ANJURAN BERSUCI, BERDZIKIR, SEDEKAH DAN SABAR
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِـيْ مَالِكٍ الْـحَارِثِ بْنِ عَاصِمٍ الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
«اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الإِيْـمَـانِ ، وَالْـحَمْدُ لِله تَـمَْلأُ
الْـمِيْزَانَ ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ للهِ تَـمْلأنِ أَوْ
تَـمَْلأُ مَا بَيْنَ السَّمَـاءِ وَالأَرْضِ ، وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ ،
وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ ، وَالْقُرْآنُ حُـجَّةٌ
لَكَ أَوْ عَلَيْكَ ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُوْ : فَبَائِعٌ نَفْسَهُ
فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا». رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Mâlik al-Hârits bin ‘Ashim al-Asy’ari Radhiyallahu anhu ,ia
berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bersuci
adalah sebagian iman, alhamdulillâh (segala puji bagi Allah Azza wa
Jalla) memenuhi timbangan. Subhânallâh (Maha suci Allah Azza wa Jalla)
dan alhamdulillâh (segala puji bagi Allah Azza wa Jalla) keduanya
memenuhi antara langit dan bumi; shalat adalah cahaya; sedekah adalah
petunjuk; sabar adalah sinar, dan al-Qur`ân adalah hujjah bagimu. Setiap
manusia melakukan perbuatan: ada yang menjual dirinya kemudian
memerdekakannya atau membinasakannya.’” Diriwayatkan oleh Muslim.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Muslim (no. 223).
2. Abu ‘Awânah (I/223).
3. Ahmad (V/342, 343-344).
4. Ad-Dârimi (I/167).
5. At-Tirmidzi (no. 3517).
6. An-Nâsa-i (V/5-8) dan dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 168, 169).
7. Ibnu Mâjah (no. 280).
8. Ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 3423, 3424).
9. Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (I/42) dan dalam Syu’abul Imân (no. 2453, 2548).
10. Ibnu Mandah dalam Kitâbul Imân (no. 211).
11. Ibnu Hibbân (no. 841-at-Ta’lîqâtul Hisân).
12. Ibnu Nashr al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadrish Shalâh (no. 435, 436).
13. Al-Lâlikâ-i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (no. 1619).
14. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 148).
Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni dalam
Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 925, 3957) dan Takhrîj Musykilatil Faqr
(no. 59).
SYARAH HADITS
1.BERSUCI ADALAH SEBAGIAN DARI IMAN
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Bersuci itu sebagian dari iman.”
Para ulama berbeda pendapat tentang makna sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam , “Bersuci itu sebagian dari iman,” berikut ini
perinciannya:
1. Sebagian ulama menafsirkan sabda beliau tersebut bahwa bersuci dalam
hadits tersebut ialah meninggalkan dosa-dosa, seperti firman Allah Azza
wa Jalla: إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُوْنَ “…mereka adalah orang-orang
yang menganggap dirinya suci.” (al-A’râf/7:82), firman-Nya, وَثِيَابَكَ
فَطَهِّرْ “Dan bersihkanlah pakaianmu.” (al-Muddatstsir/74:4), dan
firman-Nya, إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ
الْـمُتَطَهِّرِيْنَ “Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan
menyukai orang yang mensucikan diri.” (al-Baqarah/2:222)
2. Pendapat jumhur Ulama tentang bersuci dalam hadits di atas ialah
bersuci dari hadats dengan air atau dengan tayammum. Oleh karena itulah,
Imam Muslim memulai dengan mengeluarkan hadits ini dalam bab-bab
wudhu', demikian pula yang dilakukan oleh Imam an-Nasâ-i, Ibnu Mâjah,
dan selain keduanya. Ada Ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan iman dalam hadits ini adalah shalat, sebagaimana tercantum firman
Allah Azza wa Jalla: وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَـانَكُمْ “Dan
Allah tidak menyia-nyiakan imanmu…” (al-Baqarah/2:143). Yang dimaksud
dengan iman dalam ayat tersebut ialah shalat kalian menghadap Baitul
Maqdis. Jika yang dimaksud dengan iman adalah shalat, maka shalat itu
tidak diterima, kecuali dengan bersuci; sehingga jadilah bersuci itu
separuh dari iman dalam konteks ini. Penafsiran ini dinukil dari
Muhammad bin Nasr al-Marwazi dalam Kitâbush Shalâh (I/435, no. 442) dari
Ishâq bin Rahawaih dari Yahya bin Adam bahwa ia berkata mengenai makna
perkataan mereka, “Sesungguhnya ilmu ialah aku tahu dan aku tidak tahu;
salah satu dari keduanya adalah separuh ilmu.”
Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Sabar adalah separuh iman dan
keyakinan adalah iman seluruhnya.” Karena iman mencakup sikap
mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang
diharamkan; kemudian itu semua tidak bisa dicapai kecuali dengan sabar,
maka sabar menjadi separuh iman. Hal yang sama dikatakan tentang wudhu'
bahwa ia separuh shalat.[1]
3. Dalam hadits ini disebutkan wudhu' sebagian dari iman, sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad, Nasâ-i, at-Tirmidzi, Abu ‘Awânah,
Ibnu Mâjah, dan Ibnu Nashr al-Marwazi dengan lafazh:
إِسْبَاغُ الْوُضُوْءِ شَطْرُ اْلإِيْمَـانِ...
“Menyempurnakan wudhu' adalah sebagian dari iman.”
Jadi, wudhu' adalah sebagian dari iman, dan dikatakan juga bahwa wudhu'
adalah sebagian dari shalat karena shalat menghapus dosa-dosa dan
kesalahan-kesalahan dengan syarat wudhu' dilakukan dengan sempurna dan
baik. Oleh karena itulah, wudhu' menjadi separuh shalat dalam konteks
ini,[2] sebagaimana disebutkan dalam Shahîh Muslim dari ‘Utsman bin
‘Affan Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Tidaklah seorang muslim bersuci kemudian menyempurnakan bersuci yang
diwajibkan kepadanya, kemudian mengerjakan shalat lima waktu ini,
melainkan shalat-shalat tersebut menjadi penghapus (kesalahan) di antara
shalat-shalat tersebut.”[3]
Dalam riwayat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan:
“Barangsiapa menyempurnakan wudhu' seperti yang diperintahkan Allah Azza
wa Jallakepadanya, maka shalat-shalat wajib adalah penghapus
(kesalahan) di antara shalat-shalat tersebut.”[4]
Shalat juga merupakan kunci surga dan wudhu' adalah kunci shalat.
Masing-masing dari shalat dan wudhu' adalah sebab dibukakannya pintu
surga,[5] sebagaimana disebutkan dalam Shahîh Muslim dari ‘Uqbah bin
‘Amir Radhiyallahu anhu yang mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Tidaklah seorang Muslim berwudhu' dan memperbaiki
wudhu'nya kemudian mengerjakan shalat dua raka’at dengan mengarahkan
hati dan wajahnya di kedua raka’at tersebut, melainkan surga menjadi
wajib baginya.”[6]
Jika wudhu' beserta dua kalimat syahadat mewajibkan terbukanya
pintu-pintu surga, maka wudhu' menjadi separuh iman kepada Allah Azza wa
Jalladan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam konteks ini.
Selain itu, wudhu' termasuk sifat iman yang tersembunyi yang tidak
dijaga kecuali oleh orang mukmin,[7] sebagaimana terdapat dalam hadits
Tsauban Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau
bersabda:
“...Tidak ada yang senantiasa menjaga wudhu' kecuali seorang Mukmin.”[8]
2. ANJURAN UNTUK BERDZIKIR KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Alhamdulillâh (segala puji
bagi Allah Azza wa Jalla) memenuhi timbangan, subhânallâh (Maha suci
Allah Azza wa Jalla) dan alhamdulillâh (segala puji bagi Allah Azza wa
Jalla) keduanya memenuhi antara langit dan bumi...”
Ini adalah keragu-raguan dari perawi dalam lafazh haditsnya. Dalam riwayat Muslim, an-Nasâ-i, dan Ibnu Mâjah disebutkan:
«وَالتَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ مِلْءَ السَّمَـوَاتِ وَالأََرْضِ».
“Tasbîh dan takbîr memenuhi langit dan bumi.”
Hadits-hadits ini merangkum keutamaan empat kalimat tersebut yang
merupakan sebaik-baik perkataan, yaitu subhânallâh, alhamdulillâh, lâ
ilâha illallâh, dan Allâhu akbar.
• Alhamdulillâh
Adapun alhamdulillâh maka seluruh ahli hadits sepakat bahwa kalimat itu
memenuhi timbangan. Ada yang mengatakan bahwa kalimat itu sebagai
permisalan; dan maknanya jika alhamdulillâh berbentuk jasad, ia pasti
memenuhi timbangan. Ada lagi yang mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla
menjelmakan seluruh perbuatan dan perkataan manusia menjadi jasad yang
bisa dilihat dan ditimbang pada hari Kiamat, seperti sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا
ِلأَصْحَابِهِ. اِقْرَؤُوْا الزَّهْرَاوَيْنِ : الْبَقَرَةَ وَسُوْرَةَ آلِ
عِمْرَانَ ، فَإِنَّـهُـمَـا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
كَأَنَّـهُـمَـا غَمَـامَتَانِ أَوْ كَأَنَّـهُمَـا غَيَايَتَانِ ، أَوْ
كَأَنَّـهُمَـا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ. تُـحَاجَّانِ عَنْ
أَصْحَابِـهِمَـا. اِقْرَؤُوْا سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَ هَا
بَرَكَةٌ ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ ، وَلاَ تَسْتَطِيْعُهَا الْبَطَلَةُ
Bacalah al-Qur`ân karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat
sebagai pemberi syafa’at kepada para pembacanya. Bacalah az-zahrawain
(dua bunga):[9] al-Baqarah dan surat Ali ‘Imrân karena keduanya datang
pada hari kiamat seperti awan atau dua naungan atau kedua seperti dua
kelompok burung yang membentangkan sayapnya membela para pembacanya.
Bacalah surat al-Baqarah karena mengambilnya adalah barakah dan
meninggalkannya adalah kerugian, dan tukang-tukang sihir tidak mampu
mengalahkannya.”[10]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua kalimat yang
dicintai (Allah) Yang Maha Pengasih, berat di timbangan, dan ringan di
mulut (yaitu) subhânallâhi wa bihamdihi, subhânallâhil ‘azhîm.”[11]
• Subhânallâh
Adapun subhânallâh, maka dalam riwayat Muslim disebutkan,
«سُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ للهِ تَـمْلَآنِ أَوْ تَـمْلأُ مَا بَيْنَ السَّمَـاءِ وَاْلأَرْضِ».
“Subhânallâh dan alhamdulillâh keduanya memenuhi atau memenuhi antara langit dan bumi...”
Perawinya ragu-ragu tentang apa yang memenuhi langit dan bumi: apakah
kedua kalimat tersebut ataukah salah satu dari keduanya? Dalam riwayat
an-Nâsa-i dan Ibnu Mâjah disebutkan,
«وَالتَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ مِلْءَ السَّمَـوَاتِ وَاْلأَرْضِ».
Tasbîh dan takbîr memenuhi langit dan bumi
Riwayat tersebut mirip dengan riwayat Muslim, tetapi apakah yang
dimaksud bahwa kedua kalimat tersebut memenuhi langit dan bumi ataukah
salah satu dari keduanya? Ini bisa saja terjadi. Pada hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu dan lainnya disebutkan bahwa takbîr itu
memenuhi antara langit dan bumi.
Tetapi yang jelas, tasbîh saja tanpa takbîr itu mempunyai kelebihan
seperti ditegaskan dalam hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu,
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu anhu ,
dan seorang dari Bani Sulaim bahwa tasbîh adalah separuh timbangan dan
alhamdulillâh memenuhi timbangan.
Sebabnya, tahmîd dengan kata alhamdulillâh itu menegaskan seluruh pujian
milik Allah Azza wa Jalla, termasuk penegasan seluruh sifat
kesempurnaan bagi-Nya. Sedangkan tasbîh adalah mensucikan Allah Azza wa
Jalla dari seluruh kekurangan, aib, dan cacat. Penegasan itu lebih
sempurna daripada penafian. Oleh karena itu, tasbîh tidak datang
sendirian, namun digandeng dengan sesuatu yang menunjukkan penegasan
kesempurnaan. Terkadang tasbîh digandengkan dengan al-hamdu (pujian),
misalnya perkataan, “Subhânallâhi wa bihamdihi,” atau perkataan,
“Subhânallâhi wal Hamdulillâh.” Terkadang tasbîh digabung dengan salah
satu Asma Allah yang menunjukkan keagungan dan kebesaran, misalnya,
“Subhânallâhil ‘Azhîm.” Jika hadits Abu Mâlik Radhiyallahu anhu
menunjukkan bahwa yang memenuhi antara langit dan bumi ialah kumpulan
tasbîh dengan takbîr, maka masalahnya sudah jelas. Namun, jika yang
dimaksudkan bahwa masing-masing dari tasbîh dan takbîr itu memenuhi
antara langit dan bumi, maka timbangan lebih luas daripada langit dan
bumi. Jadi, apa yang memenuhi timbangan itu lebih besar daripada apa
yang memenuhi antara langit dan bumi.[12]
• Takbîr (Allâhu akbar)
Adapun takbîr, maka disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu dan seorang dari Bani Sulaim bahwa takbîr memenuhi antara langit
dengan bumi. Sedang di hadits ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu
disebutkan bahwa takbîr bersama tahlîl (lâ ilâha illallâh) memenuhi
langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.[13
• Tahlîl (Lâ ilâha illallâh)
Adapun tahlîl saja maka sampai kepada Allah Azza wa Jallatanpa rintangan.[14] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا قَالَ عَبْدٌ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصًا إِلاَّ فُتِحَتْ
لَهُ أَبْوَابُ السَّمَـاءِ حَتَّى تُفْضِيَ إِلَـى الْعَرْشِ مَا
اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
Seorang hamba tidak mengucapkan lâ ilâha illallâ dengan ikhlas,
melainkan pintu-pintu langit dibuka untuknya hingga kalimat tersebut
tiba di ‘Arsy selagi dosa-dosa besar dijauhi.”[15]
Ada perbedaan pendapat mengenai kalimat mana yang lebih utama: kalimat
alhamdu atau kalimat tahlîl? Perbedaan pendapat dalam masalah ini
dikemukakan oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah dan selainnya.
An-Nakha’i rahimahullah berkata, “Para Ulama berpendapat bahwa alhamdu
adalah kalimat yang paling banyak dilipatgandakan (pahalanya).”
Ats-Tsauri t berkata, “Tidak ada perkataan yang lebih dilipat gandakan (pahalanya) daripada alhamdulillâh.”
Alhamdu (pujian) mengandung makna penegasan seluruh kesempurnaan untuk Allah Azza wa Jalla, termasuk di dalamnya tauhid.[16]
3. WAJIBNYA BERIMAN KEPADA AL-MIZAN (TIMBANGAN AMAL PADA HARI KIAMAT)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Memenuhi timbangan.”
Ahlus Sunnah meyakini tentang ditegakkannya al-mîzân (timbangan) dan
dibukanya catatan-catatan amal. Menurut bahasa mîzân berarti alat yang
digunakan untuk mengukur sesuatu berdasarkan berat dan ringan (neraca).
Sedangkan menurut istilah, mîzân adalah sesuatu yang Allah Azza wa Jalla
letakkan pada hari Kiamat untuk menimbang amalan hamba-Nya, sebagaimana
yang telah ditunjukkan oleh al-Qur`ân, Sunnah, dan ijmâ’ Salaf.[17]
فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ وَمَنْ
خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي
جَهَنَّمَ خَالِدُونَ
Barangsiapa berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung. Barangsiapa ringan timbangan (kebaikan)nya,
maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka
kekal di dalam neraka Jahannam.” [al-Mukminûn/23:102-103]
Mîzân secara hakiki memiliki dua daun timbangan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jallapada hari kiamat akan menyelamatkan
seseorang dari umatku di hadapan seluruh makhluk. Maka dibentangkan
kepadanya 99 catatan (dosa yang dilakukan), tiap satu catatan seperti
jarak mata memandang. Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman, “Apakah
ada sesuatu yang kamu ingkari dari catatan ini? Apakah para malaikat
penjaga dan pencatat berbuat zhalim kepadamu?” Ia menjawab, “Tidak,
wahai Rabb-ku!” Allah Azza wa Jalla berfirman, “Apakah engkau punya
alasan?” Ia menjawab, “Tidak, wahai Rabb-ku!” Allah Azza wa Jalla
berfirman, “Benar; sungguh, engkau memiliki kebaikan di sisi Kami, dan
engkau tidak akan dizhalimi pada hari ini.” Maka dikeluarkanlah bithâqah
(sebuah kartu) bertuliskan " أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ" lalu Allah Azza wa Jalla
berfirman, “Datangkanlah timbangan amalmu.” Ia menjawab, “Bagaimana bisa
kartu ini ditimbang dengan catatan-catatan dosa tersebut!” Allah Azza
wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya engkau tidak akan dizhalimi.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu catatan-catatan
(amal) itu diletakkan di salah satu sisi daun neraca dan bithâqah
(kartu bertuliskan lâ ilâha illallâh) di daun Neraca lainnya, maka
catatan-catatan itu melayang dan bithâqah yang lebih berat, maka tidak
ada sesuatu yang lebih berat dibandingkan Nama Allah Azza wa Jalla.”[18]
KESIMPULAN DARI NASH-NASH DIATAS IALAH:
1. Wajibnya beriman kepada mîzân yang dengannya seluruh amal hamba akan
ditimbang pada hari kiamat. Mîzân ini hakiki dan memiliki dua daun
timbangan. Serta jumlah mîzân itu banyak masing-masing orang memiliki
mîzân sendiri. Nash-nash juga menunjukkan bahwa manusia itu sendiri pun
akan ditimbang.
2. Tidak boleh mentakwîl nash-nash tentang wajibnya beriman kepada mîzân
dengan alasan tidak masuk akal seperti yang dikatakan sebagian mereka
dan mentakwîlnya menjadi keadilan dan keputusan.
3. Mîzân ada setelah semua amal manusia dihisab pada hari kiamat.[19]
4. Shalat adalah cahaya
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Shalat adalah cahaya
Cahaya adalah sesuatu yang dijadikan penerang di tengah kegelapan agar
kita dapat membedakan antara manfaat dan mudharat dan agar kita
mendapatkan petunjuk kepada apa yang kita inginkan. Demikian pula shalat
apabila dikerjakan hamba seperti yang Allah Azza wa Jalla perintahkan
akan mewariskan cahaya hidayah di dalam hati dan menjadikannya sebagai
al-furqân (pembeda) yang dapat menjadikannya mampu membedakan antara
yang hak dan yang batil.[20] Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“...Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar...” [al-‘Ankabût/29:45]
Shalat adalah cahaya secara mutlak. Oleh Karena itu, shalat adalah
penyejuk mata orang-orang bertakwa,[21] seperti disabdakan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “…Dan dijadikan penyejuk
mataku dalam shalat”[22]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai Bilal ! Iqamatlah untuk shalat dan hiburlah kami dengannya”[23]
5. Sedekah adalah bukti yang jelas
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Sedekah adalah bukti
Burhân adalah sinar matahari. Dari sinilah, hujjah yang kuat disebut
dengan burhân karena dalilnya sangat jelas. Demikian pula sedekah, ia
merupakan bukti tentang kebenaran iman dan kerelaan hati dan merupakan
indikasi dari kemanisan iman dan cita rasanya.
Sebabnya, harta itu dicintai jiwa dan jiwa pelit dengannya. Jadi, jika
jiwa merelakan harta dikeluarkan karena Allah k, maka hal itu
menunjukkan kebenaran imannya kepada Allah Azza wa Jalla, janji, dan
ancaman-Nya. Oleh karena itulah, orang-orang Arab enggan membayar zakat
sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka diperangi oleh
Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu karenanya. Shalat juga sebagai
bukti tentang kebenaran Islam seseorang.[24]
6. Sabar adalah sinar
Adapun sabar, maka merupakan dhiyâ' (sinar). Dhiyâ' ialah sinar yang
mengandung panas dan membakar seperti sinar matahari. Berbeda dengan
cahaya bulan yang murni cahaya yang menyinari, namun tidak membakar.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya... [Yûnus/10:5]
Dari sini, Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa sifat syariat Nabi Musa
Alaihissallam ialah dhiyâ' (sinar), sebagaimana firman-Nya: “Dan
sungguh, Kami telah berikan kepada Mûsa dan Hârun al-Furqân (Kitab
Taurât) dan penerangan serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”
[al-Anbiyâ'/21:48]
Meskipun disebutkan bahwa di Kitab Taurât terdapat nûr (cahaya) seperti
difirmankan Allah Azza wa Jalla: “Sungguh, Kami yang menurunkan kitab
Taurât; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya...”[al-Mâidah/5:15]
Namun sebagian besar syariat Bani Israil adalah adh-Dhiyâ' (sinar) karena di dalamnya terdapat belenggu dan beban yang berat.
Dan Allah Azza wa Jalla mensifati syariat Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa ia adalah nûr (cahaya) karena di dalamnya
terdapat kelurusan dan kemudahan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ
...Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menjelaskan.” [al-Mâidah/5:15]
Karena sabar sangat berat bagi jiwa, membutuhkan perjuangan melawan hawa
nafsu, dan menahannya dari seluruh keinginannya, maka sabar adalah
dhiyâ' (sinar). Asal makna kata sabar menurut bahasa ialah penahanan.
Sabar yang terpuji banyak jenis dan ragamnya, di antaranya:
1. Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
2. Sabar dalam menjauhi perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla.
3. Sabar terhadap takdir Allah Azza wa Jalla yang menyakitkan.
Sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dari hal-hal yang diharamkan
lebih baik daripada sabar terhadap takdir yang menyakitkan. Ini
ditegaskan oleh generasi Salaf, di antaranya Sa’îd bin Jubair
Radhiyallahu anhu, Maimun bin Mihran Radhiyallahu anhu, dan selain
keduanya.[25]
Jenis sabar yang paling baik adalah puasa. Karena puasa mengumpulkan
ketiga macam sabar. Puasa adalah sabar dalam melakukan ketaatan kepada
Allah Azza wa Jalla dan sabar dalam menjauhi maksiat kepada Allah Azza
wa Jalla . Seorang hamba meninggalkan seluruh syahwatnya karena Allah
Azza wa Jalla atau bisa jadi hawa nafsunya mengajaknya kepada perbuatan
maksiat. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadits shahîh. “Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Seluruh perbuatan anak keturunan Adam
adalah miliknya kecuali puasa, karena puasa itu adalah milik-Ku dan Aku
yang membalasnya. Ia meninggalkan syahwat, makanan, dan minumannya
karena Aku.”[26]
Di dalam puasa juga terdapat sabar terhadap takdir yang menyakitkan
karena orang yang berpuasa merasakan haus dan lapar. Oleh karena itulah,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan bulan Ramadhan dengan
bulan sabar,[27] beliau bersabda, “Puasa pada bulan sabar dan tiga hari
pada setiap bulan adalah puasa sepanjang tahun.”[28]
Orang yang sabar akan diberikan ganjaran yang sangat besar. Allah Azza
wa Jalla berfirman: “...Hanya orang-orang yang bersabar yang
disempurnakan pahalanya tanpa batas.” [az-Zumar/39:10]
7. Al-Qur`ân adalah hujjah Allah Azza wa Jalla atas hamba-hamba-Nya
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : al-Qur`ân adalah hujjah bagimu atau atasmu
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari al-Qur`ân (sesuatu) yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zhalim
(al-Qur`ân itu) hanya akan menambah kerugian. [al-Isrâ/17:82]
Salah seorang Ulama Salaf berkata, “Seseorang tidak bisa duduk dengan
al-Qur`ân kemudian dia berdiri darinya dalam keadaan selamat, melainkan
ia harus beruntung atau merugi.” Kemudian ia membaca ayat di atas.[29]
Barangsiapa yang mempelajari sedikit dari al-Qur`ân lalu mengamalkan
kewajiban yang dikandungnya, menahan diri dari apa yang dilarangnya,
serta berhenti pada batas-batasnya maka al-Qur`ân akan menjadi pembela
dan pemberi syafa’at baginya pada hari Kiamat.[30]
Barangsiapa tidak mengamalkan al-Qur`ân namun ia membacanya hanya untuk
mencari-cari berkah, atau membacakannya untuk orang mati, atau membuka
acara-acara tertentu dengannya, maka al-Qur`ân akan menjadi penuntut
baginya pada hari Kiamat di hadapan Allah Azza wa Jalla .[31] Ibnu
Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata: Al-Qur`ân adalah pemberi syafa’at yang
diberi hak untuk memberikan syafa’at dan pendebat yang dibenarkan.
Barangsiapa meletakkan al-Qur`ân di depannya, maka al-Qur`ân menuntunnya
ke surga. Barangsiapa meletakkannya di belakang punggungnya, maka
al-Qur`ân menariknya ke neraka.”[32]
Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu juga berkata, “Pada hari kiamat al-Qur`ân
didatangkan, kemudian al-Qur`ân memberikan syafa’at kepada orang yang
membacanya dan menuntunnya ke surga atau menjadi saksi atasnya; lalu
menyeretnya ke neraka.”[33]
8. Sungguh usaha manusia memang beraneka ragam
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Setiap manusia berbuat: ada
yang menjual dirinya kemudian memerdekakannya atau membinasakannya
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan
kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang
yang mensucikannya (jiwanya itu), dan sungguh merugi orang yang
mengotorinya.” [asy-Syams/91:7-10]
Maknanya ialah sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya dengan
melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan sungguh merugi orang
yang mengotori jiwanya dengan melakukan perbuatan maksiat. Jadi,
ketaatan itu mensucikan jiwa dan membersihkannya sehingga menjadi tinggi
dengannya, sedang maksiat mengotori jiwa dan mengekangnya sehingga ia
menjadi rendah; hingga jadilah ia seperti sesuatu yang dipendamkan ke
dalam tanah.
Hadits bab ini menunjukkan bahwa setiap manusia ada yang berusaha
membinasakan dirinya atau membebaskannya. Barangsiapa berusaha mentaati
Allah Azza wa Jalla , maka ia menjual dirinya untuk Allah Azza wa Jalla
dan memerdekakannya dari adzab-Nya, dan barangsiapa berusaha melakukan
maksiat kepada Allah Azza wa Jalla , maka ia telah menjual dirinya untuk
kehinaan dan menjerumuskannya ke dalam dosa yang menyebabkannya
mendapat kemurkaan Allah Azza wa Jalla dan siksa-Nya.[34] Allah Azza wa
Jalla berfirman: (yang artinya) : “Sesungguhnya Allah membeli dari
orang-orang Mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan
surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka
membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah dalam
Taurat, Injil, dan al-Qur`ân. Siapakah yang lebih menepati janjinya
selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu,
dan demikian itulah kemenangan yang agung.” [at-Taubah/9:111]
Allah Azza wa Jalla berfirman: “Di antara manusia ada orang yang membeli
(mengorbankan) dirinya untuk mencari keridhaan Allah…”
[al-Baqarah/2:207]
Dalam ash-Shahîhain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berkata,
“Ketika Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ
اْلأََقْرَبِيْنَ “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu
(Muhammad) yang terdekat.” (asy-Syu’arâ/26:14), Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ ! اِشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ مِنَ اللهِ ، لاَ
أُغْنِيْ عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا ، يَا بَنِـيْ عَبْدِ الْـمُطَّلِبِ !
اِشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ مِنَ اللهِ ، لاَ أُغْنِيْ عَنْكُمْ مِنَ اللهِ
شَيْئًا ، يَا عَمَّةَ رَسُوْلِ اللهِ ! يَا فَاطِمَةَ بِنْتِ مُحَمَّدٍ !
اِشْتَرِيَا أَنْفُسَكُمَـا مِنَ اللهِ ، لاَ أَمْلِكُ لَكُمَـا مِنَ اللهِ
شَيْئًا
Wahai sekalian kaum Quraisy! Belilah diri kalian dari Allah Azza wa
Jalla , karena aku sedikit pun tidak dapat membela kalian di hadapan
Allah Azza wa Jalla . Wahai Bani ‘Abdul Muththalib! Aku sedikit pun
tidak dapat membela kalian di hadapan Allah Azza wa Jalla . Wahai bibi
Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Wahai Fâthimah binti Muhammad!
Belilah diri kalian berdua dari Allah Azza wa Jalla , aku tidak dapat
membela kalian berdua di hadapan Allah Azza wa Jalla .”[35]
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau memanggil kaum Quraisy
sehingga mereka pun berkumpul, beliau menyebutkan diri mereka secara
umum dan khusus, lalu berkata: Wahai Bani Ka’b bin Lu-ai! Selamatkanlah
diri kalian dari neraka. Wahai Bani Murrah! Selamatkanlah diri kalian
dari neraka. Wahai Bani ‘Abdi Syams! Selamatkanlah diri kalian dari
neraka. Wahai Bani ‘Abdi Manaf! Selamatkanlah diri kalian dari neraka.
Wahai Bani Hasyim! Selamatkanlah diri kalian dari neraka. Wahai Bani
‘Abil Muththalib! Selamatkanlah diri kalian dari neraka. Wahai Fathimah!
Selamatkanlah dirimu dari neraka, karena aku tidak dapat membela diri
kalian di hadapan Allah Azza wa Jalla .”[36]
Sejumlah generasi Salaf membeli diri mereka dari Allah Azza wa Jalla
dengan harta mereka. Di antara mereka ada yang bersedekah dengan seluruh
hartanya, seperti Habib bin Abi Muhammad. Di antara mereka ada yang
bersedekah dengan beberapa keping perak, ada yang bersedekah dengan
sebutir kurma. Di antara mereka ada yang bersungguh-sungguh dalam
amal-amal shalih dan berkata, “Sesungguhnya aku berbuat untuk pembebasan
diriku.”
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Orang Mukmin di dunia adalah seperti
tawanan yang berusaha membebaskan diri. Ia tidak merasa aman dari
sesuatu pun hingga bertemu Allah Azza wa Jalla .”[37]
Muhammad bin al-Hanafiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah
Azza wa Jalla menjadikan surga sebagai harga bagi diri kalian. Jadi,
janganlah kalian menjual diri kalian dengan selain surga.”[38]
Fawâid Hadits
1. Iman adalah perkataan dan perbuatan, yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
2. Keutamaan bersuci dengan wudhu', mandi, atau tayammum.
3. Bersuci adalah sebagian dari iman.
4. Keutamaan wudhu’ dalam Islam yang merupakan syarat sahnya shalat.
5. Anjuran untuk memperbanyak dzikir.
6. Amal-amal hamba akan ditimbang pada hari Kiamat, ada yang berat timbangan kebaikannya dan ada yang ringan.
7. Iman kepada mîzân adalah wajib dan mizan memiliki dua daun timbangan.
8. Keutamaan tasbîh, tahmîd, dan tahlîl.
9. Anjuran untuk memperbanyak shalat dan menjaga shalat yang lima waktu
sesuai dengan contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
10. Shalat adalah cahaya bagi orang yang mengerjakannya, cahaya di dunia dan di akhirat.
Marâji’
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Musnad Abu Ya’la al-Mushili.
3. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
4. Kitâbul Iman li Ibni Mandah dan kitab-kitab yang disebutkan di awal takhrîj hadîts.
5. Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, karya Syaikh Imam al-Albâni.
6. Takhrîj Musykilatil Faqr, karya Syaikh Imam al-Albâni.
7. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
8. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
9. Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn, karya Syaikh Salîm bin ’Ied al-Hilâli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar