Kamis, 25 Desember 2014

Tazkiyatun Nafs (Membersihkan Jiwa )



Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْ
Tazkiyatun Nafs (Membersihkan Jiwa )
Cita-cita terbesar yang ingin dicapai setiap hamba adalah kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan itu hanya bisa diraih dengan senantiasa mensucikan dirinya (tazkiyatun li nafsih) dengan beramal sholeh dan taat kepada Aah SWT. Menjauhi segala perbuatan dosa dan semua yang diharamkan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam [QS. Asy-Syams (91): 9-10], yang maknanya: “Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya”.

Ada dua perkara yang wajib dipenuhi oleh orang yang akan mensucikan jiwanya: Pertama, adalah menjauhkan diri dari segala perbuatan buruk, meninggalkan segala akhlak yang tercela. Kedua, adalah bersungguh-sungguh (mujahadah) dengan selalu mengerjakan amal shaleh, dan amal keutamaan. Maka dengan dua hal tersebut insya Allah kita dapat mewujudkan tazkiyatun nafs.

Adapun tazkiyatun nafs dengan mengerjakan amal shaleh hendaklah kita mengerjakan shalat, mendengarkan khutbah dan shalat Jumat [QS. Al-A’laa (87): 14 -151], puasa, haji, berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali shilarurrahim, menegakkan hak-hak Al!ah dan hak-hak sesama, maka semua itu adalah bagian dan upaya mewujudkan tazkiyatun nafs.

Selanjutnya, tazkiyatun nafs juga dapat dicapai dengan meninggalkan semua perbuatan buruk [QS. An-Nuur (24): 30]. Dalam ayat tersebut kita menunjukkan bahwa sungguh telah meninggalkan perbuatan dosa, menjauhkan dari yang diharamkan dan semua perbuatan keji, yang kesemuanya amat dimurkai Allah, maka kesemuanya itu adalah bagian dari tazkiyatun nafs.

Bagian yang sangat urgen dari tazkiyatun nafs adalah tauhidullah (meng-Esa-kan Allah), ikhlas beragama karena Allah, kemudian mengenal Allah dengan mengetahui dan memahami nama namanya (Asmaul Husna) dan mengenal sifat-sifatNya yang agung, yang dinyatakan dalam Al-Quran dan As-sunnah Rasuluflah SAW [QS. Al-Hasyr (59): 22-24].

Barang siapa yang mengenal Allah dan sifat-sifatNya, maka timbullah rasa takut kepadaNya, jauh dari maksiat kepada Allah, semakin tekun ibadah, hal inilah yang mendorong kita mampu menyucikan diri kita.

Di antara kewajiban sebagai seorang muslim adalah tazkiyatun nafs, maka hendaklah dia mencontoh jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW, karena dialah yang diutus oleh Allah untuk memberikan suri tauladan kepada umatnya [QS. Al-Ahzab (33) : 21], Oleh karenanya, seyogyanya kita dalam usaha menggapai tazkiyatun nafs itu merujuk kepada tauladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW.

Tazkiyatun nafs yang tidak merujuk kepada jalan yang dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad SAW, maka akan menemukan kegagalan dan tidak bisa menemukan jalan yang ditujunya, dan akan berakibat sesat dan salah jalan. Dan tazkiyatun nafs yang tidak berpedoman kepada Rasulullah SAW tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT. Orang yang menyimpang dari jalan Rasulullah SAW, tentu dia akan mendapat kerugian yang nyata di dunia, bahkan di akhirat. Dan perlu diketahui dalam ber-tazkiyatun nafs, hendaknya kita benar-benar menghadapkan diri kita kepada Allah SWT dengan memperbayak ibadah kepadaNya.

Dalam menggapai keberhasilan tazkiyatun nafs, jangan pernah meninggalkan munajad kepada Allah seraya berdoa kepadaNya, karena kesucian jiwa seseorang ada dalam kekuasanNya. Karena Allah-lah yang memberi karunia kesucian jiwa kepada hambaNya yang dikehendaki  [QS. An-Nur (24):21].

Sesungguhnya kewajiban bagi seorang mukmin yang berusaha menggapai tazkiyatun nafs, katahuilah bagi kita yang telah mampu meraih tazkiyatun nafs, telah diberi taufik oleh Allah dengan ketaatan kepadaNya, mampu menjalankan perintah perintahNya, maka janganlah mendakwakan dirinya dan merasa bahwa dirinya adalah hamba yang paling suci dan paling baik. Tetapi anggaplah ¡tu awal dari ketaatan dan teruslah beranggapan bahwa ¡tu awal dari ketaatan kepada Allah. Awal dari kesadaran menjalankan perintah ibadah kepadaNya. Dan berharaplah bahwa amal ibadah kita belum diterima oleh Allah, sehingga kita terus berusaha beramal shaleh. Allah berpesan kepada oranq-orang yang beriman dalam [QS AI-Mukminuun (23): 60], yang maknanya “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sungguh mereka akan kembali kepada Tuhan mereka”. 

Dalam sebuah hadith diriwayatkan bahwa Aisyah ra, bertanya kepada Nabi SAW, tentang makna ayat tersebut. Aisyah bertanya, ”Apakah ayat tersebut turun berkaitan dengan seseorang yang telah melakukan dosa berzina, mencuri dan membunuh, kemudian takut disiksa?”. 
Rasulullah menjawab, “Bukan, wahai putri Abu Bakar ash-Shiddiq, tetapi ada sesorang yang telah beribadah shalat, puasa, bershodaqoh, tetapi takut kalau-kalau amal amalnya tersebut tidak diterima oleh Allah SWT”.

Oleh karenanya, apabila seseorang telah melakukan semua perintah ibadah jangan menganggap dirinya sudah bersih di hadapan Allah. Allah menyatakan dalam [QS An-Najm ayat (53):32], “…falaa tuzakku anfusakun huwa a’Iamu bimanittaqoo (maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa)”. Yang dikatakan orang cerdik dan hamba Allah adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan mempersiapkan bekal saat mati mengahadap Tuhannya, sedangkan orang yang dungu adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya, dan panjang angan-angan.

Mari kita memohon kepada Allah melalui nama-namaNya yang indah, melalui sifat-sifatNya yang luhur, agar kita diberi taufiq-Nya untuk menggapai tazkiyatun nafs, memohon kepada-Nya agar selalu memperbaiki prilaku kita, karena Dia adalah Maha pendengar atas doa-doa hambaNya, Dia adalah tempat kembali bagi hambaNya yang bertaubat.
Wallohua’lam bishowab.
Semoga bermanfaat.
Wasalamu’alikum warahmatullohi wabarakaatuh.

Sumber: Prof. Dr. Abdul Rozaq AlHusain Al Badr, Lc., MA.

Dakwah Jum’at Al-Akbar, 140, 06 Shafar 1431 H.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar