Minggu, 25 Desember 2011

Ilmu Pengetahuan Modern Mengungkap Keajaiban Al Qur'an

Garis Edar

Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur'an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.
"Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya." (Al Qur'an, 21:33)
Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari tidaklah diam, tetapi bergerak dalam garis edar tertentu:
"Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." (Al Qur'an, 36:38)
Fakta-fakta yang disampaikan dalam Al Qur'an ini telah ditemukan melalui pengamatan astronomis di zaman kita. Menurut perhitungan para ahli astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan luar biasa yang mencapai 720 ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang disebut Solar Apex. Ini berarti matahari bergerak sejauh kurang lebih 17.280.000 kilometer dalam sehari. Bersama matahari, semua planet dan satelit dalam sistem gravitasi matahari juga berjalan menempuh jarak ini. Selanjutnya, semua bintang di alam semesta berada dalam suatu gerakan serupa yang terencana.

Sebagaimana komet-komet lain di alam raya, komet Halley, sebagaimana terlihat di atas, juga bergerak mengikuti orbit atau garis edarnya yang telah ditetapkan. Komet ini memiliki garis edar khusus dan bergerak mengikuti garis edar ini secara harmonis bersama-sama dengan benda-benda langit lainnya.
Keseluruhan alam semesta yang dipenuhi oleh lintasan dan garis edar seperti ini, dinyatakan dalam Al Qur'an sebagai berikut:
"Demi langit yang mempunyai jalan-jalan." (Al Qur'an, 51:7)
Terdapat sekitar 200 milyar galaksi di alam semesta yang masing-masing terdiri dari hampir 200 bintang. Sebagian besar bintang-bintang ini mempunyai planet, dan sebagian besar planet-planet ini mempunyai bulan. Semua benda langit tersebut bergerak dalam garis peredaran yang diperhitungkan dengan sangat teliti. Selama jutaan tahun, masing-masing seolah "berenang" sepanjang garis edarnya dalam keserasian dan keteraturan yang sempurna bersama dengan yang lain. Selain itu, sejumlah komet juga bergerak bersama sepanjang garis edar yang ditetapkan baginya.
Semua benda langit termasuk planet, satelit yang mengiringi planet, bintang, dan bahkan galaksi, memiliki orbit atau garis edar mereka masing-masing. Semua orbit ini telah ditetapkan berdasarkan perhitungan yang sangat teliti dengan cermat. Yang membangun dan memelihara tatanan sempurna ini adalah Allah, Pencipta seluruh sekalian alam.
Garis edar di alam semesta tidak hanya dimiliki oleh benda-benda angkasa. Galaksi-galaksi pun berjalan pada kecepatan luar biasa dalam suatu garis peredaran yang terhitung dan terencana. Selama pergerakan ini, tak satupun dari benda-benda angkasa ini memotong lintasan yang lain, atau bertabrakan dengan lainnya. Bahkan, telah teramati bahwa sejumlah galaksi berpapasan satu sama lain tanpa satu pun dari bagian-bagiannya saling bersentuhan.
Dapat dipastikan bahwa pada saat Al Qur'an diturunkan, manusia tidak memiliki teleskop masa kini ataupun teknologi canggih untuk mengamati ruang angkasa berjarak jutaan kilometer, tidak pula pengetahuan fisika ataupun astronomi modern. Karenanya, saat itu tidaklah mungkin untuk mengatakan secara ilmiah bahwa ruang angkasa "dipenuhi lintasan dan garis edar" sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut. Akan tetapi, hal ini dinyatakan secara terbuka kepada kita dalam Al Qur'an yang diturunkan pada saat itu: karena Al Qur'an adalah firman Allah.
"KastariAburidza"  By. Harun Yahya"

Jumat, 23 Desember 2011

Takwa

Tentunya kita sering mendengar kata takwa dari ustadz, dan para penceramah, namun ada dari kita, yang masih jauh dari takwa yang sebenarnya. Padahal takwa adalah kunci untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan hidup didunia dan akhirat.
Imam An-Nawawi mendenifisikan takwa dengan “Menta’ati perintah dan laranganNya”. Maksudnya menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah Swt [Tahriru AlFazhil Tanbih, hal 322]. Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani “ Takwa yaitu menjaga diri dari siksa Allah dengan menta’atiNya. Yakni menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya” (Kitabut Ta’rifat, hl.68, Yusuf Mansur Network, Takwa Solusi segala Masalah dan Bekal Terbaik).
Jadi takwa berarti mentaati Allah, taat terhadap semua yang diperintahkan dan dilarang. Seseorang melakukan perintah dan menjauhi laarangan-Nya karena keimanannya kepada Allah. Allah Swt berfirman: ”Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa” (QS. Al baqarah {2} : 41)
Takwa bermakna taat dan beribadah, sebagaimana tertulis dalam firmanNya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam” (QS. Ali Imran {3} : 102). Di antara wahyu Allah kepada Nabi Dawud As : “Tiada seorang hamba yang taat kepada-Ku melainkan Aku memberinya sebelum dia minta, dan mengabulkan permohonannya sebelum dia berdoa, dan mengampuni dosanya sebelum dia mohon pengampunan (istighfar).” (HR. Ad-Dailami). Itulah keutaman takwa, karena takwa bermakna taat dan beribadah.
Karena takwa bermakna taat dan beribadah, maka bagi hamba yang taat dan beribadah Allah Swt akan penuhi hati dan tangannya dengan kekayaan, sebagaimana tertulis dalam hadits yang diriwayatkan Imam Al-Hakim dari Ma’qal bin Yasar  berkata, Rasulullah Saw bersabda:  “Tuhan kalian berkata, ‘Wahai anak Adam, beribadahlah kepadaKu sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rezeki. Wahai anak Adam, jangan jauhi Aku sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tangamu dengan kesibukan.” (HR. Al Hakim).  Nabi Muhammad Saw  dalam hadits tersebut menjelaskan, bahwasanya Allah menjanjikan kepada orang yang beribadah sepenuhnya kepada-Nya, dengan kekayaan hati dan rezeki yang cukup, sebaliknya mengancam bagi yang tidak beribadah sepenuhnya kepada Allah, dengan kefakiran dan membuatnya kedua tangannya selalu dalam kesibukan.
Takwa adalah jalan meraih kemenangan, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya, “Dan barang siapa yang taat kepada  Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan. (QS. An-Nur {24}: 52).  Bila kita ingin mendapatkan kemenangan, maka bertakwalah kepada Allah.
Takwa juga merupakan bekal utama yang dapat memudahkan perjalanan hidup kita pada landasan kebenaran.  Dan takwa kepada Allah adalah bekal yang harus kita persiapkan untuk akhirat kita kelak. Sebagaimana tertulis dalam firman Allah Swt : ….Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al Baqarah {2} : 197)
Berikut beberapa ayat Al Quran tentang takwa kepada Allah :
  1. ”Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Al Hadiid {57} : 28)
  2. Allah Swt berfirman, ”…..Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujuraat { 49} : 13)
  3. ”Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya”. (QS. Al A’raaf {7} : 201)
  4. ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Hasyr {59} : 18)
  5. AllahSwt berfirman : “Barang siapa yang bertakwa pada Allah, Allah beri jalan keluar dari kesusahan dan akan beri rezeki dari arah yang tidak terduga-duga” (QS. Ath Thalaaq {65} : 2-3)
  6. ”….Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.   (QS. Ath Thalaaq {65} :4)
  7. ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raaf {7} : 96)
  8. “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Mengenal” (QS Al Hujuraat {49} : 13)
Apabila kita menjadi hamba Allah yang bertakwa, Allah Swt telah menjanjikan kepada kita, bahwa memberikan kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat dan akan selalu memberikan jalan keluar dan mendatangkan rezeki untuk kita, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya disurah Ath Thalaaq ayat 2-3 diatas (lihat No 6)
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang merealisasikan takwa akan dibalas Allah dengan dua hal. Pertama, “Allah akan mengadakan jalan keluar baginya.” Artinya, Allah akan menyelamatkannya di dunia maupun akhirat. Kedua, “Allah akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” Artinya, Allah akan memberi-nya rezeki dari arah yang tak pernah ia pikirkan.  Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan:  “Makna ayat 3 surah At Thalaq diatas adalah, barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.”  (buku Cukuplah Allah)
Mengadakan jalan keluar artinya menyelamatkannya dari setiap kesulitan di dunia dan akherat. Ibnu ‘Uyainah berkata itu artinya, ia mendapat keberkahan dalam rezekinya. Dan Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Barangsiapa berlepas dari kuatnya kesulitan dengan kembali kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar dari beban yang ia pikul. “ (Jami Ahkamiil Qur’an, VIII: 6638-3369, secara ringkas) Dan balasan bagi mereka di akhirat yang jelas adalah akan mewarisi tempat yang merupakan dambaan setiap insan yaitu Surga dengan segala kenikmatannya, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya:”Itulah syurga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa”.(QS. Maryam {19} : 63)
Karena itu, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt agar kita bisa meraih kemudahan hidup dan diselamatkan dari setiap kesulitan kita, baik itu kesulitan hidup didunia maupun di akhirat kelak.  Marilah kita raih kebahagian hidup didunia dan akhirat dengan jalan takwa kepada Allah Swt.
"KastariAburidza"

Menjadi Hamba Allah Yang Ikhlas

Pernahkah saudara-saudara merasa kecewa karena saudara-saudara merasa sudah berusaha berbuat yang terbaik untuk orang banyak, tapi masih dianggap kurang, dan bahkan dianggap salah, apa yang kita lakukan tersebut? Hingga hal tersebut membuat kita kecewa, sedih dan marah?  Kita ini hanya manusia biasa, kita tidak mungkin dapat memuaskan keinginan semua orang, dalam segala sesuatu yang kita  lakukan, pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Pasti ada   pihak-pihak yang merasa puas dan ada juga pihak-pihak yang merasa kurang puas dengan apa yang kita lakukan, hal ini lumrah dan biasa terjadi, tinggal tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Coba kita tinjau sedikit kebelakang, apa niat dan tujuan kita dalam melakukan suatu perbuatan, apakah karena dan untuk Allah atau kalaupun alasan kita karena dan untuk Allah tetapi tidak murni, masih ada alasan lainnya?

Perlu diketahui, kalau tujuan dan niat kita dalam melakukan sesuatu, tidak murni ikhlas karena Allah, maka yang terjadi adalah kita akan sering menemukan kekecewaan, ini karena kita masih mempunyai tujuan lain selain Allah. Hingga disaat ada pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan apa yang kita lakukan, hal itu membuat kita sedih dan kecewa. Dan kemudian yang terjadi adalah, tidak jarang dari kita, yang kemudian menyalahkan sebab-sebab, padahal sebenarnya Allah Swt lah yang Maha Mengatur Segala Sesuatu, Allah jugalah pencipta semua sebab-sebab.
Mungkin kekecewaan yang kita alami dari mahluk atau pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan apa yang kita lakukan, adalah merupakan teguran kecil dari Allah, agar kita kembali meluruskan niat dan tujuan kita, agar kita memperbaiki niat dan tujuan kita supaya hanya karena-Nya. Karena Allah Swt hanya menerima amal ibadah atau amal kebaikan yang ikhlas ditujukan semata-mata karena-Nya. QS. Perhatikan firman-Nya berikut ini :  dan (aku telah diperintah): “Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik (Yunus {10} : 105).  Dan perhatikan juga sabda Rasulullah Saw berikut ini. ”Allah tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i). Imam Ali ra juga berkata, ”Orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amal diterima oleh Allah.”
Ikhlas akan membuat jiwa kita menjadi merdeka dan tidak dibelenggu pengharapan akan pujian, tidak haus akan imbalan. Hati menjadi tenang karena ia tidak diperbudak penantian mendapat penghargaan ataupun imbalan dari makhluk. Penantian adalah hal yang tidak nyaman, menunggu pujian atau imbalan adalah hal yang dapat meresahkan, bahkan bisa mengiris hati bila ternyata yang datang sebaliknya.. Orang yang tidak ikhlas akan banyak menemui kekecewaan dalam hidupnya, karena orang yang tidak ikhlas banyak berharap pada mahluk yang lemah. Kalau kita masih sering berharap pada mahluk, (walau sekecil apapun), maka kita akan sering menemukan kekecewaan.  Ketahuilah, bahwa penilaian dan penerimaan mahluk (manusia) atas apa yang kita lakukan, tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan penilaian dan penerimaan Allah terhadap segala sesuatu yang kita lakukan. Perhatikan firman-Nya berikut ini : “Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An Nisa {4} : 146).
Perhatikan juga firman-Nya berikut ini, ”Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya)”. (QS. Al Maaidah [5] : 85)
Sekarang coba tanyakan dengan jujur pada diri kita sendiri, apakah dalam beramal shaleh, atau dalam melakukan segala sesuatu, kita masih menyertai kepentingan kita sendiri? (hanya kita yang bisa menjawabnya dengan jujur). Ketahuilah, orang yang ikhlas adalah orang yang tidak menyertakan kepentingan pribadi atau imbalan duniawi atas apa yang ia lakukan. Tujuan orang yang ikhlas hanya satu, yaitu bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT.

Orang yang benar-benar ikhlas, sekalipun dirinya dibilang tidak ikhlas, ia tidak akan membela diri, sebab kalau dia membela diri apalagi sampai marah karena dikatakan tidak ikhlas, itu merupakan tanda-tanda ketidakikhlasannya.  Karena orang yang ikhlas, tidak perduli pada penilaian mahluk, ia hanya perduli pada penilaian Allah SWT dan keikhlasannya hanya ditujukan untuk Allah, sehingga tidak perlu orang lain mengetahuinya. Bila ia ingin keikhlasananya diketahui orang lain, itu tandanya  ia belum ikhlas.
Marilah kita perbaiki segala amal ibadah kita atau apapun yang kita lakukan dengan ikhlas, sekalipun memang benar, setiap manusia pasti punya kepentingan dan kebutuhan masing-masing,  tapi percayalah, Allah Maha Tahu semua kebutuhan dan kesulitan kita, Allah Maha Tahu Segalanya dan Allah Maha Kuasa Atas Segala Sesuatu,  apabila kita melakukan semuanya semata-mata karena Allah, maka kekuatan Allah lah yang akan menolong segalanya, percayalah !
"KastariAburidza "

Menjaga Lisan

Lisan (lidah) memang tak bertulang, sekali kita gerakkan sulit untuk kembali pada posisi semula. Demikian berbahayanya lisan, hingga Allah dan Rasul-Nya mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menggunakannya.
Allah Swt telah memerintahkan kita semua untuk berkata yang benar, seperti tertulis dalam firmanNya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70)
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6092)
Rasulullah bersabda:“Sesungguhnya seorang hamba apabila berbicara dengan satu kalimat yang tidak benar (baik atau buruk), hal itu menggelincirkan dia ke dalam neraka yang lebih jauh antara timur dan barat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari No. 6091 dan Muslim No. 6988 dari Abu Hurairah)
Rasulullah bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari hadits no. 6089 dan Al-Imam Muslim hadits no. 46 dari Abu Hurairah)
Berikut ini beberapa manfaat menjaga lisan kita menurut hadits shahih :
  1. Akan mendapat keutamaan dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6090 dan Muslim no. 48)
  2. Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah ketika ditanya tentang orang yang paling utama dari orang-orang Islam, beliau menjawab: “(Orang Islam yang paling utama adalah) orang yang orang lain selamat dari kejahatan tangan dan lisannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 11 dan Muslim no. 42)
  3. Mendapat jaminan dari Rasulullah Saw untuk masuk ke surga. Rasulullah Saw bersabda dalam hadits dari Sahl bin Sa’d: “Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang berada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) maka aku akan menjamin baginya al-jannah (surga).” (HR. Al-Bukhari no. 6088)
  4. Dalam riwayat Al-Imam At-Tirmidzi no. 2411 dan Ibnu Hibban no. 2546, dari shahabat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang dijaga oleh Allah dari kejahatan apa yang ada di antara dua rahangnya dan kejahatan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) maka dia akan masuk surga.”
  5. Allah akan mengangkat derajat-Nya dan memberikan ridha-Nya kepadanya. Rasulullah bersabda dalam hadits dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat dari apa yang diridhai Allah yang dia tidak menganggapnya (bernilai) ternyata Allah mengangkat derajatnya karenanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6092)
  6. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda. “Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah) serta menyia-nyiakan harta” (HR. Muslim hadits no. 1715.)
  7. Dalam riwayat Al-Imam Malik, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dalam Bahjatun Nazhirin (3/11), dari shahabat Bilal bin Al-Harits Al-Muzani bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu kalimat yang diridhai oleh Allah dan dia tidak menyangka akan sampai kepada apa (yang ditentukan oleh Allah), lalu Allah mencatat keridhaan baginya pada hari dia berjumpa dengan Allah.”
Karena itu, marilah kita berpikir terlebih dahulu, atas segala sesuatu yang mau kita katakan. Jika sekiranya apa yang akan kita katakan tidak akan membawa mudharat, maka silahkan kita berbicara. Akan tetapi, jika kita perkirakan perkataan kita itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka sebaiknya kita tidak usah berbicara.
Setelah kita mengetahui keutamaan menjaga lisan dan bahayanya jika kita tidak bisa menjaganya, mari mulai sekarang kita jaga lisan kita dengan sebaik-baiknya, karrena segala esuatu yangkita ucapkan, kelak akan diminta pertanggungjawabannya dihadapan Allah Swt.
"Kastari Aburidza"

Dosa Menghapus Amal

Dalam kehidupan kita selalu saja ada sisi positif dan negatif dalam interaksi kita dengan sesama. Positif ketika interaksi kita tidak membawa kekecewaan, bahkan yang ada adalah saling tolong menolong sesama mukmin, saling sayang menyayangi sesama mukmin.  Dan negatif akan timbul, saat interaksi kita dengan orang lain membuahkan kekecewaan yang tidak jarang disertai dengan kemarahan.
Tidak ada manusia yang tak memiliki sifat amarah berapapun kadarnya.  Hanya saja, seberapa jauh, setiap orang memiliki kemampuan menahan dan mengendalikan sifat amarah dalam dirinya.  Sebagian orang mengatakan  marah adalah manusiawi, karena marah adalah bagian dari kehidupan kita. Tapi alangkah baiknya bila kita bisa menjadi pribadi yang bisa menahan marah dan kalaupun kita marah, maka marahnya kita tidak berlebihan.
Syeikh Imam al-Ghazali, dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin nya mengatakan, “Barangsiapa tidak marah, maka ia lemah dari melatih diri. Yang baik adalah, mereka yang marah namun bisa menahan dirinya.”
Tiga hal termasuk akhlak keimanan yaitu, orang yang jika marah, kemarahannya tidak memasukkanya kedalam perkara batil,   jika senang maka kesenangannya tidak mengeluarkan dari kebenaran dan jika dia mampu dia tidak melakukan yang tidak semestinya.
Maka wajib bagi setiap muslim menempatkan nafsu amarahnya terhadap apa yang dibolehkan oleh Allah Swt, tidak melampaui batas terhadap apa yang dilarang sehingga nafsu amarahnya tidak mengarah kepada kemaksiatan, kemunafikan apalagi sampai kepada kekafiran.  Kita harus melatih diri kita agar tidak menjadi orang yang mudah marah dan menahan marah kita agar kemarahan kita tidak berlebihan.
Perhatikan firman Allah Swt berikut ini : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS. Ali Imran {3} :133-134).
Orang yang bertakwa adalah mampu menahan marah dengan tidak melampiaskan kemarahan walaupun sebenarnya ia mampu melakukannya. Kata al-kazhimiin berarti penuh dan menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh dengan air, lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan marah, sakit hati, dan keinginan untuk menuntut balas masih ada, tapi perasaan itu tidak dituruti melainkan ditahan dan ditutup rapat agar tidak keluar perkataan dan tindakan yang tidak baik. (Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, II, hal. 207).
Berikut beberapa hadits tentang keutaman menahan marah :
  1. Rasulullah Saw bersabda : “Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  2. Dari Ibnu Mas’ud ra Rasulullah Saw bersabda : “Siapa yang dikatakan paling kuat diantara kalian? Sahabat menjawab : yaitu diantara kami yang paling kuat gulatnya. Beliau bersabda : “Bukan begitu, tetapi dia adalah yang paling kuat mengendalikan nafsunya ketika marah.” (HR. Muslim)
  3. Al Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Anas Al Juba’i , bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal dia mampu menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas khalayak makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan)
  4. Al Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Tidaklah hamba meneguk tegukan yang lebih utama di sisi Allah Swt, dari meneguk kemarahan karena mengharap wajah Allah Swt.” (Hadits shahih riwayat Ahmad)
  5. Al Imam Abu Dawud rahimahullah mengeluarkan hadits secara makna dari shahabat Nabi, bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Tidaklah seorang hamba menahan kemarahan karena Allah Swt kecuali Allah Swt akan memenuhi baginya keamanan dan keimanan.” (HR. Abu Dawud dengan sanad Hasan)
  6. “Dari Abu Hurairah ra, bahwa seseorang berkata kepada Nabi Saw : berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda : “jangan menjadi seorang pemarah”. Kemudian diulang-ulang beberapa kali. Dan beliau bersabda : “janganlah menjadi orang pemarah” (HR. Bukhari) .
Rasulullah Saw  tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju pada pribadinya dan beliau sangat marah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang dibenci Allah, maka beliau tidak diam, beliau marah dan berbicara. Ketika Nabi Saw  melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar makhluk hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang membuat gambar seperti gambar ini.” (HR. Bukhari Muslim).
Al Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Anas ra :  “Anas membantu rumah tangga Rasulullah Saw selama 10 tahun, maka tidak pernah beliau berkata kepada Anas : “ah”, sama sekali. Beliau tidak berkata terhadap apa yang dikerjakan Anas : “mengapa kamu berbuat ini.” Dan terhadap apa yang tidak dikerjakan Anas,”Tidakkah kamu berbuat begini.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitulah keadaan beliau senantiasa berada diatas kebenaran baik ketika marah maupun ketika dalam keadaan ridha/tidak marah. Dan demikianlah semestinya setiap kita selalu diatas kebenaran ketika ridha dan ketika marah.  Rasulullah Saw  bersabda :  “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu berbicara yang benar ketika marah dan ridha.” (Hadits shahih riwayat Nasa’i).
Dr, Aidh bin Abdullah Al-Qarni M.A mengatakan, Berhati-hatilah terhadap keributan, karena ia sangat melelahkan. Jauhilah sikap mencerca dan mencela, karena ia sangat menyiksa.
Setelah kita mengetahui keutamaan menahan marah, seperti yang diuraikan diatas, sekarang coba kita tanyakan dengan jujur pada diri kita sendiri, bagaimana kita kalau sedang marah selama ini? Apakah kita mampu menahan marah? Atau apakah saat marah kita tetap mampu menahan dan mengendalikan amarah kita hingga tidak berlebihan?
"Kastari Aburidza"

Keutamaan Menghafal Al Quran

Al Qur’an adalah kemuliaan yang paling tinggi. Al Quran adalah kalam Allah Swt. Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan dengan penuh berkah, Al-Qur’an memberikan petunjuk manusia kepada jalan yang lurus. Tidak ada keburukan di dalamnya, oleh karena itu sebaik-baik manusia adalah mereka yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya. Rasulullah SAW bersabda, Sebaik-baik orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (Al Qur’an) dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30)
Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (Al Quran) (QS. Al Kahfi : 27)
Dan firman-Nya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al Quran)… (QS. Al Ankabut : 45)
Dan firman-Nya: Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Rabb negeri ini (Mekah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. * Dan supaya aku membacakan al-Qur’an (kepada manusia). “. (QS. an-Naml: 91-92)
Seseorang yang berpegang  teguh pada Al Qur’an, sebagai modal kekuatan pegangan dan landasan filsafat hidup maka orang itu akan mampu tegar, tidak gampang menyerah, sigap dalam menentukan sikap, dan tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh ketidakpastian situasi, tidak mudah terpengaruh oleh prinsip hidup lain, hal itu karena prinsip dalam kepribadiannya sudah mantap dan semua itu akan tercermin dalam sikapnya dalam menyelesaikan persoalan hidup
Alangkah indahnya hidup kita, bila kita tidak hanya sekedar bisa membaca Al Quran, tetapi juga menghafalnya dan mengamalkannya. Banyak hadits Rasulullah Saw yang mendorong untuk menghafal Al Qur’an atau membacanya di luar kepala, sehingga hati seorang individu muslim tidak kosong dari sesuatu bagian dari kitab Allah Swt.  Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas “Orang yang tidak mempunyai hafalan Al Qur’an sedikit pun adalah seperti rumah kumuh yang mau runtuh (HR. Tirmidzi)
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Sawbersabda:  “Penghafal Al Quran akan datang pada hari kiamat, kemudian Al Quran akan berkata: Wahai Tuhanku, bebaskanlah dia, kemudian orang itu dipakaikan mahkota karamah (kehormatan), Al Quran kembali meminta: Wahai Tuhanku tambahkanlah, maka orang itu diapakaikan jubah karamah. Kemudian Al Quran memohon lagi: Wahai Tuhanku ridhailah dia, maka Allah meridhainya. Dan diperintahkan kepada orang itu, bacalah dan teruslah naiki (derajat-derajat surga), dan Allah menambahkan dari setiap ayat yang dibacanya tambahan nikmat dan kebaikan”  (HR. Tirmidzi, hadits hasan {2916}, Inu Khuzaimah, Al Hakim, ia menilainya hadits shahih)
Berikut adalah Fadhail Hifzhul Qur’an (Keutamaan menghafal Qur’an) :
  1. Al Qur’an akan menjadi penolong (syafa’at) bagi penghafal .Dari Abi Umamah ra. ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah olehmu Al Qur’an, sesungguhnya ia akan menjadi pemberi syafa’at pada hari kiamat bagi para pembacanya (penghafalnya).”" (HR. Muslim)
  2. Nabi Saw memberikan amanat pada para hafizh dengan mengangkatnya sebagai pemimpin delegasi. Dari Abu Hurairah ia berkata, “Telah mengutus Rasulullah SAW sebuah delegasi yang banyak jumlahnya, kemudian Rasul mengetes hafalan mereka, kemudian satu per satu disuruh membaca apa yang sudah dihafal, maka sampailah pada Shahabi yang paling muda usianya, beliau bertanya, “Surat apa yang kau hafal? Ia menjawab,”Aku hafal surat ini.. surat ini.. dan surat Al Baqarah.” Benarkah kamu hafal surat Al Baqarah?” Tanya Nabi lagi. Shahabi menjawab, “Benar.” Nabi bersabda, “Berangkatlah kamu dan kamulah pemimpin delegasi.” (HR. At-Turmudzi dan An-Nasa’i).
  3. Nikmat mampu menghafal Al Qur’an sama dengan nikmat kenabian, bedanya ia tidak mendapatkan wahyu, “Barangsiapa yang membaca (hafal) Al Quran, maka sungguh dirinya telah menaiki derajat kenabian, hanya saja tidak diwahyukan padanya.” (HR. Hakim)
  4. Seorang hafizh Al Qur’an adalah orang yang mendapatkan Tasyrif nabawi (Penghargaan khusus dari Nabi Saw). Di antara penghargaan yang pernah diberikan Nabi SAW kepada para sahabat penghafal Al Qur’an adalah perhatian yang khusus kepada para syuhada Uhud yang hafizh Al
  5. Qur’an. Rasul mendahulukan pemakamannya. “Adalah Nabi mengumpulkan diantara orang syuhada uhud, kemudian beliau bersabda, :Manakah diantara keduanya yang lebih banyak hafal Al Quran, ketika ditunjuk kepada salah satunya, maka beliu mendahulukan pemakamannya di liang lahat.” (HR. Bukhari)
  6. Hafizh Qur’an adalah keluarga Allah yang berada di atas bumi. “Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia, para sahabat bertanya, “Siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Para ahli Al Qur’an. Merekalah keluarga Allah dan pilihan-pilihan-Nya.” (HR. Ahmad)
  7. Siapa yang membaca Al Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaiakan dua jubah (kemuliaan) yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, “Mengapa kami dipakaikan jubah ini?” Dijawab,”Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Qur’an.” (HR. Al-Hakim)
  8. “Dan perumpamaan orang yang membaca Al Qur’an sedangkan ia hafal ayat-ayatnya bersama para malaikat yang mulia dan taat.” (Muttafaqun alaih)
  9. Dari Abdillah bin Amr bin ‘Ash dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Akan dikatakan kepada shahib Al Qur’an, “Bacalah dan naiklah serta tartilkan sebagaimana engkau dulu mentartilkan Al Qur’an di dunia, sesungguhnya kedudukanmu di akhir ayat yang kau baca.” (HR. Abu Daud dan Turmudzi)
  10. Kepada hafizh Al Qur’an, Rasul SAW menetapkan berhak menjadi imam shalat berjama’ah. Rasulullah SAW bersabda, “Yang menjadi imam suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya.” (HR. Muslim)
  11. “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al Qur’an maka baginya satu hasanah, dan hasanah itu akan dilipatgandakan sepuluh kali. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, namun Alif itu satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.”  (HR. At Turmudzi).
  12. Bahkan Allah membolehkan seseorang memiliki rasa iri terhadap para ahlul Qur’an, “Tidak boleh seseorang berkeinginan kecuali dalam dua perkara, menginginkan seseorang yang diajarkan oleh Allah kepadanya Al Qur’an kemudian ia membacanya sepanjang malam dan siang, sehingga tetangganya mendengar bacaannya, kemudian ia berkata, ‘Andaikan aku diberi sebagaimana si fulan diberi, sehingga aku dapat berbuat sebagaimana si fulan berbuat’” (HR. Bukhari)
Begitu banyak keutamaan menghafal Al Quran, tapi karena kesibukan dunia dan segala pesonanya yang menggoda, membuat kita jadi malas melakukannya, karena itu mulai sekarang, sebaiknya kita mulai meluangkan waktu untuk mulai kembali menghafal Al Quran (termasuk diri saya).

Bersahabat Dengan Al Quran

Sesulit apapun kehidupan yang sedang dijalani, dan seberat apapun perjuangan yang sedang dihadapi, pasti akan terasa lebih ringan dan damai jika ada sahabat yang selalu setia menyertai, dibanding jika semuanya harus ditanggung seorang diri.  Dan sebaliknya, keberhasilan spektakuler yang kita raih pun terasa tak berarti apabila tidak ada siapa-siapa untuk tempat berbagi. Demikianlah hidup ini jadi miris sekali jika selamanya harus dijalani sendiri, maka itu sahabat yang setia harus kita cari sebagai teman berbagi apa saja yang kita alami.
Sebelum mencari sahabat manusia, kita sebaiknya bersahabat terlebih dulu dengan Al-Quran. Dikarenakan dalam Al-Quran kita dapat menemukan panduan hidup yang benar. Sebaliknya apabila kita jauh dari Al-Quran dan tidak menjadikannya sahabat kita, maka hidup kita akan mudah diperdaya oleh rayuan dan bujukan setan untuk dijadikan sahabatnya. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. Az-Zukhruf {43} : 36).
Intinya, dalam kehidupan kita memiliki dua pilihan untuk dijadikan sahabat, Al-Quran atau setan. Manakala kita bersahabat dengan Al-Quran maka kita akan selamat di jalan Allah. Sebaliknya bersahabat dengan setan kita akan merugi dan jatuh ke lembah kehancuran dan kesesatan. Agar kita terhindar dari persahabatan dengan setan, Al-Quran telah memberikan tips yaitu sering-sering membaca ta’awwudz yaitu ungkapan A’udzubillahi minasy-syaithonir rajim. “Aku memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl 98).
Kita harus bisa bersahabat dengan Al-Quran, karena Al-Quran adalah mukjizat khalidah (mukjizat abadi). Keberadaannya diyakini sebagaimana kata pepatah “tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.” Ia akan senantiasa shalih fil al-zaman wa al-makan (selalu relevan di setiap waktu dan tempat). Jadi kita sangat beruntung bila dapat bersahabat dengan Al Quran.   Untuk menjadikan Al-Quran sebagai sahabat karib, tentu kita harus memposisikan dan memperlakukannya seperti kita memperlakukan sahabat. Yakni menjadikannya sebagai teman curhat, mendengar nasehatnya, mengikuti petuahnya dan ingin selalu dekat di sisinya.  Dalam hal ini, bersahabat dengan Al Quran dengan selalu membaca, menjadikannya petunjuk, memahaminya dan mengamalkannya. Dengan begitu kita akan memperoleh kebahagiaan hakiki dunia-akhirat.
Rasulullah Saw menjanjikan, bahwa setiap orang beriman yang bersahabat akrab dengan Al Quran, dijamin akan mendapat syafa’at dari Al-Qur’an: “Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat menjadi pemberi syafa’at bagi orang-orang yang bersahabat dengannya”. (HR. Muslim)

Rasulullah Saw bersabda “Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafa‘at bagi pembacanya.” (HR. Muslim dari Abu Umamah).)
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl: 89)
Firman Allah Swt: “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Ma’idah: 15-16)
Al-Quran turun kepada Baginda Nabi Saw. memang untuk didakwahkan. Allah Swt. berfirman: ”Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia itu dibawa turun oleh Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (QS. asy-Syu’ara [26]:192-194).
Rasulullah Saw. bersabda, Sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah…” (HR Ahmad). Karena itu, sudah selayaknya para aktifis dakwah senantiasa berinteraksi dengan Al Quran, bersahabat dengan Al Quran, bahkan harus merasa bergantung pada Al Quran. Sebagaimana seorang prajurit di medan perang bergantung pada senjatanya, demikian pula seharusnya pengemban dakwah  selalu bergantung pada Al Quran. Apa jadinya prajurit berperang tanpa senjata? Apa jadinya pengemban dakwah berlaga di medan dakwah tanpa Al Quran di hati dan pikirannya?
Rasulullah Saw. bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya, melainkan akan diturunkan kepada mereka ketenangan; mereka akan diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh malaikat dan akan disebut-sebut Allah di hadapan orang-orang yang ada di sisi-Nya (para malaikat).” (HR Muslim).
Kecintaan dan interaksi kita dengan Al Quran juga merupakan ukuran kebersihan hati kita. Jika suatu ketika hari kita  merasa berat untuk membaca Al Quran, bisa jadi itu adalah pertanda bahwa hati kita kotor. Untuk membersihkannya, paksakanlah untuk membaca Al Quran, InsyaAllah ayat-ayat Al Quran yang kita baca akan membersihkan kotoran-kotoran tersebut. Allah Swt berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi ouang-orang yang beriman. ” (QS. Yunus {10} : 57).
Sungguh pantas, kiranya setiap kaum muslim menjadikan Al Qur’an sebagai sahabat karibnya, yaitu dengan berakhlak sebagaimana akhlak Al Qur’an, menerapkan manajemen hidup yang Qurani, cara bergaul ala Al Qur’an. Misalnya tentang perlunya menjaga tali persaudaraan, saling tolong menolong, tidak boleh bercerai-berai, bermusuhan, berkelahi, bunuh-membunuh, caci-mencaci, ghibah. Dan setiap orang selalu berusaha untuk hidup rukun dan damai dengan orang lain.
Wahai diri… tidakkah kamu malu kepada Allah Swt? Mengaku cinta kepada-Nya, tetapi tidak merasa senang berinteraksi dengan kalam-Nya. Bukankah ketika manusia cinta dengan manusia lain, dia menjadi senang membaca surat atau sms nya, bahkan berulang-ulang? Mengapa kamu begitu berat dan enggan hidup dengan wahyu Allah Swt? Adakah jaminan bahwa kamu mendapat pahala gratis tanpa beramal shalih? Infaq cuma sedikit, jihad belum siap, kalau tidak dengan Al Quran, lalu dengan apa lagi? Mulai sekarang, mari kita jadikan Al Quran sebagai sahabat terbaik kita.
"Kastari Aburidza"

Islam Iman Dan Ihsan

Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya. Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islaman dianggap sah kecuali jika ada iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin.
Pada saat Malaikat Jibril bertanya tentang konsep Iman, Islam dan Ihsan, Rasulullah Saw menjawab, ”Bahwa Iman ialah hendaklah Engkau mengimankan Allah, Malaikat Allah, Kitab kitab Allah, para Utusan Allah, Hari Qiyamat, dan mengimankan Taqdir, baik dan buruknya adalah ketentuan Allah. Islam ialah hendaklah engkau bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, dan nabi Muhammad adalah UtusanNya, mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, berpuasa Ramadhan, dan berangkat Haji bila telah mampu. Sedangkan Ihsan yaitu hendaklah engkau beribadah kepada Allah seperti engkau melihatNYA, apabila tidak bisa demikian , maka sesungguhnya Allah melihat engkau”. (HR. Bukhari)

Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah swt. berfirman. “Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (QS Al-Isra’: 7). Dan irfman Allah : “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (QS. Al-Qashash: 77)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah Swt
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah Swt.  Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah Swt. Rasulullah Saw pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril yang menyamar sebagai seorang manusia mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah Saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah Swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.
“Engkau mengabdi kepada Allah, seakan-akan engkau melihat Dia. Kalau engkau tidak dapat melihat-Nya, yakinlah Dia pasti melihatmu.” (HR. Muslim)
Terjemahan hadis di atas merupakan potongan terjemahan hadis tentang Islam, iman, ihsan, dan tanda-tanda datangnya hari kiamat yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Lengkapnya terjemahan hadis tersebut adalah sebagai berikut. ”Dari Umar ra, beliau berkata : Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rasulullah Saw, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi Saw, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya, kemudian berkata, “Wahai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.” Kemudian Rasulullah Saw menjawab, “Islam yaitu hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang hak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Hendaklah engkau mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan mengerjakan haji ke rumah Allah jika engkau mampu mengerjakannya.” Orang itu berkata, “Engkau benar ” Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya. Orang itu bertanya lagi, “Lalu terangkanlah kepadaku tentang iman”  Rasulullah Saw menjawab, “Hendaklah engkau beriman kepada Allah, beriman kepada para malaikatNya, kitab-kitabNya, para utusanNya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk”  Orang tadi berkata, “Engkau benar”  Lalu orang itu bertanya lagi  ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab, “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun, jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.” Orang itu berkata lagi, “Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat ” Beliau menjawab, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Orang itu selanjutnya berkata, “Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya” Beliau menjawab, “Apabila budak melahirkan tuannya dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.” Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi Saw bersabda, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda, “Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim)
Ihsan diartikan sebagai penglihatan diri Allah Swt kepada hamba-Nya dan penglihatan diri hamba kepada Allah Swt, hal ini dapat kita contohkan seperti sebuah cermin, di mana kita dapat melihat diri kita melalui cermin tersebut. Orang yang berbuat baik (muhsin) adalah orang yang dapat melihat Allah Swt baik melalui zat (nanti di hari kiamat) maupun sifatNya, dan apabila tidak bisa melihatNya maka yakinlah Allah Swt melihatnya. Dengan demikian, muraqabah yaitu perasaan diri diawasi oleh Allah Swt dalam segala hal, merupakan hal penting dan utama untuk dilakukan karena muraqabah adalah merupakan ihsan itu sendiri
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental.  Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh Allah, minimal akan membuatnya dapat menunaikan semua ibadah dengan sungguh-sungguh dan baik.  Inilah maksud dari perkataan Rasulullah Saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri/suami, bekerja, meniatkan setiap apapun yang kita lakukan untuk mendapat ridha Allah. Oleh karena itulah Rasulullah Saw menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.
Ihsan dijelaskan Allah Swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36 : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”  (QS. An-Nisaa’ 36)
Dalam bekerja, sebaiknya kita bekerja secara Ihsan, bekerja secara ihsan adalah bekerja dengan ikhlas, bekerja dengan mengharapkan pahala dan ridha dari Allah Swt.  Seorang yang bekerja secara ihsan akan melaksanakan pekerjaannya dengan sepenuh hati, baik ketika berada di halayak ramai maupun ketika berada sendirian sehingga dia boleh menghasilkan yang terbaik. Rasulullah Saw bersabda ” Sebaik-baik usaha adalah usaha tangan seorang pekerja apabila dia mengerjakannya dengan tulus” (HR. Ahmad)
Rasulullah Saw bersabda” Sesungguhnya Allah mencintai seorang pekerja apabila bekerja secara ihsan” (Diriwayatkan Baihaqi dan Thabrani dari Kulaib bin Syihab al-Jurmi).  Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku “ihsan” (bekerja secara berkualitas) atas segala sesuatu (HR. Muslim).
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang yang diperoleh dari hasil ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri.
Kesimpulannya, ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut.  Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya.
"Kastari Aburidza"

Keutamaan Membaca Al Qur’an

Keutamaan Al-Qur’an yang terbesar adalah Al Quran merupakan kalam Allah Swt. Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan dengan penuh berkah. Al-Qur’an memberikan petunjuk manusia kepada jalan yang lurus. Tidak ada keburukan di dalamnya, oleh karena itu sebaik-baik manusia adalah mereka yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya. Rasulullah SAW bersabda, ”Sebaik-baik orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhori).
Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca oleh setiap orang muslim, direnungkan dan dipahami makna, perintah dan larangannya, kemudian diamalkan. Sehingga ia akan menjadi hujjah baginya di hadapan Tuhannya dan pemberi syafa’at baginya pada hari Kiamat. Allah telah menjamin bagi siapa yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isi kandungannya tidak akan tersesat di dunia dan tidak celaka di akhirat, dengan firmanNya: “…. Barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha:123)

Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah Saw selalu membaca Al-Qur’an. Beliau juga suka mendengarkan bacaan dari sahabatnya, khususnya sahabat Ibnu Mas’ud. Beliau berlinang air matanya bila membaca dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an, seperti yang dikisahkan dalam sebuah hadist dari Ibnu Mas’ud: Suatu ketika Rasulullah Saw meminta Ibnu Mas’ud untuk membacakan Al-Qur’an. Ibnu Mas’ud berkata: “Ya Rasulullah, bagaimanakah saya membacakan untukmu, padahal Al-Qur’an diturunkan kepadamu?”. Dijawab nabi Saw: “Saya ingin mendengar dari orang lain”. Ibnu Mas’ud berkata, ”Maka saya bacakan surat An Nisa hingga sampai pada ayatFa kaifa idzaa ji’na min kulli ummatin bisyahidin waji’na bika ’ala ha’ula’i syahiida” (Bagaimanakah jika Kami telah mendatangkan untuk setiap ummat saksinya dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas semua ummat itu). Nabi bersabda, “Cukuplah sampai di sini”. Saya menoleh melihat nabi SAW sedang bercucuran air mata.“ {HR. Bukhari dan Muslim}.
Sahabat Rasulullah Saw juga selalu membaca Al-Qur’an. Ketika mereka menemukan ayat yang berkaitan dengan azab Allah, mereka membacanya berulang-ulang hingga berlinang air mata. Abu Bakar ra, jika beliau menjadi imam ketika sholat, maka akan terdengar isakan tangis beliau. Suatu ketika seorang sahabat ingin ke pasar mendapati Asma binti Abu Bakar membaca salah satu ayat diulang-ulang sambil menangis. Ketika sahabat tersebut kembali dari pasar, ia masih membaca ayat yang sama sambil menangis. Itulah sikap Rasulullah Saw dan para sahabatnya ketika membaca Al-Qur’an. Kita sebagai ummat dan sebagai generasi penerusnya berusaha untuk bersikap seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya ketika membaca Al-Qur’an.
Berikut beberapa Keutamaan membaca Al Quran Menurut Beberapa Ayat Suci Sl Quran dan Hadits Shahih :
  1. Firman Allah Swt: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An-Nahl: 89)
  2. Firman Allah Swt: “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma’idah: 15-16).
  3. Firman Allah Swt: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi ouang-orang yang beriman. ” (Yunus: 57).
  4. Sabda Rasulullah Saw: “Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafa ‘at bagi pembacanya.” (HR. Muslim dari Abu Umamah).
  5. Dari An-Nawwas bin Sam’an ra. katanya: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Didatangkan pada hari Kiamat Al-Qur’an dan para pembacanya yang mereka itu dahulu mengamalkannya di dunia, dengan didahului oleh surat Al Baqarah dan Ali Imran yang membela pembaca kedua surat ini.” (HR, Muslim).
  6. Dari Utsman bin Affan ra, katanya: Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari)
  7. Dari Ibnu Mas’ud ra, katanya: Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf; tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi, katanya: hadits hasan shahih).
  8. Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash ra, bahwa Nabi Saw bersabda: “Dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an: “Bacalah, naiklah dan bacalah dengan pelan sebagaimana yang telah kamu lakukan di dunia, karena kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang kamu baca.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dengan mengatakan: hadits hasan shahih).
  9. Dari Aisyah ra, katanya: Nabi Saw bersabda: “Orang yang membaca Al-Qur’an dengan mahir adalah bersama para malaikat yang mulia lagi taat, sedangkan orang yang membaca Al-Quran dengan tergagap dan susah membacanya baginya dua pahala.” (Hadits Muttafaq ‘Alaih). Dua pahala, yakni pahala membaca dan pahala susah payahnya.
  10. 10. Dari Ibnu Umar ra, Nabi Saw bersabda: “Tidak boleh hasad (iri) kecuali dalam dua perkara, yaitu: orang yang dikaruniai Allah Al-Qur’an lalu diamalkannya pada waktu malam dan siang, dan orang yang dikaruniai Allah harta lalu diinfakkannya pada waktu malam dan siang”. (Hadits Muttafaq ‘Alaih). Yang dimaksud hasad di sini yaitu mengharapkan seperti apa yang dimiliki orang lain. (Lihat kitab Riyadhus Shaalihiin, hlm. 467-469).
  11. 11. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mempunyai 2 ahli diantara manusia”. Sahabat bertanya, ”Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Ahli Al-Qur’an adalah ahli Allah, dan orang-Nya khusus.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
  12. Dalam hadist yang lain, Rasulullah SAW bersabda: Dikatakan kepada orang yang berteman dengan Al-Qur’an, “Bacalah dan bacalah sekali lagi serta bacalah dengan tartil, seperti yang dilakukan di dunia, karena manzilah-mu terletak di akhir ayat yang engkau baca. “ (HR Tirmidzi)
  13. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Al-Qur’an bertemu pembacanya pada hari kiamat saat kuburannya dikuak, dalam rupa seorang laki-laki yang pucat. Dia (Al-Qur’a) bertanya, “apakah engkau mengenalku? Dia menjawab, “aku tidak mengenalmu!”. Al-Qur’an berkata, “Aku adalah temanmu, Al-Qur’an, yang membuatmu kehausan pada siang hari yang panas dan membuatmu terjaga pada malam hari. Sesungguhnya pedagang itu mengharapkan hasil dagangannya, dan sesungguhnya pada hari ini aku adalah milikmu dari hasil seluruh perdaganganmu, lalu dia memberikan hak milik orang itu Al-Qur’an dengan tangan kanan dan memberikan keabadian dengan tangan kirinya, lalu di atas kepalanya disematkan mahkota yang berwibawa, sedangkan Al-Qur’an mengenakan 2 pakaian yang tidak kuat disangga oleh dunia. Kedua pakaian ini bertanya, “Karena apa kami engkau kenakan?”. Ada yang menjawab: “Karena peranan Al-Qur’an. Kemudian dikatakan kepada orang itu,”Bacalah sambil naik ketingkatan-tingkatan syurga dan biliknya, maka dia naik sesuai dengan apa yang dibacanya, baik baca dengan cepat, maupun dengan tartil.” (HR Ahmad).
  14. Dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat, sebagai pembela pada orang yang mempelajari dan mentaatinya.” (HR Muslim).
  15. Dari An Nawas bin Sam’an, Rasulullah Saw bersabda, ”Pada hari kiamat akan didatangkan Al-Qur’an dan orang-orang yang mempraktekan di dunia, didahului oleh surah Al Baqarah dan Ali Imran yang akan membela dan mempertahankan orang-orang yang mentaatinya.” (HR. Muslim).
  16. Dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda, ” Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka akan mendapat hasanat dan tiap hasanat mempunyai pahala berlipat 10 kali. Saya tidak berkata Alif Lam Mim itu satu huruf, tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, dn Mim satu huruf.” (HR Tirmidzi)
  17. Dari Aisyah ra, Raslullah Saw bersabda, ”Orang yang mahir dalam membaca Al-Qur’an akan berkumpul para malaikat yang mulia-mulia lagi taat. Sedang siapa orang yang megap-megap dan berat jika membaca Al-Qur’an, mendapat pahala 2 kali lipat.” (HR Bukhari, Muslim)
  18. Dari Al Barra bin Azib ra, “ Ada seorang membaca surat Al Kahfi sedang tidak jauh dari tempatnya, ada kuda yang terikat dengan tali kanan kiri, tiba-tiba orang itu diliputi oleh cahaya yang selalu mendekat kepadanya, sedang kuda itu lari ketakutan. Dan pada pagi hari ia datang memberi tahu kejadian itu kepada Nabi Saw, maka bersabda nabi Saw, ”Itulah ketenangan (rahmat) yang telah turun untuk bacaan Al-Qur’an itu.” (HR Bukhori dan Muslim).
Setelah kita mengetahui betapa banyak keutamaan membaca Al Quran, maka mulai hari ini, mari kita perbanyak membaca Al Quran. Dan bila ada dari kita yang mungkin masih belum lancar membaca Al Quran , jangan patah semangat, lihatlah hadits  No.9, teruslah membacanya, karena Al Quran yang yang kita baca, akan menemui kita dihari kiamat kelak, lihatlah sabda Rasulullah Saw, pada hadits No. 13 diatas. Selain itu Al Quran yang kita baca,  akan memberikan syafaat untuk kita (hadits No. 4).
K.Aburidza.

Hadits Tentang 70.000 Orang Yang Masuk Surga Tanpa Hisab

Di dalam Shahih Bukhari disebutkan hadits bahwa 700.000 orang akan masuk surga, sedangkan generasi awal saja mungkin jumlah mereka sudah mencapi 700.000. Apakah ada tafsir lain tentang hadits ini?

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.
Barangkali maksud anda wahai penanya adalah hadits tentang 70.000 orang yang akan masuk surga tanpa hisab yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad serta yang lainnya dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam.

Kalau anda memperhatikan hadits ini, akan hilanglah -insya Allah- ketidakjelasan yang tercermin dalam pertanyaan anda.

Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam bahwa beliau berkata:
"Ditampakkan beberapa umat kepadaku, maka ada seorang nabi atau dua orang nabi yang berjalan dengan diikuti oleh antara 3-9 orang. Ada pula seorang nabi yang tidak punya pengikut seorangpun, sampai ditampakkan kepadaku sejumlah besar. Aku pun bertanya apakah ini? Apakah ini ummatku? Maka ada yang menjawab: 'Ini adalah Musa dan kaumnya,' lalu dikatakan, 'Perhatikanlah ke ufuk.' Maka tiba-tiba ada sejumlah besar manusia memenuhi ufuk kemudian dikatakan kepadaku, 'Lihatlah ke sana dan ke sana di ufuk langit.' Maka tiba-tiba ada sejumlah orang telah memenuhi ufuk. Ada yang berkata, 'Inilah ummatmu, di antara mereka akan ada yang akan masuk surga tanpa hisab sejumlah 70.000 orang. Kemudian Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam masuk tanpa menjelaskan hal itu kepada para shahabat. Maka para shahabat pun membicarakan tentang 70.000 orang itu. Mereka berkata, 'Kita orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti rasul-Nya maka kitalah mereka itu atau anak-anak kita yang dilahirkan dalam Islam, sedangkan kita dilahirkan di masa jahiliyah.' Maka sampailah hal itu kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, lalu beliau keluar dan berkata, 'mereka adalah orang yang tidak minta diruqyah (dimanterai), tidak meramal nasib dan tidak mita di-kai, dan hanya kepada Allahlah mereka bertawakkal." [HR. Bukhari 8270]
Maksud hadits ini menjelaskan bahwa ada satu kelompok dari ummat ini akan masuk surga tanpa dihisab, bukan berarti bahwa jumlah ahli surga dari ummat ini hanya 70.000 orang. Maka mereka yang 70.000 orang yang diterangkan dalam hadits ini adalah mereka yang memiliki kedudukan yang tinggi dari kalangan ummat ini karena mereka memiliki keistimewaan khusus yang disebutkan oleh hadits ini, yaitu mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak meramal nasib, dan tidak minta di-kai, serta hanya kepada Allah mereka bertawakkal.
Ada lagi hadits yang menjelaskan penyebab mereka masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab di dalam riwayat lain bagi Imam Bukhari rahimahullah, dari Abbas radhiallahu 'anhu, dia berkata bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Ditampakkan kepadaku beberapa ummat. Maka ada seorang nabi yang berjalan dengan diikuti oleh satu ummat, ada pula seorang nabi yang diikuti oleh beberapa orang, ada juga nabi yang diikuti oleh sepuluh orang. Ada juga nabi yang diikuti lima orang, bahkan ada seorang nabi yang berjalan sendiri. Aku pun memperhatikan maka tiba-tiba ada sejumlah besar orang, aku berkata, 'Wahai Jibril, apakah mereka itu ummatku? Jibril menjawab, 'Bukan, tapi lihatlah ke ufuk!' Maka aku pun melihat ternyata ada sejumlah besar manusia. Jibril berkata, 'Mereka adalah ummatmu, dan mereka yang di depan, 70.000 orang tidak akan dihisab dan tidak akan diadzab.' Aku berkata, 'Kenapa?' Dia menjawab, 'Mereka tidak minta di-kai, tidak minta diruqyah, dan tidak meramal nasib serta hanya kepada Allah mereka bertawakal.'Maka berdirilah Ukasyah bin Mihshan, lalu berkata, 'Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan salah satu seorang di antara mereka.' Nabi pun berdoa, 'Ya Allah, jadikanlah dia salah seorang di antara mereka.'Lalu ada orang lain yang berdiri dan berkata, 'Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku salah seorang di antara mereka.' Nabi Shalalahu 'alaihi wasslam menjawab, 'Kamu telah didahului oleh Ukasyah'." [HR. Bukhari 6059]
Tentang sifat mereka pun dijelaskan di dalam hadits Sahl bin Sa'd radhiallahu 'anhu, dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, dia berkata,
"Pasti ada 70.000 orang dari ummatku atau 700.000 orang (salah seorang periwayat hadits ini ragu) akan masuk surga orang pertama di antara mereka, tidak memasukinya sebelum masuk pula orang terakhir dari mereka. Wajah-wajah mereka seperti bulan pada bulan purnama." [HR. Bukhari]
Dan dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, dia berkata: aku mendengar Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda,
"Akan masuk surga sekelompok dari ummatku sejumlah 70.000 orang. Wajah-wajah mereka bercahaya seperti cahaya bulan." [HR. Bukhari]
Tentang sifat mereka diterangkan pula di dalam riwayat Muslim dalam shahihnya dari hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu 'anhu,
"…, kemudian selamatlah orang-orang mukmin, selamat pulalah kelompok pertama dari mereka yang wajah-wajah mereka seperti bulan pada malam purnama sejumlah 70.000 orang. Mereka tidak dihisab kemudian orang-orang setelah seperti cahaya bintang di langit, kemudian yang seperti mereka."
Bagi kita semua kaum muslimin ada kabar gembira dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam di dalam hadits ini dan hadits-hadits lainnya. Adapun kabar gembira dalam hadits ini karena ada riwayat yang lain dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah dari hadits Abu Umamah dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, dia berkata,
"Rabbku 'Azza wa Jalla telah menjanjikan kepadaku bahwa ada dari ummatku yang akan masuk surga sebanyak 70.000 orang tanpa hisab ataupun adzab beserta setiap ribu orang ada 70.000 orang lagi dan tiga hatsiyah dari hatsiyah-hatsiyah Allah 'Azza wa Jalla."
Kita memohon kepada Allah Subhana wa Ta'ala agar Dia menjadikan kita termasuk golongan mereka. Bila anda hitung 70.000 orang menyertai setiap seribu orang dari yang 70.000 itu, berapakah jumlah seluruhnya bagi orang yang masuk surga tanpa hisab?!?

Dan berapa jumlah seluruh hatsiyah dari hatsiyah Allah yang Agung dan Mulia, Yang Penyayang dan Pengasih?

Adapun berita gembira yang kedua adalah bahwa jumlah ahli surga dari ummat ini dua pertiga (2/3) dari seluruh jumlah ahli surga, maka jumlah ummat Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam yang masuk surga lebih banyak dibanding jumlah seluruh ummat yang lalu. Berita gembira ini datang dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam dalam sebuah hadits ketika beliau bersabada kepada para sahabatnya pada suatu hari,
"Ridhakah kalian, kalau kalian menjadi seperempat (1/4) dari penduduk surga?"Kami menjawab, "Ya."Beliau berkata lagi, 'Ridhakah kalian menjadi sepertiga (1/3) dari penduduk surga?"Kami menjawab, "Ya."Beliau berkata lagi, 'Ridhakah kalian menjadi setengah (1/2) dari penduduk surga?"Kami menjawab, "Ya."Beliau berkata lagi, "Demi Allah yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sesungguhnya aku berharap kalian menjadi setengah (1/2) dari penduduk surga karena surga tidak akan dimasuki kecuali oleh jiwa yang muslim dan tidaklah jumlah kalian dibanding ahli syirik kecuali seperti jumlah bulu putih pada kulit sapi hitam atau seperti bulu hitam pada kulit sapi merah." [HR. Bukhari 6047]
Kemudian Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam menyempurnakan berita gembiranya kepada kita dalam hadits shahih yang lain. Beliau berkata,
"…, Ahli surga 120 shaf, 80 shaf di antaranya dari ummatku, dan 40 shaf lagi dari ummat lainnya." [HR. Tirmidzi 3469,lalu Tirmidzi berkata, "Ini hadits hasan."]
Maka kita memuji Allah atas nikmatnya dan kita memohon karunia dan rahmat-Nya, dan semoga Dia menempatkan kita di surga dengan upaya dan anugrah-Nya, dan semoga Allah melimpahkan shalawat kepada Nabi kita Muhammad.
Islam Tanya & Jawab
Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid

Selasa, 18 Oktober 2011

Kiat-Kiat Menuju Keluarga Sakinah


Kiat-Kiat Menuju Keluarga Sakinah

Posted on by K. Aburidza.
KIAT-KIAT MENUJU KELUARGA SAKINAH
Oleh: Ustadz Yasid bin Abdul Qadir Jawas
Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan pernikahan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah (memberi nafkah) dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci, detail dan gamblang.
Selanjutnya untuk memahami konsep pernikahan dalam Islam, maka rujukan yang paling benar dan sah adalah Al Qur’an dan As Sunnah Ash Shahihah yang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Berdasar rujukan ini, kita akan memperoleh kejelasan tentang aspek-aspek pernikahan, maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai pernikahan yang terjadi di dalam masyarakat kita.
Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan. Maka dari itu Islam menganjurkannya, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Allah Ta’ala berfirman:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum:30)
Islam Menganjurkan Nikah
Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan besar sekali, Allah menyebutkan sebagai ikatan yang kuat. Allah Ta’ala berfirman:
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An Nisaa’:21)
Sampai-sampai iaktan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah bersabda:“Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi.” (HR.Ath Thabrani, Syaikh Albani menghasankannya)
ISLAM TIDAK MENYUKAI MEMBUJANG
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan kami untuk menikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras.” Beliau bersabda:
Nikahilah wanita yang subur dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku di hadapan umat-umat lain.” (HR. Abu Dawud, An Nasa-i, Al Hakim, Al Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Pernah suatu ketika, tiga orang sahabat radhiallahu anhum datang bertanya kepada isteri-isteri Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tentang peribadahan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan ibadah mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus”. Sahabat lain berkata:”Sedangkan saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan menikah selamanya…”. Ketika hal itu di dengar oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau keluar seraya berkata:
Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu?Sungguh demi Allah, sesunguhnya akulah yang paling takut dan taqwa kepada Allah diantara kalian, akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, AN Nasa-i dan Al Baihaqi dari sahabat Anas bin Malik)
Allah memerintahkan untuk menikah. Dan seandainya mereka fakir, niscaya Allah Ta’ala akan membantu dengan memberikan rezeki kepada mereka. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang menikah, dalam firmanNya:
Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan wanita. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur:32)
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya:
Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah. Yaitu, mujahid fi sabilillah, budak yang menebus dirinya supaya merdeka, dan orang yang menkah karena ingin memelihara kehormatannya.” (HR. Ahmad, An Nasa-i, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim, dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini hasan)
TUJUAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia. Dan jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan akad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Akhlak Yang Mulia
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Wahai, para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk menikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasa-i, Ad Darimi dan AL Baihaqi, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud)
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al Qur’an disebutkan, bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut:
Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang pembayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al Baqarah:229)
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah harus berusaha membina rumah tangga yang Islami. Ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, agar terbentuk rumah tangga yang Islami. Di antara kriteria itu adalah harus kafa’ah dan shalihah.
Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Kafa’ah (setaraf, sederajat) menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlaq seseorang, bukan diukur dengan status social, keturunan dan barometer duniawi lainnya.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat:13)
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Seorang wanita dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya). niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An Nasa-i, Ibnu Majah, Ahmad, dari sahabat Abu Hurairah)
Memilih Yang Shalihah
Orang yang hendak menikah, harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Allah berfirman:
Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nuur:26)
Menurut Al Qur’an, wanita yang shalihah adalah:
Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka).” (QS. An Nisa’:34)
Menurut Al Qur’an dan Al Hadits yang shahih, diantara cirri-ciri wanita yang shalihah adalah:
·         Ta’at kepada Allah dan ta’at kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
·         Ta’at kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada, serta menjaga harta suaminya.
·         Menjaga shalat yang lima waktu tepat pada waktunya.
·         Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan.
·         Banyak shadaqah dengan seizing suaminya.
·         Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (QS. Al Ahzab:33).
·         Tidak berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya, karena yang ketiganya adalah syaitan.
·         Tidak menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya.
·         Ta’at kepada kedua orang tua dalam kebaikan.
·         Berbuat baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at.
·         Mendidik anak-anaknya dengan pendidikan Islami.
Bila kriteria ini dipenuhi, insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah kepada Allah.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Dan dalam hubungan suami isteri salah seorang diantara kalian adalah sedekah (Mendengar sabda Rasulullah), para sahabat keheranan dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah. Apakah salah seorang dari kita memuaskan syahwatnya (kebutuhan biologisnya terhadap isterinya) akan mendapat pahala?’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab: ‘Bagaimana menurut kalian, jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selian isterinya, bukankah mereka berdosa?’ Jawab para sahabat:’Ya, benar’. Beliau bersabda lagi:’Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan isterinya (ditempat yg halal), mereka akan memperoleh pahala.’” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban, dari sahabat Abu Dzar)
5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Tujuan pernikahan diantaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan Bani Adam sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami isteri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. An Nahl:72)
Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah. Sebagaimana firman Allah:
Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian (yaitu anak).’ (QS. Al Baqarah:187).
Yang dimaksud dengan ayat ini, “Hendaklah kalian mencampuri isteri kalian dan berusaha untuk memperoleh anak.”
TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM
1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh oarng lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain.
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi:
·         Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
·         Adanya ijab qabul.
·         Adanya mahar.
·         Adanya wali
·         Adanya saksi-saksi.
3. Walimah
Walimatul ‘urusy (pesta pernikahan) hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaklah diundang pula orang-orang miskin. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing.” (HR.Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa-i, Ad Darimi, Ahmad, dari sahabat Anas bin Malik)
SEBAGIAN PELANGGARAN YANG TERJADI DALAM PERNIKAHAN YANG WAJIB DIHINDARKAN (DIHILANGKAN)
1. Pacaran.
2. Tukar cincin.
3. Menuntut mahar yg tinggi.
4. Mengikuti upacara adat.
5. Mencukur jenggot bagi laki-laki dan mencukur alis mata bagi wanita.
6. Kepercayaan terhadap hari baik dan sial dalam menentukan waktu pernikahan
7. Mengucapkan ucapan selamat ala kaum jahiliyah.
8. Adanya ikhtilath (bercampur-baurnya antara laki-laki dan perempuan).
9. Musik, nyanyi dan pelanggaran-pelanggaran lainnya.
Marilah kita berupaya untuk melaksanakan pernikahan dan membina rumah tangga dengan cara yang Islami, serta berusaha meninggalkan aturan, tata-cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Jangan meniru cara-cara orang-orang kafir dan orang-orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Anjuran Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam untuk menikah mengandung berbagai manfaat, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, diantaranya:
1. Dapat menundukkan pandangan.
2. Akan terjaga kehormatan
3. Terpelihara kemaluan dari beragam maksiat.
4. Akan ditolong dan dimudahkan oleh Allah.
5. Dapat menjaga syahwat, yang merupakan salah satu sebab dijaminnya ia untuk masuk ke dalam surga.
6. Mendatangkan ketenangan dalam hidup.
7. Akan terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, sebagaimana firman Allah:
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar Rumm:21)
8. Akan mendapatkan keturunan yang shalih.
9. Menikah dapat menjadi sebab peningkatan jumlah ummat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.
Ada sebagian kaum muslimin yang telah menikah dan dikaruniai oleh Allah seorang anak atau dua orang anak, kemudian mereka membatasi kelahiran, tidak mau mempunyai anak lagi dengan berbagai alasan yang tidak syar’i. Perbuatan mereka telah melanggar syari’at Islam. Fatwa-fatwa ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah menjelaskan dengan tegas, bahwa membatasi kelahiran atau dengan istilah lainnya “keluarga berencana”, hukumnya adalah haram.
Sesungguhnya banyak anak itu banyak manfaatnya. Dianatara manfaaat dengan banyaknya anak dan keturunan, adalah:
a. Di Dunia mereka akan saling menolong dalam kebajikan.
b. Mereka akan membantu meringankan beban orang tuanya.
c. Do’a mereka akan menjadi amal yang bermanfaat ketika orang tuanya sudah tidak lagi beramal (telah meninggal dunia).
d. Jika ditaqdirkan oleh Allah anaknya meninggal ketika masih kecil, insya Allah ia akan menjadi syafa’at (penolong) bagi orang tuanya nanti di akhirat.
e. Anak akan menjadi hijab (pemelihara) dirinya dengan api neraka, manakala orang tuanya mampu menjadikan anak-anaknya sebagai anak yang shalih dan shalihah.
f. Dengan banyaknya anak, akan menjadikan salah satu sebab bagi kemenangan kaum muslimin ketika dikumandangkan jihad fi sabilillah, karena jumlah yang sangat banyak.
g. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bangga dengan jumlah umatnya yang banyak. Apabila seorang muslim cinta kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, maka hendaklah ia mengikuti keinginan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam untuk memperbanyak anak, karena Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bangga dengan tingginya kuantitas umatnya pada hari kiamat.
Bila Belum Dikaruniai Anak
Apabila ditaqdirkan Allah sepasang suami isteri sudah menikah sekian lama, namun belum juga dikaruniai anak, maka janganlah dia berputus asa dari rahmat Allah. Hendaklah dia terus berdo’a sebagaimana Nabi Ibrahim dan Zakaria ‘Alaihis Salam telah berdoa kepada Allah, sampai Allah mengabulkan do’a mereka. Dan hendaknya bersabar dan ridho dengan qadha’ dan qadar yang Allah tentukan, serta meyakini bahwa semua itu ada hikmahnya.
Do’a mohon dikaruniai keturunan yang baik dan shalih terdapat dalam Al Qur’an, yaitu:
Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ash Shaafat:100).
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Furqan:74).
Ya Rabbku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah waris yang paling baik.” (QS. Al Anbiyaa:89).
Mudah-mudahan Allah memberikan keturunan yang shalih kepada pasangan suami isteri yang belum dikaruniai anak.
HAK ISTERI YANG HARUS DIPENUHI SUAMI
Diantara kewajiban dan hak tersebut adalah seperti yang tercantum dalam sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari sahabat Muawiyah bin Haidah bin Mu’awiyah bin Ka’ab Al Qusyairy radhiallahu anhu, ia berkata: Saya telah bertanya, “Ya Rasulullah, apa hak seorang isteri yang harus dipenuhi oleh suaminya?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab:
1. Engkau memberinya makan apabila engkau makan.
2. Engkau memberinya pakaian apabila engkau berpakaian.
3. Janganlah engkau memukul wajahnya,dan
4. Janganlah engkau menjelek-jelekannya, dan
5. Janganlah engkau tinggalkan dia meliankan di dalam rumah (jangan berpisah tempat tidur melainkan di dalam rumah).
(HR.Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, Al Baihaqi, Al Baghawi, An Nasa-i. Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi dan Ibnu Hibban)
Mengajarkan Ilmu Agama
Di samping hak diatas harus dipenuhi oleh seorang suami, seorang suami juga wajib mengajarkan ajaran Islam kepada isterinya. Allah Ta’ala berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya (terbuat dari) manusia dan batu, penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar lagi keras, yang tidak mendurhakai (perintah) Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim:6)
Untuk itulah, kewajiban sang suami untuk membekali dirinya dengan menuntut ilmu syar’i (thalabul ‘ilmi) dengan menghadiri majelis-majelis ilmu yang mengajarkan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih-generasi terbaik,yang mendapat jaminan dari Allah-sehingga dengan bekal tersebut, seorang suami mampu mengajarkannya kepada isteri, anak dan keluarganya. Jika ia tidak sanggup mengajarkan mereka, seorang suami harus mengajak isterinya menuntut ilmu syar’i dan menghadiri majelis-majelis taklim yang mengajarkan tentang aqidah, tauhid mengikhlaskan agama kepada Allah, dan mengajarkan tentang bersuci, berwudhu’, shalat, adab dan lainnya.
HAK SUAMI YANG HARUS DIPENUHI ISTERI
Ketaatan Istri Kepada Suaminya
Setelah wali (orang tua) sang isteri menyerahkan kepada suaminya, maka kewajiban taat kepada sang suami menjadi hak yang tertinggi yang harus dipenuhi, setelah kewajiban taatnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
Kalau seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Baihaqi, dari sahabat Abu Hurairah. Ini lafazh milik Tirmidzi, ia berkata,’Hadits ini hasan shahih’)
Sang isteri harus taat kepada suaminya, dalam hal-hal yang ma’ruf (mengandung kebaikan dalam hal agama), misalnya ketika diperintahkan untuk shalat, berpuasa, mengenakan busana muslimah, menghadiri majelis ilmu, dan bentuk-bentuk perintah lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at. Hal inilah yang justru akan mendatangkan surga bagi dirinya, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
Apabila seorang wanita mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, menjaga kehormatannya dan dia taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk surga dari pintu surga mana saja yang dia kehendaki.” (HR. Ibnu Hibban, dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini hasan shahih)
Isteri Harus Banyak Bersyukur Dan Tidak Banyak Menuntut
Perintah ini sangat ditekankan dalam Islam, bahkan Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, manakala sang isteri benyak menuntut kepada suaminya dan tidak bersyukur kepadanya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Sesungguhnya aku diperlihatkan neraka dan melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita.” Sahabat bertanya: “Sebab apa yang menjadikan mereka paling banyak menghuni neraka?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab: “Dengan sebab kufur”. Sahabat bertanya:”Apakah dengan sebab mereka kufur kepada Allah?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab:”(Tidak), mereka kufur kepada suaminya dan mereka kufur kepada kebaikan. Seandainya seorang suami dari kalian berbuat kebaikan kepada isterinya selama setahun, kemudian isterinya melihat sesuatu yang jelek pada diri suaminya, maka dia mengatakan ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu’.” (HR. Bukhari dan Muslim, Abu ‘Awanah, Malik, An Nasa-i serta Al Baihaqi, dari sahabat Ibnu ‘Abbas dan diriwayatkan pula dari beberapa sahabat).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya dan dia selalu menuntut (tidak pernah merasa cukup).” (HR. AN Nasa-i, Al Hakim, Al Baihaqi dari sahabat Abdullah bin Amr. Al Hakim berkata,’Hadits ini sanadnya shahih,’ dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi)
Isteri Wajib Berbuat Baik Kepada Suaminya
Perbuatan ihsan (baik) seorang suami harus dibalas pula dengan perbuatan yang serupa atau yang lebih baik. Isteri harus berkhidmat kepada suaminya dan menunaikan amanah mengurus anak-anaknya menurut syari’at Islam yang mulia. Allah telah mewajibkan kepada dirinya untuk mengurus suaminya, mengurus rumah tangganya, mengurus anak-anaknya.
NASEHAT UNTUK SUAMI ISTERI
1. Bertakwa kepada Allah dalam keadaan bersama maupun sendiri, di rumahnya maupun di luar rumahnya.
2. Wajib menegakkan ketaatan kepada Allah dan menjaga batas-batas Allah di dalam keluarga.
3. Melaksanakan kewajiban terhadap Allah dan minta tolong kepada Allah. Laki-laki wajib mengerjakan shalat lima waktu di masjid secara berjama’ah. Dan perintahkan anak-anak untuk shalat pada waktunya.
4. Menegakkan shalat-shalat sunnah, terutama shalat malam.
5. Perbanyak berdzikir kepada Allah. Bacalah Al Qur’an setiap hari, terutama surat Al Baqarah. Bacalah pula do’a dan dzikir yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Ingatlah, bahwa syaitan tidak senang kepada keutuhan rumah tangga dan syaitan selalu berusaha mencerai-beraikan suami isteri. Dan ajarkan anak-anak untuk membaca Al Qur’an dan dzikir.
6. Bersabar atas musibah yang menimpa dan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya.
7. Terus menerus berintrospeksi antara suami isteri. Saling menasehati, tolong menolong dan memaafkan serta mendo’akan. Jangan egois dan gengsi.
8. Berbakti kepada kedua orang tua.
9. Mendidik anak agar menjadi anak-anak yang shalih, ajarkan tentang aqidah, ibadah dan akhlak yang benar dan mulia.
10. Jagalah anak-anak dari media yang merusak aqidah dan akhlak.
NASIHAT KHUSUS UNTUK SUAMI
Wahai Para Suami!!
·         Apa yang memberatkanmu-wahai hamba Allah-untuk tersenyum di hadapan isterimu ketika engkau masuk menemuinya, agar engkau memperoleh ganjaran dari Allah.
·         Apa yang membebanimu untuk bermuka cerah ketika engkau melihat isteri dan anak-anakmu? Engkau akan mendapat pahala.
·         Apa sulitnya jika engkau masuk ke rumah sambil mengucapkan salam secara sempurna: “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” agar engkau memperoleh tiga puluh kebaikan.?
·         Apa yang kira-kira akan menimpamu jika engkau berkata kepada isterimu dengan perkataan yang baik, sehingga ia meridhaimu, sekalipun dalam perkataanmu tersebut agak sedikit dipaksakan?
·         Apakah yang menyusahkanmu-wahai hamba Allah-jika engkau berdo’a: “Ya Allah! Perbaikilah isteriku, dan curahkan keberkahan padanya.”
·         Tahukah engkau bahwa ucapan yang lembut merupakan shadaqah?.
NASIHAT KHUSUS UNTUK ISTERI
Wahai Para Isteri
·         Apakah yang menyulitkanmu, jika engkau menemui suami ketika dia masuk ke rumahmu dengan wajah yang cerah sambil tersenyum manis?
·         Berhiaslah untuk suamimu dan raihlah pahala di sisi Allah, sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan, gunakanlah wangi-wangian! Bercelaklah! Berpakaianlah dengan busana terindah yang kau miliki untuk menyambut kedatangan suamimu. Ingat, janganlah sekali-kali engkau bermuka muram dan cemberut di hadapannya.
·         Jadilah engkau seorang isteri yang memiliki sifat lapang dada, tenang dan selalu ingat kepada Allah dalam segala keadaan.
·         Didiklah anak-anakmu dengan baik, penuhilah rumahmu dengan tasbih, takbir, tahmid dan tahlil serta perbanyaklah membaca Al Qur’an, khususnya surat Al Baqarah, karena surat tersebut dapat mengusir syaitan.
·         Bangunkanlah suamimu untuk mengerjakan shalat malam, anjurkanlah dia untuk berpuasa sunnah dan ingatkanlah dia kembali tentang keutamaan berinfak, serta janganlah melarangnya untuk bersilaturahim.
·         Perbanyaklah istighfar untuk dirimu, suamimu, orang tuamu, dan semua kaum muslimin, dan berdoalah selalu agar diberikan keturunan yang shalih dan memperoleh kebaikkan dunia dan akhirat, dan ketahuilah bahwasanya Rabb-mu Maha Mendengar do’a. Sebagimana firman Allah:
“Dan Rabb kalian berfirman:’Berdo’alah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan untuk kalian’.” (QS.Al Mu’min:60)
KEPEMIMPINAN LAKI-LAKI ATAS WANITA
Allah Ta’ala berfirman:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar.” (QS. An Nisa’:43)
KEWAJIBAN MENDIDIK ANAK
Sang suami sebagai kepala rumah tangga haruslah memberikan teladan yang baik dalam mengemban tanggung jawabnya, karena Allah akan mempertanyakannya di hari akhir kelak. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian bertanggungjawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang Amir (Raja) adalah pemimpin, laki-laki pun pemimpin atas keluarganya, dan perempuan juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya, ingatlah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dari shabat Ibnu Umar)
Seorang suami harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang shalih, dengan mengkaji ilmu-ilmu agama, memahaminya serta melaksanakan dan mengamalkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, serta menjauhkan diri dari setiap yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Kemudian dia mengajak dan membimbing sang isteri untuk berbuat demikian juga, sehingga anak-anaknya akan meneladani kedua orang tuanya, karena tabi’at anak memang cenderung untuk meniru apa-apa yang ada di sekitarnya.
1. Mendidik anak dengan cara-cara yang baik dan sabar, agar mereka mengenal dan mencintai Allah, yang menciptakannya dan seluruh alam semesta, mengenal dan mencintai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, yang pada diri beliau terdapat suri tauladan yang mulia, serta agar mereka mengenal dan memahami Islam untuk diamalkan.
2. Pada usia dini (sekitar 2-3 tahun), kita ajarkan kepada mereka kalimat-kalimat yang baik serta bacaan Al Qur’an, sebagaimana yang dicontohkan oleh para sahabat dan generasi tabi’in dan tabi’ut tabi’in, sehingga banyak dari mereka yang sudah hafal Al Qur’an pada usia sangat belia.
3. Perhatian terhadap shalat juga harus menjadi prioritas utama bagi orang tua kepada anaknya.
4. Perhatian orang tua terhadap anaknya juga dalam hal akhlaqnya, dan yang harus menjadi penekanan utama adalah akhlaq (berbakti) kepada orang tua.
5. Juga perlu diperhatikan teman pergaulan anaknya, karena sangat bisa jadi pengaruh jelek temannya akan berimbas pada perilaku dan akhlaq anaknya.
6. Disamping ikhtiar yang dilakukan untuk menjadikan isterinya menjadi isteri yang shalihah, hendaknya sang suami juga memanjatkan do’a kepada Allah pada waktu-waktu yang mustajab, seperti sepertiga malam terakhir, agar keluarganya dijadikan keluarga yang shalih, dan rumah tangganya diberikan sakinah, mawaddah wa rahmah, seperti do’a yang tercantum dalam Al Qur’an:
“Dan orang-orang yang berdo’a:’Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami, keturunan-keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Furqan:74)
Paling tidak, seorang suami hendaknya bisa menjadi teladan dalam keluarganya,    dihormati oleh sang isteri dan anak-anaknya, kemudian mereka menjadi hamba-hamba Allah yang shalih dan shalihah, bertakwa kepada Allah.
Inilah kiat-kiat yang hendaknya semorang muslim dan muslimah lakukan untuk mewujudkan keluarga sakinah. Wallahu a’lam bish shawab.