hak Al!ah dan
hak-hak sesama, maka semua itu adalah bagian dan upaya mewujudkan tazkiyatun
nafs.
Selanjutnya, tazkiyatun nafs juga
dapat dicapai dengan meninggalkan semua perbuatan buruk [QS. An-Nuur (24): 30].
Dalam ayat tersebut kita menunjukkan bahwa sungguh telah meninggalkan perbuatan
dosa, menjauhkan dari yang diharamkan dan semua perbuatan keji, yang kesemuanya
amat dimurkai Allah, maka kesemuanya itu adalah bagian dari tazkiyatun nafs.
Bagian yang sangat urgen dari
tazkiyatun nafs adalah tauhidullah (meng-Esa-kan Allah), ikhlas beragama karena
Allah, kemudian mengenal Allah dengan mengetahui dan memahami nama namanya
(Asmaul Husna) dan mengenal sifat-sifatNya yang agung, yang dinyatakan dalam
Al-Quran dan As-sunnah Rasuluflah SAW [QS. Al-Hasyr (59): 22-24].
Barang siapa yang mengenal Allah
dan sifat-sifatNya, maka timbullah rasa takut kepadaNya, jauh dari maksiat
kepada Allah, semakin tekun ibadah, hal inilah yang mendorong kita mampu
menyucikan diri kita.
Di antara kewajiban sebagai
seorang muslim adalah tazkiyatun nafs, maka hendaklah dia mencontoh jalan yang
ditempuh oleh Rasulullah SAW, karena dialah yang diutus oleh Allah untuk
memberikan suri tauladan kepada umatnya [QS. Al-Ahzab (33) : 21], Oleh
karenanya, seyogyanya kita dalam usaha menggapai tazkiyatun nafs itu merujuk
kepada tauladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW.
Tazkiyatun nafs yang tidak
merujuk kepada jalan yang dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad SAW, maka akan
menemukan kegagalan dan tidak bisa menemukan jalan yang ditujunya, dan akan
berakibat sesat dan salah jalan. Dan tazkiyatun nafs yang tidak berpedoman
kepada Rasulullah SAW tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT. Orang yang
menyimpang dari jalan Rasulullah SAW, tentu dia akan mendapat kerugian yang
nyata di dunia, bahkan di akhirat. Dan perlu diketahui dalam ber-tazkiyatun
nafs, hendaknya kita benar-benar menghadapkan diri kita kepada Allah SWT dengan
memperbayak ibadah kepadaNya.
Dalam menggapai keberhasilan
tazkiyatun nafs, jangan pernah meninggalkan munajad kepada Allah seraya berdoa
kepadaNya, karena kesucian jiwa seseorang ada dalam kekuasanNya. Karena
Allah-lah yang memberi karunia kesucian jiwa kepada hambaNya yang dikehendaki
[QS. An-Nur (24):21].
Sesungguhnya kewajiban bagi
seorang mukmin yang berusaha menggapai tazkiyatun nafs, katahuilah bagi kita
yang telah mampu meraih tazkiyatun nafs, telah diberi taufik oleh Allah dengan
ketaatan kepadaNya, mampu menjalankan perintah perintahNya, maka janganlah
mendakwakan dirinya dan merasa bahwa dirinya adalah hamba yang paling suci dan
paling baik. Tetapi anggaplah ¡tu awal dari ketaatan dan teruslah beranggapan
bahwa ¡tu awal dari ketaatan kepada Allah. Awal dari kesadaran menjalankan
perintah ibadah kepadaNya. Dan berharaplah bahwa amal ibadah kita belum
diterima oleh Allah, sehingga kita terus berusaha beramal shaleh. Allah
berpesan kepada oranq-orang yang beriman dalam [QS AI-Mukminuun (23): 60], yang
maknanya “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan
hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sungguh mereka akan kembali kepada
Tuhan mereka”.
Dalam sebuah hadith diriwayatkan
bahwa Aisyah ra, bertanya kepada Nabi SAW, tentang makna ayat tersebut. Aisyah
bertanya, ”Apakah ayat tersebut turun berkaitan dengan seseorang yang telah
melakukan dosa berzina, mencuri dan membunuh, kemudian takut disiksa?”.
Rasulullah menjawab, “Bukan,
wahai putri Abu Bakar ash-Shiddiq, tetapi ada sesorang yang telah beribadah
shalat, puasa, bershodaqoh, tetapi takut kalau-kalau amal amalnya tersebut
tidak diterima oleh Allah SWT”.
Oleh karenanya, apabila seseorang
telah melakukan semua perintah ibadah jangan menganggap dirinya sudah bersih di
hadapan Allah. Allah menyatakan dalam [QS An-Najm ayat (53):32], “…falaa
tuzakku anfusakun huwa a’Iamu bimanittaqoo (maka janganlah kamu mengatakan
dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa)”. Yang
dikatakan orang cerdik dan hamba Allah adalah orang yang mampu mengendalikan
hawa nafsunya dan mempersiapkan bekal saat mati mengahadap Tuhannya, sedangkan
orang yang dungu adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya, dan
panjang angan-angan.
Mari kita memohon kepada Allah
melalui nama-namaNya yang indah, melalui sifat-sifatNya yang luhur, agar kita
diberi taufiq-Nya untuk menggapai tazkiyatun nafs, memohon kepada-Nya agar
selalu memperbaiki prilaku kita, karena Dia adalah Maha pendengar atas doa-doa
hambaNya, Dia adalah tempat kembali bagi hambaNya yang bertaubat.
Wallohua’lam bishowab.
Semoga bermanfaat.
Wasalamu’alikum warahmatullohi wabarakaatuh.
Sumber: Prof. Dr. Abdul Rozaq AlHusain Al Badr, Lc., MA.
Dakwah Jum’at Al-Akbar, 140,
06 Shafar 1431 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar