Kumpulan Kisah Menakjubkan Tentang Sikap Hati-hati (Wara’) dari Orang-orang Soleh Terdahulu
Hammad bin Zaid berkisah :
“Ketika aku bersama Ayahku, aku mengambil secuil pecahan bata dari tembok.
Ayahku menegurku: “Kenapa kamu ambil?”
Aku menjawab, “Ini hanya secuil tembok”
Ayahku berkata:
“Jika setiap orang mengambil secuil demi secuil, apakah akan tersisa tembok
pada dinding ini..”
Ini hanya satu kisah sikap wara’ (kehati-hatian) seorang Salafus Soleh
(orang-orang soleh terdahulu, yang hidup di zaman Rasulullah Shalallah ‘Alaihi
Wasalam dan beberapa generasi sesudah wafatnya beliau). Perjalanan hidup mereka
dipenuhi semerbak tetesan wewangian dalam gambaran menarik pada kewara’an dan
jauhnya mereka dari perkara samar (yang kurang jelas hukumnya).
Marilah lebih jauh kita selami berbagai kisah sikap wara’ pada salafus
solihin lainnya.
Sungguh, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam merupakan penghulu dari
orang-orang wara’ dan merupakan suri teladan umat, sebagaimana Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik..” (QS.al-Ahzab: 21)
Apa Yang Dimaksud Dengan Wara’ ?
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda :
“Sesungguhnya perkara yang halal dan haram itu
jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (tidak jelas kehalalannya
dan keharamannya) yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia.
Barangsiapa menjaga diri dari perkara-perkara syubhat maka sungguh dia telah
berhati-hati dengan agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjatuh dalam perkara
syubhat maka hal itu akan menyeretnya terjatuh dalam perkara haram, seperti
halnya seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah
larangan, hampir saja dia terseret untuk menggembalakannya dalam daerah larangan.
Ketahuilah bahwa setiap penguasa memiliki daerah larangan dan sesungguhnya
daerah larangan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala adalah perkara-perkara
yang haram. Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam jasad seseorang ada sekerat
daging, jika sekerat daging itu baik maka baik pulalah seluruh jasadnya. Namun
jika sekerat daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh jasadnya, ketahuilah
bahwa itu adalah qalbu.” (HR. Al-Bukhari, no. 52, 2051 dan Muslim no.
1599 dari An-Nu’man bin Basyir radiyallahu anhu)
Sikap wara’, yaitu berhati-hati dari sesuatu
yang dikhawatirkan akan memudaratkan agama dan akhirat, adalah sikap
yang terpuji dan dituntut dari seorang muslim. Seorang muslim yang tidak
memiliki wara’ akan bermudah-mudahan dengan perkara syubhat yang tidak jelas
kehalalan dan keharamannya, sehingga menyeretnya bermudah-mudahan dengan
perkara haram, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam dalam
hadits An-Nu’man bin Basyir c di atas. Namun seperti kata Al-Imam Al-’Allamah
Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ dalam Kitabul Bai’, Babul Ijarah: “Wajib
atas setiap muslim untuk melihat setiap perkara dengan timbangan syariat dan
akal yang sehat. Bukan dengan timbangan perasaan yang buta (yang merupakan
permainan hawa nafsu). Karena hal inilah yang memudaratkan kaum muslimin sejak
zaman para sahabat.” (2)
Wara’ bermakna juga menjaga diri yaitu menahan
diri dari hal-hal yang tidak selayaknya (Ibnu Faris)
Wara’ artinya merasa risih
(jawa=pekewuh), orang yang khawatir lagi melindungi diri serta merasa risih,
menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Menahan diri
walaupun mubah (yang dibolehkan) dan halal (Ibu Manzhur)
Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara samar
(yang kurang jelas). Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu adalah
meninggalkan hal yang berlebihan. Wara berarti keluar dari syahwat (hawa nafsu)
dan meninggalkan kejelekan-kejelekan. (Ibrohim bin Adham)
Wara’ maknanya menahan diri dari apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk
di dalamnya perkara-perkara haram dan samar, karena semuanya itu dapat
memudaratkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara samar telah menyelamatkan
kehormatan dan agamanya. Siapa yang terjerumus pada perkara samar, terjerumus
dalam perkara haram, sebagaimana pengembala yang menggembala di sekitar pagar,
tidak ayal akan mudah tergoda untuk masuk kedalamnya. (Ibnu Taimiyah –semoga
Allah merahmatinya)
Orang yang wara’ adalah orang yang jika
mendapati perkara samar (yang kurang jelas), segera meninggalkannya, sekalipun
dari sisi hukum keharamannya masih diperselisihkan. Sedangkan jika samar
dalam wajibnya suatu perkara, segera dia mengerjakannya karena khawatir berdosa
jika meninggalkannya. (Syaikh Muhammad bin Soleh al-Utsaimin -semoga
Allah merahmatinya- )
Perbedaan Antara Zuhud dan Wara’
Syaikh al-Islam Ibnu Taymiah -rahimahullah – berkata :
Aku telah menulis hadits-hadits yang merinci persamaan antara zuhud dan
wara. Bahwa zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang
tidak bermanfaat. Bisa karena memang perkara itu tidak ada manfaatnya
sama sekali, sisi kemanfaatnya lemah sementara ada perkara lain yang lebih
bermanfaat atau terkandung efek buruk yang lebih besar dari manfaatnya.
Jika kemanfaatannya utuh (sudah jelas, red), sedangkan ia tetap bersikap
zuhud pada perkara itu adalah suatu kedunguan.
Adapun pengertian wara’ adalah menahan diri dari apa-apa yang berpotensi
akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara haram dan samar, karena
semuanya itu dapat memudaratkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara samar
telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya.
Jika ada sesuatu yang tidak ada atau seimbang antara manfaat atau
mudaratnya (efek buruknya) maka perkara itu tidak layak untuk diharap atau
dibenci, yang layak adalah sikap zuhud, bukan wara. (1)
Beberapa Kisah Teladan Salafusoleh Dalam
Wara’ Dan Jauhnya Mereka Dari Perkara Haram Dan Samar
(1)
Ketahuilah bahwa salafussoleh (ummat soleh di zaman masa kehidupan dan
beberapa generasi setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam)
selalu mendidik diri, keluarga dan lingkungan mereka untuk bersifat dengan
akhlak yang mulia ini, yaitu sifat Wara’.
Sikap Wara’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasalam
Penghulu orang-orang orang wara dan pendidik, Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wasalam ketika melihat al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib, putra dari putrinya,
Fatimah, mengambil kurma sedekah dan memasukkan ke mulutnya, berkata kepadanya:
“Kihhk, kihhk!” Perintah untuk memuntahkannya.
Kemudian berkata:
“Apakah engkau tidak sadar bahwa kita tidak memakan sedekah.”
(Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam dan keluarganya diharamkan menerima
sedekah, red)
Anas radiyallahu anhu berkata: “Ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam
melintasi suatu jalan Ia melihat kurma. Beliaupun berkata: “Sekiranya aku tidak
khawatir ia berasal dari sedekah niscaya aku memakannya.”
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, beliau berkata:
“Ketika aku berbaring di rumahku, aku dapati
sebutir kurma jatuh dari tempat tidur. Akupun mengambilnya untuk memakannya.
Tapi karena khawatir ia berasal dari sedekah, maka akupun
mengurungkannya.”
Dari Amr bin Syu’aib, dari Ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasalam (ketika terjaga) dari tidur mendapatkan kurma
disampingnya. Beliaupun mengambil dan memakannya. Tetapi kemudian di akhir
malam beliau mengerang sehingga membuat istri beliau terkejut. Beliau berkata:
“Aku menemukan kurma disampingku dan memakannya. Aku khawatir ia merupakan
kurma sedekah.”
Sikap Wara’ Abu Bakar as-Siddiik radiyallahu
anhu.
Orang terbaik umat ini, pengganti Rasulullah dan yang menemani Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasalam di goa, sahabat karib Nabi, mentrinya yang setia,
Abdullah bin Abu Kuhafah Utsman al-Qurasy at-Tamimy .
Aisyah radiyallahu anha berkata:
“Abu bakar memiliki seorang budak yang bertugas mengumpulkan keuntungan
dari usaha-usaha bagi hasilnya. Dari hasil itulah Abu Bakar makan. Pada suatu
kali budak itu datang membawa makanan dan Abu Bakar pun memakannya. Berkatalah
budak itu kepada Abu Bakar:
“Tahukah engkau apa yang sedang engkau makan itu?”
“Apa ini?” Tanya Abu Bakar.
“Ketika di masa jahiliah dahulu aku menjadi paranormal untuk seseorang,
padahal aku tidak mengerti perdukunan, selain membodohinya. Diapun memberiku
imbalan. Yang sedang engkau makan adalah termasuk hasil darinya.”
Segera Abu Bakar memasukkan jarinya ke dalam mulutnya dan memuntahkan
segala yang telah masuk perutnya.”
Sikap Wara’ Umar Ibnu al-Khathab radiyallahu
anhu
Dia berkun-yah Abu Hafs al-’Adawy. Gelarnya al-Faaruq, menteri
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam. Yang menguatkan Islam dan menaklukkan
negeri-negeri. Dia juga digelari as-Soodiq (yang jujur). Perkataannya
mengandung ilham. Yang dikatakan oleh Nabi:
“Seandainya setelahku ada nabi, Umar orangnya.”
Setan lari menghindar darinya. Dan dia adalah orang yang tinggi
keimanannya.
Dari Nafi, bahwa Umar bin al-Khathab radiyallahu anhu membagi hasil harta
rampasan perang untuk kaum Muhajirin generasi pertama sebesar 4000 dirham
setiap orangnya. Sedangkan untuk Ibnu Umar (putranya sendiri) hanya 3500
dirham. Sehingga ada yang berkomentar:
“Dia juga termasuk Muhajirin, kenapa kurang dari 4000.”
“Sesungguhnya yang berhijrah adalah kedua orang tuanya, itu tidak seperti
berhijrah sendiri (tanpa pendamping orang tua, red).” Jawab Umar.
Dalam riwayat lain, Ismail bin Muhammad bin Saad bin Abi Waqas berkata:
“Dikirimkan kepada Umar minyak misk dan anbar dari Bahrain. Umar berkata:
“Demi Allah, seandainya ada wanita yang pandai menakar untuk menakarkan
minyak ini sehingga dapat aku bagi-bagikan kepada kaum muslimin.”
Maka istrinya, Atikah binti Zait bin Amr bin Nafil berkata:
“Aku pandai menakar, mari aku takarkan untukmu.”
“Tidak!” Sahut Umar.
“Kenapa?” Tanya istrinya.
“Aku khawatir kamu mengambilnya begini dan melakukannya begini –seraya
memasukan jarinya ke sela-sela rambut di atas telinganya-, kemudian engkau
mengusapkannya kelehermu, sehingga kamu mendapatkan lebihan dari hak kaum
muslimin.” Jawab Umar. (dalam riwayat lain).
Dalam riwayat lain, Abdullah bin Muadz al-Anbari berkata: Naim berkata
kepadaku dari (sahabiah) al-Athaarah katanya:
“Umar pernah menyerahkan minyak wangi kaum muslimin kepada istrinya untuk
dijualkan, agar hasil penjualannya dapat dibagikan kepada kaum muslimin.
Istrinya menjualnya kepadaku. Ia menakar dengan cara menambahi atau mengurangi
serta memecah gumpalan dengan giginya. (tak ayal) ada bagian yang menempel di
jemarinya. Diapun menempelkan jemarinya kebibirnya (untuk membasahinya) lalu
mengusapkannya ke kerudungnya. Ketika Umar datang, dia bertanya:
“Bau apa ini?”
Istrinya mengabarkan apa yang berlangsung. Umar berang:
“Engkau mengambil minyak kaum muslimin dan memakainya!”
Umar melepas kerudung istrinya kemudian mengambil air dan menyiramkan ke
kerudung itu sambil menggosok-gosokan ke tanah, kemudian menciumi baunya, lalu
menyiramnya lagi dengan air sambil mengosok-gosokkan ke tanah, kemudian
menciumi baunya dan mengulanginya lagi sebanyak yang Allah kehendaki.
Al-Athaarah melanjutkan:
“Dikesempatan lain aku mendatanginya lagi (untuk membeli minyak). Ketika
dia menakarkan untukku, sesuatu dari minyak wangi kembali menempel di
jemarinya. Diapun menempelkan jemarinya kebibirnya (untuk dibasahi) lalu
mengusapkannya ke tanah. Akupun berkata:
“Dulu engkau tidak melakukan seperti ini?”
Istri umar menjawab:
“Apakah engkau lupa dengan apa yang dilakukan Umar? Aku mendapatkan begini
dan begini.”
Dalam riwayat lain dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Ashim bin Umar
dari Umar, dia (Umar radiyallahu anhu, red) berkata:
“Tidak halal bagiku makan dari harta kalian selain sebagaimana aku
memakannya dari pokok hartaku; roti dengan minyak atau roti dengan mentega.”
Terkadang bila didatangkan keju yang dibuat dari minyak atau mentega dia
meminta izin kepada kaum muslimin dengan berkata: aku adalah orang arab tidak
dapat terus menerus memakan minyak.”
Dalam riwayat lain Qotadah berkata: “Dahulu aku menjadi penanggung jawab
baitul mal di masa pemerintahan Umar. Ketika menyapu baitul mal, kudapati
sekeping dirham. Akupun memberikannya kepada Ibnu Umar (putra umar), lalu
pulang. Tetapi kemudian datang utusan Umar memanggilku. Ketika tiba, sekeping
dirham itu sudah berada ditangan Umar. Umar berkata kepadaku:
“Celaka engkau, apakah ada sesuatu atasku dalam dirimu?! ada masalah apa
antara aku dan engkau?!
“Ada apa
amirul mukminin?” Tanya Qatadah.
“Apakah engkau ingin umat Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam menuntutku
(di akhirat) karena sekeping dirham ini?! Tegas Umar.
Kisah Wara’ Utsman bin Affan radiyallahu
anhu.
Dia adalah Abu Amar al-Umawi. Bergelar Zuu an-Nurain (pemilik dua cahaya
–maksudnya yang menikahi dua putri Nabi-). Malaikat malu kepadanya. Dia yang
mengumpulkan umat pada satu mushaf setelah berselisih. Yang menaklukan Khurasan
dan Magrib. Termasuk dari generasi awal lagi jujur. Senantiasa menegakkan solat
malam dan berpuasa. Yang menginfakkan hartanya di jalan Allah dan yang
dipersaksikan oleh Rasulullah sebagai penghuni surga. Dia dinikahkan dengan dua
putri Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, Ruqoyyah dan Ummu Kultsum. semoga Allah
meridhoi semuanya. Mereka yang memperhatikan saat peristiwa pengumpulan
Al-Qur’an, akan tahu kedudukan dan kemuliaannya.
Dari Syarhabil bin Muslim bahwa Utsman menjamu orang-orang dengan makanan
bangsawan, sementara dia sendiri masuk rumahnya dan makan (roti) campur zuka
dan minyak.
Kisah Wara’ Ali bin Abi Thalib radiyallahu
anhu
Kun-yah nya adalah Abu al-Hasan al-Haasyimiy, dikenal sebagai hakim ummat.
Bergelar Farisul Islam (penunggang kuda Islam). Menantu Rosulullah. Termasuk
yang dahulu masuk Islam. Tidak pernah gagap dalam bicara. Yang berjihad di
jalan Allah dengan kesungguhan. Yang bangkit dengan ilmu dan amal. Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasalam mempersaksikannya sebagai penghuni surga. Nabi
berkata:
“Siapa yang aku sebagai pelindung/pemimpinnya, maka Ali adalah
pelindung/pemimpinnya.”
Dan sabdanya:
“Engkau bagiku seperti posisi Nabi Harun pada Nabi Musa, hanya saja tidak
ada nabi setelahku.”
Sabdanya yang lain:
“Tidak ada yang mencintaimu kecuali dia itu seorang mukmin, dan tidak ada
yang membencimu melainkan dia itu munafik.”
Dari Abdullah bin Umair, dari seseorang yang berasal dari Tsaqif
menceritakan bahwa Ali radiyallahu anhu menugaskan Abdullah bin Umair memimpin
daerah Akbari, bagian wilayah Kufah. Ali berkata kepadanya:
“Shalatlah zuhur di tempatku.”
“Akupun mendatanginya karena tidak ada alasan bagiku untuk tidak
mendatanginya. Ketika sampai, aku dapati padanya ada cawan berisi air dan
cangkir. Lalu dia meminta dibawakan bathiah (mangkuk) , membuka tutupnya dan
makan dengan rebusan air kacang. Maka akupun berkata:
“Wahai Amirul Mukminin, engkau mengkonsumsi seperti ini di Irak padahal
Irak memiliki makanan yang lebih dari ini.”
Dia berkata:
“Demi Allah, tidaklah aku lakukan hal ini karena bakhil terhadap makanan,
dan engkau tahu bahwa tidak ada yang lebih menjaga milikku daripada aku. Aku
tidak suka mengadakan sesuatu yang tidak aku miliki. Dan aku tidak suka
memasukkan sesuatu ke dalam perutku kecuali yang baik.
Dalam riwayat lain dikatakan oleh Umul Walad milik Ali radiyallahu
anhu, dia berkata: “Pada suatu hari aku mendatangi Ali. Di hadapannya ada
kurunful maksuf (seikat ranting semacam batang sirih yang berbau wangi, biasanya
digunakan pada masakan). Akupun berkata kepadanya:
“Wahai Amirul Mukminin, berikan seutas qurunful itu untuk putriku!
Ali menjawab:
“Beri aku sekeping dirham! -seraya menjulurkan tangannya-. Sesungguhnya ini
adalah harta kaum muslimin; bersabarlah sampai kuterima gajiku, maka akan aku
berikan kepadamu.”.
Ali enggan memberiku sedikitpun darinya.”
Dalam riwayat lain, Abu Shaleh al-Hanafi berkata:
“Aku mendatangi Ummu Kultsum (putri Ali radiyallahu anhu).”
Ketika sampai Ummu Kultsum berkata:
“Jamulah Abu Shaleh!.”
Abu Shaleh diberi kari yang berisi kacang.
“Kalian memberiku ini padahal kalian adalah penguasa.” Komentar Abu Shaleh.
“Bagaimana jika engkau melihat Amirul Mukminin, Ali ketika diberi buah
utruj Hasan atau Husain memintanya untuk anak-anak mereka, tetapi Ali enggan
memberikannya dan memilih membagikannya kepada kaum muslimin. Jawab Ummu
Kultsum.
Kisah Wara’ Salman al-Farisi radiyallahu anhu
Dari al-Hasan, katanya:
“Gaji Salman al-Farisi 5000 dirham sebagai pejabat daerah Zuha yang
berpenduduk 30 ribu kaum muslimin. Bila berceramah kepada manusia dia
mengenakan jubah yang sekaligus digunakan separuhnya untuk alas duduknya. Jika
tiba gajinya dia tidak mengambilnya. Dia makan hanya dari hasil kerja
tangannya.
Kisah Wara’ Abu Darda radiyallahu anhu
Dari Muawiah bin Qurroh dia berkata: “Abu Darda memiliki onta yang
dipanggil ad-Damun. Jika seseorang meminjam onta tersebut dia selalu berpesan:
“Jangan dibebani kecuali sebatas kemampuannya.”
Ketika mendekati kematian, Abu Darda berkata kepada ontanya:
“Wahai Damun, janganlah engkau menuntutku (nanti di akhirat) di sisi
Tuhan-ku, sungguh aku tidak pernah membebanimu kecuali sebatas yang engkau
mampu.”
Dalam riwayat lain dari Yahya bin Sa’id dia berkata: Jika Abu Darda menjadi
penengah antara dua orang yang berselisih dan kedua orang yang bersengketa
meninggalkannya setelah diputuskan, dia berkata kepada keduanya:
“Kembalilah kepadaku, akan aku kaji ulang permasalahan kalian.”
(karena khawatir seandainya da nasihatnya yang salah, red)
Kisah Wara’ Abu Musa al-Asy’ari radiyallahu
anhu
Ad-Dzahabi berkata: Abu Musa adalah sosok yang senantiasa melakukan shalat
di tengah malam dan puasa di siang hari, taat kepada Allah, zuhud dan ahli
ibadah. Terkumpul padanya ilmu, amal, jihad dan lapang dada. Dia tidak silau
dengan kekuasaan dan tidak tenggelam oleh dunia.
Dari Abu Amr as-Syaibâniy, dari Abu Musa al-Asy’ary radiyallahu anhu, dia
berkata:
“Memenuhi rongga hidungku dengan bau busuk lebih aku sukai dari pada
memenuhinya dengan bau wanita”. (‘bau wanita’ maksudnya godaan wanita dan
dunia. red)
Kisah Wara’ Abu Bakroh radiyallahu anhu
Hakam bin al-A’raj berkata:
“Ada
seseorang yang memiliki balok kayu. Ziyad (penguasa ketika itu) meminta kayu
itu, tetapi pemiliknya menolak untuk menjualnya. Ziyad pun mengambil paksa kayu
itu lalu digunakannya untuk membuat atap masjid Basroh. Abu Bakroh tidak pernah
shalat di masjid itu sampai kayu itu disingkirkan dari masjid.
Kisah Wara’ Abdullah bin Yazid al-Anshari
radiyallahu anhu
Dari Manshur dan al-A’masy, dari Musa bin Abdullah bahwa ayahnya mengirim
budak laki-lakinya untuk berniaga ke Asbahan bermodal 4.000 dirham hingga
berkembang menjadi 16.000 dirham lebih. Namun kemudian sampai berita bahwa
budaknya itu meninggal dunia, sehingga pergilah ia untuk mengambil harta niaga
yang menjadi warisannya itu. Sesampainya di sana diberitakan kepadanya bahwa budaknya itu
berniaga dengan cara riba. Maka diapun mengambil pokok modalnya yang 4.000
dirham dan meninggalkan selebihnya.
Kisah Wara’ Abdullah bin Umar bin al-Khatthab
(putra Umar bin al-Khatthab)
Thawus (seorang tabi’in) berkata: Aku tidak pernah bertemu seorang
lelakipun yang lebih wara dari pada Ibnu Umar.
Nafi berkata: Ketika Ibnu Umar mendengar suara seruling, dia menutup
telinganya dengan kedua jarinya sambil menjauh dari jalan. Kemudian berkata:
“Wahai Nafi’, apakah engkau masih mendengar sesuatu?”
“Tidak” Jawabku.
Diapun melepaskan jarinya dari telinganya sambil berkata:
“Kami dahulu bersama Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, lalu terdengar suara
seperti tadi, beginilah yang dilakukan Nabi.”
Dalam riwayat lain, masih dari Nafi’: Tidaklah Ibnu Umar takjub kepada
sesuatu melainkan ia kemudian menyedekahkan hartanya lillah (untuk Allah).
Bahkan terkadang bersedekah pada satu majelis dengan 30,000 dirham. Pernah Ibnu
Umar memberi seorang budak yang bernama Ibnu Aamir sebesar 30,000 dirham dan
berkata:
“Wahai Naafi’, aku khawatir tergoda oleh dirham Ibnu Amir. Pergilah
(kepadanya dan katakan), ‘Engkau telah dibebaskan (dari perbudakan).’
Dalam riwayat lain, Qoza’ah berkata : “Aku melihat Ibnu Umar memiliki baju
yang berbahan kaku. Maka akupun menawarkan kepadanya pakaian yang berbahan
lunak:
“Aku bawakan untukmu pakaian yang berbahan lunak yang dibuat di Khurasan
agar aku enak memandangmu”
“Perlihatkan kepadaku! Pinta Ibnu Umar.
Ibnu Umar meremas kain itu seraya bertanya:
“Apakah ini sutra?”
“Tidak, ia terbuat dari katun.” Jelasku.
Ibnu Umar bekata:
“Aku khawatir jika mengenakannya akan menjadikanku sombong dan tinggi hati,
seraya membaca firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri” (QS.an-Nisaa: 36).
Kisah Wara’ Al-Hasan dan al-Husain, putra Ali
bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam
Dari Abu al-Jahhaf dari seorang yang berasal dari Khas’am, dia berkata:
“Aku mendatangi al-Hasan dan al-Husain. Ketika itu mereka sedang makan roti
dengan cuka dan kacang. Akupun berkata kepada keduanya:
“Kalian berdua adalah putra Amirul Mukminin (pemimpin kaum muslimin),
tetapi mengapa memakan makanan seperti ini, dan kondisi saat ini dalam
kelapangan.”
“Kamu tidak banyak tahu tentang Amirul Mukminin. Kepemimpinannya untuk
melayani kaum muslimin ” Jawab keduanya.
Kisah Wara’ Abu Burdah -semoga Allah
merahmatinya-
Dari Abdullah bin Iyasy al-Qotbany, dari ayahnya, bahwa Yazid bin
al-Muhallab ditugasi memimpin wilayah Khurasan. Dia berkata:
“Tunjukkan kepadaku seseorang yang lengkap kebaikan pada dirinya.”
Maka orang-orang pun menunjuk Abu Burdah. Ketika menemuinya dia dapati
seorang yang berpenampilan menarik. Ketika diajaknya berbicara, didapatinya
ternyata pembicaraannya lebih menarik dari penampilannya. Kemudian Yazid pun
berkata:
“Aku mengangkatmu untuk menjabat demikian dan demikian dari wilayah
kepemimpinanku.”
Tetapi dia meminta maaf dan menolak, seraya berkata:
“Ayahku menceritakan bahwa Rasulallah bersabda:
“Siapa yang mengambil tanggung jawab yang tidak mampu ditanggungnya, maka
dia telah menempatkan tempat duduknya di neraka.”
Kisah Wara’ Muwarriq al-Ijliy -semoga Allah
merahmatinya-
Dari Quraisy bin Hayyan al-Ijliy dari Maimunah binti Maz’ur, katanya:
“Al-Muwarriq al-Ijliy mendatangi putranya yang bernama Soghdi. Anak itu
memberinya sebutir telur yang direbus di wadah yang terbuat dari perak.
Al-Muwarriq bertanya:
“Dari mana kamu dapatkan wadah perak ini, wahai Soghdi?”
“Itu adalah barang yang digadaikan kepadaku” Jawabnya.
“Ambil kembali telurmu!” Dia menolak untuk memakannya dan tidak suka
mengambil manfaat dari barang gadaian.
Kisah Wara’ Urwah bin az-Zubair –semoga Allah
merahmatinya-
Putranya, Hisyam berkisah tentangnya: “Ayahku suka berlama-lama melakukan
ibadah faridhah (wajib) dan berkata: “Ia adalah pokok harta.”
Ahmad bin Haatim at-Thowil berkata: “Sampai berita kepadaku bahwa ketika
kaki Urwah bin az-Zubair dipotong karena penyakit kusta dia berkata:
“Sungguh yang membuat tenang hatiku dipisahkan denganmu (berujar kepada
kakinya) bahwa aku tidak pernah membawamu ke tempat maksiat sama sekali.”
Kisah Wara’ Muhammad bin Siirin -semoga Allah
merahmatinya-
Syu’bah berkata: “Ibnu Hubairoh memberi Muhammad bin Siiriin tiga
pemberian, tetapi dia menolak menerimanya.
Khalid bin Abi as-Solat berkata: “Aku berkata kepada Muhammad bin Sirrin:
“Apa yang mencegahmu menerima pemberian Ibnu Hubairoh?”
“Wahai hamba Allah, dia memberiku karena menduga aku baik. Jika aku seperti
apa yang dia duga, maka aku tidak pantas menerimanya, sedangkan jika aku tidak
seperti apa yang dia duga, maka aku tidak layak menerimanya.
Hisyaam bin Hassan berkata: “(Ketika wafat) Muhammad bin Siiriin
meninggalkan 40.000 dirham yang bagi orang pada saat itu terhitung banyak.
Kisah Wara’ Hassan bin Abi Sinnan -semoga
Allah merahmatinya-
Dalam riwayat lain, Ibnu al-Mubarok berkata: “Seorang pekerja Hassan
menulis surat kepadanya dari al-Ahwaaz (wilayah
sekitar Iran)
bahwa tanaman tebu terserang wabah (sehingga harga menjadi tinggi), maka
hendaknya dia membeli gula diwilayahnya. Diapun membeli gula dari seseorang,
tetapi itupun hanya dalam jumlah terbatas. Setelah diniagakan dia mendapat
keuntungan sebesar 30.000 dirham. Tetapi kemudian Ibnu Abi Sinan mendatangi
kembali si penjual gula (karena merasa tidak tenang) dan berkata:
“Wahai kisanak, sebelum aku membeli gula darimu, pekerjaku telah
memberitakan (kenaikan harga gula akibat perkebunan tebu terserang wabah)
tetapi aku tidak mengabarkannya kepadamu. Sekarang aku kembalikan apa yang
telah aku beli darimu dan keuntungannya.”
Si penjual gula menjawab:
“Engkau barusan telah mengabarkannya dan aku telah merelakannya.”
Ibu Abi Sinanpun pulang, tetapi hatinya tetap tidak tentram. Diapun kembali
lagi kepada si penjual gula:
“Wahai kisanak, aku telah berniaga dengan cara tidak semestinya, aku lebih
suka membatalkan jual beli ini. Ibnu Abi Sinan terus meminta kepada di penjual
gula sampai berhasil mengembalikannya
Kisah Wara’ Umar bin Abdul Aziz -semoga Allah
merahmatinya-
Abdullah bin Rasyid –penjual minyak wangi- berkata: “Aku mendatangi Umar
bin Abdul Aziz dengan membawa minyak wangi yang dibuat untuk khalifah
(penguasa) dari baitul mal. Diapun menutup hidungnya seraya berkata:
“Yang berharga dari minyak ini adalah baunya.” (maksudnya, minyak
wangi itu bukan hak nya sehingga ia tidak memiliki hak untuk mencium wanginya)
Dalam riwayat lain, Furot bin Maslamah berkata: aku membacakan
kitab-kitabku kepada Umar bin Abdul Aziz setiap hari jum’at. Ketika aku telah
membacakannya, dia mengambil selembar kertas dari kitabku selebar empat jari
tangan kemudian menulis keperluannya pada kertas itu. Akupun bergumam: “Amirul
mukminin telah lupa.”
Namun ternyata tanpa disangka, keesokan harinya ia mengutus seseorang agar
aku datang kepadanya sambil membawa kitab-kitabku. Maka akupun mendatanginya
sambil membawa kitab-kitabku. Sesampainya di sana, dia menugaskanku untuk pergi
ke suatu tempat. Sekembalinya dari tugas itu dia berkata kepadaku:
“Tidak cukup waktu kita sekarang untuk melihat kitab-kitab itu.”
“Engkau telah melihatnya kemarin.” Timpalku.
“Pulanglah! telah cukup aku menugasimu.” Kata Umar.
Ketika aku buka kitabku, terselip selembar kertas kosong selebar
apa yang telah diambil beliau kemarin (sebagai pengganti kertas yang tak
sengaja beliau pakai kemarin).
Dalam riwayat lain, Hammad bin Salamah berkata: Abu Sannan menceritakan
bahwa Umar bin Abdul Aziz biasa dipanaskan air untuknya dari dapur. Diapun
bertanya kepada pengurus dapur:
“Dimana air ini dipanaskan”.
“Di dapur” Jawab pengurus dapur.
“Hitunglah, sudah berapa lama engkau memanaskan air di dapur!” Perintah
Umar.
“Sejak waktu demikian dan demikian.” Terang pengurus dapur.
“Hitung berapa nilai kayu bakar yang telah terpakai” Perintah Umar lagi.
“Jumlahnya demikian dan demikian.” Terang pengurus dapur lagi.
Maka Umarpun mengambil simpanan uangnya senilai yang disampaikan, dan
memasukannya kebaitul mal.
Dalam riwayat lain, Fatimah binti Abdul Malik berkata: “Suatu kali Umar
sangat berselera kepada madu tetapi kami tidak memilikinya. Maka kamipun
menugaskan pelayan pos dengan mengendarai tunggangannya ke Baklabak untuk
membeli madu dengan membekalinya uang satu dinar, dan diapun mendapatkanya.
Kemudian aku berkata kepada Umar:
“Engkau menyebut-nyebut madu, aku memilikinya, apakah engkau mau?
Kamipun memberinya madu dan ia meminumnya seraya bertanya:
“Darimana kalian mendapatkan madu ini?”
Kami menyuruh seorang pelayan pos (petugas yang digaji oleh negara untuk
keperluan rakyat umum, red) pergi ke Baklabak dengan uang satu dinar
menggunakan tunggangannya dan dia membelinya dari sana. Umar memanggil pelayan pos petugas
pemerintah tersebut dan berkata:
“Bawa madu ini ke pasar dan jual, lalu kembalikan harga pokoknya kepada
kami, selebihnya gunakan untuk membiayai hewan tunggangan yang dipakai.
Seandainya muntahan madu dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin niscaya aku akan
memuntahkannya.”
Dalam riwayat lain, Ibnu as-Samâk berkata: “Pernah Umar bin Abdul Aziz
membagi-bagi apel kepada orang-orang. Kemudian datang putranya dan mengambil
apel dari apel yang dibagi-bagikannya. Umar pun merenggut tangan putranya dan
mengambil kembali apel tersebut lalu mengembalikannya bersama apel-apel lain.
Putranya lalu mengadu kepada ibunya. Ibunya bertanya:
“Ada apa denganmu, putraku?”
Putranyapun menyampaikan apa yang terjadi. Maka istrinya memberi putranya
uang dua dirham untuk membeli apel sehingga dia dan putranya dapat makan apel,
lalu menyisakan lebihannya untuk Umar. Ketika Umar selesai dari pekerjaannya
diapun masuk ke dalam rumah. Istrinya menyodorkan satu cawan apel kepadanya.
Umar bertanya:
“Dari mana kau dapatkan apel ini, wahai Fatimah?”
Istrinya menyampaikan kisahnya. Umar senang dan berkata:
“Semoga Allah merahmatimu. Sungguh akupun sebenarnya berselera dengan apel
tersebut.”
Kisah Wara’ Yunus bin Ubaid -semoga Allah
merahmatinya-
Hammad bin Yazid berkata: “Bila Yunus meriwayatkan (menyampaikan) hadits
Rasul, setelah penyampaiannya dia akan berkata:
“Astaghfirullah (semoga Allah mengampuniku) 3x.
Asma’i menceritakan dari Muamil bin Ismail, katanya: “Datang seseorang dari
Syam ke pasar sutra dan berkata:
“Apakah engkau memiliki kain seharga 400 dirham?”
“Kami memiliki yang seharga 200 dirham” Jawab Yunus bin Ubaid.
Bersamaan dengan itu terdengar suara adzan shalat sehingga Yunuspun pergi
ke Bani Qusyair untuk shalat berjamaah di sana.
Ketika kembali dari shalat, keponakannya telah menjual kain tersebut dengan
harga 400 dirham. Diapun bertanya:
“Dari mana uang ini?”
“Itu hasil penjualan kain ” Jawab keponakannya.
Yunus pun berkata kepada orang yang telah membeli kain itu:
“Wahai hamba Allah, kain yang aku tawarkan itu harganya 200 dirham. Jika
engkau suka ambillah dan ambil kembali kelebihan yang 200 dirham, jika tidak,
maka tinggalkanlah.”
Dalam riwayat lain, Amiyah bin Khalid berkata: “Seorang perempuan datang
kepada Yunus membawa jubah sutra seraya berkata padanya:
“Belilah ini!”
“Berapa?” Tanya Yunus.
“500 dirham” Jawab wanita itu.
“Jubah ini harganya lebih dari itu” Yunus memberi penilaian.
“600 dirham!” Wanita itu menambahkan.
“Jubah ini harganya lebih dari itu” Komentar Yunus lagi, hingga akhirnya
selesai ketika mencapai 1000 dirham.
Dalam riwayat lain, Basyar bin al-Mufadhal berkata: “Datang seorang wanita
menjual kain sutra kepada Yunus bin Ubaid. Yunus bertanya kepadanya:
“Berapa engkau jual?”
“60 dirham” Jawab wanita itu.
Yunuspun memperlihatkan pakaian itu kepada penjual di sebelahnya seraya
berkata:
“Bagaimana penilaianmu?”
“Itu harganya 120 dirham.” Penilaian penjual disebelahnya.
“Aku rasa itulah harganya. Sekarang pulanglah dan mintalah izin dari
keluargamu untuk menjualnya seharga 125 dirham.” Tambah Yunus.
“Mereka telah memenyuruhku untuk menjualnya 60 dirham.” Tegas wanita itu.
“Kembalilah kepada keluargamu dan mintalah izin untuk menjualnya seharga
yang aku sebutkan.” Perintah Yunus.
Dalam riwayat lain, Sa’id bin Amir ad-Dob’iy berkata: “Bercerita kepada
kami Asma bin Ubaid, katanya: “Aku mendengar Yunus bin Ubaid berkata:
“Tidak ada yang lebih mulia daripada dua hal: dirham yang halal dan
seseorang yang beramal di atas Sunnah.”
An-Nadhr bin Syamil berkata: “Jika harga sutra naik, maka Bashrahlah kota yang lebih dulu
naik. Yunus bin Ubaid adalah saudagar sutra, dia mengetahui kenaikan harga itu.
Ketika Ubaid membeli barang dagangan dari seorang rekanannya senilai 30,000
dirham, seusai transaksi Yunus bertanya kepada rekanannya itu:
“Apakah engkau tahu kalau barang-barang ini harganya tinggi di kota ini dan itu?
“Tidak, jika aku tahu mungkin aku tidak menjualnya” Jawab rekanannya itu.
“Baiklah, kembalikan uangku dan ambil kembali barang daganganmu.” Minta Yunus.
Rekanannya itupun mengembalikan uangnya dan mengambil kembali barang
dagangannya.
Kisah Wara’ Kahmas bin al-Hasan at-Tamimiy
-semoga Allah merahmatinya-
Amâroh bin Zâdzan berkata: “Berkata kepadaku Kahmas, Abu Abdullah:
“Wahai abu Salamah, aku telah melakukan dosa yang membuatku menangis selama
40 tahun.”
“Dosa apa itu, wahai abu Abdullah?” Tanya Abu Salamah.
“Ketika saudaraku mengunjungiku, aku membelikannya ikan seharga satu danik
. Seusai makan aku berdiri menuju dinding rumah tetanggaku yang terbuat dari
tanah dan mengambil cuilan dinding itu untuk membasuh tanganku. Itulah yang
membuatku senantiasa menangis selama 40 tahun.”
Dalam riwayat lain, Muammal berkata: “Sahabat kami menceritakan kepada kami
bahwa sekeping dinar pernah jatuh dari tangan Kahmas dan diapun mencarinya. Ada yang bertanya
kepadanya:
“Apa yang engkau cari wahai Abu Abdallah?”
“Sekeping dinarku terjatuh.” Jawabnya.
Maka orang-orangpun mengambil garuk dan mulai menggaruki tanah hingga
menemukan sekeping dinar. Tetapi kemudian Kahmas menolak mengambilnya dan
berkata:
“Mungkin saja itu bukan dinar milikku.”
Kisah Wara’ Hammad bin Abu Hanifah -semoga
Allah merahmatinya-
Ad-Dzahabi di dalam biografi Abu Hanif menyampaikan: “Al-Faqih Hammad bin
Abu Hanif adalah orang yang alim, kuat agamanya, soleh dan sempurna
kewara’annya. Ketika ayahnya wafat, banyak meninggalkan titipan-titipan barang
milik orang lain di rumahnya, sedangkan pemiliknya tidak jelas. Hammad pun menyerahkan
barang-barang titipan itu kepada hakim.
Hakim berujar kepadanya:
“Biarlah tetap bersamamu, engkau pantas menjaganya.”.
“Tolong barang-barang itu dicatat dan ditimbang, lalu simpanlah
barang-barang itu sampai pemiliknya memintanya, setelah itu perbuatlah apa yang
engkau mau !” Minta Hammad.
Sang hakimpun menuruti permintaannya mencatat dan menimbang barang-barang
titipan itu. Namun barang-barang itu tetap saja berada di gudang simpanan
selama berhari-hari lamanya, sedang Hammad bersembunyi. Dia tidak menampakkan
diri sampai sang hakim menyimpan barang-barang itu pada orang lain yang dapat
dipercaya.
Kisah Wara’ Wuhib bin al-Warad -semoga Allah
merahmatinya-
Ali bin Abu Bakar berkata: “Wuhib bin al-Warad berhasrat ingin minum susu.
Maka bibinya mengambilkannya dari kambing milik Isa bin Musa. Wuhib pun
menanyakan dari mana didapatkan susu tersebut. Bibinya menyampaikan dari mana
dia mengambilnya. Tahu susu itu dari milik orang lain Wuhib menolak meminumnya.
Bibinya berkata: “Minumlah!” Tetapi dia tetap menolak sehingga bibinya membujuk
dengan berkata:
“Aku berharap jika engkau meminumnya Allah akan mengampunimu” (maksudnya
karena dia minum bukan keinginannya tetapi karena permintaan bibinya)
“Aku tidak suka meminumnya lalu Allah mengampuniku.” Tegas Wuhib.
“Kenapa?” Tanya bibinya.
“Aku tidak ingin mendapatkan pengampunan-Nya dengan bermaksiat kepadanya.”
Kisah Wara’ Abu bakar bin Iyasy -semoga Allah
merahmatinya-
Yahya bin Sa’id berkata: “Aku menemani Abu Bakar bin Iyasy pergi ke Mekkah.
Belum pernah aku temui orang yang lebih wara daripadanya. Seseorang memberinya
rutob (buah kurma yang masih mengkal). Tetapi kemudian dia tahu bahwa rutob
yang diberikan kepadanya itu didapat dari mencuri hasil kebun milik Khalid bin
Salamah al-Makhzumiy. Diapun mendatangi Khalid untuk minta dihalalkan dan
bersedekah senilai harga rutob itu.
Kisah Wara’ Zakariya bin Adiy -semoga Allah
merahmatinya-
Abu Yahya So’iqoh berkata: “Ketika Zakariya bin Adiy datang, orang-orang di
tempat yang ia kunjungi memintanya untuk bekerja di kampung mereka dengan upah
(yang sangat tinggi, red) 30 dirham. Setelah satu bulan bekerja dia memilih
pulang seraya berkata:
“Aku merasa bahwa pekerjaanku tidak sesuai dengan kadar upahku.”
Kisah Wara’ Abu Ishak as-Syairoziy -semoga
Allah merahmatinya-
As-Sam’aniy berkata: “Suatu hari Abu Ishak masuk masjid untuk makan siang,
tetapi tanpa disadari uang dinarnya tertinggal. Ketika ingat dia kembali dan
mendapatkan uang tersebut. Namun kemudian dia berfikir dan berujar:
“Mungkin ini milik orang lain yang juga tertinggal.” Diapun urung
mengambilnya.
Kisah Wara’ dua orang lelaki dari kalangan
Tabi’in -semoga Allah merahmatinya-
Dari Abu Bakar bin Iyasy, dari Hushain, dari Sya’bi, katanya: “Datang dua
orang laki-laki kepada Syuraih. Salah seorang dari keduanya berkata:
“Aku membeli sebuah bangunan dan aku dapati 100 ribu dirham di dalamnya.”
Si penjual meminta si pembeli untuk mengambilnya, tetapi si pembeli
menolak.
“Kenapa aku harus mengambilnya?! yang aku beli hanyalah bangunannya. Justru
engkaulah yang harus mengambilnya!” Tolak si pembeli.
“Kenapa harus aku yang mengambil, aku telah menjual bangunan itu beserta
apa yang ada di dalamnya.” Tegas si penjual.
Terjadilah saling tolak di antara keduanya. Maka Syuraihpun menemui Ziyad
dan mengabarkan perselisihan keduanya.
“Aku tidak menyangka bahwa orang-orang seperti ini masih ada.” Ujarnya.
Syuraih berkata:
“Masukkan kebaitul mal dan jadikan pada setiap kantong kadar genggaman
untuk dibagikan kepada kaum muslimin. Kemudian berkata kepada Sya’bi:
“Bagaimana reaksi Amir (gubernur) dengan kejadian ini?”
“Ia takjub dengan apa yang berlangsung” Jawab Abu Bakar bin Iyasy. .
Penutup
Kisah-kisah yang menarik ini hanyalah sekelumit dari kisah-kisah yang ada
dalam kitab-kitab biografi dan sejarah. Tidak ada maksud untuk merinci maupun
berpanjang lebar. Yang terpenting mampu mengisyaratkan kisah-kisah
keteladanan mereka agar menjadi obor dan mercusuar perjalanan hidup kita di
zaman kini yang penuh kecurangan dalam perdagangan dan perjanjian, korupsi,
menganggap sepele bila hanya mengambil sedikit hak orang lain, menggunakan
fasilitas umum/kantor/pemerintah untuk kepentingan pribadi, menganggap
lumrah korupsi kecil-kecilan atau pencurian kecil, merubah berat
timbangan saat transaksi jual-beli, dan banyak lagi.(1)
Hendaknya kita mulai introspeksi sejak hari ini, apakah kita masih
berani menggunakan fasilitas telpon kantor untuk menelpon ke rumah, atau
memasang lampu penerangan jalan untuk umum dengan mengambil listrik PLN tanpa
izin, membiarkan ranting tanaman di depan rumah kita tumbuh liar hingga
menghalangi /mempersulit kendaraan yang lewat, mencicipi sedikit buah di
supermarket tanpa izin, tawar-menawar barang secara ketat hingga membuat
salah satu pihak merasa terpaksa membeli atau menjual, atau masih berani menjadi
pegawai kantor pajak yang setiap hari mengambil pajak yang tak lain adalah
sebagian dari hak milik umat Islam, atau masih berani menjadi pegawai kantor
Bank atau Asuransi yang setiap harinya melakukan kegiatan riba’ yang diharamkan
dalam agama kita. Dan masih banyak lagi yang harus kita perbaiki dari diri
kita semua, termasuk diri saya sendiri.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang menganggap remeh dosa-dosa
kecil, sehingga terhindar golongan pendurhaka, sebagaimana disebutkan
dalam suatu atsar bahwa seorang yang beriman akan melihat dosa-dosanya
laksana dia duduk di bawah gunung di mana ia khawatir gunung itu akan
menimpanya. Sedangkan orang durhaka (tidak taat pada Allah) melihat dosa-dosanya
seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu dia halau dengan tangannya.
(Shahih Al-Al-Bukhari no. 6308)
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengampuni dosa-dosa kita, yang
disengaja atau tak disengaja, yang kita ketahui atau tidak kita ketahui,
yang kita anggap kecil apalagi besar, yang kita anggap tidak berdosa karena
kebodohan kita atau karena sikap kita yang meremehkan dosa-dosa kecil. Ampuni
kami ya Allah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar