Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Dari
Abu Qatadah Al-Anshariy (ia berkata),” Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam pernah di tanya tentang (keutamaan) puasa pada
hari Arafah?” Maka beliau menjawab, “ Menghapuskan (kesalahan) tahun yang
lalu dan yang sesudahnya.” (HR. Muslim no.1162 dalam hadits yang panjang)
Fiqih Hadits:
Didalam
hadits yang mulia ini terdapat dalil dan hujjah yang sangat kuat tentang waktu
puasa Arafah, yaitu pada hari Arafah ketika manusia wuquf di Arafah. Karena
puasa Arafah ini terkait dengan waktu dan tempat. Bukan dengan
waktu saja seperti umumnya puasa-puasa yang lain. Oleh karena puasa Arafah itu
terkait dengan tempat, sedangkan Arafah hanya ada di satu tempat yaitu di Saudi Arabia di dekat kota
Makkah bukan di Indonesia
atau di negeri-negeri yang lainnya, maka waktu puasa Arafah adalah ketika kaum
muslimin wuquf di Arafah. Seperti tahun ini 1425 H/2004 M [seperti tertulis di
dalam buku, admin] wuquf jatuh pada hari Rabu, maka kaum muslimin di Indonesia dan
di seluruh negeri puasa Arafahnya pada hari Rabu dan ‘Iedul Adha-nya pada hari
Kamis. Bukan sesudahnya, yakni puasanya pada hari kamis dan ‘iednya pada hari
Jum’at, dengan alasan? mengikuti ru’yah di negeri masing-masing seperti halnya
bulan Ramadhan dan ‘Iedul Fithri. Pendapat ini batil kalau tidak mau dikatakan
sangatlah batil, karena telah menyalahi ketegasan hadits di atas, di mana
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di tanya tentang puasa pada hari
Arafah, yakni pada hari ketika manusia wuquf di Arafah. Adapun hari sesudahnya
bukan hari Arafah lagi tetapi hari ‘Ied, dan lusanya bukan hari ‘Ied lagi
tetapi hari Tasyrik. Ini yang pertama!
Yang kedua, hujjah di atas lebih lemah dari
sarang laba-laba, karena telah mempergunakan qiyas ketika nash telah ada.
Kaidah fiqqiyyah mengatakan, “Apabila nash telah datang, maka batallah segala
pendapat”.
Yang ketiga, qiyas yang mereka gunakan merupakan
qiyas yang berbeda dengan apa yang di qiyaskan atau qiyas faariq. Tidak dapat
disamakan hukumnya antara Ramadhan dan ‘Iedul Fithri tanggal satu Syawwal
dengan puasa hari Arafah dan ‘Iedul Adha. Maka sabda Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam , “Puasalah karena melihat ru’yah (Ramadhan), dan berbukalah ketika
melihat ru’yah (Syawwal)”. Jelas sekali untuk puasa di bulan Ramadhan dan
‘Iedul Fithri, bahwa masing-masing negeri atau negeri-negeri yang saling
berdekatan mempunyai ru’yah masing-masing menurut pendapat sebagian ulama sebagaimana
saya telah jelaskan dengan luas di Al-Masaa-il jilid 2 masalah ke 39.
Yang keempat, sebagian dari mereka mengatakan,
“Kami melaksanakan dalam rangka menaati dan mengikuti ulil amri!”
Ini
adalah perkataan yang sangat batil yang telah menjadikan ulil amri sebagai
tuhan-tuhan selain Allah yang telah menetapkan kepada mereka sebuah syari’at
walaupun menyalahi Syari’at Rabbul ‘alamin. Oleh karena itu tidak ada
seorangpun Ulama yang mengatakan secara mutlak ketaatan kepada ulil amri
seperti perekataan yang sangat batil di atas. Akan tetapi mereka selalu
mengkaitkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila perkataan atau
ketetapan ulil amri menyalahi ketetapan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tidak
boleh didengar dan tidak boleh ditaati, karena tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam rangka maksiat kepada Rabbul ‘alamin sebagaimana telah di
jelaskan dalam hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini. Selain perkataan
dan perbuatan mereka diatas menyerupai manhaj Khawarij secara khusus dan manhaj
ahli bid’ah secara umum, yaitu berdalil dengan dalil-dalil umum atau mutlak
dengan meninggalkan dalil-dalil yang tidak bersifat umum atau mutlak. Maka
ikutilah penjelasan tafsirnya berikut ini:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
“Hai
orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (-Nya), dan ulil
amri diantara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah
lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An-Nisaa’: 59)
Dalam
ayat yang mulia iniAllah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk
taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara mutlak. Oleh karena itu Allah mengulang
fi’il (kata kerja) ” athi’u ” (أَطِيعُوا)ketika memerintahkan
untuk menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya. Adapun ketaatan kepada ulil amri tidak
secara mutlak, tetapi terkait dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh
karena itu Allah tidak mengulang kata kerja (fi’il) athi’u ketika memerintahkan
untuk menaati ulil amri. Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila ulil amri memerintahkan kepada kita untuk
maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya atau perintahnya menyalahi Al-Kitab dan Sunnah,
maka tidak boleh didengar dan ditaati sebagaimana telah di jelaskan di dalam
Al-Kitab dan Sunnah dari hadits-hadits shahih. Karena kalau kita taati perintah
ulil amri yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka kita telah
menjadikan ulil amri tersebut sebagai tuhan-tuhan selain dari Allah yang
ditaati perintah dan larangannya secara mutlak sebagaimana perbuatan Ahli Kitab
dari orang-orang Yahudi dan Nashara. Tetapi sangat pentimg kita ketahui, bahwa
larangan tidak boleh mendengar dan mentaati perintah ulil amri yang menyalahi
Al-Kitab dan Sunnah, tidaklah mewajibkan kepada kita untuk memberontak yang
kemudian menjatuhkannya atau yang semakna dengannya sebagaimana perbuatan ahli
bid’ah dan firqoh-firqoh sesat seperti khawarij dan mu’tazilah dan yang sepaham
dengan mereka. Tetapi ada cara yang diajarkan oleh islam dalam menasehati dan
memperingati ulil amri yang zhalim atau yang memerintahkan maksiat atau yang
perintahnya menyalahi keputusan Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan
yang dimaksud dengan ketaatan kepada Allah ialah dengan berpegang dan mengikuti
kitab-Nya Al-Qur’an. Dan ketaatan kepada Rasul dengan berpegang dan mengikuti
Sunnahnya. Ayat yang mulia ini (Qs.An-Nisaa’: 59, admin) menjadi sebesar-besar
dalil dan hujjah akan kedudukan dan ketinggian serta kemuliaan Sunnah, bahwa
menaati Rasul yakni dengan mengikuti Sunnahnya secara mutlak, baik terdapat di
dalam Al-Qur’an atau tidak, sama saja, kewajiban kita mentaati dan
mengikutinya. Jelas sekali dari ayat yang muliakita mengetahui, bahwa orang yang
meninggalkan Sunnah dengan sendirinya dia telah meninggalkan Al-Kitab
(Al-Qur’an) dan tidak menaati Allah secara mutlak. Dari sini pun kita
mengetahui, bahwa orang yang menjadikan dalil aqli (yang diputuskan oleh akal)
sebagai asas, kemudian dalil naqli(yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah)
mengikutinya, yang pada hakekatnya mereka telah menjadikan akal-akal mereka
sebagai raja yang memerintahkan` dua wahyu yang mulia (Al-Kitab dan Sunnah).
Mereka inilah orang-orang yang tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan
tingkat kesesatan mereka.
Kemudian
, pada bagian kedua dari ayat yang mulia ini, Allah Tabaaraka wa Ta’ala
telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengembalikan segala
sesuatu yang mereka perselisihkan dari urusan dunia dan akherat kepada Allah
dan Rasul-Nya, yakni kepada Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya. Karena didalam
Al-Kitab dan Sunnah itulah mereka akan mendapati penjelasan danpenyelesaian
tentang hukum yang mereka perselisihkan. Sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi
ketika Allah memerintahkan untuk mengembalikan segalaperselisihan kepada
Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya kemudian mereka benar-benar mengembalikan kepada
keduanya. Dengan syarat, tentunya mengembalikan kepada keduanya itu dengan cara
yang benar, yaitu dengan ilmu dan keadilan bukan dengan kebodohan dan hawa. Dan
hal ini menjadi bukti bahwa kita memang benar-benar beriman kepada Allah dan
hari akhir. Kemudian buah yang akan dihasilkan dari mengembalikan segala urusan
perselisihan kepada Al-Kitab dan Sunnah ialah penyelesaiannya akan berakhir
dengan kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat kamu.
Disalin
dari Kitab Al-Masaa-il Jilid 5 (Masalah 110) hal. 88-92 oleh guru kami Al-Ustadz
Abdul Hakim bin Amir Abdat ~semoga Allah menjaganya~. (Pustaka Darus Sunnah
– Jakarta,
Cetakan 1, November 2005)
Abu
Sahal al-Atsary
Sumber
: http://moslemsunnah.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar