Di
antara keutamaan yang Allah berikan pada kita adalah Allah menjadikan awal
Dzulhijjah sebagai waktu utama untuk beramal sholih terutama melakukan amalan
puasa. Lebih-lebih lagi puasa yang utama adalah puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah.
Pada
awal Dzulhijjah disunnahkan untuk berpuasa selain pada hari Nahr (
). Karena hari tersebut adalah hari raya, maka kita diharamkan untuk berpuasa.
Sedangkan tanggal 9 Dzulhijjah dan hari-hari sebelumnya (1-9 Dzulhijjah)
disyari’atkan untuk berpuasa. Para salaf biasa
melakukan puasa tersebut bahkan lebih semangat dari melakukan puasa enam hari
di bulan Syawal. Tentang hal ini para ulama generasi awal tidaklah berselisih
pendapat mengenai sunnahnya puasa 1-9 Dzulhijjah. Begitu pula yang nampak dari
perkataan imam madzhab yang empat, mereka pun tidak berselisih akan sunnahnya
puasa di sepuluh hari awal Dzulhijjah. Adapun puasa enam hari di bulan
Syawal terdapat perselisihan di antara para ulama. Seperti kita ketahui bahwa
Imam Malik tidak mensunnahkan puasa enam hari tersebut.
Begitu
pula tidak didapati dari para sahabat ridhwanallahu ta’ala di
mana mereka melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Sedangkan puasa di
awal Dzulhijjah, maka ditemukan riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa mereka
melakukannya. Seperti terbukti ‘Umar bin Al Khottob melakukannya, begitu pula
‘Abdullah bin Mawhab, banyak fuqoha juga melakukannya. Hal ini dikuatkan pula
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan penekanan
ibadah pada 10 hari awal Dzulhijjah tersebut daripada hari-hari lainnya.
Hal ini sebagai dalil umum yang menunjukkan keutamaanya. Jika sepuluh hari
pertama Dzulhijjah dikatakan hari yang utama, maka itu menunjukkan keutamaan
beramal pada hari-hari tersebut. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ
مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ
اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ
بِشَىْءٍ
“Tidak
ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang
dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah,
kecuali orang yang berangkat jihad
dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”[1]
Jika
puasa di sepuluh hari awal Dzulhijjah dikatakan utama, maka itu menunjukkan
bahwa puasa pada hari-hari tersebut lebih utama dari puasa Senin-Kamis, puasa
tiga hari setiap bulannya, bahkan lebih afdhol dari puasa yang diperbanyak oleh
seseorang di bulan Muharram atau di bulan Sya’ban. Puasa di sepuluh hari
pertama Dzulhijjah bisa dikatakan utama karena makna tekstual yang dipahami
dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2]
Yang
menjadi dalil keutamaan puasa pada awal Dzulhijjah adalah hadits dari Hunaidah
bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan,
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ
الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah,
pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …”[3]
Kata
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah bahwa di antara sahabat
yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar.
Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan
keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut.[4]
Bagi
orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan puasa Arofah yaitu pada
tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ
عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa
Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa
Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.”[5]
Hadits
ini menunjukkan bahwa puasa Arofah lebih utama daripada puasa ‘Asyuro. Di
antara alasannya, Puasa Asyuro berasal dari Nabi Musa, sedangkan puasa Arofah
berasal dari Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.[6] Keutamaan
puasa Arofah adalah akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang
dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang dimaksudkan di
sini adalah diringankannya dosa besar atau ditinggikannya derajat.
Semoga
Allah memberikan kita kemudahan untuk melakukan amalan puasa tersebut.
Hanya
Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Sumber
: Muslim.Or.Id
[1] HR.
Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no.
1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat
Bukhari-Muslim.
[2] Keterangan
di atas diambil dari penjelasan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thorifiy di
sini: http://altarefe.com/cnt/khotab/394.
[3] HR.
Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[4] Latho-if
Al Ma’arif, hal. 459.
[5] HR.
Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah.
[6] Lihat
Fathul Bari, 6: 286.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar