Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْ
“Urgensi Dua Kalimat Syahadat”
Muqaddimah
Dua kalimat syahadat, Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah wa
Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah, adalah tujuan utama dari diutusnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Menjadikan seluruh manusia
memberikan kesaksian, ikrar, dan sumpah, bahwa tidak ada Ilah yang
berhak disembah secara haq kecuali Allah‘Azza wa Jalla, dan
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah hambaNya dan utusanNya.
Dua kalimat syahadat merupakan bingkai dari semua tujuan da’wah lainnya. Semua
aktifitas da’wah dan jihad diarahkan demi tegaknya kalimat ini.
Maka, bagi
aktifis da’wah, di mana pun mereka, apa pun profesinya, hendaknya menjadikan
dua kalimat syahadat sebagai muara semua tujuan dan arahan da’wahnya.
Hal
ini sesuai dengan nash-nash sebagai berikut:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ
رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhi
lah Thaghut itu". (QS. An Nahl (16): 36)
Dengan sangat jelas dalam ayat ini Allah ‘Azza wa
Jalla mengabarkan tentang tujuan utama da’wah para rasul, yakni agar
manusia menyembah Allah semata, dan tidak mempersekutukan diriNya dengan apa
pun, yang oleh manusia dijadikan sebagai Ilah selain Allah ‘Azza
wa Jalla, yakni Thaghut. (pembahasan thaghut akan ada babnya
tersendiri Insya Alah)
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari (w. 310H) menafsirkan
ayat ini, demikian:
ولقد بعثنا أيها الناس في كلّ أمة سلفت قبلكم
رسولا كما بعثنا فيكم بأن اعبدوا الله وحده لا شريك له ، وأفردوا له الطاعة ،
وأخلصوا له العبادة
“Wahai manusia, Kami telah mengutus pada
setiap umat terdahulu sebelum kalian seorang rasul sebagaimana Kami
telah utus kepada kalian juga, dengan seruan: sembahlah Allah semata yang tidak
ada sekutu bagiNya, dan hanya kepadaNyalah kalian ta’at, dan memurnikan ibadah
hanya untukNya.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al
Bayan fi Ta’wilil Quran, 17/201. Mu’asasah Ar Risalah)
Ada
pun ayat yang menegaskan kerasulan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ
مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى
أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا
وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang
rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia
wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang
berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudhar kepada Allah
sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
(QS. Ali Imran (3): 144)
Ayat yang mulia ini menegaskan tentang kedudukan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagai hamba dan RasulNya,
sebagaimana dahulu juga telah Allah ‘Azza wa Jalla utus para rasul
sebelumnya.
وما محمد إلا رسول كبعض رسل الله الذين
أرسلهم إلى خلقه، داعيًا إلى الله وإلى طاعته، الذين حين انقضت آجالهم ماتوا
وقبضهم الله إليه
“Muhammad itu hanyalah seorang
rasul, seperti sebagian rasul-rasul Allah yang telah Dia utus kepada
hambaNya, penyeru kepada Allah dan menuju ketaatan kepadaNya, mereka itu ketika
telah ditetapkan ajalnya, maka mereka wafat dan Allah mencabut nyawa mereka
kepadaNya.” (Ibid, 7/251)
Atau ayat:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ
مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al Fath 48): 29)
Dan
masih banyak ayat lainnya.
Sedangkan dari As Sunnah, telah diriwayatkan beberapa hadits
yang menyebutkan esensi diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله
إلا الله وأن محمدا رسول الله، ويقيموا الصلاة، ويؤتوا الزكاة، فإذا فعلوا ذلك
عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام، وحسابهم على الله
“Aku diutus untuk memerangi manusia hingga
mereka bersaksi (bersyahadat), bahwa tidak ada Ilahkecuali
Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat,
menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka mereka terjaga
dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas Allah-lah
perhitungan mereka.” (HR. Bukhari, Kitabul Iman, No. 25, Muslim, Kitabul
Iman, No. 36)
Hadits yang mulia ini telah menegaskan pula kepada kita
bahwa tujuan Beliau diutus adalah agar manusia mengucapkan dua kalimat
syahadat, shalat, dan zakat. Tentunya tidak melupakan kewajiban-kewajiban
lain kebagaimana disebutkan dalam riwayat yang masyhur, bahwa
Islam dibangun dengan lima
rukun.
Al Hafizh Ibnu Hajar (w. 852H) mengomentari
hadits ini:
جُعِلَتْ غَايَة الْمُقَاتَلَة وُجُود مَا
ذُكِرَ ، فَمُقْتَضَاهُ أَنَّ مَنْ شَهِدَ وَأَقَامَ وَآتَى عُصِمَ دَمه وَلَوْ
جَحَدَ بَاقِيَ الْأَحْكَام ، وَالْجَوَاب أَنَّ الشَّهَادَة بِالرِّسَالَةِ
تَتَضَمَّن التَّصْدِيق بِمَا جَاءَ بِهِ
“Dijadikannya tujuan peperangan adalah demi eksistensi
apa-apa yang telah disebutkan (syahadat, shalat, dan zakat, pen), maka
konsekuensinya bahwa siapa saja yang telah bersaksi, menegakkan shalat, dan
menunaikan zakat, maka telah dijaga darahnya walau dia masih berpaling pada
hukum-hukum lainnya. Dan jawabannya adalah bahwa sesungguhnya kesaksian
terhadap risalah (Islam) membawa konsekuensi meyakini apa pun yang datang
bersamanya.” (Fathul Bari, 1/76. Darul Fikr)
Sementara, Imam Ibnu Rajab (w. 795) dalam kitab yang
berjudul sama dengan Al Hafizh Ibnu Hajar, yakni Fathul Bari, mengatakan
bahwa sekelompok sahabat ada yang memahami bahwa kalimat syahadat menjadi
pelindung darah seseorang seihngga dia tidak boleh diperangi,
kecuali mereka menolak mengeluarkan zakat. Sampai
akhirnya, Abu Bakar Ash Siddiq Radhiallahu
‘Anhu menjelaskan kepada mereka tentang hadits ini, akhirnya para sahabat
lain pun mengikuti beliau:
الكلمتان بحقوقهما ولوازمهما، وهو الإتيان
ببقية مباني الإسلام.
“(yakni) dua kalimat beserta hak-haknya dan
hal-hal yang menyertainya, yaitu dengan mendatangkan juga hal-hal lain dari
rukun-rukun Islam.” (Lihat Fathul Bari-nya Ibnu Rajab,
pembahasan Kitabush Shalah Bab Fadhlush Shalah li Waqtiha, Mauqi’ Ruh Al
Islam. Ada pun
versi Al Maktabah Asy Syamilah, pada Juz 4, Hal. 20)
Jadi, menurut Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu
‘Anhu bukan hanya zakat, hal-hal lain dari rukun Islam yang wajib ada
menyertai dua kalimat syahadat pun jika ditinggalkan karena mengingkari
kewajibannya, maka orang tersebut boleh diperangi.
Demikianlah. Betapa pentingnya dua kalimat syahadat bagi
manusia secara umum, dan khususnya umat Islam untuk mempelajarinya.
Urgensi
Pertama: Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pintu Gerbang Keislaman
Dua kalimat syahadat merupakan madkhalun ilal
Islam (pintu gerbang masuk ke Islam). siapa pun yang ingin memeluk Islam,
maka dia wajib mengucapkannya, tanpa keraguan, tanpa dipaksa atau terpaksa,
jika demikian maka dia sah disebut muslim, tanpa harus ada saksi sebagaimana
keislaman raja Najasyi
Ada pun
tentang status orang yang sudah bersyahadat, maka Imam Muhyiddn An Nawawi (w.
676H) mengatakan ketika mengomentari hadits, “Aku diutus untuk memerangi
manusia ...”:
وَفِيهِ دَلَالَة ظَاهِرَة لِمَذْهَبِ
الْمُحَقِّقِينَ وَالْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف أَنَّ الْإِنْسَان إِذَا
اِعْتَقَدَ دِين الْإِسْلَام اِعْتِقَادًا جَازِمًا لَا تَرَدُّد فِيهِ كَفَاهُ
ذَلِكَ وَهُوَ مُؤْمِن مِنْ الْمُوَحِّدِينَ وَلَا يَجِب عَلَيْهِ تَعَلُّم
أَدِلَّة الْمُتَكَلِّمِينَ وَمَعْرِفَة اللَّه تَعَالَى بِهَا ، خِلَافًا لِمَنْ
أَوْجَبَ ذَلِكَ وَجَعَلَهُ شَرْطًا فِي كَوْنه مِنْ أَهْل الْقِبْلَة ، وَزَعَمَ
أَنَّهُ لَا يَكُون لَهُ حُكْم الْمُسْلِمِينَ إِلَّا بِهِ . وَهَذَا الْمَذْهَب هُوَ
قَوْل كَثِير مِنْ الْمُعْتَزِلَة وَبَعْض أَصْحَابنَا الْمُتَكَلِّمِينَ . وَهُوَ
خَطَأ ظَاهِر فَإِنَّ الْمُرَاد التَّصْدِيق الْجَازِم ، وَقَدْ حَصَلَ ،
وَلِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِكْتَفَى بِالتَّصْدِيقِ
بِمَا جَاءَ بِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَشْتَرِط الْمَعْرِفَة
بِالدَّلِيلِ ؛ فَقَدْ تَظَاهَرَتْ بِهَذَا أَحَادِيث فِي الصَّحِيحَيْنِ يَحْصُل
بِمَجْمُوعِهَا التَّوَاتُر بِأَصْلِهَا وَالْعِلْم الْقَطْعِيّ .
“Dalam hadits ini terdapat petunjuk yang
jelas menurut madzhab para muhaqqiq (peneliti)
dan jumhur (mayoritas) salaf dan khalaf, bahwa manusia jika dia meyakini agama
Islam dengan keyakinan yang pasti tanpa keraguan di dalamnya, maka itu telah
cukup baginya, dan dia adalah seorang mu’min dari kalangan muwahhidin(orang-orang
yang bertauhid). Dia tidak diharuskan mengetahui dalil-dalil para ahli kalam
dan dalil-dalilma’rifatullah. Telah terjadi perselisihan bagi orang yang
mewajibkan hal itu (pengetahuan terhadap dalil, pen) dan menjadikannya
sebagai syarat bagi seseorang untuk termasuk sebagai ahli kiblat, mereka
menyangka bahwa tidak bisa dihukumi sebagai muslim kecuali dia harus mengetahui
dalil-dalilnya. Ini adalah pendapat kebanyakan kaum mu’tazilah dan sebagian
kawan-kawan kami (madzhab syafi’i, pen) dari kelompok ahli kalam (teolog).
Ini jelas pendapat yang salah. Sebab, sesungguhnya yang dimaksud adalah
keyakinan yang pasti dan itu telah cukup. Sebab Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam telah mencukupkan dengan keyakinan terhadap apa-apa yang
dia bawa, dan tidak mensyaratkan harus mengetahui dalil-dalilnya. Hadits-hadits
tentang masalah ini sangat jelas tertera
dalam shahihain (Bukhari-Muslim) yang mencapai derajat mutawatir dan
membawa ilmu yang meyakinkan.” (Syarh Shahih Muslim, Kitabul
Iman, No. 31. Mauqi Ruh Al Islam. Ada
pun versi Al Maktabah Asy Syamilah, Juz. 1, Hal. 93)
Jadi, keislaman seseorang sudah diakui, selama dia
meyakininya secara pasti, tanpa harus mereka mengetahui dalil-dalil keimanan
itu ada di ayat mana, hadits riwayat siapa, dan seterusnya. Sebab,
dahulu orang-orang pedalaman ketika masuk Islam pun oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap diakui
keislamannya, walau mereka tidak mengetahui dalil-dalilnya.
Namun, alangkah lebih baiknya bagi seseorang yang sudah berislam dia
berupaya mengetahui dalil-dalil keimanannya.
Konsekuensi dua kalimat syahadat bagi pengucapnya
adalah maka dia hendaknya tidak sekedar bersyahadat tetapi menyempurnakannya
dengan rukun Islam lainnya, sebagaimana yang dikataka oleh Abu Bakar Ash
Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu. Dia dimaafkan ketika masih
awal muallaf belum mengetahui bahkan belum mengerjakan hal-hal urgen
dalam Islam yang wajib dilakukan oleh semua orang Islam. Namun, dia tidak boleh
berlama-lama dalam ketidaktahuannya, harus terus belajar dan mengamalkan Islam
secara bertahap.
Sedangkan konsekuensi bagi saudara muslim lainnya, maka
hendaknya melindungi muallaf baru ini baik darah, harta, dan
kehormatannya, dan disikapi seperti muslim lainnya. Dia sudah berhak
mendapatkan waris atau mewariskan[1] dengan sesama umat islam lainnya
yang senasab dengannya atau karena faktor pernikahan. Dia sudah berhak
diberikan dan dijawab salamnya secara wajar, dan sikap-sikap lainnya yang
diajarkan syariat terhadap sesama muslim.
Selanjutnya, dua kalimat syahadat merupakan pintu masuk ke
dalam Islam, namun bagi manusia yang lahir dari keluarga muslim, sehingga sejak
kecil dia adalah muslim dan sampai dewasa tetap muslim, maka tidak ada istilah
syahadat ulang bagi mereka dan itu tidak dibenarkan, sebagaimana yang dilakukan
kelompok-kelompok sempalan dalam Islam yang meminta anggotanya untuk melakukan
syahadat ulang, jika ingin bergabung dengan mereka, jika tidak melakukannya maka
kafir, menurut mereka.
Sesungguhnya setiap anak manusia yang lahir maka dia sudah
muslim, sesuai ayat:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ
ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا
كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi
(bersyahadat)". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al A’raf (7): 172)
Ayat ini menjelaskan bahwa ketika manusia masih di alam ruh,
sebelum mereka ada di rahim ibunya, mereka telah mengambil janji dan mengakui
bahwa Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Tuhan mereka. Oleh karena itu,
setiap bayi yang lahir maka dia dalam keadaan fitrah (muslim). Apalagi jika dia
dilahirkan dari keluarga yang muslim dan dibesarkan dengan cara islam, maka
tidak perlu lagi syahadat ulang, kecuali jika dia dibesarkan oleh orang tuanya
dengan cara kafir, sehingga dia pun ikut menjadi kafir, maka jika dia ingin
masuk Islam (tepatnya adalah kembali kepada Islam), wajiblah baginya
mengucapkan dua kalimat syahadat. Lantaran dia telah ‘menanggalkan’
kesaksiannya itu ketika dibesarkan secara kafir oleh kedua orang tuanya di
dunia.
Hal ini diperkuat lagi oleh riwayat dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan
fitrah, maka bapaknyalah yang mebuatnya menjadi Yahudi, atau
Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No. 2658)
Telah banyak tafsir tentang makna ‘fitrah’ dalam hadits ini,
namun yang masyhur dan benar adalah Islam. Hal ini ditegaskan oleh Al Hafizh
Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah (w. 852H):
وَأَشْهَرُ الْأَقْوَال أَنَّ
الْمُرَاد بِالْفِطْرَةِ الْإِسْلَام ، قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : وَهُوَ
الْمَعْرُوف عِنْد عَامَّة السَّلَف . وَأَجْمَعَ أَهْل الْعِلْم بِالتَّأْوِيلِ
عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ
النَّاس عَلَيْهَا ) الْإِسْلَام
“Pendapat yang paling masyhur adalah bahwa
maksud dari fitrah adalah Islam. Berkata Ibnu Abdil Bar:‘Itu sudah dikenal oleh
umumnya kaum salaf.’ Para ulama
telah ijma’ (sepakat) dengan ta’wil maksud
ayat: “(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah,” adalah
Islam.” (Fathul Bari, 3/248. Darul Fikr)
Sehingga, dengan berdalil pada hadits ini, maka jika ada
seorang bayi yang wafat dan dia lahir dari orang tua yang kafir maka
dia tetaplah Islam menurut sebagian ulama dan dishalatkan, sebagaimana pendapat
Az Zuhri. Atau jika yang wafat adalah kedua orang
tuanya, maka dia pun dihukumi sebagai muslim. Berkata Imam
Ahmad:
مَنْ مَاتَ أَبَوَاهُ وَهُمَا كَافِرَانِ
حُكِمَ بِإِسْلَامِهِ
“Barangsiapa yang kedua orangtuanya wafat, dan
mereka berdua kafir, maka bayi itu dihukumi sebagai
Islam.” (Ibid) selesai.
Pembahasan ini menegaskan sekali lagi bahwa dua kalimat
syahadat merupakan pembatas antara muslim dan kafir. Dia adalah kalimat
revolusioner yang telah merubah seorang budak seperti Bilal bin
RabahRadhiallahu ‘Anhu menjadi manusia mulia, seorang ‘preman’
seperti Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhumenjadi manusia agung. Bukan
hanya dalam lingkup pribadi, juga dalam jangkauan komunitas, dua kalimat
syahadat telah merubah masyarakat Arab yang jahiiyah menjadi
berperikemanusiaan dengan bimbingan Islam. Bahkan menjadi guru dunia selama
hampir satu mellenium lamanya.
Sebenarnya, orang kafir –menurut keterangan Al Quran- mereka
juga bertauhid, yakni hanya tauhid rububiyah yakni mengesakan Allah
bahwa Allah Ta’ala dari sisi bahwa Dia satu-satunya Rabb, yaitu yang
memberi rezeki, mencipta, dan mengatur. Dari sisi ini sajalah, kesamaan antara
orang kafir dan muslim. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
قُلِ اللَّهُ
“Katakanlah: "Siapakah Rabb-nya
langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah". (QS. Ar Ra’d (13):
16)
Dalam ayat lain:
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (85)
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86)
سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ
كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(88) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ (89)
“Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi
ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan
menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka Apakah kamu tidak
ingat?" Katakanlah: "Siapakah
yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya 'Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan
Allah." Katakanlah: "Maka Apakah kamu tidak bertakwa?" Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya
berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada
yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan
Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka dari jalan manakah kamu
ditipu?" (QS. Al Mu’minun (23): 84-89)
Ayat-ayat ini menerangkan bahwa orang kafir mengakui
bahwa Allah ‘Azza wa Jalla, sebagai pencipta langit dan bumi,
pemiliki, dan pengaturnya. Maka, jika ada seorang mangakui muslim bertauhid
hanya pada sampai titik ini maka dia memiliki kesamaan dengan orang
kafir.
Sedangkan seorang muslim sejati, dia juga
meyakini tauhid uluhiyah yakni mengesakan Allah Ta’ala sebagai
satu-satunya Ilah yang layak disembah secara haq, karena Dia
sebagai Penguasa, Raja, Pembuat undang-undang, dan ma’bud (yang
disembah). Nah, di sisi inilah orang kafir tidak mengakui dan tidak
meyakininya, sehingga mereka masih menyembah sesembahan selain Allah Ta’ala,
walau mereka mengakui Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur
hidup mereka. Jika kita perhatikan umat Islam hari ini, maka betapa banyak yang
sudah merasa muslim, tetapi tidak memiliki tauhid uluhiyah yang benar. Mereka
masih mendatangi dukun, percaya tahayul, meminta kepada penghuni kubur,
benda-benda keramat, tanggal dan hari keramat, angka keberuntungan, menjadikan
selain Allah Ta’ala sebagai pembuat syariat, dan lain sebagainya, padahal itu
semua tidak membawa manfaat dan mudharat bagi mereka di dunia, dan membawa
malapetaka bagi mereka di akhirat.
Allah Ta’ala telah menyindir mereka:
قُلْ أَفَاتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِهِ
أَوْلِيَاءَ لَا يَمْلِكُونَ لِأَنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا
“Katakanlah: "Maka Patutkah kamu mengambil
pelindung-pelindungmu dari selain Allah, Padahal mereka tidak menguasai
kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?" (QS.
Ar Ra’d (13): 16)
Urgensi
Kedua: Dua kalimat Syahadat Merupakan Intisari Ajaran Kandungan Islam
Jika kita perhatikan semua kandungan ajaran Islam yang
tertera dalam Al Quran dan As Sunah, baik cakupan individu, keluarga, atau
komunitas, negara atau antara negara, ekonomi, budaya, politik, pendidikan,
militer, dakwah, jihad, silaturrahim, menutup aurat, puasa,
shalat, berkata baik dan benar, dan semua jenis perbuatan baik, maka
semua ini memiliki satu tema yang sama yakni ibadah dan pengabdian kepada
Allah ‘Azza wa Jalla. Berada di mana pun dan profesi
positif apa pun, semuanya bisa bernilai ibadah di sisi
Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah tujuan dari penciptaan jin dan manusia.
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahullah (w. 728H) memberikan definisi ibadah yang
sangat konprehensif sebagai berikut:
" الْعِبَادَةُ " هِيَ اسْمٌ
جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ : مِنْ الْأَقْوَالِ ،
وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ ؛ فَالصَّلَاةُ ، وَالزَّكَاةُ ،
وَالصِّيَامُ ، وَالْحَجُّ ، وَصِدْقُ الْحَدِيثِ ، وَأَدَاءُ الْأَمَانَةِ ،
وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ، وَصِلَةُ الْأَرْحَامِ ، وَالْوَفَاءُ بِالْعُهُودِ ،
وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَالْجِهَادُ
لِلْكُفَّارِ وَالْمُنَافِقِينَ ، وَالْإِحْسَانُ إلَى الْجَارِ ، وَالْيَتِيمِ ،
وَالْمِسْكِينِ ، وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَالْمَمْلُوكِ مِنْ الْآدَمِيِّينَ
وَالْبَهَائِمِ ، وَالدُّعَاءُ ، وَالذِّكْرُ ، وَالْقِرَاءَةُ ، وَأَمْثَالُ
ذَلِكَ مِنْ الْعِبَادَةِ . وَكَذَلِكَ حُبُّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَخَشْيَةُ
اللَّهِ وَالْإِنَابَةُ إلَيْهِ ، وَإِخْلَاصُ الدِّينِ لَهُ ، وَالصَّبْرُ
لِحُكْمِهِ ، وَالشُّكْرُ لِنِعَمِهِ ، وَالرِّضَا بِقَضَائِهِ ، وَالتَّوَكُّلُ
عَلَيْهِ ، وَالرَّجَاءُ لِرَحْمَتِهِ ، وَالْخَوْفُ لِعَذَابِهِ ، وَأَمْثَالُ
ذَلِكَ هِيَ مِنْ الْعِبَادَةِ لِلَّهِ .
“Ibadah adalah nama yang mencakup untuk segala sesuatu yang
dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan, amal batin dan lahir. Maka, shalat,
zakat, puasa, haji, jujur dalam berkata, memenuhi amanah, berbakti kepada dua
orang tua, silaturrahim, menepati janji, amar ma’ruf, nahi munkar, jihad
melawan orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim,
orang miskin, ibnu sabil, budak, hewan, doa, dzikir, membaca, dan
yang sepertinya, itu semua termasuk ibadah. Demikian juga mencintai Allah dan
RasulNya, takut kepada Allah dan kembali kepadaNya, ikhlas dalam beragama
untukNya, sabar atas hukumNya, syukur atas nikmatNya, ridha atas ketetapanNya,
tawakal kepadaNya, mengharap rahmatNya, takut atas adzabNya, dan yang semisal
itu, juga termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala.” (Al Fatawa Al Kubra,
7/257).
Beliau juga berkata:
أَنَّ الْعِبَادَةَ تَتَضَمَّنُ كَمَالَ
الْحُبِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى الْحَمْدِ ، وَتَتَضَمَّنُ كَمَالَ الذُّلِّ
الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى التَّعْظِيمِ ، فَفِي الْعِبَادَةِ حُبُّهُ وَحَمْدُهُ
عَلَى الْمَحَاسِنِ ، وَفِيهَا الذُّلُّ النَّاشِئُ عَنْ عَظَمَتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ
.
“Bahwa Ibadah adalah mencakup di
dalamnya totalitas rasa cinta, mencakup di dalamnya makna
pujian, mencakup totalitas merendahkan diri, mencakup makna pengagungan, maka
dalam ibadah terdapat cinta kepadaNya dan pujian kepadaNya atas segala bentuk
kebaikan, dan dalam ibadah ada kerendahan pada malam hari terhadap keagunganNya
dan kebesaranNya.” (Al Fatawa Al Kubra, 7/348)
Sedangkan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah (w. 774H),
mendefinisikan makna ibadah secara syara’adalah:
وفي الشرع: عبارة عما يجمع كمال المحبة
والخضوع والخوف.
“Secara syariat, (makna ibadah) adalah semua makna (‘ibarah)
tentang apa-apa yang mencakup kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa
takut.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
1/134. Dar ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Demikianlah
intisari dua kalimat syahadat, Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah.
Implikasi kalimat Laa Ilaha Illallah adalah ibadah itu hendaknya
ditujukan untuk Allah ‘Azza wa Jalla semata (Al ‘Ibadat Lillah).
Tidak memperuntukkan peribadatan semata-mata demi kepuasan, kekhusyu’an,
ketenangan, apalagi pujian manusia. Bukan itu. Tetapi menjadikan peribadatan
semua untuk Allah Ta’ala, ikhlas dan murni untukNya semata. Sebagai bukti
kecintaan, khauf (takut), dan raja’ (harap) kepadaNya. Baik
ibadah infiradi (pribadi) atau jama’i(bersama-sama).
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ..”
(QS. Al Bayyinah (98): 5)
Ayat lainnya:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al An’am (6): 162)
Ayat lainnya:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya...” (QS. Al Mulk (67): 2)
Siapakah yang paling baik amalnya? Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahullah (w. 728H) mengutip dari Imam Al Fudhail bin
‘Iyadh (w. 187H) sebagai berikut:
قَالَ : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ فَقِيلَ :
يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ؟ فَقَالَ : إنَّ الْعَمَلَ إذَا
كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ . وَإِذَا كَانَ خَالِصًا
وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا .
وَالْخَالِصُ : أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ
. وَقَدْ رَوَى ابْنُ شَاهِينَ واللالكائي عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ : لَا
يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ إلَّا بِنِيَّةِ وَلَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ
وَنِيَّةٌ إلَّا بِمُوَافَقَةِ السُّنَّة
(Yaitu) “yang paling ikhlas dan paling benar.” Ada orang bertanya:
“Wahai Abu Ali, apakah yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Dia menjawab:
“Sesungguhnya amal itu, jika benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima.Dan jika ikhlas tetapi tidak benar, juga tidak
diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah menjadikan ibadah
hanya untuk Allah, dan benar adalah sesuai dengan sunah. Ibnu Syahin dan Al
Lalika’i meriwayatkan dari Said bin Jubeir, dia berkata: “Tidak akan diterima
ucapan dan amal perbuatan, kecuali dengan niat, dan tidak akan diterima ucapan,
perbuatan dan niat, kecuali bersesuaian dengan sunah.” (Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 6/345)
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallm bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ
وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat pada
penampilan kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan
kalian.” (HR. Muslim No. 2564. Ahmad No. 7493. Al Baihaqi, Syu’abul
Iman, No. 10088. Ibnu Hibban No. 394)
Ibadah merupakan upaya kita untuk menuju diriNya dan itu
merupakan manhaj Allah (manhajullah) yang sudah Dia tetapkan bagi
hamba-hambaNya. Jika ingin mendekatkan diri kepadaNya, ingin
menjadi ‘ibadurrahman sejati, ingin menjadi keluargaNya, ingin
menjadikan Allah ‘Azza wa Jalla sebagai penglihatannya ketika dia
melihat, sebagai pendengarannya ketika dia mendengar, sebagai kakinya ketika
dia melangkah, maka mengabdikan diri kepadaNya, merendah, tunduk, patuh, cinta,
takut, dan harap kepadaNya merupakan manhaj yang harus ditempuh bagi siapa saja
yang ingin bertemu denganNya di akhirat dalam keadaan puas, ridha dan diridhai.
Allah ‘Aza wa Jalla berfirman:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
(27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
(29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr (89): 27-30)
Namun demikian, manhaj ini tidak bisa ditempuh dengan tata
cara yang keliru, keluar dari koridor baik mengurangi atau menambahkan (baca:
bid’ah) dengan hal-hal yang tidak dicontohkan dan diperintahkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Walau pun dipandang baik oleh
manusia dan hawa nafsu, namun tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka menjadi sia-sia. Inilah
implikasi dari Muhammadarrasulullah, yakni menjadikan Beliau sebagai
satu-satunya teladan yang baik (qudwah hasanah) dalam beribadah kepada
Allah ‘Azza wa Jalla dengan pengertian ibadah yang sangat
luas, tidak menyelisihinya, apalagi menentangnya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ
اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab (33):
21)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah Aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran
(3): 31)
Jumhur (mayoritas) para ulama salaf mengatakan ayat ini
turun karena pada zaman nabi ada kaum yang mengklaim, “Kami mencintai Allah.”
Lalu turunlah ayat ini, bahwa jika ingin membuktikan cinta kepada
Allah ‘Azza wa Jalla adalah dengan menjadikan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai panutan, dan itu
merupakan tanda dari mencintaiNya. Sedangkan yang lain mengatakan, ayat ini
turun merupakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar kaum Nasrani Bani
Najran menepati janjinya bahwa mereka mengatakan mencintai Allah dan
mengagungkanNya, maka untuk itu mereka harus mengikuti
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Imam Abu Ja’far bin Jarir
Ath Thabari, Jami’ Al Bayan, 6/322-323. Mu’asasah Ar
Risalah)
Ayat lainnya:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur (24): 63)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا
لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang membuat perkara baru
dalam urusan kami ini (Islam), dengan apa-apa yang tidak ada padanya maka itu
tertolak.” (HR. Bukhari No. 2550. Muslim No. 1718. Abu Daud No. 4606. Ibnu
Majah No. 14. Ahmad No. 24840. Lafaz ini milik Bukhari)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha pula, dengan lafaz
agak berbeda, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal dengan sebuah perbuatan yang
tidak ada contohnya dalam agama kami, maka itu tertolak.” (HR.
Muslim No. 1718. Ahmad No. 24298)
Imam An Nawawi (w. 676H) Rahimahullah mengatakan:
وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ
قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ مِنْ جَوَامِع كَلِمه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيح فِي رَدّ كُلّ الْبِدَع وَالْمُخْتَرَعَات .
“Hadits ini merupakan kaidah agung diantara kaidah-kaidah
Islam. Ini adalah kalimat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam yang bermakna luas. Ini begitu jelas dalam menolak bid’ah dan hal
mengada-ada. “ (Syarh Shahih Muslim, No. 3242. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Imam Abul Abbas Ahmad bin Abu Hafsh Al Anshari Al
Qurhubi mengomentari hadits ini:
من اخترع في الشرع ما لا يشهد له أصل من
أصوله فهو مفسوخ ، لا يعمل به ، ولا يلتفت إليه
“Barangsiapa yang menciptakan dalam syariat sesuatu yang
tidak disaksikan oleh dasar dari dasar-dasar syariat, maka hal itu batal, tidak
boleh beramal dengannya, dan tidak boleh
mengikutinya.” (Al Mufhim Lima Asykala min Talkhishi Kitabi Muslim, 16/85.
Al Maktabah Al Misykat)
Maka hendaknya kaum muslimin menjadikan sunah nabi adalah
sunah (jalan) bagi hidupnya, tidak yang lainnya. Inilah jalan yang ditempuh
umat terbaik pada masa silam. Hanya jalan inilah kebaikan hidup dunia dan
akhirat, serta kejayaannya. Demikianlah wasiat para imam kaum muslimin dari
zaman ke zaman.
Berkata Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu:
عليكم بالسبيل والسنة فإنه ليس
من عبد على سبيل وسنة ذكر الرحمن ففاضت عيناه من خشية الله فتمسه النار وإن
اقتصادا في سبيل وسنة خير من اجتهاد في إخلاف
“Hendaknya kalian bersama jalan kebenaran dan As Sunnah,
sesungguhnya tidak akan disentuh neraka, orang yang di atas kebenaran dan As
Sunnah dalam rangka mengingat Allah lalu menetes air matanya karena takut
kepada Allah Ta’ala. Sederhana mengikuti kebenaran dan As Sunnah adalah lebih
baik, dibanding bersungguh-sungguh dalam perselisihan.”
Dari Abul ‘Aliyah, dia berkata:
عليكم بالأمر الأول الذي كانوا عليه قبل أن
يفترقوا قال عاصم فحدثت به الحسن فقال قد نصحك والله وصدقك
“Hendaknya kalian mengikuti urusan orang-orang awal, yang
dahulu ketika mereka belum terpecah belah.” ‘Ashim berkata: “Aku
menceritakan ini kepada Al Hasan, maka dia berkata: ‘Dia telah menasihatimu dan
membenarkanmu.’ “
Dari Al Auza’i, dia berkata:
اصبر نفسك على السنة وقف حيث وقف القوم وقل
بما قالوا وكف عما كفوا عنه واسلك سبيل سلفك الصالح فانه يسعك ما وسعهم
“Sabarkanlah dirimu di atas As Sunnah, berhentilah ketika
mereka berhenti, dan katakanlah apa yang mereka katakan, tahanlah apa-apa yang
mereka tahan, dan tempuhlah jalan pendahulumu yang shalih, karena itu akan
membuat jalanmu lapang seperti lapangnya jalan mereka.”
Dari Yusuf bin Asbath, dia berkata:
قال سفيان يا يوسف إذا بلغك عن رجل بالمشرق
أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام وإذا بلغك عن آخر بالمغرب أنه صاحب سنة فابعث
إليه بالسلام فقد قل أهل السنة والجماعة
“Berkata Sufyan: Wahai Yusuf, jika sampai kepadamu seseorang
dari Timur bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku
untuknya. Jika datang kepadamu dari Barat bahwa dia seorang pengikut As Sunnah,
maka kirimkan salamku untuknya, sungguh, Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sedikit.”
Dari Ayyub, dia berkata:
إني لأخبر بموت الرجل من أهل السنة فكأني
أفقد بعض أعضائ
“Sesungguhnya jika dikabarkan kepadaku tentang kematian
seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan telah copot anggota badanku.”
Dan masih banyak lagi nasihat yang serupa. (Lihat semua
ucapan salaf ini dalam Talbisu Iblis, hal. 10-11, karya Imam Abul Faraj
bin Al Jauzi )
Urgensi
Ketiga: Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pondasi Bagi Perubahan
Tentu kita pernah melihat gedung yang tinggi, kokoh, dan
kuat. Apa gerangan yang menopangnya? Ya, itu adalah pondasinya yang menghujam.
Dia tidak terlihat, tetapi sangat besar perannya bagi kekuatan bangunan.
Semakin tingga dan besar bangunan, maka semakin dalam pula pondasi yang dibuat.
Begitu pula dalam merancang peradaban Islam, menciptakan pribadi muslim, dan
membentuk masyarakat muslim. Maka, kekuatan terhadap pemahaman dan keyakinan
dua kalimat syahadat ini adalah hal yang paling utama dan penting. Dua kaimat
inilah yang hendaknya pertama kali disampaikan, diajarkan, dan difahamkan
kepada umat Islam oleh para da’i dan ulama. Agar tercipta peradaban berbasiskan
tauhid, bukan materialisme dan derivasinya
Masyarakat dan pribadi bertauhid. Inilah yang kita inginkan.
Di tangan merekalah dahulu umat ini pernah jaya, dan di tangan merekalah
musuh-musuh Islam terkapar tak berdaya. Namun, di manakah mereka
gerangan hari ini? .. hari ini kalimat tauhid hanya diperlakukan sebagai dzikir
kosong oleh umumnya umat Islam. Mereka melakukan tahlil sampai ratusan kali,
tanpa mengerti apa yang mereka ucapkan itu. Tanpa mau tahu, konsekuensi yang
harus mereka kerjakan dari dua kalimat syahadat.
Dalam tataran individu, kalimat ini mampu
menjinakkan hati Umar bin Al Khathab Al Faruq, hingga umat Islam saat itu
begitu berbahagia dengan keislamannya. Bahkan dia menjadi orang yang memiliki
banyak keutamaan, paling keras dalam memegang agama, yang paling
tahu pembeda antara haq dan batil, bahkan nabi memujinya sebagai
manusia di umat ini yang mendapatkan ilham.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ
مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ مِنْهُمْ
“Dahulu pada umat-umat sebelum kamu ada
manusia yang menjadi muhaddatsun, jika ada satu di antara umatku yang
seperti itu, maka Umarlah di antara mereka.” (HR. Muslim No. 2398)
Berkata Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:
ما زلنا أعزة منذ أسلم عمر.
“Kami senantiasa
memiliki ‘izzah semenjak keislaman Umar.” (HR. Bukhari No. 3481)
Dua kalimat syahadat ini bisa merubah seorang budak Bilal
bin Rabbah, menjadi mulia bahkan dialah yang akhirnya berhasil membunuh Umayah
bin Khalaf bekas majikannya yang kejam. Bahkan terompahnya mendahului dirinya
di dalam surga, dan ini masyhur.
Dalam tataran masyarakat, kalimat ini mampu merubah jazirah
Arab dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam, hanya butuh waktu 23 tahun
kurang. Berbeda dengan bangunan peradaban lainnya yang membuktuhkan waktu
berabad lamanya. Maka tepat dikatakan bahwa dua kalimat syahadat
merupakan Asas Al Inqilab (dasar bagi perubahan).
Urgensi Empat: Dua kalimat syahadat memiliki Keutamaan yang
agung
Dua kalimat syahadat merupakan kalimat pembeda antara muslim
dan kafir, inilah keutamaan yang paling besar di dunia, yang dengan kalimat ini
maka terlindunglah darah dan hartanya. Ini sudah disinggung pada urgensi
pertama. Dan dua kalimat syahadat memiliki keutamaan-keutamaan agung lainnya
bagi para pengucapnya. Di antaranya:
1. Jaminan Surga Bagi Pengucapnya
Telah kita ketahui, bahwa ketika manusia mengucapkan dua
kakimat syhadat dengan benar, tidak terpaksa dan dipaksa, maka dia sudah muslim
dan memilih jalan yang benar. Tentunya tak ada balasan baginya kecuali surga.
Sedangkan yang tidak bersyahadat (baca: kafir) maka mereka telah memilih jalan
yang sesat dan menjadi orang yang merugi.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا
فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat
Termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran (3): 85)
Imam Al Qurthubi mengatakan, bahwa Mujahid dan As Sudi
menyebutkan, ayat ini turun berkenaan tentang Al Harits bin Suwaid, saudara Al
Halas bin Suwaid, dia seorang dari kalangan Anshar dan dia murtad bersama dua
belas orang lainnya dan menuju Mekkah dalam keadaan kafir. Lalu turunlah ayat
ini, maka saudaranya menyampaikan ayat ini dan memintanya untuk bertaubat. Ibnu
Abbas dan lainnya meriwayatkan bahwa setelah turun ayat ini dia masuk Islam
lagi. (Jami’ Li Ahkamil Quran, 4/128. Dar ‘Alim Al kutub, Riyadh)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan,
barangsiapa yang tidak beragama dengan agama yang diridhai Allah untuk
hambaNya, maka amal perbuatannya tertolak dan tidak diterima. Karena agama
Islam mengandung makna penyerahan diri kepada
Allah secara murni dan mengikuti RasulNya, barang siapa
seorang hamba yang datang kepadaNya tidak beragama Islam, maka dia tidak
memiliki alasan untuk selamat dari azab Allah, dan setiap agama selain Islam
adalah batil (sia-sia). (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di, Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan,
1/137. Muasasah Ar Risalah)
Ayat lainnya:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الأِسْلامُ
“Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam.” (QS.
Ali Imran (3): 19)
Ketika membahas ayat ini, Imam Al Qurthubi membawakan sebuah
hadits, dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:
يجاء بصاحبها يوم القيامة فيقول الله تعالى
عبدي عهد إلي وأنا أحق من وفى أدخلوا عبدي الجنة
“Didatangkan kepada para pembaca syahadat pada hari kiamat,
maka Allah Ta’ala berfirman: HambaKu telah berjanji setia kepadaKu dan Aku
lebih berhak untuk memenuhi janji, maka masukkanlah hambaKu ke
surga.” (Ibid, 4/41)[4]
Ini menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahwa jika
seorang sudah bersyahadat dengan ikhlas, sadar, dan penuh keyakinan, dan dia
setelah itu tidak melakukan kesyirikan, maka baginya surga, walau pun dia juga
melakukan dosa-dosa selain syirik. Dengan dosanya itu, orang
tersebut tahta masyi’atillah (di bawah kehendak) Allah‘Azza wa Jalla,
apakah dia akan disiksa dahulu sesuai kadar dosanya lalu setelah itu dimasukkan
ke dalam surga, ataukah dosanya itu akan diampunkan langsung oleh
Allah ‘Azza wa Jalla sesuai rahmat dan kasih sayangNya. Ketetapan ini
berdasarkan pada ayat berikut:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ
بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan
(sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah,
Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa’ (4): 116)
Dan hadits, dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أنه من مات من أمتي لا يشرك بالله شيئا دخل
الجنة . قلت: وإن زنى وإن
سرق؟ قال: وإن زنى وإن سرق .
“Barangsiapa di antara umatku yang wafat, dia tidak
menyekutukan Allah Ta’ala dengan sesuatu apapun, maka dia akan masuk surga.”
Aku (Abu Dzar) bertanya: “Walau dia berzina dan mencuri?” Rasulullah bersabda:
“Walau dia berzina dan mencuri.” (HR. Bukhari No. 1180, 5489,
7049)
Makna ‘Umatku’ adalah umat Rasulullah, yakni
orang yang sudah menyatakan keislamannya (bersyahadat).
Berkata Al Hafizh Ibnu
Hajar Rahimahullah:
وفي الحديث أن أصحاب الكبائر لا يخلدون في
النار، وأن الكبائر لا تسلب اسم الإيمان، وأن غير الموحدين لا يدخلون الجنة.
“(pelajaran) Dalam hadits ini, bahwa pelaku dosa besar
tidaklah kekal di neraka, dan sesungguhnya dosa-dosa besar tidaklah
menghilangkan keimanan, dan sesungguhnya selain kaum bertauhid mereka tidak
akan masuk surga.” (Fathul Bari, 3/111. Darul Fikr)
Namun, demikian hadits ini dan semisalnya, tidak boleh
dimaknai bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat saja sudah cukup, lalu tanpa
ditindaklanjuti dengan amal shalih dan ketaatan. Oleh karena
itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Wahab bin
Munabbih Radhiallahu ‘Anhu:
وقيل لوهب بن منبه: أليس لا إله إلا الله
مفتاح الجنة؟ قال: بلى، ولكن ليس مفتاح إلا له أسنان، فإن جئت بمفتاح له أسنان فتح
لك، وإلا لم يفتح لك.
Ditanyakan kepada Wahab bin Munabbih: “Bukankah Laa
Ilaaha Illallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab: “Tentu, tetapi
tidaklah kunci tu melainkan pasti memiliki gigi, maka jika engkau datang dengan
kunci yang bergigi maka dia akan membukanya bagimu, dan jika tidak memiliki
gigi, maka dia tidak bisa membukanya untukmu.”(Shahih Bukhari,
Muqaddimah Kitabul Janaiz Bab Maa Ja’a fil Janaiz Man Kaana Akhiru
Kalamihi ...)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
وأما قول وهب فمراده بالأسنان التزام
الطاعة
“Ada
pun ucapan Wahhab bin Munabbih, yang dimaksud olehnya gigi, adalah komitmen
dengan ketaatan.”(Fathul Bari, 3/110)
Imam Al ‘Aini Rahimahullah menambahkan:
فكأنه أشار بهذا إلى أنه لا بد له من الطاعات
وأن بمجرد القول به بدون الطاعات لا يدخل الجنة
“Seakan-akan ucapan beliau ini mengisyaratkan bahwa wajib
baginya melakukan ketaatan, dan sesungguhnya jika hanya ucapan saja, tanpa
melakukan ketaatan maka tidak akan masuk surga.” (Imam Badruddin Al
‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 12/115. Maktabah Misykah)
Lebih detil lagi, beliau menjelaskan:
فإنه إذا قال لا إله إلا الله
يحكم بإسلامه فإذا استمر على ذلك إلى أن مات دخل الجنة وأما الموحد من الذين
ينكرون نبوة سيدنا محمد رسول الله أو يدعي أنه مبعوث للعرب خاصة فإنه لا يحكم
بإسلامه بمجرد قوله لا إله إلا الله فلا بد من ضميمة محمد رسول الله على أن جمهور
علمائنا شرطوا في صحة إسلامه بعد التلفظ بالشهادتين أن يقول تبرأت عن كل دين سوى
دين الإسلام
“Maka, sesungguhnya jika seseorang
berkata Laa Ilaaha Illallah, maka dia dihukumi dengan keislamannya, dan
jika dia terus menerus seperti itu hingga wafat, maka dia masuk surga. Ada pun seorang yang
bertauhid dari golongan yang mengingkari kenabian Sayyidina Muhammad
Rasulullah, atau dia mengklaim bahwa Beliau diutus hanya untuk orang Arab saja,
maka dia tidak dihukumi dengan keislamannya, lantaran hanya mengakui
kalimat Laa Ilaaha Illallah, maka wajib untuk mengkaitkannya dengan Muhammad
Rasulullah. Mayoritas ulama kita telah menetapkan syarat sahnya keislaman
seseorang setelah melafazkan dua kalimat syahadat, hendaknya dia
menyatakan bara’ (berlepas diri, menjauhi, memusuhi) dari semua
agama, selain agama Islam.” (Ibid, 12/115).
2. Barangsiapa yang Mengucapkan di akhir hidupnya maka
akan masuk surga
Dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من كان آخر كلامه لا إله إلا اللّه دخل الجنة
“Barang siapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaaha
Illallahu, dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud No. 3116. Al Hakim No.
1299, katanya: shahihul isnad (sanadnya shahih). Syaikh Al Albani
juga menshahihkan dalamShahih Sunan Abi Daud, 3/190/3116)
Maksud ‘akhir ucapannya’ dalam hadits ini adalah
ucapan menjelang kematian. Imam Abu Daud meletakkan hadits ini dalam Bab
At Talqin. Sebagaimana kita ketahui bahwa disunahkan bagi orang yang sehat
untuk mentalqinkan orang yang sedang naza’ (sakaratul maut), dan itu
sebagai bimbingan baginya, agar akhir ucapannya adalah kalimat tauhid.
Dari Abu Said Al
Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إلَهَ إلَّا
اللَّهُ
“Talqinkanlah orang sedang menghadapi kematian di antara
kalian, dengan ucapan: Laa Ilaha Illallah.”(HR. Muslim No.
916. Abu Daud No. 3117. At Tirmidzi No. 983, beliau
berkata: hasan shahih gharib. Ibnu Majah No. 1445. Syaikh
Al Albani menshahihkan, lihat Shahih Sunan Abi Daud, 3/190/3117.
Maktabah Al Albani)
Talqin adalah memahamkan atau mengajarkan. Laqqana
Al kalam artinya mengajarkan sebuah ucapan. Talqin menurut syariat adalah
memahamkan kalimat tauhid ketika manusia mengalami sakaratul maut
(naza’). (Mausu’ah Fiqh Al ‘Ibadah, 1/187. Al Maktabah Asy Syamilah).
Berkata Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As
Sindi, “Maksudnya adalah barangsiapa orang sedang menghadapi
kematian, bukan orang yang sudah mati, dan membacakan Laa Ilaha
Illaha di sisinya, bukan memerintahkan untuk membacanya. (Syarh Sunan
An Nasa’i, 3/146. Al Maktabah Asy Syamilah)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri mengatakan:
“Ketahuilah! Maksud Al Mauta dalam hadits ini adalah orang yang
sedang menghadapi kematian, bukan orang yang sudah mati secara
hakiki.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/53. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah Al
Munawwarah)
Sementara Imam Al Qurthubi Rahimahullah (w.671H)
mengatakan, “Ucapkanlah itu dan ingatkanlah mereka dengannya, saat menghadapi
kematian.” Dia berkata: “Disebut Al Mauta karena kematian tengah
hadir mengintai dirinya.” (Hasyiah As Suyuthi, 3/146. Al Maktabah Asy
Syamilah)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Yakni
barang siapa yang menghadapi kematian, maksudnya ingatkanlah dia
dengan Laa Ilaha Illallah agar itu menjadi akhir ucapan dalam
hidupnya. Sebagaimana hadits: “Barang siapa yang akhir ucapannya adalah
Laa Ilaha Illallahu maka dia akan masuk surga.” Dan perintah
talqin di sini adalah sunah, dan ulama telah ijma’ (sepakat)
tentang talqin.” (Syarh Shahih Muslim, No. 1523. Mausu’ah Syuruh Al
Hadits. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544H) mengatakan
bahwa talqin merupakan perbuatan yang ma’tsur (memiliki dasar)
dan telah diamalkan kaum muslimin, namun dimakruhkan jika dilakukan secara
berlebihan dan berturut-turut, agar tidak membosankan bagi orang tersebut,
apalagi dalam kondisi sesaknya napas yang menyakitkan, dan hilangnya
sensitiftas terhadap beratnya penderitaan. (Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih
Muslim, 3/195. Maktabah Mishkah)
Jadi, maknanya adalah membaca Laa Ilaha
Illallah untuk orang sedang menghadapi sakaratul maut, bukan
membacanya setelah mati. Berbeda dengan pemahaman sebagian umat Islam hari ini,
yang mentalqinkan mayat yang sudah di kubur. Namun demikian, jika yang
dilakukan di kubur adalah mendoakannya maka itu sunah nabi. Tetapi, hal itu
tidak dinamakan talqin sebab talqin menurut tuntunan As
Sunnah, sebagaimana penjelasan para ulama di atas, adalah dilakukan sebelum
wafat atau ketika naza’ (sakaratul maut).
Di sebutkan dalam Asna Al Mathalib –salah satu
kitab bermadzhab Syafi’I karya Imam Abu Yahya Zakaria Al
Anshari Rahimahullah (w.926H), “Talqin secara mutlak tidaklah
dianjurkan bagi mayat yang sudah dikubur.” (Asna Al Mathalib, 4/191. Al
Maktabah Asy Syamilah)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah (w. 751H)
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamtidak pernah duduk di
sisi kuburan dan membaca Al Quran, dan mentalqinkan mayat di kuburan
sebagaimana yang dilakukan manusia hari ini. (Zaadul Ma’ad, 1/502. Al
Maktabah Asy Syamilah)
3. Bagi Yang Mengucapkan Dua alimat Syahadat Maka
Terlindung Darah dan Hartanya
Tidak boleh siapa pun mengganggu muslim lainnya, bukan hanya
menumpahkan darahnya dan mengambil hartanya secara tidak hak, tetapi juga
menodai harga dirinya dan nasabnya. Bahkan melanggar ketetapan ini termasuk
dosa besar.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله
إلا الله وأن محمدا رسول الله، ويقيموا الصلاة، ويؤتوا الزكاة، فإذا فعلوا ذلك
عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام، وحسابهم على الله
“Aku diutus untuk memerangi manusia hingga
mereka bersaksi (bersyahadat), bahwa tidak ada Ilahkecuali
Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat,
menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka mereka terjaga
dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas Allah-lah
perhitungan mereka.” (HR. Bukhari No. 25, Muslim No. 36)
Dari Al Miqdad bin Amru Al Kindi, dia
أرأيت إن لقيت رجلا من الكفار فاقتتلنا، فضرب
إحدى يدي بالسيف فقطعها، ثم لاذ مني بشجرة فقال: أسلمت لله، أقتله يا رسول الله
بعد أن قالها؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لا تقتله). فقال: يا رسول الله
إنه قطع إحدى يدي، ثم قال ذلك بعد ما قطعها؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
(لا تقتله، فإن قتلته فإنه بمنزلتك قبل أن تقتله، وإنك بمنزلته قبل أن يقول كلمته
التي قال).
“Apa pendapatmu jika aku berjumpa dengan
orang kafir, kami berperang, dia menebas tanganku dengan
pedangnya hingga putus, kemudian dia mendekat ke sebuah pohon, lalu dia
berkata: “Aku masuk Islam karena Allah” apakah aku boleh membunuhnya setelah
dia mengatakan demikian?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menjawab: “Jangan membunuhnya.” Dia (Al Miqdad) berkata: “Ya
Rasulullah dia memutuskan satu tanganku, kemudian dia berkata (pernyataan masuk
Islam) itu setelah dia memutuskan tanganku?” RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa
Sallam berkata: “Jangan kau membunuhnya, jika kau membunuhnya maka
kedudukan orang itu adalah sama denganmu ketika kau belum membunuhnya, dan
kedudukanmu adalah sama dengannya ketika sebelum dia mengatakan perkataannya
itu (yakni ketika dia belum menyatakan masuk Islam).” (HR. Bukhari No.
3794, 6472. Muslim No. 155)
Ada kisah
tenar dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, ketika beliau bersama
seorang dari anshar, berperang melawan orang kafir. Ketika orang kafir itu
terdesak tak berdaya, dia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, namun Usamah
tetap membunuhnya. Hal ini diceritakan kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan akhirnya Rasulullah pun bersabda:
يا أسامة، أقتلته بعد ما قال لا إله إلا الله. قال: قلت: يا رسول الله، إنما كان متعوذاً، قال: (أقتلته بعدما
قال لا إله إلا الله). قال: فما زال يكررها علي، حتى تمنيت أني لم أكن أسلمت قبل
ذلك اليوم.
“Wahai Usamah, apakah kau membunuhnya dan
dia sudah mengucapkan Laa Ilaha Illallah?” Usamah berkata: “Ya Rasulullah,
ucapan itu hanya untuk melindungi diri?” Rasulullah bersabda lagi: “Apakah kau
membunuhnya dan dia sudah mengucapkan Laa Ilaha Illallah?” Usamah berkata:
“maka, senantiasa hal itu terus-terus terngiang pada diri saya, sampai saya
berharap bahwa saya belum masuk Islam sebelum hari itu.” (HR.
Bukhari No. 4021, 6478)
Dua hadits ini berisi sangat jelas bahwa kita dilarang
membunuh musuh, ketika dia sudah bersyahadat. Ada pun apa latar belakang dia bersyahadat;
apakah nyari selamat agar tidak dibunuh atau benar-benar ikhlas, kita
tidak dibebankan untuk mengetahuinya.
Dalam hadits lain, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
سباب المسلم فسوق، وقتاله كفر
“Memaki seorang muslim adalah fasik, dan membunuhnya adalah
kufur.” (HR. Bukhari No. 49, 5697, 6665. Muslim No. 116)
Kufur dalam hadits ini tidak bermakna keluar dari Islam,
melainkan dia telah kufur terhadap hak saudaranya sesama muslim. Berkata
Imam Ibnu Baththal Rahimahullah:
الكفر الذى هو الجحد لله ولرسله ، وإنما يريد
كفر حق المسلم على المسلم ، لأن الله قد جعل المؤمنين إخوةً ، وأمر بالإصلاح بينهم
ونصرتهم ، ونهاهم برسوله ، ( صلى الله عليه وسلم ) ، عن التقاطع ، وقال : تمت
المؤمن للمؤمن كالبنيان يَشُدُّ بعضه بعضًا - ، فنهى عن مقاتلة بعضهم بعضًا ،
وأخبر أن من فعل ذلك ، فقد كفر حق أخيه المسلم .
“Kufur adalah perbuatan ingkar terhadap Allah dan RasulNya.
Sedangkan kufur yang dimaksud di sini adalah seorang muslim telah kufur
terhadap hak muslim lainnya, karena Allah telah menjadikan orang beriman
bersaudara, memerintahkan mereka untuk berbuat baik di antara mereka dan saling
tolong menolong, melalui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam melarang mereka memutuskan silaturrahim. Beliau bersabda: “Seorang
beriman terhadap orang beriman lainnya bagaikan bangunan, saling menguatkan
satu sama lainnya.” Maka, dilarang saling membunuh satu sama lain, dan
diberitakan bahwa perbuatan itu merupakan kekufuran terhadap hak saudaranya
sesama muslim.” (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 1/111.
Maktabah Misykat)
Dari Abu Bakrah, dari Ayahnya:
ذكر النبي صلى الله عليه وسلم قعد على بعيره،
وأمسك إنسان بخطامه - أو بزمامه - قال: أي يوم هذا. فسكتنا حتى ظننا أنه سيسميه
سوى اسمه، قال: (أليس يوم النحر). قلنا: بلى، قال: (فأي شهر هذا). فسكتنا حتى ظننا
أنه سيسميه بغير اسمه، فقال: (أليس بذي الحجة). قلنا: بلى، قال: (فإن دماءكم،
وأموالكم، وأعراضكم، بينكم حرام، كحرمة يومكم هذا، في شهركم هذا، في بلدكم هذا،
ليبلغ الشاهد الغائب، فإن الشاهد عسى أن يبلغ من هو أوعى له منه).
“Menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sedang duduk di atas untanya, dan manusia memegangi tali
kekangnya, beliau bersabda: “Hari apa ini?” Kami terdiam sampai kami menyangka
bahwa dia akan menamakannya dengan bukan namanya. Beliau bersabda: “Bukankah
ini hari Kurban?” Kami menjawab: “Benar.” Beliau bersabda: “Bulan apa ini?”
Kami terdiam sampai kami menyangka bahwa dia akan menamakannya dengan bukan
namanya. Beliau bersabda: “Bukankah ini bulan Dzulhijjah?” Kami menjawab:
”Benar.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian,
kehormatan kalian, adalah haram di antara kalian, sebagaimana
diharamkannya pada hari ini dan pada bulan ini, di negeri kalian ini. Hendaknya
yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, mudah-mudahan yang hadir
bisa menyampaikan kepada orang yang lebih paham darinya.” (HR.
Bukhari No. 67, 1652, 5230, 6668, 7009. Muslim No. 1218, 1679. Abu Daud No.
1905. At Tirmidzi No. 2248, 5082. Ibnu Majah No. 3055, 3931. Ibnu
Hibban No. 1457. Ad Darimi No. 1850. Ibnu Abi Syaibah No. 54. Lafaz
ini milik Bukhari dari Abu Bakrah)
Demikianlah status seseorang muslim bagi muslim lainnya.
Bukan hanya ini, tetapi dia juga berhak diperlakukan sebagaimana aturan Islam
lainnya seperti dijawab bersinnya, saling memberikan salam dan
menjawabnya, dipenuhi undangannya, dijenguk ketika sakit, dibantu
kebutuhan hidupnya ketika dia kekurangan, dan lainnya.
Wallahu A’lam bishowab.
Semoga bermanfaat.
Wasalamu’alaikum warahmatullohi wabarakaatuh
Sebagai rujukan :
1.Ijma’ (kesepakatan) ulama menyatakan bahwa
orang kafir tidak berhak mendapatkan waris begitu pula orang murtad, danjumhur (mayoritas)
ulama mengatakan orang kafir tidak boleh mewariskan ke orang
Islam. Inilah pandangan empat khulafa’ ar rasyidin, Imam empat madzhab, dan
mayoritas fuqaha yang diamalkan oleh umat Islam secara umum. Mereka beralasan
hadits-hadits berikut:
“Seorang muslim tidaklah mewariskan
ke orang kafir, dan orang kafir tidaklah mewariskan ke seorang muslim.” (HR. Bukhari No. 6383, Muslim No. 1614, At Tirmidzi No. 2189,
dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu)
“Penganut dua agama yang berbeda
tidaklah saling mewarisi.” (HR. At Tirmidzi No. 2191, dari Jabir bin Abdullah).
Imam At Tirmidzi tidak tegas mendhaifkan hadits ini, dia hanya berkata dalam Sunan-nya: “Aku tidak
mengetahui hadits Jabir kecuali dari jalur Ibnu Abi Laila.” Tetapi, Al
Hafiz Ibnu Hajar mengatakan tentang Abdurrahman bin Abi Laila ini: “Seorang
yang jujur tetapi sangat buruk hafalannya”. (Lihat Taqribut Tahdzib,
2/105). Sementara Asy Syaukani mengatakan: “Sementara dari
jalur Ibnu Umar, hadits juga dikeluarkan oleh Ad Daruquthni, Ibnu Sikkin, dan
dalam sanad Abu Daud terdapat Amru bin Syu’aib, dia shahih”. (Nailul Authar, 6/73. Al Maktabah Ad Da’wah Al
Islamiyah Syabab Al Azhar) sementara Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini, baik
jalur Jabir bin Abdullah maupun Usamah bin Zaid. (Shahihul Jami’ , No. 7613)
Namun, sebagian sahabat, tabi’in dan
imam kaum muslimin ada yang membolehkan seorang muslim memperoleh waris dari
orang kafir, yakni Muadz bin Jabal, Muawiyah, Said bin Al Musayyib, Masruq, dan
lainnya.(Imam An Nawawi, Syarh
Shahih Muslim, hadits No. 3027. Mauqi’ Ruh Al
Islam) juga Muhammad bin Al Hanafiyah, Ali bin Al Husein, Abdullah
bin Ma’qil, Asy Sya’bi, An Nakha’i, Yahya bin Ya’mar, dan Ishaq. (Imam Ibnu Qudamah, Al
Mughni, 14/58. Al Maktabah Asy Syamilah) Ini juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim.(Ahkam
Ahludz Dzimmah, 3/322-325. Darul Kutub Al ‘Ilmiah) juga
pendapat Al ‘Allamah Yusuf Al Qaradhawi hafizhahullah dalam Fatawa Mu’ashirah Jilid 3. Alasan mereka,
makna kafir pada hadits di atas adalah kafir harbi. Alasan lain adalah hadits
berikut, Hadits dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Islam itu bertambah, dan tidak
berkurang.” (HR. Abu Daud, No. 2912. Ahmad, N0. 20998)
Namun hadits ini tidak bisa
dijadikan dalil, karena kelemahannya. Imam Al Munawi mengatakan, dalam sanad
hadits ini terdapat rawi yang majhul (tidak dikenal) dan dhaif. (Faidhul Qadir, 3/232/3062. Al Maktabah Asy
Syamilah) begitu pula Syaikh Al Albani telah mendhaifkan hadits ini. (Dha’if
Jami’us Shaghir No. 2282) Ada
jalur sanad lainnya, namun nasibnya lebih buruk, Imam Ibnul Jauzi menyebutnya
batil, lantaran adanya seorang rawi bernama Muhammad bin Al Muhajir yang
dituduh memalsukan hadits ini. Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa orang ini
memalsukan hadits, dia meriwayatkan lalu merubah sanad dan lafaznya. (Al Maudhu’at, 3/230. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dalil lainnya:
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang
lebih tinggi (darinya)” (HR. Ad Daruquthni, No. 3663, Al
Baihaqi, As Sunan Al Kubra,
6/205. Keduanya dari ‘A’idz bin Amru Al Muzanni. Demikianlah lafaz hadits ini
adalah Al Islam Ya’lu wa Laa Yu’la. Tidak ada tambahan ‘Alaih, demikian juga dalam riwayat lainnya)
Imam Az
Zaila’i mengatakan hadits ini ada yang marfu’ (sampai
pada Rasulullah) dan juga mauquf (terhenti pada sahabat saja) yakni pada ucapan Ibnu Abbas. (Nashbur
Rayyah, 6/174) dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Hasyraj dan ayahnya,
oleh Ad Daruquthni keduanya dikatakan majhul (tidak
dikenal). (Ibid) Namun, Al Hafizh
Ibnu Hajar menghasankan hadits ini (Fathul Bari,
3/220. Darul Fikr) lantaran dikuatkan oleh riwayat shahih secara mauquf dari Ibnu Abbas. (Shahih Bukhari, Kitab Al Janaiz,
Bab Idza Maata Ash Shabiyyu ...) dan Syaikh Al
Albani juga menghasankannya.(Shahihul Jami’ No. 2778). Imam Al ‘Ajluni mengatakan telah masyhur di lisan manusia
tambahan ‘Alaih Akharan,
tetapi itu sebenarnya riwayat Ahmad, dan juga yang masyhur Ya’lu walaa Yu’laa ‘Alaih (Kasyful Khafa, 1/127. Darul
Kutub Al ‘Ilmiah). Namun, apa yang dikatakannya perlu ditinjau lagi, sebab
tidak ada dalam musnad Ahmad seperti apa yang dikatakannya itu.
Hadits ini juga tidak bisa dijadikan
dalil, sebab hadits ini seara umum membicarakan tentang keutamaan Islam, sama
sekali tidak membicarakan warisan. Oleh karena itu Imam An Nawawi
mengatakan:
“Alasan jumhur ulama adalah lebih
benar. Dan tidak dibenarkan berdalil dengan hadits “Islam adalah tinggi dan
tidak ada yang lebih tinggi darinya” sebab maksud
hadits ini adalah tentang keunggulan Islam dibanding yang lainnya, tidak ada
indikasi pembicaraan tentang warisan. Bagaimana bisa meninggalkan nash “Seorang
muslim tidaklah mewariskan orang kafir ..”, semoga penyebabnya adalah karena
kelompok ini belum sampai hadits ini kepada mereka.” (Syarh Shahih Muslim, Kitab Al Janaiz, No. 3027.
Mauqi Ruh Al Islam) Demikian. Wallahu A’lam.
2. Para ulama
berbeda pendapat dalam memaknai muhaddatsun. Ibnu
Wahab mengatakan, makna Muhaddatsun adalah orang yang
mendapatkan ilham. Yang lain mengatakan: orang yang diajarkan kebenaran. Ada juga yang mengatakan:
orang yang diajak bicara oleh malaikat. Bukhari mengatakan: dari lisan mereka
mengalir kebenaran, dan itu merupakan kepastian karamah bagi para wali.” (Syarh
Shahih Muslim, No. 4411. Mauqi’ Ruh Al Islam)
3. Al Inqilab bermakna perubahan yang cepat. Inqilab ijtima’i artinya revolusi. (Al
Munawwir, Hal. 1146)
4.
Sanad
Hadits ini dari Ghalib Al Qathan, dari A’masy, dari Abu Wail, dari Ibnu
Mas’ud, dari Rasulullah, lalu disebutkan hadits tersebut. Abul
Faraj Al Jauzi mengatakan Ghalib Al Qathan adalah Ghalib bin Khuthaf Al Qathan,
dia meriwayatkan hadits syahidallah dari
A’masy, yakni hadits mu’dhal. Ibnu ‘Adi
mengatakan, kedhaifan haditsnya sudah jelas. Ahmad bin Hambal
mengatakan, Ghalib bin Khuthaf Al Qathan adalah tsiqah-nya orang tsiqah (kredibel). Ibnu Ma’in mengatakan, tsiqah. Abu Hatim
mengatakan, jujur dan shalih. Al Qurthubi mengatakan, cukup bagimu tentang ke’adalahan (kualitas)
dan ketsiqahannya, sesungguhnya Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan
hadits darinya (Ghalib Al Qathan) dalam kitab shahih mereka berdua. (Jami’
Li Ahkamil Quran, 4/41)