Kematian Pasti Terjadi, Apa Yang Sudah Engkau Siapkan?
Kematian adalah sebuah ketetapan. Jika telah datang waktunya, tak satu pun
makhluk yang mampu menangguhkannya. Sudahkah kita mempersiapkan diri untuk
menyambutnya?
Tanda-tanda keagungan dan kebesaran Allah Subhanahu Wa
Ta’ala tidak terhitung jumlah dan macamnya. Semuanya bisa dikelompokkan menjadi
dua bagian, ayat-ayat syar’iyah yang terdapat dalam kitab-kitab-Nya dan Sunnah
Rasul-Nya n, serta ayat-ayat kauniyah yang ada pada makhluk-Nya.
Tidaklah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala menunjukkan keagungan
dan kebesaran-Nya dengan ayat-ayat kauniyah dan syar’iyah kecuali bertujuan
agar Dia ditauhidkan dalam seluruh peribadatan yang dilakukan oleh
hamba-hamba-Nya.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Di antara ayat-ayat kauniyah yang Allah Subhanahu Wa
Ta’ala tunjukkan kepada panca indera kita di dunia yang fana ini adalah adanya
kehidupan dan kematian yang terjadi di sekeliling kita. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang
kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa
yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. Kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara
kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering,
kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan
suburlah serta menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang indah. Yang demikian
itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah yang
menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu, dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan
padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.”
(Al-Hajj: 5-7)
Semua ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan yang fana.
Tidak ada yang kekal di dalamnya.
“Segala yang ada di bumi itu akan binasa. Dan
tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
(Ar-Rahman: 26-27)
Namun berbagai peringatan dan pelajaran yang terjadi di depan mata, berlalu
begitu saja tanpa ada artinya. Kecuali bagi orang yang beriman dan berakal
sehat, dialah yang akan mendapatkan manfaat dari semua itu.
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena
sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”
(Adz-Dzariyat: 55)
“Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9)
Kematian Adalah Suatu Kepastian
Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Kuasa melakukan segala sesuatu
yang Dia kehendaki, sesuai dengan hikmah dan keadilan-Nya. Apapun yang Allah Subhanahu Wa
Ta’ala kehendaki pasti terjadi tanpa ada yang bisa menghalangi. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia.”
(Yasin: 82)
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda:
“Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa
yang Engkau berikan, dan tidak ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi.”
(Muttafaqun ‘alaih dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah z)
Termasuk perkara yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala kehendaki adalah kematian
seorang hamba, berpisahnya ruh dari jasad tatkala telah tiba ajalnya untuk
berpindah dari dunia yang fana ke alam barzakh atau alam kubur, dengan
kenikmatan atau azab yang akan dia rasakan.
Umur masing-masing hamba telah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala tentukan di dalam sebuah kitab yang
ada di sisi-Nya, tidak akan berkurang ataupun bertambah dari yang telah
ditetapkan, berserta sebab-sebab yang telah Allah Subhanahu Wa
Ta’ala takdirkan. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman:
“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian
dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan
perempuan). Dan tidak ada seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula)
melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak
dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi
umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya
yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” (Fathir: 11)
Tatkala jatah umur yang telah ditentukan tersebut telah habis, maka itulah
ajalnya yang tidak mungkin ia lari darinya. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala menyatakan:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan
(kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Munafiqun: 11)
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya kematian yang kamu
lari darinya, maka kematian itu akan menemuimu. Kemudian kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan’.” (Al-Jumu’ah:
Beragam cara dan usaha yang diupayakan oleh keluarga serta sanak kerabatnya
tidaklah akan mampu menghalangi ajalnya. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan
menemuimu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.”
(An-Nisa’: 78)
Kematian adalah ketetapan bagi setiap makhluk-Nya yang memiliki ruh,
sekalipun makhluk yang paling mulia yaitu para nabi dan rasul r. Mereka pun
menemui ajal yang telah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala tentukan. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala memberitakan kepastian itu dalam firman-Nya:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.”
(Ali ‘Imran: 185)
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat
atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?” (Ali ‘Imran: 144)
Demikian juga para malaikat, akan menemui ajalnya, sehingga tidak ada yang
kekal kecuali Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
“Segala yang ada di bumi itu akan binasa. Dan
tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman:
26-27)
Namun tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan dia akan meninggal, pada
umur berapa dia akan menemui ajalnya, dan di mana dia akan mengakhiri hidupnya
di dunia, di daratan ataukah di lautan, serta apa sebab kematiannya. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang
dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (Luqman: 34)
Padahal kematian itu bukanlah akhir kehidupan yang hakiki bagi seorang
hamba. Dia hanyalah seorang musafir yang akan kembali ke negerinya yang hakiki
dan abadi di akhirat nanti. Dia akan kembali untuk mempertanggungjawabkan
seluruh perbuatan dan ucapan yang telah dilakukannya di dunia. Kemudian dia
akan mendapatkan balasan atas amalannya tersebut. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah
beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.” (Ali ‘Imran: 185)
Maka, orang yang sukses adalah orang yang diselamatkan dari api neraka dan
dimasukkan ke dalam surga Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dengan rahmat dan
keutamaan dari-Nya. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Barangsiapa
yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dialah
orang yang berhasil/sukses. Maknanya, dia mendapatkan kesuksesan yang agung,
selamat dari azab yang pedih, dan berhasil meraih surga yang penuh dengan
kenikmatan, yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh
telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.”
Adapun orang yang merugi adalah orang yang tertipu dengan dunia dan
kenikmatan-kenikmatan semu yang ada di dalamnya, sehingga melupakannya untuk
beribadah kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa
yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”
(Al-Munafiqun: 9)
Padahal harta yang ada pada dirinya tidak akan dibawa ke dalam kuburnya dan
tidak akan dapat menyelamatkan dia dari azab Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Dalam hadits dari Anas bin Malik radiyallahu anhu, dari Nabi Shalallahu
Alaihi Wasalam, beliau berkata:
“Tiga perkara yang akan mengantarkan mayit:
keluarga, harta, dan amalannya. Dua perkara akan kembali dan satu perkara akan
tetap tinggal bersamanya. Yang akan kembali adalah keluarga dan hartanya,
sedangkan yang tetap tinggal bersamanya adalah amalannya.” (Muttafaqun
‘alaih)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya
mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak
itu (pula) untuk menebus diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya
(tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang
pedih.” (Al-Ma’idah: 36)
Sedangkan bagi orang yang beriman, dunia dan perhiasan yang ada di dalamnya
adalah sarana untuk menyempurnakan ibadahnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
sehingga dia tidak diperbudak olehnya. Dialah yang menundukkan dan mengatur
dunia dengan syariat-Nya yang sempurna, bukan sebaliknya: dirinya yang harus
menghinakan diri di hadapan harta (dunia). Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (An-Nazi’at: 40-41)
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya
di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Yang akan tetap tinggal bagi
setiap orang dan akan memberi manfaat serta menyenangkan hatinya, adalah amalan
shalih (الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ). Hal ini mencakup seluruh amalan ketaatan
yang wajib maupun yang sunnah, baik terkait dengan hak-hak Allah Subhanahu Wa
Ta’ala maupun hak-hak hamba, seperti shalat, zakat, sedekah, haji, umrah,
tasbih, tahmid, tahlil, takbir, bacaan Al-Qur’an, menuntut ilmu yang
bermanfaat, amar ma’ruf nahi mungkar, silaturrahim, birrul walidain (berbakti
kepada kedua orangtua), menunaikan hak-hak istri, budak, hewan piaraan, dan
seluruh kebaikan yang ditujukan kepada makhluk. Hal-hal ini lebih baik
balasannya di sisi Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dan sebaik-baik
harapan. Pahalanya akan kekal dan dilipatgandakan. Hal inilah yang mengharuskan
kita berlomba-lomba untuk mendapatkannya dan bersungguh-sungguh mewujudkannya.”
(Taisir Al-Karimirrahman)
Setiap muslim seyogyanya mengerti dan memiliki kepedulian terhadap perkara
agamanya. Terlebih tatkala dia hidup dimasa kini yang jauh dari jaman
kenabian Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan semakin dekat dengan hari
kiamat. Dia hidup di tengah kebodohan (ilmu agama) yang telah menyebar
sedangkan ilmu agama yang benar semakin pudar dengan meninggalnya para ulama
(satu demi satu).
Di antara perkara yang harus dimengerti tersebut adalah dua kalimat
syahadat, sebuah perkara yang Allah dan rasul-Nya jadikan sebagai rukun
terpenting dari rukun-rukun Islam, dinding pembatas antara iman dan kekufuran,
halal atau haramnya darah dan harta seseorang untuk ditumpahkan dan diambil.
Bahkan sebagai faktor penentu seseorang menjadi penghuni Jannah (surga) atau
Naar (neraka).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Hanyalah orang-orang yang beriman itu adalah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al Hujuraat :
15).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah…” (H.
R. Muslim).
Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda :
“Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai
mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka
telah melakukannya maka mereka telah menjaga darah dan hartanya dariku kecuali
dengan haknya, sedangkan hisab mereka di sisi Allah.” (Muttafaqun
‘Alaihi).
Memang, dua kalimat syahadat merupakan sebuah persaksian seorang muslim
tentang hak Allah dan rasul-Nya. Namun, hendaklah dia ketahui bahwa persaksian
itu tidaklah cukup dengan ucapan lisannya saja, walaupun dia fasih dalam
mengucapkannya. Tetapi ia juga sangat membutuhkan pengetahuan dan amalan
tentang makna dan kandungannya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala sendiri banyak menyebutkan tentang
makna dan kandungan syahadat Laa Ilaaha Illallah di dalam kitab-Nya yang suci.
Di antaranya Allah ceritakan tentang kisah antara nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam
dengan kaumnya :
“Dan ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan
kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah kecuali
Dzat yang telah menciptakanku, Dialah yang benar-benar menunjukiku, dan Dia
(Allah) yang telah menjadikan sikap berlepas diri dan loyalitasnya tersebut
sebagai kalimat yang selalu ada pada keturunannya (Ibrahim) agar mereka kembali
kepada tauhid.” (Az Zukhruf : 26-28).
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat tersebut:
“Yaitu Allah telah menjadikan sikap loyalitas kepada-Nya dan berlepas diri dari
setiap sesembahan selain-Nya sebagai kalimat yang selalu ada pada keturunannya
(Ibrahim). Para nabi dan pengikut mereka akan
saling mewarisi kalimat tersebut. Ia adalah Laa Ilaaha Illallah yang telah
diwariskan oleh imam para Ahlut Tauhid yaitu Ibrahim kepada para pengikutnya
sampai hari kiamat.”
Penggalan (lafadz syahadat) “Laa Ilaaha” yang mengandung arti peniadaan
(penolakan, red) atas segala sesuatu sebagai (yang boleh dijadikan, red)
sesembahan. Sedangkan (lafadz syahadat) “Illallah” yang mengandung penetapan
bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya sesembahan
yang berhak untuk diibadahi. Kesimpulannya bahwa
makna sekaligus kandungan yang sebenarnya tentang syahadat “Laa Ilaaha
Illallah” adalah tiada sesembahan yang berhak untuk diibadahi melainkan hanya
Allah saja.
Uniknya makna yang sah dari tinjauan syar’i maupun bahasa Arab tersebut
sangat dipahami dan diketahui orang-orang musyrikin di jaman Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, akan tetapi sifat sombong dan gengsi dengan agama
nenek moyang mereka menjadi faktor penghalang untuk menerima seruan dakwah Laa
Ilaaha Illallah. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya bila dikatakan kepada mereka Laa
Ilaaha Illallah, mereka menyombongkan diri.” (Ash Shaffaat: 35).
Kesalahan Sebagian Orang Dalam Memaknai
Syahadat
Berdasar tinjauan makna dan kandungan Laa Ilaaha Illallah yang sedemikian
rupa maka sangatlah tidak tepat bila ada sebagian orang yang memberikan makna
syahadat tersebut dengan berbagai makna misalnya:
“Tidak ada pencipta, pengatur, dan pemberi rizki kecuali Allah.”
“Tidak ada Tuhan kecuali Allah.”
Atau yang lebih tragis lagi bila seorang “cendekiawan muslim” memberikan
makna yang nyeleneh: “Tidak ada tuhan kecuali Tuhan.”
Subhanallah !! Semua pendapat yang semata-mata dari akal pikiran dan jauh
dari petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah di atas, sesungguhnya masih meninggalkan
adanya kemungkinan pengakuan terhadap sesembahan selain Allah.
Tidaklah mengherankan akibat kesalahan di dalam memahami makna dan
kandungan syahadat Laa Ilaaha Illallah, banyak di antara kaum muslimin yang
terjatuh ke dalam berbagai bentuk kesyirikan yang sebenarnya pernah, atau
bahkan belum pernah dipraktekkan kaum musyrikin jahiliyyah meskipun mereka
mengucapkan syahadat di dalam dzikir, shalat dan do’a mereka. Wallahul
Musta’an.
Syahadat Rasul Muhammadur- Rasulullah
Para pembaca yang mulia, manakala seseorang telah mengerti dan meyakini
bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja maka dia tidak
akan mampu mengetahui cara dan bentuk ibadah yang akan dia persembahkan
kepada-Nya kecuali hanya dengan petunjuk utusan-Nya yaitu Rasulullah Muhammad
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Di sinilah letak pentingnya mengetahui makna dan
kandungan syahadat rasul Muhammadur- rasulullah terlebih dahulu sebelum
berbicara tentang syari’at dan sunnah-sunnahnya. Tidaklah sah dan diterima
syahadat Laa Ilaaha Illallah tanpa adanya syahadat ini.
Sangatlah banyak dalil-dalil baik dari Al Qur’an dan As Sunnah yang
menunjukkan makna syahadat ini yang pada akhirnya para ulama menyebutkannya
secara ringkas sebagai berikut:
1. Mentaati Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dalam apa yang beliau
perintahkan.
2. Membenarkan segala apa yang beliau beritakan.
3. Menjauhi apa yang beliau larang.
4. Tidaklah Allah diibadahi melainkan dengan apa yang Rasul Shalallahu
‘Alaihi Wasallam tersebut ajarkan.
5. Bahwa Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah seorang rasul yang
tidak boleh didustai sekaligus sebagai seorang hamba yang tidak boleh
diibadahi.
Oleh karena itu seseorang yang mengaku cinta dan sebagai pengikut Rasul
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidaklah pantas untuk mendahulukan (=lebih
membenarkan, red) ucapan seorang guru, ustadz ataupun kyainya daripada ucapan
Rasul tersebut. Tidaklah layak seorang yang telah bersyahadat bahwa Muhammad
adalah utusan Allah untuk menolak atau ragu terhadap sebuah hadits karena –
menurut anggapan dia – tidak sesuai dengan perkembangan jaman, penelitian para
ilmuwan atau akal pikirannya. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk pelanggaran
terhadap hak Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam atau syahadat Muhamadurrasulullah.
Syarat-syarat Agar Seorang
Muslim Mampu Memahami Syahadat
Kedua syahadat ini sebagaimana rukun Islam yang lainnya memiliki beberapa
syarat yang seseorang tidak akan mendapatkan manfaat dengan persaksiannya
kecuali menyempurnakan dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya.
Alhamdulillah, Allah telah mudahkan kita untuk mengetahuinya melalui para
ulama – semoga Allah merahmati kita dan mereka semuanya. Mereka (para ulama)
telah kumpulkan beberapa syarat yakni:
1. Al Ilmu, yaitu mengetahui tentang
kandungan dan konsekuensi dua kalimat syahadat dengan ilmu yang benar. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman (artinya): “Kecuali orang-orang yang
bersaksi kebenaran (Laa Ilaaha Illallah) dalam keadaan mereka berilmu.” (Az
Zukhruf : 86).
2. Al Yaqin, yaitu keyakinan yang mantap
tentang konsekuensi dari dua kalimat syahadat tersebut. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman (artinya): “Hanyalah orang-orang
yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
kemudian tidak ragu (dengan keimanannya).” (Al Hujuraat : 15).
3. Al Qabul, yaitu menerima kandungan dua
kalimat syahadat dengan hati dan mengikrarkan dengan lisannya. Dalilnya adalah
setiap firman Allah Subhanahu
Wa Ta’ala yang memberitakan
tentang keselamatan dan keutamaan bagi siapa saja yang menerima Laa Ilaaha
Illallah. Sebaliknya kecelakaan dan adzab bagi siapa saja yang menolak kalimat
agung tersebut.
4. Al Inqiyad, yakni tunduk terhadap
kandungan dan makna dua kalimat syahadat. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman (artinya): “Dan barangsiapa yang
menundukkan wajahnya kepada Allah dan berbuat baik maka dia telah berpegang
teguh dengan tali yang kuat (Laa Ilaaha Illallah).” (Luqman : 22).
5. Ash Shidq, adalah jujur di dalam
mengikrarkannya baik dengan lisan maupun hatinya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang yang bersaksi
Laa Ilaaha Illallah wa anna Muhammadar-rasulullah dengan jujur dari hatinya
kecuali Allah haramkan Naar baginya.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
6. Al Ikhlas, maknanya membersihkan amalan
dengan niat yang benar dan bersih dari noda-noda kesyirikan. Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya
Allah mengharamkan (Naar) bagi seseorang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah
dalam keadaan dia mengharap wajah Allah ‘Azza
Wa Jalla (ikhlas).”
(Muttafaqun ‘Alaihi).
7. Al Mahabbah, artinya mencintai dua
kalimat syahadat ini, kandungannya dan orang-orang yang berpegang teguh dengan
dua kalimat syahadat tersebut. Sebaliknya membenci terhadap siapa saja yang
menentang dan menolak dua kalimat syahadat. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda: “Tiga perkara yang barangsiapa
memilikinya maka dia akan mendapatkan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih
dia cintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang tidaklah dia
mencintainya kecuali karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekufuran
setelah Allah selamatkan darinya sebagaimana ia benci apabila dilemparkan ke
dalam api.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Wallahu A’lam Bish Shawab.
TAMBAHAN (Tanya – Jawab)
Tanya: Apakah cukup bagi seseorang
mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa mengamalkan kandungannya ?
Jawab: Asy Syaikh Shalih Al Fauzan Hafizhahullah di dalam Al Muntaqa
1/9 memberikan jawaban tentang pertanyaan yang hampir mirip dengan pertanyaan
tersebut:
- Barangsiapa yang mengucapkan syahadat Laa Ilaaha Illallah wa Anna
Muhammadar Rasulullah maka ia dihukumi sebagai muslim terlebih dahulu, dan
dijaga darahnya.
- Bila dia mengamalkan kandungan dan konsekuensinya baik secara dhohir
maupun batin maka dia adalah muslim yang sebenar-benarnya. Baginya kabar
gembira di kehidupan dunia dan akhirat.
- Jika dia beramal secara dhohir saja maka dia dihukumi sebagai muslim
secara dhohir saja dan diajak bergaul sebagaimana pergaulan antara sesama
muslimin. Adapun secara batin dia adalah seorang munafiq yang Allah saja yang
berhak terhadap hisabnya.
- Adapun bila dia tidak beramal dengan kandungan Laa Ilaaha Illallah,
sekedar mengucapkannya atau justru beramal dengan lawan syahadat tersebut maka
dia dihukumi sebagai murtad. Dia diperlakukan sebagaimana orang-orang murtad
(tentunya setelah disampaikan kepadanya keterangan, hujjah dan dalil tentang
perkara tersebut [pen]).
- Namun bila dia mengamalkan salah satu dari konsekuensi syahadat tersebut
tanpa konsekuensi yang lainnya maka dia perlu dirinci. Jika dia meninggalkan
sesuatu yang memang mengakibatkan dirinya murtad maka dia dihukumi sebagai
murtad seperti meninggalkan shalat secara sengaja atau memberikan sebuah ibadah
kepada selain Allah. Akan tetapi kalau dia meninggalkan sesuatu yang tidak
menyebabkan murtad maka dia dianggap sebagai mukmin yang kurang imannya sesuai
apa yang dia tinggalkan, seperti halnya pelaku dosa besar di bawah kesyirikan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar