HATHIB mengetahui rencana Muhammad. Hatinya gusar. Dia teringat keluarganya di Mekkah. Seandainya Rasulullah benar-benar meluluhlantakkan Mekkah, bagaimanakah nasib keluargaku di sana? Pikirnya. Serta merta tangannya menulis. Dia berpikir inilah yang seharusnya ia lakukan.
Oleh Jahar*
Sesungguhnya Rasulullah telah memberangkatkan pasukan untuk menyerang kalian. Pasukan itu demikian besar. Mereka menerjang bagai air bah. Rasulullah telah bersumpah atas nama Allah, seandainya ia datang seorang diri, maka Allah pasti akan menganugerahkan kemenangan...
Hathib menugaskan Sarah untuk mengantarkan surat tersebut, Sarah adalah seorang budak Bani Abdul Muthalib yang mendapatkan kemurahan dari Rasul. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Sarah mendapatkan imbalan sebesar sepuluh dinar. Sarah sangat bahagia. Selain mendapatkan imbalan yang cukup besar itu, ia juga membayangkan hadiah yang lebih besar lagi tengah menunggunya di Mekkah. ***“Pergilah kalian secepatnya ke Raudhah Khakh,” ungkap Rasul, “di sana kalian akan menemukan seorang perempuan yang menunggangi unta. Dia membawa sebuah pesan dari Hathib untuk Musyrikin Quraisy. Ambil surat itu dan bebaskan perempuan tersebut. Kalau dia menolak memberikannya, bunuh saja dia.”
Ali, Miqdad, dan Zubair segera bergegas. Mereka memacu kuda untuk mengejar perempuan yang diceritakan oleh Rasullullah itu. Ternyata mereka dengan mudah dapat menemukan perempuan itu.
“Mana surat itu?” mereka bertiga serempak menggertak Sarah.
“Aku tidak punya surat apa pun,” ungkap sarah sambil berusaha menutupi rasa cemasnya.
Suara Ali makin meninggi. “Keluarkan surat itu. Jika tidak, kau akan kutelanjangi.”
Sarah memandang mata Ali yang sangat tajam. Nyalinya tiba-tiba menciut. Dia takut melihat sorot mata Ali. Dia merasa yakin Ali benar-benar akan melakukan ancamannya jika ia tidak menurutinya. Akhirnya ia pun menyerah.
“Baiklah,” ucap sarah. Dia memejamkan mata seraya menarik nafas. Dengan berat hati, ia melanjutkan ucapannya, “sekarang kalian berpalinglah dariku.”
Ketiga lelaki itu dengan segera membelakangi Sarah. Lalu perempuan itu mengurai gulungan rambutnya untuk mengambil surat yang ia sembunyikan di dalam gulungan rambutnya. ***“Hai Hathib, apa maksud suratmu ini,” tanya sang Nabi.
Hathib cemas. Keringat dingin meleleh di sekujur tubuhnya. Ia tak berani memandang wajah Nabi yang begitu mulia. Dia baru sadar akan kesalahan yang baru saja ia lakukan.
“Ya Rasulullah … jangan terburu-buru menghukum diriku …”
Dia kelu untuk berkata. Dia sangat malu dan menyesal telah berbuat demikian.
“Wallahi … ya Rasulullah … aku … aku … beriman kepada Allah dan Rasul-Nya … aku … tidak berubah … juga tidak murtad! Hanya saja aku tidak mempunyai silsilah di kabilah Quraisy, sementara keluargaku berada di lingkungan mereka. Aku ingin agar mereka melindungi keluargaku.”
Tiba-tiba Umar naik pitam. “Ya Rasul, izinkan aku memenggal leher orang ini. Dia benar-benar munafik!”
Namun Rasul dengan amat bijaksana berkata, “Engkau tidak tahu Umar. Sesungguhnya dia pernah ikut perang Badar. Mungkin Allah memandangnya sebagaimana para mujahid badar. Bukankah Allah telah berfirman: ‘kerjakanlah apa yang kalian inginkan karena aku telah mengampuni kalian.”
Tak lama kemudian Rasulullah menerima wahyu yang berbunyi:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” ***10 Ramadhan, tahun ke-8 Hijrah …
Rasul dan kaum muslimin tengah bergerak. Mereka berangkat dalam keadaan berpuasa. Panas matahari dan gurun bersatu membakar semangat mereka. Rasulullah merasa kasihan melihat umatnya. Maka beliau memutuskan untuk memberikan keringanan, yaitu dengan memerintahkan mereka untuk berbuka. Pasukan muslim berpapasan dengan seseorang yang berkuda. Orang tersebut rupanya Abbas, paman nabi yang hendak berhijrah menuju Madinah. “Paman, engkau adalah muhajirin terakhir seperti halnya diriku, nabi yang terakhir,” ucap nabi.
Lalu beliau memerintahkan beberapa orang untuk mengantarkan barang bawaannya ke Madinah. Sementara Abbas bergabung dengan nabi dan kaum muslimin. Nabi dan pasukannya dihadang oleh empat orang. Mereka dipimpin oleh Abu Sofyan Bin Harits. Orang inilah yang telah menyakiti Rasulullah dengan syair-syairnya dan juga pedangnya. Harits ditemani oleh anaknya yang bernama Ja’far, anaknya bibi Rasul yang bernama Abdullah Bin Abi Umayah, dan saudara laki-laki Ummu Salamah.
Abdullah Bin Abi Umayah, mendekati saudara perempuannya, Ummu Salamah.
“Hai Ummul mukminin mohonkan ampunan Rasulullah untuk kami”
Ummu Salamah melirik nabi seraya berkata, “Ya Rasul, anak pamanmu, anak bibimu, dan saudara iparmu tidak seharusnya celaka. Bagaimanapun juga mereka adalah keluargamu.”
Roman muka Nabi tiba-tiba berubah. Serta merta beliau membelakangi mereka.
“Aku tidak butuh mereka… anak pamanku telah menghinaku. Anak bibiku dan saudara iparku adalah orang-orang yang selalu mencelaku sewaktu di Mekkah.”***Harits, Ja’far dan Abdullah kembali menemui Rasulullah. Tetapi beliau tidak mau memandang mereka sedikit pun. Haris merubah posisinya agar bisa berhadapan dengan Rasul dan menatap wajahnya yang amat teduh bercahaya. Namun Rasul memalingkan muka lagi.
Tiba-tiba Harits teringat sebuah saran dari Ali. Kemudian ia menyitir ayat, “Mereka berkata: ‘Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).’”
Rasul sangat terenyuh. Ia membalasnya dengan berkata, ”Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang.”
Kemudian ketiga orang lelaki itu pun bersaksi, menyatakan kesetiaannya pada Nabi dan risalah yang diembannya. Rasulullah sangat bahagia. Sambil tersenyum ia berkata, “engkau dulu telah mengusirku … ”
Harits tertunduk. Ia merasa sangat malu sekaligus menyesal. Rasul melirik Ali sambil berkata, “Ajari saudara sepupumu ini cara berwudhu. Ajarkan pula kepadanya As-sunnah.”***Pasukan Muslim Terus Bergerak ….
Pasukan muslim berkemah di Murr Ad-Dhahran. Di tempat tersebut mereka menyalakan sepuluh ribu obor. Pasukan yang jumlahnya cukup besar itu telah diorganisir di bawah komando Nabi. Mereka terbagi ke dalam empat detasemen yang ditugaskan dari berbagai penjuru. Mereka direncanakan akan digabungkan dalam satu titik, yaitu kota Mekkah. Keempat kelompok tersebut masing-masing dikomandani oleh Khalid bin Walid, Zubair bin Awwam, Abi Ubaidah, dan Sa’ad bin Ubadah. Persiapan mereka sudah sangat matang, tinggal menunggu komando dari Rasul. Mereka membayangkan dengan amat yakin bahwa kemenangan ada di pihak mereka. Allah telah menjanjikannya.
Rasul memberikan keledainya yang berwarna putih kepada Abbas. Beliau memercayakan jalan diplomasi kepada pamannya. Pamannya pun segera bertindak dengan cepat. Setelah tiba di Al-Urak, dia berharap dapat menemukan salah seorang penjual kayu, penjual susu, atau orang yang berkepentingan ke Mekkah agar dapat memberitahukan berita mengenai Rasulullah kepada Quraisy. Dengan begitu mereka akan segera meminta suaka keamanan kepada Rasulullah.
Abbas terus berjalan menunggangi keledai. Hampir lama ia tak menemukan seorang pun. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, tiba-tiba ia mendengar suara riuh, seperti orang yang tengah berbincang-bincang. Dia segera mendekati suara itu sambil tetap waspada. Firasatnya mengatakan bahwa yang sedang berdialog itu adalah Abu Sofyan Bin Harb. Ternyata firasat Abbas benar. Dari jarak yang tidak terlalu jauh dan dipastikan aman, Abbas menyimak percakapan mereka.
“Aku belum pernah melihat api dan perkemahan seperti yang kulihat malam mini,” kata Harb.
“Sungguh itu adalah api yang dinyalakan oleh Bani Khuza’ah,” ungkap Budail.
“Tidak mungkin! Orang-orang Khuza’ah terlalu kecil untuk menyalakan api dan perkemahan sebesar itu.”
Abbas bergegas mendekati mereka. Keledai yang ditungganginya berpacu dan menyisakan debu beterbangan pada malam yang dingin dan pekat.
”Hai, Abu Sofyan!”“Abbas, kaukah itu?” Tanya Harb menebak-nebak. Malam yang gelap membuatnya kesulitan mengenali orang. Namun Harb yakin bahwa suara orang yang menyapanya tadi adalah suara Abbas.
“Ya betul. Aku Abbas.”
“Ada apa denganmu, Abbas?!”
“Gawat, Abu Sofyan! Itu adalah api dan perkemahan Rasulullah dan pasukannya. Pagi ini, kaum Quraisy harus berhati-hati.”
Harb tertegun. Hatinya menjadi sangat lemah. Rasa putus asa menyelinap di dadanya.
“Bagaimana cara menghindar dari ini semua?” tanya Harb terbata-bata.
“Jika Rasulullah berhasil menangkapmu, beliau pasti memenggal lehermu. Oleh karena itu, naiklah bersamaku. Aku akan membawamu menghadap Rasul. Aku akan meminta jaminan keamanan atasmu.”
Harb mengikuti perkataan Abbas. Dia duduk di belakang Abbas, di atas keledai putih Rasul. Keledai itu membawa mereka berdua melewati setiap perkemahan yang didirikan pasukan kaum muslimin. Sebagian pasukan muslim bertanya, “siapa orang ini?” Mereka mengetahui bahwa keledai itu milik Rasul. (bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar