SETIAP KEBAIKAN ADALAH SEDEKAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِـيْ ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! ذَهَبَ
أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ ؛ يُصَلُّوْنَ كَمَـا نُصَلِّـيْ ،
وَيَصُوْمُوْنَ كَمَـا نَصُوْمُ ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ
أَمْوَالِـهِمْ. قَالَ : «أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللّٰـهُ لَكُمْ مَا
تَصَدَّقُوْنَ ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ
تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَـحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ
تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً ، وَأَمْرٌ بِالْـمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْيٌ
عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ ، وَفِـيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ». قَالُوْا :
يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! أَيَأْتِـيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ
لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : «أَرَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِـي حَرَامٍ،
أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ ؟ فَكَذٰلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِـي
الْـحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا»
Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu bahwa beberapa orang dari Sahabat
berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah!
Orang-orang kaya telah pergi dengan membawa banyak pahala. Mereka shalat
seperti kami shalat, mereka puasa seperti kami puasa, dan mereka dapat
bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian sesuatu
yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih adalah
sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah,
setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada yang ma’ruf adalah
sedekah, mencegah dari yang mungkar adalah sedekah, dan salah seorang
dari kalian bercampur (berjima’) dengan istrinya adalah sedekah.” Mereka
bertanya : “Wahai Rasulullah! Apakah jika salah seorang dari kami
mendatangi syahwatnya (bersetubuh dengan istrinya) maka ia mendapat
pahala di dalamnya?” Beliau menjawab : “Apa pendapat kalian seandainya
ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, bukankah ia mendapatkan
dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang
halal, maka ia memperoleh pahala.” [HR. Muslim]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Muslim (no. 720, 1006).
2. Al-Bukhâri dalam Al-Adâbul Mufrad (no. 227)
3. Ahmad (V/167, 168).
4. Abu Dâwud (no. 5243, 5244).
5. Al-Bazzâr dalam Musnad-nya (no. 3917, 3918)
6. Ibnu Hibbân (no. 4155 At-Ta’lîqâtul Hisân).
7. Al-Baihaqi (IV/188).
8. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 1644).
SYARAH HADITS
Hadits yang mulia ini mencakup perkara-perkara penting, di antaranya:
1. Diperbolehkannya qiyâs.
2. Amal-amal yang mubâh bisa menjadi amal taqarrub dengan niat yang benar.
3. Medan-medan perlombaan dalam kebaikan.
4. Banyaknya jalan-jalan kebaikan di mana jika seorang hamba tidak mampu
melakukan satu kebaikan maka ia mampu melakukan kebaikan yang lainnya
dan selain dari itu.[1]
1. BERLOMBA-LOMBA DALAM KEBAIKAN
Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa para Sahabat Radhiyallahu anhum
berlomba-lomba dalam kebaikan karena kuatnya semangat mereka dalam
melakukan amal-amal shalih dan kebaikan; mereka sedih jika tidak dapat
mengerjakan kebaikan yang dikerjakan oleh orang lain. Orang-orang miskin
dari mereka sedih, sebab tidak dapat bersedekah dengan harta seperti
yang dilakukan orang-orang kaya. Mereka sedih tidak bisa berangkat ke
medan jihad karena tidak mempunyai bekal. Keadaan mereka ini dijelaskan
oleh Allah Azza wa Jalla dalam al-Qur`ân.[2]
Allah Azza wa Jalla berfirman : Dan tidak ada (pula dosa) atas
orang-orang yang datang kepadamu (Muhammad), agar engkau memberi
kendaraan kepada mereka, lalu engkau berkata : ‘Aku tidak memperoleh
kendaraan untuk membawamu,’ lalu mereka kembali, sedang mata mereka
bercucuran air mata karena sedih, disebabkan mereka tidak memperoleh apa
yang akan mereka infakkan (untuk ikut berperang). [at-Taubah/9:92]
Salafush Shâlih adalah orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan
karena mengharapkan surga, dan kita diperintahkan mengikuti jejak mereka
yaitu berlomba-lomba dalam kebaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman: “…Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” [al-Muthaffifîn/83:26]
Mereka mendapatkan pujian dari Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebab
keberuntungan mereka dan kemuliaan mereka di dunia dan akhirat. Ada di
antara mereka yang memiliki udzur dari mengerjakan suatu amalan dan
diberikan keringanan kepadanya, lalu ia mendatangi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangis karena ia tidak mampu
melakukan amalan tersebut. Sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah
Azza wa Jalla , ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar
untuk berjihad.
Allah Azza wa Jalla berfirman: “…Lalu mereka kembali sedang mata mereka
bercucuran air mata karena sedih, disebabkan mereka tidak memperoleh apa
yang akan mereka infakkan (untuk ikut berperang).” [at-Taubah/9:92]
Di dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa orang-orang miskin ingin
seperti orang-orang kaya dalam mendapatkan pahala sedekah dengan harta.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kepada
orang-orang miskin tentang sedekah-sedekah yang mampu mereka
kerjakan.[3]
Dalam hadits lain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa orang-orang
fakir kaum Muhajirin mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
berkata: “Orang-orang yang kaya telah pergi dengan membawa derajat yang
tinggi dan nikmat yang kekal.” Beliau bertanya: “Apa itu?” Mereka
menjawab: “Mereka shalat seperti kami shalat, mereka berpuasa seperti
kami berpuasa, mereka bisa bersedekah sedang kami tidak bisa, dan mereka
memerdekakan hamba sahaya sedang kami tidak bisa.” Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«أَفَلاَ أُعَلِّمُكُمْ شَيْئًا تُدْرِكُوْنَ بِهِ مَنْ سَبَقَكُمْ ،
وَتَسْبِقُوْنَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ ، وَلاَ يَكُوْنَ أَحَدٌ أَفْضَلَ
مِنْكُمْ إِلاَّ مَنْ صَنَعَ مِثْلَ مَا صَنَعْتُمْ ؟» قَالُوْا : بَلَى
يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ. قَالَ : «تُسَبِّحُوْنَ ، وَتُكَبِّرُوْنَ ،
وَتَـحْمَدُوْنَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ مَرَّةً».
قَالَ أَبُوْ صَالِحٍ : فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْـمُهَاجِرِيْنَ إِلَى
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوْا : سَمِعَ
إِخْوَانُنَا أَهْلُ اْلأَمْوَالِ بِمَـا فَعَلْنَا ؛ فَفَعَلُوْا
مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
Maukah kalian kuajari sesuatu yang dapat menyusul orang yang telah
mendahului kalian itu, kalian juga bisa mendahului orang-orang setelah
kalian, dan tidak ada seorang pun yang lebih baik daripada kalian
kecuali orang yang melakukan seperti yang kalian lakukan?” Mereka
menjawab, “Mau, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda : “Hendaklah kalian
mengucapkan tasbîh (subhânallâh), takbîr (Allâhu akbar), dan tahmîd
(alhamdulillâh) di akhir setiap shalat (fardhu) sebanyak 33 kali.”Abu
Shâlih (perawi hadits ini) berkata : “Maka orang-orang fakir kaum
Muhijirin itu pun kembali menemui Rasulullah lalu berkata : “Saudara
kami yang kaya telah mendengar apa yang kami kerjakan, lalu mereka pun
mengerjakan hal yang sama.” Maka Rasulullah bersabda : “Itulah karunia
Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.”
[al-Mâidah/5:54] [4]
Hadits semakna juga diriwayatkan dari sejumlah Sahabat di antaranya
‘Ali, Abu Dzar, Abu Darda', Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbâs, dan selain mereka.
Ini artinya bahwa orang-orang fakir kaum Muhajirin mengira bahwa tidak
ada sedekah kecuali dengan harta dan mereka tidak mampu melakukan hal
itu, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar kepada mereka
bahwa semua amal kebajikan dan berbuat baik dengan segala jenisnya
adalah sedekah.[5]
Adapun berlomba-lomba dalam meraih kenikmatan duniawi maka ini sangat
tercela. Jika seorang hamba melampaui batas, maka itu adalah sebab
kebinasaan dan kelemahannya.[6] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
...فَوَاللّٰـهِ ، مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ. وَلَكِنِّي أَخْشَىٰ
عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَـا بُسِطَتْ عَلَىٰ
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ. فَتَنَافَسُوهَا كَمَـا تَنَافَسُوهَا.
وَتُـهْلِكَكُمْ كَمَـا أَهْلَكَتْهُمْ
“…Demi Allah! Bukan kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Akan
tetapi, aku khawatir jika dunia di bentangkan (diluaskan) atas kalian
seperti telah diluaskan atas orang-orang sebelum kalian, lalu kalian
berlomba-lomba mendapatkannya, sebagaimana mereka berlomba-lomba
mendapatkannya. Kemudian dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia
membinasakan mereka.”[7]
2. DZIKIR KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA ADALAH SEBAIK-BAIK SEDEKAH UNTUK DIRI SENDIRI
Sedekah selain dari harta yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya sendiri, misalnya :
Takbîr yaitu ucapan: Allâhu akbar (اَللهُ أَكْبَرُ),
Tasbîh yaitu ucapan: Subhânallâh ( سُبْحَانَ اللهِ),
Tahmîd yaitu ucapan: Alhamdulillâh (اَلْـحَمْدُ لِلّٰـهِ),
Tahlîl yaitu ucapan: lâ ilâha illallâh (لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللّٰـهُ),
Hauqalah yaitu ucapan: lâ haula walâ quwwata illâ billâh (لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللٰـهِ)
Istighfâr yaitu ucapan: astaghfirullâh (أَسْتَغْفِرُ اللّٰـهَ).
Begitu juga dzikir sesudah shalat wajib yang lima waktu, yaitu membaca
istighfâr 3 kali: أَسْتَغْفِرُ اللّٰـهَ ، أَسْتَغْفِرُ اللّٰـهَ ،
أَسْتَغْفِرُ اللّٰـهَ
lalu membaca: اَللّٰـهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ ، وَمِنْكَ السَّلاَمُ ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَـلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ
Membaca: subhânallâh 33 kali, alhamdulillâh 33 kali, Allâhu akbar 33 kali, dan ditutup dengan membaca:
لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللّٰـهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Demikian pula dzikir pagi dan petang. Dzikir ini di samping bernilai
sedekah, juga menghapuskan dosa-dosa dan sebagai penjagaan diri dari
setan.[8]
Begitu juga berjalan ke masjid untuk ibadah adalah sedekah. Dan tidak
disebutkan dalam satu hadits pun tentang shalat, puasa, haji, dan jihad
sebagai sedekah. Kebanyakan perbuatan-perbuatan tersebut lebih baik
daripada sedekah-sedekah dengan harta, sebab hadits-hadits di atas
disebutkan sebagai jawaban pertanyaan orang-orang miskin yang bertanya
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu yang bisa
mereka pakai untuk mengalahkan ibadah-ibadah sunnah orang-orang kaya
dengan harta. Sedang dalam ibadah-ibadah wajib, orang-orang miskin kaum
Muhajirin sama dengan orang-orang kaya di antara mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
«أَلاَ أَنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَـالِكُمْ ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ
مَلِيْكِكُمْ ، وَأَرْفَعِهَا فِـيْ دَرَجَاتِكُمْ ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ
إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا
عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ».
قَالُوْا : بَلَـى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : «ذِكْرُ اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ»
Maukah kalian aku jelaskan perbuatan-perbuatan kalian yang paling baik,
paling bersih di sisi raja kalian, paling meninggikan derajat-derajat
kalian, lebih baik bagi kalian daripada infak emas dan perak, dan lebih
baik bagi kalian daripada kalian berjumpa dengan musuh kalian kemudian
kalian memenggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian?” Para
Sahabat berkata : “Mau, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda : “Yaitu
dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”[9]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa mengucapkan,
لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ ، وَلَهُ الْـحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَـىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
‘Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata,
tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan dan milik-Nya
segala pujian, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.’
Dalam sehari sebanyak seratus kali maka itu sama dengan memerdekakan
sepuluh budak, seratus kebaikan ditulis baginya, seratus kesalahan
dihapus darinya, kalimat itu adalah benteng baginya dari setan sejak
siangnya hingga sore hari, dan tidak ada seorang pun yang datang dengan
sesuatu yang lebih baik daripada apa yang ia bawa kecuali orang yang
mengerjakan yang lebih banyak darinya.”[10]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
«مَنْ قَالَ: لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ
الْـمُلْكُ ، وَلَهُ الْـحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَـىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ،
عَشْرَ مِرَارٍ كَانَ كَمَـنْ أَعْتَقَ أَرْبَعَةَ أَنْفُسٍ مِنْ وَلَدِ
إِسْمَـاعِيْلَ».
Barangsiapa mengucapkan kalimat Lâ ilâha illallâh wahdahu lâ syarîkalah
lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alâ kulli syai-in qadîr sebanyak
sepuluh kali, ia seperti orang yang memerdekakan empat jiwa dari anak
keturunan Isma’il.”[11]
Hal yang sama juga dikatakan oleh Salmân al-Fârisi, para Sahabat yang
lain dan Tabi’in bahwa dzikir lebih baik daripada bersedekah dengan
sejumlah uang.[12]
3. SEDEKAH DIMUTLAKKAN UNTUK SETIAP KEBAIKAN
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ = setiap kebaikan adalah sedekah.[13]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata : “Maksudnya, setiap kebaikan itu
memiliki hukum yang sama dengan sedekah dalam hal pahala.”[14], [15]
.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengqashar (meringkas) shalat ketika safar,
«صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِـهَا عَلَيْكُمْ ؛ فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ»
Ia adalah sedekah yang diberikan Allah kepada kalian, maka terimalah sedekah-Nya.[16]
Sedekah dengan selain harta yang kebaikannya dirasakan manusia merupakan
sedekah kepada mereka. Bisa jadi, sedekah selain harta ini lebih baik
daripada sedekah dengan harta. Sedekah seperti ini, misalnya amar ma’rûf
dan nahi munkar; kedua perbuatan itu adalah ajakan taat kepada Allah
Azza wa Jalla dan melarang bermaksiat kepada-Nya. Hal ini jelas lebih
baik daripada sedekah dengan harta. Termasuk di antaranya mengajarkan
ilmu yang bermanfaat, membacakan al-Qur`ân (meruqyah), menghilangkan
gangguan dari jalan, berusaha memberikan manfaat kepada orang lain,
menolak bahaya dari mereka, mendoakan kaum Muslimin, dan memintakan
ampunan untuk mereka.[17]
Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu , ia bertanya : “Wahai Rasulullah!
Amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “‘Iman dan jihad di
jalan Allah.” Aku bertanya : “Memerdekakan budak apakah yang paling
baik?” Beliau menjawab : “Memerdekakan budak yang paling bernilai
menurut pemiliknya dan paling mahal harganya.” Aku bertanya : “Jika aku
tidak dapat melakukannya?” Beliau menjawab : “Engkau membantu orang yang
terampil dan berbuat untuk orang yang tidak terampil.” Aku bertanya :
“Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku tidak dapat mengerjakan
sebagian pekerjaan?” Beliau menjawab : “Engkau menahan keburukanmu dari
manusia, karena itu adalah sedekah.””[18]
Diriwayatkan juga penambahan-penambahan yang lain dalam hadits Abu Dzar
Radhiyallahu anhu ini, di antaranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
«تَبَسُّمُكَ فِـيْ وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَأَمْرُكَ
بِالْـمَعْرُوْفِ وَنَهْيُكَ عَنِ الْـمُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَإِرْشَادُكَ
الرَّجُلَ فِـيْ أَرْضِ الضَّلاَلِ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَبَصَرُكَ لِلرَّجُلِ
الرَّدِيْءِ الْبَصَرِ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَإ ِمَاطَتُكَ الْـحَجَرَ
وَالشَّوْكَةَ وَالْعَظْمَ عَنِ الطَّرِيْقِ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَإِفْرَاغُكَ
مِنْ دَلْوِكَ فِـيْ دَلْوِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ»
Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah, engkau menyuruh kepada
kebaikan dan melarang dari kemungkaran adalah sedekah, engkau memberi
petunjuk kepada orang di tempat ia tersesat adalah sedekah, engkau
menuntun /menunjuki orang yang lemah penglihatannya adalah sedekah,
engkau menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan adalah sedekah,
dan engkau menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu adalah
sedekah.”[19]
Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
«لَيْسَ مِنْ نَفْسِ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ فِـيْ كُلِّ
يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيْهِ الشَّمْسُ» . قِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ !
وَمِنْ أَيْنَ لَنَا صَدَقَةٌ نَتَصَدَّقُ بِهَا ؟ فَقَالَ : «إِنَّ
أَبْوَابَ الْـخَيْرِ لَكَثِيْرَةٌ ، التَّسْبِيْحُ ، وَالتَّحْمِيْدُ ،
وَالتَّكْبِيْرُ ، وَاْلأَمْرُ بَالْـمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ
الْـمُنْكَرِ ، وَتُـمِيْطُ اْلأَذَىٰ عَنِ الطَّرِيْقِ ، وَتُسْمِعُ
اْلأَصَمَّ ، وَتَهْدِي اْلأَعْمَـى ، وَتَدُلُّ الْـمُسْتَدِلَّ عَلَـىٰ
حَاجَتِهِ ، وَتَسْعَىٰ بِشِدَّةِ سَاقَيْكَ مَعَ اللَّهَفَانِ
الْـمُسْتَغِيْثِ ، وَتَـحْمِلُ بِشِدَّةِ ذِرَاعَيْكَ مَعَ الضَّعِيْفِ ،
فَهٰذَا كُلُّهُ صَدَقَةٌ مِنْكَ عَلَىٰ نَفْسِكَ»
Tidak ada satu pun jiwa anak keturunan Adam melainkan ia wajib
bersedekah setiap hari dari mulai matahari terbit sampai terbit
kembali.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah! Dari mana kami mempunyai harta
untuk kami sedekahkan?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya pintu-pintu
kebaikan sangat banyak. Tasbîh, tahmîd, takbîr, amar ma’rûf nahi munkar,
engkau menyingkirkan gangguan dari jalan, engkau memperdengarkan kepada
orang yang tuli, engkau memberi petunjuk kepada orang yang buta,
memberi petunjuk jalan kepada orang yang meminta petunjuk untuk memenuhi
kebutuhannya, berjalan dengan kekuatan kedua betismu untuk orang
kelaparan dan minta bantuan, dan memikul dengan kekuatan kedua lenganmu
untuk orang lemah. Semua itu adalah sedekah darimu untuk dirimu.”[20]
4. AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR ADALAH SEDEKAH
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “menyuruh kepada yang
ma’rûf adalah sedekah, mencegah dari yang mungkar adalah sedekah.”
Amar ma’rûf nahi munkar adalah salah satu jenis sedekah yang dijelaskan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang miskin
kaum Muhajirin. Amar ma’rûf nahi munkar merupakan pemberikan kebaikan
kepada orang lain sebagai sedekah kepada mereka yang bisa jadi lebih
baik daripada sedekah harta. Bagaimana amar ma’rûf tidak bisa dikatakan
lebih baik daripada sedekah harta, sedangkan Allah Azza wa Jalla telah
berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu (ummat Islam) adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
(karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar, dan kamu beriman kepada Allah...” [Ali ‘Imrân/3:110]
Amar ma’rûf nahi munkar memiliki kaidah-kaidah dan batasan-batasan yang telah ditetapkan syariat.[21]
5. SEORANG BERJIMA’ (BERSETUBUH) DENGAN ISTRINYA ADALAH SEDEKAH
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
«...وَلَكَ فِـيْ جِمَاعِكَ زَوْجَتَكَ أَجْرٌ». قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ :
كَيْفَ يَكُوْنُ لِـيْ أَجْرٌ فِـيْ شَهْوَتِـيْ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ
اللّٰـهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «أَرَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ
وَلَدٌ ، فَأَدْرَكَ ، وَرَجَوْتَ خَيْرَهُ فَمَـاتَ ، أَكُنْتَ
تَـحْتَسِبُ بِهِ ؟» قُلْتُ : نَعَمْ. قَالَ : «فَأَنْتَ خَلَقْتَهُ ؟».
قَالَ : بَلِ اللّٰـهُ خَلَقَهُ. قَالَ : «فَأَنْتَ هَدَيْتَهُ ؟». قَالَ :
بَلِ اللّٰـهُ هَدَاهُ. قَالَ : «فَأَنْتَ تَرْزُقُهُ ؟». قَالَ : بَلِ
اللهُ كَانَ يَرْزُقُهُ. قَالَ : «كَذٰلِكَ فَضَعْهُ فِـيْ حَلاَلِهِ ،
وَجَنِّبْهُ حَرَامَهُ ، فَإِنْ شَاءَ اللّٰـهُ أَحْيَاهُ ، وَإِنْ شَاءَ
أَمَاتَهُ ، وَلَكَ أَجْرٌ»
“…Engkau berjimâ’ (bersetubuh) dengan istrimu mendapatkan pahala.” Aku
bertanya : “Bagaimana bisa aku mendapatkan pahala dengan melampiaskan
syahwatku?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Bagaimana pendapatmu, jika engkau memiliki seorang anak kemudian ia
mencapai usia baligh dan engkau mengharapkan kebaikannya, tetapi ia
meninggal dunia, apakah engkau mengharapkan pahala karenanya?” Aku
menjawab: “Ya.” Beliau bersabda : “Apakah engkau yang menciptakannya?”
Abu Dzar menjawab : “Bahkan Allah-lah yang menciptakannya.” Beliau
bertanya : “Apakah engkau yang memberikannya petunjuk?” Abu Dzar
menjawab: “Bahkan Allah-lah yang memberinya petunjuk.” Beliau bertanya :
“Apakah engkau yang memberikan rezeki kepadanya?” Abu Dzar menjawab,
“Bahkan Allah-lah yang memberinya rezeki.” Beliau bersabda : “Begitulah,
karena itu, letakkanlah spermamu di tempat yang halal dan jauhkan dari
tempat haram. Jika Allah menghendaki, Dia menghidupkannya dan jika Allah
menghendaki, Dia mematikannya, sedang engkau mendapat pahala.”[22]
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini ada dalil
bahwasanya perkara yang mubâh dapat menjadi ketaatan dengan niat yang
benar. Jimâ’ (bersetubuh) bisa menjadi ibadah apabila ia niatkan untuk
memenuhi hak istrinya, bergaul dengan cara yang baik yang diperintahkan
Allah Azza wa Jalla atau untuk menjaga dirinya dan istrinya agar tidak
terjatuh kepada perbuatan yang haram, atau memikirkan (mengkhayal) hal
yang haram, atau berkeinginan untuk itu, atau yang lainnya.”[23]
6. NAFKAH SEORANG SUAMI KEPADA ISTRINYA ADALAH SEDEKAH
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
«نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَـىٰ أَهْلِهِ صَدَقَةٌ»
Nafkah seorang suami kepada keluarganya (istrinya) adalah sedekah.
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
«وَهُوَ يَـحْتَسِبُهَا»
Dan ia mengharapkan pahalanya dari Allah.
Sedang dalam salah satu riwayat al-Bukhâri disebutkan,
«إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَىٰ أَهْلِهِ يَـحْتَسِبُهَـا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ»
Jika seorang suami memberi nafkah kepada keluarganya dalam keadaan
mengharapkan pahala dari Allah, maka itu sedekah baginya.”[24]
Hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang suami diberi pahala atas
nafkahnya kepada istrinya jika ia mengharapkan pahalanya dari Allah Azza
wa Jalla , sebagaimana terdapat dalam hadits Sa’d bin Abi Waqqâsh
Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«... وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِيْ بِـهَا وَجْهَ اللّٰـهِ ،
إِلاَّ أُجِرْتَ بِـهَا ، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَـجْعَلُهَا فِـيْ فِـي
امْرَأ َتِكَ»
“…Dan tidaklah engkau berinfak dengan satu infak karena mengharapkan
wajah Allah dengannya, melainkan engkau diberi pahala dengannya hingga
sesuap makanan yang engkau angkat ke mulut istrimu.”[25]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَفْضَلُ دِيْنَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ : دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَىٰ
عِيَالِهِ ، وَ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَىٰ دَابَّتِهِ فِـيْ
سَبِيْلِ اللهِ ، وَ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَىٰ أَصْحَابِهِ فِـيْ
سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Sebaik-baik dinar yang diinfakkan seseorang adalah dinar yang
dinafkahkan seseorang kepada keluarganya. Dinar yang dinafkahkan
seseorang untuk kendaraannya fî sabîlillâh. Dan dinar yang
dinafkahkannya seseorang untuk sahabat-sahabatnya fî sabîlillâh ’Azza wa
Jalla.[26]
Abu Qilâbah rahimahullah berkata ketika meriwayatkan hadits tersebut,
“Mulailah dengan orang-orang yang berada dalam tanggunganmu. Adakah
orang yang lebih besar pahalanya daripada orang yang berinfak kepada
orang-orang yang ditanggungnya yang masih kecil dimana Allah Azza wa
Jalla menjaga kehormatan mereka (dari mengemis) dengannya dan mengayakan
mereka dengannya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
«...وَإِنَّ نَفَقَتَكَ عَلَـىٰ عِيَالِكَ صَدَقَةٌ ، وَإِنَّ مَا تَأْكُلُ امْرَأَتُكَ مِنْ مَالِكَ صَدَقَةٌ»
“...Dan sesungguhnya nafkahmu kepada orang-orang yang berada dalam
tanggunganmu adalah sedekah dan apa yang dimakan istrimu dari hartamu
adalah sedekah.”[27]
Dalam riwayat lain, nafkah tersebut disyaratkan dengan maksud mencari wajah Allah Azza wa Jalla .
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
«دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ ، وَ دِيْنَارٌ
أَنْفَقْتَهُ فِـيْ رَقَبَةٍ ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَـىٰ
مِسْكِيْنٍ ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَـىٰ أَهْلِكَ ؛ أَعْظَمُهَا
أَجْرًا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَـىٰ أَهْلِكَ»
Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan
untuk memerdekakan budak, dinar yang engkau sedekahkan untuk orang
miskin, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling
besar ganjarannya adalah dinar yang engkau infakkan untuk
keluargamu.”[28]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
« مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا ، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا ،
فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ ، أَوْ إِنْسَانٌ ، أَوْ بَهِيْمَةٌ ؛ إِلاَّ
كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ»
Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman dan menabur benih kemudian
dimakan burung, atau manusia, atau hewan, melainkan dengan itu menjadi
sedekah baginya.”[29]
Semua hadits di atas menunjukkan bahwa semua itu sedekah dimana penanam
dan penabur benih diberi pahala kendati tanpa niat sekalipun. Demikian
pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Bagaimana pendapatmu,
jika ia meletakkannya di tempat haram, apakah ia berdosa? Begitu juga,
jika ia meletakkannya di tempat halal, maka ia mendapat pahala,” juga
menunjukkan bahwa suami diberi pahala atas hubungan seksualnya dengan
istrinya kendati tanpa niat, karena orang yang menggauli istrinya adalah
seperti penanam benih di tanah dan mengelolanya. Pendapat ini dipegang
sejumlah Ulama. Sebagian Ulama berpendapat dikaitkan dengan niat yang
ikhlas, karena setiap amal akan diberikan ganjaran dengan niat ikhlas.
Wallâhu a’lam.
Penyertaan niat ini juga diperkuat oleh firman Allah Azza wa Jalla:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ
أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ
ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali
pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau
berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.
Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak
Kami akan memberinya pahala yang besar.” [an-Nisâ'/4:114]
Semua perbuatan dalam ayat di atas disebut sebagai kebaikan dan tidak mendapatkan pahala kecuali dengan niat yang ikhlas.
7. BOLEHNYA MENGGUNAKAN QIYAS (ANALOGI)
Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apa pendapat kalian jika
ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, bukankah ia mendapatkan
dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang
halal, itu menjadi pahala baginya.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Di dalam hadits ini terdapat dalil
tentang bolehnya menggunakan qiyâs, dan itu merupakan pendapat seluruh
Ulama dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali penganut paham
zhahiriyah.”[30]
Menurut Ulama ushûl, qiyâs ialah menyamakan hukum suatu kejadian yang
tidak ada nash (dalil)dengan hukum kejadian lain yang ada nashnya karena
ada kesamaan illat (sebab) hukum dalam dua kejadian itu.
Qiyâs menempati kedudukan keempat dalam hujjah-hujjah syari’at setelah
al-Qur`ân, Sunnah, dan ijmâ’. Qiyâs yang terdapat dalam nash hadits yang
sedang kita bahas ini menurut Ulama ushûl fiqih ini dinamakan qiyâs
berlawanan. Maksudnya, menetapkan lawan hukum dari sesuatu karena
illat-nya saling berlawanan.[31]
Telah shahîh dalam Shahîh Muslim,[32] dari Waqi’, ia berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Dan Ibnu Numair
berkata : ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللّٰـهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ
Siapa yang meninggal dunia dalam keadaan mempersekutukan Allah maka ia masuk neraka.
Dan aku berkata : “Siapa yang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah Azza wa Jalla maka ia masuk surga.”
FAWAID HADITS
1. Para Sahabat senantiasa bersegera dan berlomba-lomba dalam mengerjakan amal shalih.
2. Para Sahabat menggunakan harta mereka pada setiap perkara yang di
dalamnya terdapat kebaikan di dunia dan akhirat, yaitu mereka bersedekah
dengannya.
3. Amal-amal shalih yang dilakukan dengan tubuh seperti shalat, puasa,
dapat dikerjakan oleh orang-orang fakir dan orang-orang kaya.
4. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka pintu-pintu kebaikan bagi orang-orang miskin.
5. Amal shalih dalam hadits ini adalah sedekah, akan tetapi sedekah ini
ada yang wajib dan ada yang sunnah, ada yang bermanfaat untuk orang lain
dan ada yang bermanfaatnya hanya untuk diri sendiri.
6. Sebaik-sebaik sedekah yang dikerjakan seseorang untuk dirinya sendiri adalah berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla .
7. Bahwa para Sahabat apabila mendapati suatu perkara yang musykil, maka
mereka langsung bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam .
8. Menyertakan pendapat dengan dalil ketika menyebarkan ilmu, karena hal
ini dapat membantu diterimanya kebenaran dan lebih dapat mengakar dalam
hati orang yang telah terkena kewajiban. Oleh karena itu, para Ulama
tidak boleh merasa sempit hati ketika mereka ditanya tentang dalil.
9. Luasnya rahmat Allah Azza wa Jalla dan banyaknya pintu-pintu kebaikan.
10. Islam adalah agama yang mudah.
11. Keutamaan orang kaya yang bersyukur dan bersedekah dan keutamaan orang miskin yang sabar dan mengharapkan pahala.
12. Orang kaya dan orang miskin sama-sama diperintahkan untuk
mengerjakan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang dilarang syari’at.
13. Keutamaan masyarakat para Sahabat yang sangat bersemangat untuk
melakukan apa saja yang dapat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa
Jalla.
14. Wajibnya amar ma’rûf nahi munkar. Hukumnya fardhu kifâyah.
15. Perkara adat dan hal-hal yang mubâh bisa menjadi ketaatan dan ibadah apabila disertai niat yang benar.
16. Bergaul dan berbuat baik kepada istri termasuk amal-amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla .
17. Seorang jimâ’ (bersetubuh) dengan istrinya termasuk sedekah dan mendapat ganjaran.
18. Seorang suami menafkahi istri, anak, dan orang yang di bawah tanggungannya mendapatkan ganjaran yang besar.
19. Hadits ini menetapkan bolehnya qiyâs.
20. Baiknya cara pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar