Setidaknya ada dua
kesalahan yang sangat fatal namun seringkali justru dilakukan berulang-ulang
dari tahun ke tahun oleh para panitia penyembelihan hewan udhiyah.
Kesalahan pertama adalah menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban. Hukum dasarnya haram, dengan pengecualian dalam kasus tertentu.
Kesalahan kedua adalah kebiasaan memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban. Berikut penjelasannya.
KESALAHAN PERTAMA : Menjual Daging Udhiyah
Yang dilarang sebenarnya bukan hanya menjual dagingnya, tetapi semua yang termasuk bagian dari tubuh hewan udhiyah hukumnya tidak boleh diperjual-belikan.
Sayangnya, justru kita sering kali menyaksikan bahwa kulit, wol, rambut, kepala, kaki, tulang dan bagian lainnya, diperjual-belikan oleh panitia.
Mungkin tujuannya baik, yaitu untuk membiayai proses penyembelihan, bukan untuk dijadikan keuntungan atau upah.
Namun larangan menjual bagian-bagian tubuh itu bersifat mutlak, tidak berubah menjadi halal hanya lantaran tujuannya untuk kepentingan penyembelihan juga.
1. Dalil Larangan
Dalil terlarangnya hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa , Nabi SAW bersabda :
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR. Al Hakim).
Selain larangan dari hadits di atas, ’illat kenapa menjual bagian tubuh hewan udhiyah dilarang adalah karena qurban disembahkan sebagai bentuk taqarrub pada Allah yaitu mendekatkan diri pada-Nya, sehingga tidak boleh diperjualbelikan.
Sama halnya dengan zakat. Jika harta zakat kita telah mencapai nishab (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul (masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang berhak menerima tanpa harus menjual padanya.
Jika zakat tidak boleh demikian, maka begitu pula dengan qurban karena sama-sama bentuk taqarrub pada Allah. Alasan lainnya lagi adalah kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban sebagaimana nanti akan kami jelaskan.
Dari sini, tidak tepatlah praktek sebagian kaum muslimin ketika melakukan ibadah yang satu ini dengan menjual hasil qurban termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkan untuk menjual kulit terdapat hadits khusus yang melarangnya.
Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah pendapat para Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Asy-Syafi’i mengatakan :
“Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan qurban.
Barter antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya disedekahkan.
Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di atas dan alasan yang telah disampaikan.
Catatan penting yang perlu diperhatikan: Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang karena seperti ini masuk kategori pemanfaatan hewan qurban menurut beliau.
Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli di sini adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah Ali Bassam dalam Tawdhihul Ahkam dan Ash Shan’ani dalam Subulus Salam.
Sehingga tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk makan-makan panitia.
Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
Kesalahan pertama adalah menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban. Hukum dasarnya haram, dengan pengecualian dalam kasus tertentu.
Kesalahan kedua adalah kebiasaan memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban. Berikut penjelasannya.
KESALAHAN PERTAMA : Menjual Daging Udhiyah
Yang dilarang sebenarnya bukan hanya menjual dagingnya, tetapi semua yang termasuk bagian dari tubuh hewan udhiyah hukumnya tidak boleh diperjual-belikan.
Sayangnya, justru kita sering kali menyaksikan bahwa kulit, wol, rambut, kepala, kaki, tulang dan bagian lainnya, diperjual-belikan oleh panitia.
Mungkin tujuannya baik, yaitu untuk membiayai proses penyembelihan, bukan untuk dijadikan keuntungan atau upah.
Namun larangan menjual bagian-bagian tubuh itu bersifat mutlak, tidak berubah menjadi halal hanya lantaran tujuannya untuk kepentingan penyembelihan juga.
1. Dalil Larangan
Dalil terlarangnya hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa , Nabi SAW bersabda :
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR. Al Hakim).
Selain larangan dari hadits di atas, ’illat kenapa menjual bagian tubuh hewan udhiyah dilarang adalah karena qurban disembahkan sebagai bentuk taqarrub pada Allah yaitu mendekatkan diri pada-Nya, sehingga tidak boleh diperjualbelikan.
Sama halnya dengan zakat. Jika harta zakat kita telah mencapai nishab (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul (masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang berhak menerima tanpa harus menjual padanya.
Jika zakat tidak boleh demikian, maka begitu pula dengan qurban karena sama-sama bentuk taqarrub pada Allah. Alasan lainnya lagi adalah kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban sebagaimana nanti akan kami jelaskan.
Dari sini, tidak tepatlah praktek sebagian kaum muslimin ketika melakukan ibadah yang satu ini dengan menjual hasil qurban termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkan untuk menjual kulit terdapat hadits khusus yang melarangnya.
Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah pendapat para Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Asy-Syafi’i mengatakan :
“Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan qurban.
Barter antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya disedekahkan.
Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di atas dan alasan yang telah disampaikan.
Catatan penting yang perlu diperhatikan: Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang karena seperti ini masuk kategori pemanfaatan hewan qurban menurut beliau.
Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli di sini adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah Ali Bassam dalam Tawdhihul Ahkam dan Ash Shan’ani dalam Subulus Salam.
Sehingga tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk makan-makan panitia.
Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
Pertama: Tetap
terlarang.
Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
Kedua: Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang).
Ini pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm.
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli.”
Ketiga: Boleh secara mutlak.
Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi. Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit.
Sebagai nasehat bagi yang menjalani ibadah qurban: Hendaklah kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau manfaatkan untuk apa.
Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang yang menerima kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban).
Diharamkan untuk menjual bagian dari tubuh hewan yang telah disembelih sebagai udhiyah.
Dalam masalah menyembelih hewan qurban, kita mengenal dua pihak. Pihak pertama adalah pihak yang beribadah dengan menyembelih hewan qurban. Pihak kedua adalah mustahiq, yaitu fakir miskin yang menerima pemberian.
Dalam masalah pembagian daging hewan qurban, kedua belah pihak sebenarnya sama-sama berhak untuk memakannya. Jadi yang berkurban boleh makan dan yang berhak (mustahiq) juga boleh makan.
Bedanya, kalau pihak yang berqurban, hanya boleh makan saja sebagian, tapi tidak boleh menjualnya. Misalnya, ketika menyembelih seekor kambing, dia boleh mendapatkan misalnya satu paha untuk dimakan.
Tapi kalau timbul niat untuk menjual paha itu ke tukang sate, meski niatnya agar duitnya untuk diberikan kepada fakir miskin juga, secara hukum ritual qurban, hal itu tidak bisa dibenarkan.
Maka hal yang sama berlaku juga bila yang dijual itu kulit, kaki dan kepala hewan qurban. Hukumnya tidak boleh dan merusak sah-nya ibadah qurban.
Dalilnya adalah khabar berikut ini:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Orang yang menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR Al-Hakim)
Ketidak-bolehan seorang yang menyembelih hewan qurban untuk menjual kulitnya bisa kita dapati keterangannya dalam beberapa kitab. Antara lain
- Kitab Al-Mauhibah jilid halaman 697,
- Kitab Busyral-Kariem halaman 127,
- Kitab Fathul Wahhab jilid 4 halaman 196
- Kitab Asnal Matalib jilid 1 halaman 125.
Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
Kedua: Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang).
Ini pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm.
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli.”
Ketiga: Boleh secara mutlak.
Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi. Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit.
Sebagai nasehat bagi yang menjalani ibadah qurban: Hendaklah kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau manfaatkan untuk apa.
Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang yang menerima kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban).
Diharamkan untuk menjual bagian dari tubuh hewan yang telah disembelih sebagai udhiyah.
Dalam masalah menyembelih hewan qurban, kita mengenal dua pihak. Pihak pertama adalah pihak yang beribadah dengan menyembelih hewan qurban. Pihak kedua adalah mustahiq, yaitu fakir miskin yang menerima pemberian.
Dalam masalah pembagian daging hewan qurban, kedua belah pihak sebenarnya sama-sama berhak untuk memakannya. Jadi yang berkurban boleh makan dan yang berhak (mustahiq) juga boleh makan.
Bedanya, kalau pihak yang berqurban, hanya boleh makan saja sebagian, tapi tidak boleh menjualnya. Misalnya, ketika menyembelih seekor kambing, dia boleh mendapatkan misalnya satu paha untuk dimakan.
Tapi kalau timbul niat untuk menjual paha itu ke tukang sate, meski niatnya agar duitnya untuk diberikan kepada fakir miskin juga, secara hukum ritual qurban, hal itu tidak bisa dibenarkan.
Maka hal yang sama berlaku juga bila yang dijual itu kulit, kaki dan kepala hewan qurban. Hukumnya tidak boleh dan merusak sah-nya ibadah qurban.
Dalilnya adalah khabar berikut ini:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Orang yang menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR Al-Hakim)
Ketidak-bolehan seorang yang menyembelih hewan qurban untuk menjual kulitnya bisa kita dapati keterangannya dalam beberapa kitab. Antara lain
- Kitab Al-Mauhibah jilid halaman 697,
- Kitab Busyral-Kariem halaman 127,
- Kitab Fathul Wahhab jilid 4 halaman 196
- Kitab Asnal Matalib jilid 1 halaman 125.
KESALAHAN KEDUA : Mengupah Jagal Dengan Bagian Tubuh Hewan
Contoh larangan yang sering dilanggar lainnya adalah memberi upah untuk jagal dan para panitia yang ikut membantu proses penyembelihan, pembersihan, penimbangan dan pembagian daging dengan memberikan juga ’jatah’, baik daging atau bagian dari tubuh hewan udhiyah lainnya.
Barangkali logika yang
digunakan adalah logika amil zakat, dimana amil zakat berhak mendapatkan 1/8
dari harta zakat yang dikumpulkannya. Sehingga jagal dan para panitia, menurut
logika itu, seharusnya juga dapat jatah, kalau perlu jatahnya harus lebih besar
dari jatah buat orang-orang.
Logika seperti ini nampaknya harus diluruskan, sebab yang menggunakan logika ini ternyata bukan hanya orang-orang awam, bahkan para kiyai, ustadz, tokoh agama dan para penceramah pun, ikut-ikutan memberikan legitimasi atas hal ini. Tentu semua melakukannya tidak berdasarkan ilmu, melainkan hanya sekedar ikut-ikutan belaka tanpa dasar yang pasti.
Padahal sebenarnya ada dalil yang tegas melarang hal ini, misalnya riwayat yang disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib,
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.
Dari hadits ini, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.”
Namun sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam Al-Hasan Al-Bashri. Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan kulit.” An-Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan beliau ini telah membuang sunnah.”
Sehingga yang tepat, upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban. Namun shohibul qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut.
Demikian pembahasan kami seputar pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang terlarang dan yang dibolehkan. Semoga Allah memudahkan kita beramal sholih dan menjauhkan dari apa yang Dia larang. Semoga Allah memberikan kita petunjuk, sikap takwa, keselamatan dan kecukupan.
Panitia
Sedangkan panitia yang dititipi amanah untuk menyembelih, justru dilarang untuk mendapatkan bagian dari daging itu secara langsung, kecuali lewat jalur lainnya. Larangan itu ada di dalam hadits berikut ini.
Dari Ali radhiyallahuanhu berkata,"Rasulullah SAW memerintahkan kepadaku menyembelih unta dan menyedekahkan dagingnya dan kulitnya. Tapi tidak boleh memberikan kepada penyembelihnya." Beliau berkata, "Kami memberi upah kepada penyembelih dari uang kami sendiri." (di luar hewan qurban). (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain dari Muslim disebutkan, "Tidak boleh dikeluarkan dari daging itu biaya untuk penyembelihannya."
Maka yang paling aman dalam masalah ini adalah bila ada akad dimana salah seorang pemberi hewan qurban menghadiahkan bagiannya untuk dimakan para panitia. Bisa sebagai hadiah atau bisa juga sebagai sedekah. Tetapi bukan sebagai upah apalagi bayaran.
Misalnya, ada salah seorang yang berqurban kambing menitipkan penyembelihan hewannya pada satu panitia tertentu, sambil mengatakan bahwa sebagian dari dagingnya dihadiahkan kepada para pantia untuk makan siang. Tentu hal ini boleh, karena pihak yang berqurban memang punya hak untuk memakan dagingnya atau menyedekahkannya atau memberikan daging itu sebagai hadiah.
Bahkan kalau ada di antara panitia itu yang ikut berqurban, lalu dia memberikan sebagian dari daging hewan yang diqurbankannya itu untuk makan para panitia, tentu akan lebih utama.
Namun bila inisiatif mengambil daging qurban itu hanya datang dari panitia semata, sedangkan pihak yang berqurban sama sekali tidak mengetahui, apalagi sampai tidak setuju bila mengetahuinya, tentu saja hal itu harus dihindari.
Terutama sekali bila akadnya hanyalah panitia itu membantu menyembelihkan dan membagikan, sama sekali tidak ada akad memberi hadiah atau sedekah kepada panitia.
Maka panitia dilarang mengambil daging hewan itu. Yang dibolehkan adalah panitia meminta uang jasa penyembelihan dan pendistribusian, di luar harga hewan yang diqurbankan.
Panitia juga dilarang menjadikan kebolehan memakan sebagian daging itu sebagai syarat dari kesediaan mereka menerima penyembelihan hewan qurban. Maksudnya, tidak boleh hukumnya bila panitia mensyaratkan kepada khalayak, siapa saja yang meminta jasa mereka untuk menyembelihkan hewan qurban, panitia berhak atas sebagian daging itu. Maka persyaratan seperti ini dilarang, karena hewan itu bukan hak panitia secara spontan.
Intinya, panitia berhak atas daging hewan qurban itu selama mereka diberikan sebagai hadiah atau sedekah, bukan sebagai ‘pembayaran’ atas jasa panitia.
Logika seperti ini nampaknya harus diluruskan, sebab yang menggunakan logika ini ternyata bukan hanya orang-orang awam, bahkan para kiyai, ustadz, tokoh agama dan para penceramah pun, ikut-ikutan memberikan legitimasi atas hal ini. Tentu semua melakukannya tidak berdasarkan ilmu, melainkan hanya sekedar ikut-ikutan belaka tanpa dasar yang pasti.
Padahal sebenarnya ada dalil yang tegas melarang hal ini, misalnya riwayat yang disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib,
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.
Dari hadits ini, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.”
Namun sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam Al-Hasan Al-Bashri. Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan kulit.” An-Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan beliau ini telah membuang sunnah.”
Sehingga yang tepat, upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban. Namun shohibul qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut.
Demikian pembahasan kami seputar pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang terlarang dan yang dibolehkan. Semoga Allah memudahkan kita beramal sholih dan menjauhkan dari apa yang Dia larang. Semoga Allah memberikan kita petunjuk, sikap takwa, keselamatan dan kecukupan.
Panitia
Sedangkan panitia yang dititipi amanah untuk menyembelih, justru dilarang untuk mendapatkan bagian dari daging itu secara langsung, kecuali lewat jalur lainnya. Larangan itu ada di dalam hadits berikut ini.
Dari Ali radhiyallahuanhu berkata,"Rasulullah SAW memerintahkan kepadaku menyembelih unta dan menyedekahkan dagingnya dan kulitnya. Tapi tidak boleh memberikan kepada penyembelihnya." Beliau berkata, "Kami memberi upah kepada penyembelih dari uang kami sendiri." (di luar hewan qurban). (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain dari Muslim disebutkan, "Tidak boleh dikeluarkan dari daging itu biaya untuk penyembelihannya."
Maka yang paling aman dalam masalah ini adalah bila ada akad dimana salah seorang pemberi hewan qurban menghadiahkan bagiannya untuk dimakan para panitia. Bisa sebagai hadiah atau bisa juga sebagai sedekah. Tetapi bukan sebagai upah apalagi bayaran.
Misalnya, ada salah seorang yang berqurban kambing menitipkan penyembelihan hewannya pada satu panitia tertentu, sambil mengatakan bahwa sebagian dari dagingnya dihadiahkan kepada para pantia untuk makan siang. Tentu hal ini boleh, karena pihak yang berqurban memang punya hak untuk memakan dagingnya atau menyedekahkannya atau memberikan daging itu sebagai hadiah.
Bahkan kalau ada di antara panitia itu yang ikut berqurban, lalu dia memberikan sebagian dari daging hewan yang diqurbankannya itu untuk makan para panitia, tentu akan lebih utama.
Namun bila inisiatif mengambil daging qurban itu hanya datang dari panitia semata, sedangkan pihak yang berqurban sama sekali tidak mengetahui, apalagi sampai tidak setuju bila mengetahuinya, tentu saja hal itu harus dihindari.
Terutama sekali bila akadnya hanyalah panitia itu membantu menyembelihkan dan membagikan, sama sekali tidak ada akad memberi hadiah atau sedekah kepada panitia.
Maka panitia dilarang mengambil daging hewan itu. Yang dibolehkan adalah panitia meminta uang jasa penyembelihan dan pendistribusian, di luar harga hewan yang diqurbankan.
Panitia juga dilarang menjadikan kebolehan memakan sebagian daging itu sebagai syarat dari kesediaan mereka menerima penyembelihan hewan qurban. Maksudnya, tidak boleh hukumnya bila panitia mensyaratkan kepada khalayak, siapa saja yang meminta jasa mereka untuk menyembelihkan hewan qurban, panitia berhak atas sebagian daging itu. Maka persyaratan seperti ini dilarang, karena hewan itu bukan hak panitia secara spontan.
Intinya, panitia berhak atas daging hewan qurban itu selama mereka diberikan sebagai hadiah atau sedekah, bukan sebagai ‘pembayaran’ atas jasa panitia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar