Keamanan Sosial atas Sumber Penghidupan Manusia (1/9)
Dr. Muhammad Emarah
Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
--------------------------------------------------------------------------------
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Yang dimaksud dengan sumber penghidupan manusia adalah: apa yang menjadi sandaran kehidupannya. Termasuk di dalamnya dimensi waktu dan tempat yang menjadi pokok kehidupannya. Seperti makan dan minuman, dan hal-hal lainnya yang menjadi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, dalam Al Quran difirmankan:
"Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan." [An Naba: 11]. Artinya, tempat untuk mencari penghidupan. Dalam Al Quran juga disebutkan:
"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan." [Al A'raaf: 10].
kata-kata ma'asy dan ma'iisyah itu maksudnya adalah: apa yang menjadi penopang kehidupan manusia. [Lisan al Arab, dan Qamus al Musthalahat al Iqtishadiah fi al Hadharah al Islamiah].
Untuk memahami pandangan Islam tentang keamanan manusia atas penghidupannya dan kebutuhan-kebutuhan hidupanya, kita harus memahami dahulu pemahaman tentang pemberian kedaulatan kekhalifahan oleh Allah SWT kepada manusia untuk membangun bumi ini. Karena sikap Islam tentang hubungan antara manusia, kekayaan, dan harta, serta hak-haknya untuk mendapatkan nikmat dan kekayaan yang diciptakan oleh Allah SWT, yang disebarkan dalam alam ini, merupakan sikap Islam yang dibangun di atas filsafat kekhalifahan dan istikhlaf ini.
Kata "istikhlaf" --dalam bahasa Arab-- adalah bentuk mashdar. Maknanya adalah: menjadikan khalifah (pengganti), yang menggantikan dan menjalankan peran yang diamanatkan dalam kerangka istikhlaf itu.
Ketika Allah SWT hendak menciptakan Adam a.s., Allah memberitahukan kepada malaikat-malaikat-Nya bahwa Dia akan menjadikannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Yang bertugas untuk mengemban amanat ilmu, berusaha, menanggung beban dan responsibilitas, serta membangun bumi itu. Allah SWT berfirman kepada para malaikat --seperti tertulis dalam Al Quran--:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [Al Baqarah: 30].
Pemberian amanat kekhalifahan ini, yang dikehendaki oleh Allah SWT, kepada manusia di muka bumi, adalah ungkapan yang paling tepat dan paling cocok untuk menjelaskan tentang kedudukan manusia dalam wujud ini, tentang risalah manusia dalam kehidupan dunia ini, dan tentang tugas Tuhan yang diemban manusia dalam perjalanannya di muka bumi ini.
Seseorang yang memberikan suatu tugas perwakilan kepada orang lain untuk menjalankan sesuatu hal, tentulah ia perlu memberikan batasan tentang tugasnya itu, batasan wewenang yang ia emban, dan prinsip-prinsip utama yang harus diperhatikan sebagai batasan kebebasannya dalam menjalankan tugas itu. Tugas kekhalifahan atau perwakilan yang diemban itu hanya bersifat perantara, tidak mencapai tingkat sang pemberi wewenang. Juga tidak sampai merendah hingga pada tingkatan seseorang yang tidak mempunyai kewenangan sama sekali dalam tugasnya itu.
Dengan pengertian kekhalifahan seperti inilah Islam melihat kedudukan manusia dalam wujud ini. Yaitu sebagai makhluk yang mengemban tugas kekhalifahan, yang mendapatkan wewenang untuk membangun bumi ini, dan yang mempunyai kehendak bebas untuk mengambil tindakan dalam batasan kewenangannya itu. Karena dengan sifat kebebasan yang beraturan itulah manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini. Namun demikian, kehendak bebas dan inisiatifnya itu harus tunduk dengan aturan-aturan dan batasan-batasan kewenangan tugas kekhalifahan atau syari'ah Ilahiah itu. Yang menjadi rambu-rambu, aturan, batasan dan skup operasional tugas perwakilan dan amanah kekhalifahan itu.
Makna istikhlaf dan kedudukan khalifah (manusia) ini yang menjadi ciri filsafat pandangan Islam terhadap kedudukan manusia di alam semesta ini (yaitu sebagai pengemban tugas kekhalifahan dari Sang Pencipta semesta alam) adalah makna yang tidak dapat dicapai oleh filsafat-filsafat materialis dan peradaban-peradaban yang dibangun di atasnya. Karena mereka menuhankan manusia, dan menjadikan para pahlawan mereka sebagai tuhan-tuhan. Atau mereka memanusiakan Tuhan, dan berpendapat bahwa Tuhan telah merasuk dan telah berfusi dalam diri manusia.
Orang-orang Yunani (dalam peradaban Yunani kuno) menjadikan pahlawan-pahlawan mereka, yang manusia itu, sebagai tuhan-tuhan. Ini adalah suatu tindakan menuhankan manusia. Dan saat orang-orang Romawi memeluk Kristen, mereka memasukkan pemahaman paganis ini ke dalam ajaran Kristen, sebagai ganti pentauhidan terhadap Sang Khaliq dan penyucian-Nya dari segala keserupaan terhadap alam. Mereka menuhankan Isa bin Maryam a.s. dengan alasan bahwa Lahut telah merasuk dalam Nasut (Tuhan telah berfusi dengan makhluk)! Dua sikap tadi (yaitu menuhankan manusia, atau memanusiakan Tuhan) amat berbeda jauh dengan filsafat kekhalifahan. Sehingga mereka menjadikan manusia sebagai pemilik mutlak semesta ini, bukan sebagai pengemban amanah kekhalifahan Tuhan di muka bumi ini.
Kesalahan dan penyelewengan terhadap filsafat kekhalifahan dan istikhlaf inilah yang menjadikan manusia peradaban materialis, baik pada era Yunani-Paganis, atau pada era Barat-Sekuler, mengumbar kebebasan kemanusiaan mereka dengan sebebas-bebasnya. Tanpa ada ikatan, batasan, atau ruang lingkup yang diberikan oleh hukum dari langit. Jika filsafat kekhalifahan dan istikhlaf itu lenyap, lenyap pulalah ikatan, batasan, prinsip, serta sifat transaksasi dan pendelegasian kekhalifahan itu. Inilah yang menjadikan kebebasan manusia, dengan pengertian Barat, dan selanjutnya sistem demokrasi (dalam filsafat Barat) tidak patuh, dalam masalah-masalah keduniaan, dengan batasan-batasan halal dan haram yang diberikan oleh agama, untuk membatasi kebebasan manusia dan mengatur urusan-urusan duniawi mereka.
Sebaliknya dengan penyelewangan pandangan materialis ini (dalam melihat kedudukan manusia dalam wujud) adalah filsafat-filsafat agama bumi. Seperti Nirvana, dan sebagian aliran tasawuf-falsafi-bathini. Filsafat-filsafat ini membawa ajaran yang menafikan kebebasan dan kemampuan apapun dari manusia. Sehingga ia melihatnya sebagai suatu makhluk yang "hina dan fana", yang kebebasannya, kesuciannya dan peningkatan derajatnya hanya dapat dicapai dengan "peleburan diri", dan memfanakan jiwa dalam Yang Muthlaq, atau dalam Dzat "Allah"! Sikap ekstreem dalam membelenggu dan menilai rendah manusia ini, serta penafian kebebasannya, adalah juga suatu penyelewangan dari pandangan moderasi Islam. Yang melihat manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang Allah berikan wewenang kekhalifahan kepadanya untuk membangun bumi ini, Allah berikan kepadanya dasar-dasar kebebasan, kemampuan dan kreatifitas, yang tidak mengeluarkannya dari lingkup tugas kekhalifahan dan duta Tuhan. Manusia bukan tuan atau pemilik atas alam ini, juga bukan sesuatu makhluk hina yang fana dalam dzat lainnya. Namun ia adalah makhluk yang berada di tengah antara dua posisi itu --materialisme dan bathini-- ia bertugas mengemban amanah kekhalifahan dari Tuhan semesta alam ini, yang menjadikannya sebagai penguasa dalam dunia ini, namun bukan penguasa dan pemilik dunia ini! Allah SWT menundukkan kekuatan-kekuatan alam dan kekayaan-kekayaan bumi, dengan segala kandungannya. Manusia baginya --dalam ungkapan Imam Syaikh Muhammad Abduh (1265-1323 H/ 1849-1905 M) adalah :
"Hamba bagi Allah SWT semata, dan penguasa bagi segala sesuatu selain Allah SWT"!É Inilah pemahaman tentang istikhlaf, kekhilafahan dan kedudukan manusia dalam wujud ini.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar