Selasa, 06 November 2012

MAQOM TAUBAT

“Kedudukan Taubat dalam Pelarian Hamba Menuju Allah Subhannahu wa Ta’ala”


Taubat merupakan gerbang awal bagi seorang hamba dalam pelariannya menuju Allah, Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Allah berfirman dalam kitab-Nya yang suci:

فَفِرُّوا إِلَى اللهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ

“Maka segera berlarilah kalian (kembali) menuju Allah. Sungguh aku (Rasul) seorang pemberi peringatan yang nyata dari-Nya bagi kalian.” [QS. adz-Dzaariyaat: 50]
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera berlari (kembali) kepada-Nya; berlari dari kekufuran menuju iman, dari kesyirikan menuju tauhid, dari bid’ah menuju sunnah, dari maksiat menuju ketaatan, dari kejahilan menuju ilmu, dari kelalaian menuju dzikir, dan dari kesesatan menuju petunjuk. [Hayaatus Su’adaa’ hal. 63, oleh Syaikh Shaalih bin Thoha Abdul Wahid, Taqdim oleh Syaikh Dr. Masyhur Hasan Salman]
Allah menurunkan segala macam adzab dan cobaan (baik itu berupa derita maupun bahagia, sesuatu  yang buruk ataupun baik), itu semua ditujukan agar manusia berlari kembali menuju Allah. Dalam banyak ayat al-Qur-aan Allah menegaskan hal ini, di antaranya adalah:

وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَـاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“…dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali.” [QS. al-A’raaf: 168]

وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ الْقُرَى وَصَرَّفْنَا الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Dan Sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertaubat).” [QS. al-Ahqaaf: 27]
Pelarian itu ada 2 macam; pelarian orang-orang yang bahagia dan pelarian  orang-orang yang sengsara. Pelarian orang-orang yang berbahagia adalah mereka yang berlari dari Allah menuju Allah, yaitu mereka yang berlari dari apa-apa yang dibenci oleh Allah secara lahir-batin menuju apa-apa yang dicintai oleh Allah secara lahir-batin pula. Makna ini selaras dengan tafsiran Ibnu ‘Abbaas Radhiallahu ‘anhu terhadap ayat di atas (adz-Dzaariyaat: 50], beliau Radhiallahu ‘anhu mengatakan sebagaimana yang dinukil dalam Tafsir al-Qurthubi (49/17):

فَرُّوْا مِنْهُ إِلَيْهِ، وَاعْمَلُوْا بِطَاعَتِهِ

“Berlarilah dari Allah menuju Allah, dan beramallah dengan ketaatan kepada-Nya.”
Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyyah yang menunjukkan makna ini adalah ucapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam do’anya:

اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَـاكَ مِنْ سَخَـطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“Wahai Allah, sungguh aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dengan ’afiah (keselamatan)-Mu dari siksaan-Mu, dan aku berlindung dari (siksa)-Mu kepada-Mu (Ya Allah), aku tidak mampu menghitung pujian (yang pantas) bagi-Mu, (pujian yang pantas bagi) Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji diri-Mu  sendiri.” [Shahih Muslim: 486]
Dalam do’a tersebut Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam mengajarkan kepada kita bagaimana pelarian dilakukan dari Allah menuju Allah, yakni dari maksiat menuju keataatan kepada-Nya. [Hayaatus Su’adaa’ hal. 65]
Sedangkan pelarian orang-orang yang celaka adalah mereka yang berlari dari Allah, tidak menuju Allah. Mereka berlari dari peringatan Allah, belari dari ajakan-Nya, dari rahmat dan ampunan-Nya, menuju hal-hal yang dibenci dan dimurkai Allah. Padahal toh mereka tidak bisa lari dari maut di dunia dan siksa Allah di akhirat.

يَقُولُ الإنْسَانُ يَوْمَئِذٍ أَيْنَ الْمَفَرُّ. كَلاَّ لاَ وَزَرَ

“Pada hari itu manusia berkata: “Ke mana tempat berlari? Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung.” [QS. al-Qiyaamah: 10-11]
DARI MANA HARUS MEMULAI..?
Siapapun yang ingin kembali kepada Allah, maka ia harus memulainya dengan taubat, siapapun dia tidak terkecuali orang-orang yang melakukan amal ketaatan. Karena pada dasarnya semua hamba pasti pernah berbuat dosa:

كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

“Setiap anak Adam (pasti pernah) berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” [Hadits Hasan, lih. Shahiih Ibnu Majah: 3447]
TAUBAT, UNTUK SIAPA..?
Taubat bukanlah kewajiban semata para pendosa. Justru orang-orang shalih harus semakin banyak bertaubat kepada Allah atas segala kemungkinan ketidakikhlasan dalam setiap amalnya, atas segala kelalaiannya dalam berdzikir, dan atas segala kekurangannya dalam beribadah kepada Allah.

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“…dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” [QS. an-Nuur: 31]
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertaubat kepada-Nya, suatu perintah yang mengisyaratkan bahwa orang-orang mukmin (taat) dan orang-orang fasik sama-sama membutuhkan taubat. [lihat Hayaatus Su’adaa hal. 67]
Bahkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, dalam kedudukannya sebagai kekasih Allah yang paling dekat dengan-Nya dan terpelihara (ma’shum), pun masih bertaubat kepada Allah dalam sehari tidak kurang dari 100x taubat -Subhaanallaah. [lihat Shahih Muslim No. 2702].
AKHIRI SETIAP AMAL DENGAN TAUBAT
Taubat sudah sepatutnya menjadi teman yang selalu menyertai setiap amal ibadah seorang hamba. Ia ibarat ikrar keterbatasan seorang hamba dalam mengabdi kepada Khaaliq (Pencipta)-nya. Demikian agung kedudukan taubat dan betapa butuhnya segenap hamba akannya, sampai-sampai taubat disyari’atkan sebagai penutup amalan-amalan yang tergolong pokok dan besar dalam Islam, di antaranya adalah:
1.   Sholat. Sebagaimana diriwayatkan dari salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, Tsauban Radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلاَتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلاَثًا كَانَ رَسُـوْلُ اللهِ 

“Dulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam jika telah selesai dari sholatnya, beliau ber-istigfar tiga kali.” [Shahih Muslim No. 591]
2.   Wukuf ‘Arafah (Haji). al-Qur-aan menegaskan disyari’atkannya taubat setelah menunaikan rukun utama Haji, yaitu Wukuf di ‘Arafah. Allah berfirman:

فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُـمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ. ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“…maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. al-Baqarah: 198-199]
3. Wudhu. Setelah melakukan wudhu, disyari’atkan membaca do’a yang terkandung di dalamnya taubat dan istigfar:

اللّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Wahai Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang selalu bertaubat, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mensucikan diri.” [Hadits Shahih, lih. Shahiihul Jaami’ no. 6167]
Kemudian setelah itu membaca:

سُبْحَـانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

“Mahasuci Engkau wahai Allah, dan dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak di sembah (dengan benar) kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu.” [Hadits Shahih, lih. Silsilah ash-Shahiihah no. 2333]
4. Sholat Malam. Istigfar dan taubat juga diperintahkan bagi mereka yang mendekatkan diri kepada Allah di akhir malam. Sebagaimana Allah berfirman tentang sifat-sifat kekasih-Nya yang gemar melakukan Sholat Tahajjud:

كَانُوا قَلِيلاً مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالأسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam, dan mereka selalu memohon ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” [adz-Dzaariyaat: 17-18]
5.   Istiqomah. Setelah memerintahkan hamba-Nya untuk istiqomah, Allah lanjutkan dengan perintah untuh bertaubat, dalam firman-Nya:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: ‘Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya.” [QS. Fushilat: 6]
Demikianlah kedudukan taubat yang teramat agung. Sampai-sampai setelah menunaikan ibadah-ibadah yang agung dan besar sekalipun, kita tetap dituntut bertaubat kepada-Nya.
Karena seandainya segenap amal ibadah makhluk di jagad raya ini dikumpulkan sebagai persembahan di hadapan Allah, baik berupa sholat, zakat, puasa, haji, sedekah harta, jihad dengan jiwa dan raga, semua itu masih belum cukup untuk memenuhi hak-hak Allah atas segenap hamba-Nya berupa peribadatan, penyembahan dan pengagungan.
Begitu pula nikmat Allah berupa kejayaan Islam dan kemenangan dakwah, tak akan pernah terbayar oleh ibadah makhluk-Nya. Renungkanlah bagaimana Allah memerintahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam untuk ber-istigfar setelah beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat meraih  kemenangan:

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” [QS. an-Nashr]
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim (no. 484) bahwasanya setelah ayat ini turun, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memperbanyak tasbih, tahmid dan terutama taubat kepada Allah.
***
(Disusun oleh Redaksi al-Hujjah dengan referensi utama dari kitab: “Hayaatus Su’adaa fil Firoori Ilallaah” hal. 63-69 karya Syaikh Shalih bin Thoha ‘Abdul Wahid, Taqdim oleh Syaikh Dr. Masyhur Hasan Salman)
 Muroja’ah: Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar