* Penulis angggota FLP Jatinangor & Anggota LSPI (Lembaga Studi Politik Islam) UIN Bandung
“Hei … lelaki brengsek!!!” bentak seorang lelaki Bani Khuza’ah dengan sangat murka. Matanya merah menyala.
Oleh Jahar*
Lelaki yang dibentaknya itu sangat kaget. Dia berasal dari Bani Kinanah. Dia merasa gentar menyaksikan sorot mata lelaki yang berasal dari kabilah Khuza’ah itu. Dia merasa yakin bahwa lelaki tersebut akan membuat perhitungan terhadap dirinya. Dia menghiraukan bentakan itu dan segera melangkah secepatnya. Namun, langkahnya terhenti karena lelaki Bani Kinanah segera menghadangnya.
Sambil mencekik leher lelaki yang berada tepat dihadapannya itu, lelaki Bani Kinanah berkata dengan suara parau, “Dengar … lelaki brengsek, laknatullah alaik … terimalah perhitungan atas apa yang telah kau lakukan!”“Kau telah menghina Muhammad. Kau sengaja menghina orang yang paling mulia dan tinggi derajatnya. Kau akan mendapatkan dari balasan syairmu yang murahan dan kotor itu.”
Nyali lelaki Bani Kinanah langsung menciut. Wajahnya pusat pasi. Dalam hatinya tiba-tiba terbersit penyesalan atas tindakannnya yang telah mencela Rasulullah dalam syair-syair gubahannya. Tidak ada yang bisa membantunya, sehingga dengan mudah lelaki Bani Khuza’ah menyerangnya. Perkelahian pun terjadi dengan sengit sampai lelaki yang telah menghina Rasulullah itu tewas.
***
Sebuah malam yang pekat …Serangan balasan telah dipersiapkan dengan matang. Rencana penyerangan ini direstui oleh para pejabat Darunnadwah1. Bani Kinanah mendapatkan sokongan militer yang keberadaannya dirahasiakan. Militer bantuan itu bergabung dengan pasukan Bani Kinanah di sebuah tempat yang bernama Al-Watir.
Huru-hara tidak dapat dihindarkan. Militer gabungan itu menyerang tanpa belas kasihan. Mereka menyerang secara membabi buta demi melampiaskan dendam kesumat yang memuncak dalam dada mereka. Setelah puas, barulah mereka sadar bahwa mereka telah melanggar perjanjian dengan Nabi Muhammad. Mereka pun pulang dengan hati yang diliputi kecemasan, ketakutan dan rasa bersalah.
Amer bin Salim, pemimpin Bani Khuza’ah melelehkan air mata saat menyaksikan sekitar dua puluh orang warganya mati. Hatinya amat pedih. Dia segera menemui Rasulullah. Di hadapan Sang Utusan Allah, Amer berkata: “Sungguh aku memanggil Muhammad, wahai TuhankuSekutu orangtua kami dan orangtuanya duluTadinya kalian adalah anak, sedang kami adalah anakDi sana kami berdamai, dan kami tidak pernah mengubahTolonglah! Semoga sekarang juga kamu diberi pertolonganSerulah hamba-hamba Allah datang sebagai bala bantuanDi dalamnya ada Rasulullah yang tidak memihakkanNamun wajahnya akan berubah jika dihinakanDalam pasukan besar seperti laut yang menglair hingga buih dikeluarkanSesungguhnya kaum Quraisy mengingkari janjinya denganmuMelanggar perjanjian yang disepakatinya bersamamuDi Kada’ mereka mengincar untuk membunuhkuMereka mengira tak seorang pun yang bisa aku ajaknyaSedang mereka lebih hina dan lebih sedikit jumlahnyaMereka menyerang kami di Al-Watir saat kami bertahajjudDan membunuh kami ketika sedang ruku dan sujud” Setelah mendengar penjelasan Amer, Muhammad pun berdiri.
“Aku tidak akan ditolong jika aku tidak membantu kalian sebagaimana aku menolong diriku sendiri. Sesungguhnya awan mendung ini akan dimulai hujannya dengan kemenangan kalian”
***
Masyarakat Mekkah dihantui kecemasan. Satu-satunya harapan mereka adalah pimpinan mereka sendiri, yaitu Abu Sofyan Bin Harb. Harb pergi ke Madinah menemui Rasulullah untuk meminta perpanjangan gencatan senjata. Bagaimanapun negara Madinah sudah memiliki pengaruh dan posisi yang kuat di Jazirah Arab. Meskipun dia menyadari bahwa peluang itu sangat kecil, tetapi tiada salahnya hal tersebut dicoba, siapa tahu Muhammad yang pemurah itu mengabulkannya, pikir Harb.
Saat di perjalanan, ia berpapasan dengan Budail bin Warqa. Harb meyakini bahwa Budail telah menemui Rasulullah. “Dari manakah kamu, hai Budail?”
Budail tidak langsung menjawab. Dia berpikir tidak mungkin berkata jujur. Tak lama kemudian dia berkata, “Aku bersama orang-orang khuza’ah habis berjalan-jalan di pantai dan pedalaman lembah ini.”
“Hmmm… apakah kamu baru menemui Muhammad?” Harb berusaha menyelidik.
“Ah… tidak … aku tidak menemui Muhammad.”
Harb melihat kebohongan tidak bisa disembunyikan dari mata Budail. Kemudian dia pun mencari taktik lain untuk mengetahui apakah Budail telah menemui Rasulullah atau tidak. Harb mencuri-curi kesempatan untuk memeriksa kotoran unta yang ditunggangi Budail. Di dalam kotoran itu ia menemukan biji-biji Kurma. Akhirnya dia menyimpulkan bahwa Budail telah melakukan perjalanan dari Madinah.
Abu Sofyan makin cemas. Terbayang di pelupuk matanya sebuah perang dahsyat yang tak bisa terelakkan. Dalam perang tersebut, kaumnya mengalami kehancuran.
Bagaimanapun perang itu tidak boleh terjadi, tekadnya. Dia pun mempercepat perjalanannya agar segera sampai di negeri Madinah. Ketika sampai di Madinah, dia langsung menemui Rasulullah tetapi Rasulullah malah mendiamkannya. Lalu Harb menemui anaknya yang tidak lain adalah istri Rasulullah, Ummu Habibah. Dia bermaksud merayu putrinya itu agar berbicara kepada suaminya. Tetapi, ketika sudah sampai di rumah putrinya, Ummu Habibah malah melipat tikar yang akan diduduki ayahnya.
Abu Sofyan keheranan melihat tingkah putrinya itu.
“Putriku, aku tidak mengerti apakah kau senang dengan kedatanganku dan membenci tikar ini ataukah kau membenciku dan menyayangi tikarmu ini?”
“Tikar ini milik Rasulullah, sementara kau orang musyrik dan najis. Sungguh aku tidak rela engkau mendudukinya.”
Hati Harb sangat hancur karena merasa telah disia-siakan oleh anaknya.
“Wallahi. Sungguh kau telah menjadi jahat setelah lama berpisah denganku.”
Putrinya diam dan menunduk. Harb pun pulang dengan membawan kepedihan.
***
Abu Sofyan Bin Harb berharap pada Abu Bakar. Dia pun datang ke rumah Abu Bakar. Sampai di rumah abu Bakar ia mengungkapkan keinginannya.
“Aku tidak mau,” tolak Abu Bakar.
Abu Bakar terdiam. Dia tak tahu apa yang mesti dilakukannya. Kepada siapa lagi aku harus meminta bantuan, pikirnya. Dia tidak menyangka Abu Bakar akan setega itu. Dia kemudian berpikir sejenak. Mungkin Umar bisa membantuku, pikirnya lagi.
Dia pun bertolak ke rumah Umar dan mengatakan hal yang sama seperti kepada Abu bakar.
“Apa???” Umar terperanjat. Dia langsung berdiri dan memandangi Harb dengan tajam tanpa ada rasa simpati sedikit pun.
Dengan nada tinggi Umar kembali berkata, “aku harus menolong kalian di hadapan Rasulullah? Wallahi! Walau hanya dengan semut kecil, aku akan memerangimu dengan semut itu.”
***
“Hai Ali,” kata Harb, “engkaulah orang yang paling penyayang. Aku menemuimu untuk suatu kebutuhan. Tolong jangan biarkan aku pulang sia-sia. Bantulah aku menghadap Rasulullah.”
Ali menatap mata Abu Sofyan yang sayu. Dia tahu bahwa lelaki pemuka musyrikin Quraisy itu tidak punya cara lain selain meminta belas kasihan dari Rasulullah.
“Gawat! Demi Allah! Tekad Rasulullah sudah bulat. Kita tidak bisa bernegosiasi lagi dengan beliau. Rasul tidak akan pernah berkompromi dengan orang yang sering melanggar perjanjian.”
Harb menoleh ke arah Fatimah yang tengah mengasuh Hasan. Cucu Rasulullah tengah belajar merangkak. Harb menyimpan harapan pada putri Muhammad itu.
“Maukah kau menyuruh anak kecil ini menyelamatkan manusia dari hukuman yang akan dijatuhkan oleh ayahmu terhadap mereka?”
“Anakku tidak dapat menyelamatkan manusia. Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan mereka dari hukuman yang akan dijatuhkan Rasulullah.”
Abu Sofyan sangat frustrasi. Ia tidak tahu lagi langkah apa yang mesti ia lakukan. Ia tidak mau pulang ke hadapan warganya tanpa membawa hasil sesuai yang diharapkan mereka.
“Sungguh ini yang rumit. Tolong berilah aku saran wahai Abu Hasan”
“Aku tidak tahu. Sekarang lebih baik kau berdiri dan selamatkanlah manusia. Pulanglah ke tempat asalmu.”
“Apa itu bermanfaat untukku,” tukas Harb.
“Tidak sama sekali, namun aku tidak punya alternatif lain.”
Harb melaksanakan nasehat Ali. Dia pergi ke masjid. Di depan para sahabat dia berkata, “wahai manusia. Sungguh aku telah menyelamatkan manusia.” Orang-orang merasa aneh atas tingkah Harb. Mereka sama sekali tidak tertarik. Dengan tenaga yang masih tersisa, Harb kembali ke Mekkah dengan tangan hampa. ***Muhammad tengah mempersiapkan barisan militer kaum muslimin. Namun beliau tidak memberitahukan dengan siapakah mereka akan bertempur. Memang sudah menjadi kebiasaan beliau jika akan bertempur tidak memberitahukan lebih dini. Rasul duduk seorang diri di suatu tempat yang sunyi. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit dalam suasana yang khidmat dan agung.
Yaa Allah … tutuplah seluruh mata orang quraisy agar mereka tidak melihatku kecuali dengan tiba-tiba. Sementara Abu Bakar menemui putrinya, Aisyah. Lalu dia bertanya, “apakah Rasul memerintahkanmu mempersiapkan perbekalan yang dibutuhkan beliau?”
“Ya,” jawab Aisyah.
“Kemanakah beliau akan pergi?” selidik sang ayah.
“Aku tidak tahu,” ucap Aisyah sambil menggelengkan kepala. (bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar