Senin, 12 September 2011

Kematian Pasti Terjadi, Apa Yang Sudah Engkau Siapkan?

Kematian Pasti Terjadi, Apa Yang Sudah Engkau Siapkan?

Kematian adalah sebuah ketetapan. Jika telah datang waktunya, tak satu pun makhluk yang mampu menangguhkannya. Sudahkah kita mempersiapkan diri untuk menyambutnya?

Tanda-tanda keagungan dan kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak terhitung jumlah dan macamnya. Semuanya bisa dikelompokkan menjadi dua bagian, ayat-ayat syar’iyah yang terdapat dalam kitab-kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya n, serta ayat-ayat kauniyah yang ada pada makhluk-Nya.

Tidaklah Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunjukkan keagungan dan kebesaran-Nya dengan ayat-ayat kauniyah dan syar’iyah kecuali bertujuan agar Dia ditauhidkan dalam seluruh peribadatan yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya.

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Di antara ayat-ayat kauniyah yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala tunjukkan kepada panca indera kita di dunia yang fana ini adalah adanya kehidupan dan kematian yang terjadi di sekeliling kita. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. Kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah serta menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang indah. Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” (Al-Hajj: 5-7)

Semua ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan yang fana. Tidak ada yang kekal di dalamnya.

“Segala yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 26-27)

Namun berbagai peringatan dan pelajaran yang terjadi di depan mata, berlalu begitu saja tanpa ada artinya. Kecuali bagi orang yang beriman dan berakal sehat, dialah yang akan mendapatkan manfaat dari semua itu.

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)

“Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9) 

 

Kematian Adalah Suatu Kepastian

Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Kuasa melakukan segala sesuatu yang Dia kehendaki, sesuai dengan hikmah dan keadilan-Nya. Apapun yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala kehendaki pasti terjadi tanpa ada yang bisa menghalangi. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia.” (Yasin: 82)

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda:

“Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi.” (Muttafaqun ‘alaih dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah z)

Termasuk perkara yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala kehendaki adalah kematian seorang hamba, berpisahnya ruh dari jasad tatkala telah tiba ajalnya untuk berpindah dari dunia yang fana ke alam barzakh atau alam kubur, dengan kenikmatan atau azab yang akan dia rasakan.

Umur masing-masing hamba telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentukan di dalam sebuah kitab yang ada di sisi-Nya, tidak akan berkurang ataupun bertambah dari yang telah ditetapkan, berserta sebab-sebab yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala takdirkan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” (Fathir: 11)

Tatkala jatah umur yang telah ditentukan tersebut telah habis, maka itulah ajalnya yang tidak mungkin ia lari darinya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Munafiqun: 11)

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, maka kematian itu akan menemuimu. Kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan’.” (Al-Jumu’ah: 8)

Beragam cara dan usaha yang diupayakan oleh keluarga serta sanak kerabatnya tidaklah akan mampu menghalangi ajalnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

 “Di mana saja kamu berada, kematian akan menemuimu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa’: 78)

Kematian adalah ketetapan bagi setiap makhluk-Nya yang memiliki ruh, sekalipun makhluk yang paling mulia yaitu para nabi dan rasul r. Mereka pun menemui ajal yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentukan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberitakan kepastian itu dalam firman-Nya:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (Ali ‘Imran: 185)

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?” (Ali ‘Imran: 144)

Demikian juga para malaikat, akan menemui ajalnya, sehingga tidak ada yang kekal kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Segala yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 26-27)

Namun tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan dia akan meninggal, pada umur berapa dia akan menemui ajalnya, dan di mana dia akan mengakhiri hidupnya di dunia, di daratan ataukah di lautan, serta apa sebab kematiannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (Luqman: 34)

Padahal kematian itu bukanlah akhir kehidupan yang hakiki bagi seorang hamba. Dia hanyalah seorang musafir yang akan kembali ke negerinya yang hakiki dan abadi di akhirat nanti. Dia akan kembali untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan dan ucapan yang telah dilakukannya di dunia. Kemudian dia akan mendapatkan balasan atas amalannya tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali ‘Imran: 185)

Maka, orang yang sukses adalah orang yang diselamatkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan rahmat dan keutamaan dari-Nya. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Barangsiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dialah orang yang berhasil/sukses. Maknanya, dia mendapatkan kesuksesan yang agung, selamat dari azab yang pedih, dan berhasil meraih surga yang penuh dengan kenikmatan, yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.”

Adapun orang yang merugi adalah orang yang tertipu dengan dunia dan kenikmatan-kenikmatan semu yang ada di dalamnya, sehingga melupakannya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Munafiqun: 9)

Padahal harta yang ada pada dirinya tidak akan dibawa ke dalam kuburnya dan tidak akan dapat menyelamatkan dia dari azab Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam hadits dari Anas bin Malik radiyallahu anhu, dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam, beliau berkata:

“Tiga perkara yang akan mengantarkan mayit: keluarga, harta, dan amalannya. Dua perkara akan kembali dan satu perkara akan tetap tinggal bersamanya. Yang akan kembali adalah keluarga dan hartanya, sedangkan yang tetap tinggal bersamanya adalah amalannya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula) untuk menebus diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih.” (Al-Ma’idah: 36)

Sedangkan bagi orang yang beriman, dunia dan perhiasan yang ada di dalamnya adalah sarana untuk menyempurnakan ibadahnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga dia tidak diperbudak olehnya. Dialah yang menundukkan dan mengatur dunia dengan syariat-Nya yang sempurna, bukan sebaliknya: dirinya yang harus menghinakan diri di hadapan harta (dunia). Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (An-Nazi’at: 40-41)

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Yang akan tetap tinggal bagi setiap orang dan akan memberi manfaat serta menyenangkan hatinya, adalah amalan shalih (الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ). Hal ini mencakup seluruh amalan ketaatan yang wajib maupun yang sunnah, baik terkait dengan hak-hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala maupun hak-hak hamba, seperti shalat, zakat, sedekah, haji, umrah, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, bacaan Al-Qur’an, menuntut ilmu yang bermanfaat, amar ma’ruf nahi mungkar, silaturrahim, birrul walidain (berbakti kepada kedua orangtua), menunaikan hak-hak istri, budak, hewan piaraan, dan seluruh kebaikan yang ditujukan kepada makhluk. Hal-hal ini lebih baik balasannya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sebaik-baik harapan. Pahalanya akan kekal dan dilipatgandakan. Hal inilah yang mengharuskan kita berlomba-lomba untuk mendapatkannya dan bersungguh-sungguh mewujudkannya.” (Taisir Al-Karimirrahman)

 
















Sudahkah Anda Memahami Dua Kalimat Syahadat dengan Benar?

Setiap muslim seyogyanya mengerti dan memiliki kepedulian terhadap perkara agamanya. Terlebih tatkala dia hidup dimasa kini yang jauh dari jaman kenabian Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan semakin dekat dengan hari kiamat. Dia hidup di tengah kebodohan (ilmu agama) yang telah menyebar sedangkan ilmu agama yang benar semakin pudar dengan meninggalnya para ulama (satu demi satu).

Di antara perkara yang harus dimengerti tersebut adalah dua kalimat syahadat, sebuah perkara yang Allah dan rasul-Nya jadikan sebagai rukun terpenting dari rukun-rukun Islam, dinding pembatas antara iman dan kekufuran, halal atau haramnya darah dan harta seseorang untuk ditumpahkan dan diambil. Bahkan sebagai faktor penentu seseorang menjadi penghuni Jannah (surga) atau Naar (neraka).

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Hanyalah orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al Hujuraat : 15).

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

“Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah…” (H. R. Muslim).

Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda :

“Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka telah melakukannya maka mereka telah menjaga darah dan hartanya dariku kecuali dengan haknya, sedangkan hisab mereka di sisi Allah.” (Muttafaqun ‘Alaihi).

Memang, dua kalimat syahadat merupakan sebuah persaksian seorang muslim tentang hak Allah dan rasul-Nya. Namun, hendaklah dia ketahui bahwa persaksian itu tidaklah cukup dengan ucapan lisannya saja, walaupun dia fasih dalam mengucapkannya. Tetapi ia juga sangat membutuhkan pengetahuan dan amalan tentang makna dan kandungannya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala sendiri banyak menyebutkan tentang makna dan kandungan syahadat Laa Ilaaha Illallah di dalam kitab-Nya yang suci. Di antaranya Allah ceritakan tentang kisah antara nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam dengan kaumnya :

“Dan ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah kecuali Dzat yang telah menciptakanku, Dialah yang benar-benar menunjukiku, dan Dia (Allah) yang telah menjadikan sikap berlepas diri dan loyalitasnya tersebut sebagai kalimat yang selalu ada pada keturunannya (Ibrahim) agar mereka kembali kepada tauhid.” (Az Zukhruf : 26-28).

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat tersebut: “Yaitu Allah telah menjadikan sikap loyalitas kepada-Nya dan berlepas diri dari setiap sesembahan selain-Nya sebagai kalimat yang selalu ada pada keturunannya (Ibrahim). Para nabi dan pengikut mereka akan saling mewarisi kalimat tersebut. Ia adalah Laa Ilaaha Illallah yang telah diwariskan oleh imam para Ahlut Tauhid yaitu Ibrahim kepada para pengikutnya sampai hari kiamat.”

Penggalan (lafadz syahadat) “Laa Ilaaha” yang mengandung arti peniadaan (penolakan, red) atas segala sesuatu sebagai (yang boleh dijadikan, red) sesembahan. Sedangkan (lafadz syahadat) “Illallah” yang mengandung penetapan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya sesembahan yang berhak untuk diibadahi. Kesimpulannya bahwa makna sekaligus kandungan yang sebenarnya tentang syahadat “Laa Ilaaha Illallah” adalah tiada sesembahan yang berhak untuk diibadahi melainkan hanya Allah saja.

Uniknya makna yang sah dari tinjauan syar’i maupun bahasa Arab tersebut sangat dipahami dan diketahui orang-orang musyrikin di jaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, akan tetapi sifat sombong dan gengsi dengan agama nenek moyang mereka menjadi faktor penghalang untuk menerima seruan dakwah Laa Ilaaha Illallah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya bila dikatakan kepada mereka Laa Ilaaha Illallah, mereka menyombongkan diri.” (Ash Shaffaat: 35).

 

Kesalahan Sebagian Orang Dalam Memaknai Syahadat

Berdasar tinjauan makna dan kandungan Laa Ilaaha Illallah yang sedemikian rupa maka sangatlah tidak tepat bila ada sebagian orang yang memberikan makna syahadat tersebut dengan berbagai makna misalnya:

“Tidak ada pencipta, pengatur, dan pemberi rizki kecuali Allah.”

“Tidak ada Tuhan kecuali Allah.”

Atau yang lebih tragis lagi bila seorang “cendekiawan muslim” memberikan makna yang nyeleneh: “Tidak ada tuhan kecuali Tuhan.”

Subhanallah !! Semua pendapat yang semata-mata dari akal pikiran dan jauh dari petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah di atas, sesungguhnya masih meninggalkan adanya kemungkinan pengakuan terhadap sesembahan selain Allah.

Tidaklah mengherankan akibat kesalahan di dalam memahami makna dan kandungan syahadat Laa Ilaaha Illallah, banyak di antara kaum muslimin yang terjatuh ke dalam berbagai bentuk kesyirikan yang sebenarnya pernah, atau bahkan belum pernah dipraktekkan kaum musyrikin jahiliyyah meskipun mereka mengucapkan syahadat di dalam dzikir, shalat dan do’a mereka. Wallahul Musta’an.

 

Syahadat Rasul Muhammadur- Rasulullah

Para pembaca yang mulia, manakala seseorang telah mengerti dan meyakini bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja maka dia tidak akan mampu mengetahui cara dan bentuk ibadah yang akan dia persembahkan kepada-Nya kecuali hanya dengan petunjuk utusan-Nya yaitu Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Di sinilah letak pentingnya mengetahui makna dan kandungan syahadat rasul Muhammadur- rasulullah terlebih dahulu sebelum berbicara tentang syari’at dan sunnah-sunnahnya. Tidaklah sah dan diterima syahadat Laa Ilaaha Illallah tanpa adanya syahadat ini.

Sangatlah banyak dalil-dalil baik dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan makna syahadat ini yang pada akhirnya para ulama menyebutkannya secara ringkas sebagai berikut:

1. Mentaati Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dalam apa yang beliau perintahkan.

2. Membenarkan segala apa yang beliau beritakan.

3. Menjauhi apa yang beliau larang.

4. Tidaklah Allah diibadahi melainkan dengan apa yang Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut ajarkan.

5. Bahwa Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah seorang rasul yang tidak boleh didustai sekaligus sebagai seorang hamba yang tidak boleh diibadahi.

Oleh karena itu seseorang yang mengaku cinta dan sebagai pengikut Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidaklah pantas untuk mendahulukan (=lebih membenarkan, red) ucapan seorang guru, ustadz ataupun kyainya daripada ucapan Rasul tersebut. Tidaklah layak seorang yang telah bersyahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah untuk menolak atau ragu terhadap sebuah hadits karena – menurut anggapan dia – tidak sesuai dengan perkembangan jaman, penelitian para ilmuwan atau akal pikirannya. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam atau syahadat Muhamadurrasulullah.

 

Syarat-syarat Agar Seorang Muslim Mampu Memahami Syahadat

Kedua syahadat ini sebagaimana rukun Islam yang lainnya memiliki beberapa syarat yang seseorang tidak akan mendapatkan manfaat dengan persaksiannya kecuali menyempurnakan dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya.

Alhamdulillah, Allah telah mudahkan kita untuk mengetahuinya melalui para ulama – semoga Allah merahmati kita dan mereka semuanya. Mereka (para ulama) telah kumpulkan beberapa syarat yakni:

1. Al Ilmu, yaitu mengetahui tentang kandungan dan konsekuensi dua kalimat syahadat dengan ilmu yang benar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): “Kecuali orang-orang yang bersaksi kebenaran (Laa Ilaaha Illallah) dalam keadaan mereka berilmu.” (Az Zukhruf : 86).

2. Al Yaqin, yaitu keyakinan yang mantap tentang konsekuensi dari dua kalimat syahadat tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): “Hanyalah orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian tidak ragu (dengan keimanannya).” (Al Hujuraat : 15).

3. Al Qabul, yaitu menerima kandungan dua kalimat syahadat dengan hati dan mengikrarkan dengan lisannya. Dalilnya adalah setiap firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang memberitakan tentang keselamatan dan keutamaan bagi siapa saja yang menerima Laa Ilaaha Illallah. Sebaliknya kecelakaan dan adzab bagi siapa saja yang menolak kalimat agung tersebut.

4. Al Inqiyad, yakni tunduk terhadap kandungan dan makna dua kalimat syahadat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): “Dan barangsiapa yang menundukkan wajahnya kepada Allah dan berbuat baik maka dia telah berpegang teguh dengan tali yang kuat (Laa Ilaaha Illallah).” (Luqman : 22).

5. Ash Shidq, adalah jujur di dalam mengikrarkannya baik dengan lisan maupun hatinya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang yang bersaksi Laa Ilaaha Illallah wa anna Muhammadar-rasulullah dengan jujur dari hatinya kecuali Allah haramkan Naar baginya.” (Muttafaqun ‘Alaihi).

6. Al Ikhlas, maknanya membersihkan amalan dengan niat yang benar dan bersih dari noda-noda kesyirikan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan (Naar) bagi seseorang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dalam keadaan dia mengharap wajah Allah ‘Azza Wa Jalla (ikhlas).” (Muttafaqun ‘Alaihi).

7. Al Mahabbah, artinya mencintai dua kalimat syahadat ini, kandungannya dan orang-orang yang berpegang teguh dengan dua kalimat syahadat tersebut. Sebaliknya membenci terhadap siapa saja yang menentang dan menolak dua kalimat syahadat. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tiga perkara yang barangsiapa memilikinya maka dia akan mendapatkan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan darinya sebagaimana ia benci apabila dilemparkan ke dalam api.” (Muttafaqun ‘Alaihi).

Wallahu A’lam Bish Shawab.

TAMBAHAN (Tanya – Jawab)

Tanya: Apakah cukup bagi seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa mengamalkan kandungannya ?

Jawab: Asy Syaikh Shalih Al Fauzan Hafizhahullah di dalam Al Muntaqa 1/9 memberikan jawaban tentang pertanyaan yang hampir mirip dengan pertanyaan tersebut:

- Barangsiapa yang mengucapkan syahadat Laa Ilaaha Illallah wa Anna Muhammadar Rasulullah maka ia dihukumi sebagai muslim terlebih dahulu, dan dijaga darahnya.

- Bila dia mengamalkan kandungan dan konsekuensinya baik secara dhohir maupun batin maka dia adalah muslim yang sebenar-benarnya. Baginya kabar gembira di kehidupan dunia dan akhirat.

- Jika dia beramal secara dhohir saja maka dia dihukumi sebagai muslim secara dhohir saja dan diajak bergaul sebagaimana pergaulan antara sesama muslimin. Adapun secara batin dia adalah seorang munafiq yang Allah saja yang berhak terhadap hisabnya.

- Adapun bila dia tidak beramal dengan kandungan Laa Ilaaha Illallah, sekedar mengucapkannya atau justru beramal dengan lawan syahadat tersebut maka dia dihukumi sebagai murtad. Dia diperlakukan sebagaimana orang-orang murtad (tentunya setelah disampaikan kepadanya keterangan, hujjah dan dalil tentang perkara tersebut [pen]).

- Namun bila dia mengamalkan salah satu dari konsekuensi syahadat tersebut tanpa konsekuensi yang lainnya maka dia perlu dirinci. Jika dia meninggalkan sesuatu yang memang mengakibatkan dirinya murtad maka dia dihukumi sebagai murtad seperti meninggalkan shalat secara sengaja atau memberikan sebuah ibadah kepada selain Allah. Akan tetapi kalau dia meninggalkan sesuatu yang tidak menyebabkan murtad maka dia dianggap sebagai mukmin yang kurang imannya sesuai apa yang dia tinggalkan, seperti halnya pelaku dosa besar di bawah kesyirikan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar