Sabtu, 15 Juni 2013

KEUTAMAAN SHOLAT BERJAMA'AH DI MASJID.

Para pembaca rahimakumulloh, shalat lima waktu merupakan salah satu syi’ar Islam yang sangat agung lagi mulia. Bahkan termasuk salah satu rukun dari rukun Islam yang lima. Begitu tinggi kedudukan shalat dalam Islam sehingga ketika Allah ‘azza wa jalla menurunkan perintah shalat tidak sebagaimana ibadah-ibadah yang lainnya. Turunnya perintah shalat lima waktu tidak melalui perantara malaikat Jibril ‘alaihis salaam, akan tetapi disampaikan secara langsung kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam di Sidratil Muntaha dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Semua ini menunjukkan tingginya kedudukan shalat lima waktu dalam Islam.
Para pembaca rahimakumulloh, bagi kita kaum lelaki diperintahkan untuk melaksanakan shalat lima waktu dengan cara berjama’ah di masjid, bahkan perintah agar melaksanakan shalat lima waktu secara berjama’ah langsung dari Allah ‘azza wa jalla. Sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya):
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahulloh berkata: “Banyak dari kalangan para ulama yang berdalil dengan ayat ini tentang wajibnya shalat berjama’ah.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahulloh berkata: “Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Saya tidak memberi keringanan bagi orang yang mampu untuk  melaksanakan shalat secara berjama’ah untuk meninggalkannya tanpa adanya ‘udzur (alasan yang dibenarkan oleh syari’at). Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Ibnul Mundzir.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Al-Imam As-Sa’di rahimahulloh juga mengatakan ketika  menafsirkan ayat di atas: “Maksudnya: Shalatlah bersama orang-orang yang shalat, maka di dalam ayat ini terkandung perintah shalat dengan berjama’ah dan wajibnya.” (Lihat Taisirul Karimir Rahman)
Para pembaca rahimakumulloh, terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang hukum shalat berjama’ah, yang penting untuk dipahami adalah bahwa perintah untuk melaksanakan shalat dengan berjama’ah adalah langsung dari Allah ‘azza wa jalla dan juga telah dipraktekkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya serta kaum kaum muslimin yang mengikuti jejak mereka sampai masa kini.
Para ulama yang berpendapat bahwa shalat berjama’ah hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnah yang sangat ditekankan) mereka tidak pernah meninggalkannya tanpa ‘udzur dan tetap melaksanakannya secara berjama’ah, karena mereka paham bahwa hukum sunnah untuk dilaksanakan bukan untuk ditinggalkan apalagi sunnah mu’akkadah. Bahkan yang berpendapat sunnah mu’akkadah juga menyatakan: “Barangsiapa yang terbiasa meninggalkan shalat berjama’ah tanpa ‘udzur (alasan yang dibenarkan oleh syari’at), maka wajib baginya untuk dikenai hukuman.” (Lihat Tafsir Qurthubi)
Oleh karena itu, mari! kita tingkatkan semangat untuk melaksanakan shalat lima waktu dengan cara berjama’ah di masjid, karena itu merupakan perintah Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam, agar kita bisa meraih keutamaan-keutamannya dan terhindar dari ancaman-ancaman bagi yang meninggalkan shalat berjama’ah tanpa ‘udzur.
Keutamaan Mengerjakan Shalat Berjama’ah Di Masjid
Berikut ini beberapa keutamaan bagi orang yang melaksanakan shalat berjama’ah lima waktu di masjid, diantaranya:
1. Mendapat naungan dari Allah ‘azza wa jalla pada hari kiamat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ …
“Tujuh orang yang Allah akan menaungi mereka pada suatu hari (hari kiamat) yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; (diantaranya) Seorang penguasa yang adil, pemuda yang dibesarkan dalam ketaatan kepada Rabbnya, seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, ….” (Muttafaqun alaihi)
Al-Imam An-Nawawi rahimahulloh menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ‘seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid’ dalam hadits di atas adalah seorang muslim yang sangat cinta terhadap masjid-masjid dan senantiasa melaksanakan shalat berjama’ah di dalamnya. (Lihat Al-Minhaj)
2. Mendapat jaminan dari Allah ‘azza wa jalla di dunia dan di akhirat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَرَجُلٌ رَاحَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُ فَيُدْخِلَهُ الْحَنَّةَ
“Seseorang yang pergi ke masjid, maka ia mendapat jaminan dari Allah sampai Allah mewafatkannya dan memasukkannya ke dalam Al-Jannah (surga).” (H.R. Abu Dawud no. 2494)
3. Terhapusnya dosa-dosa dan terangkatnya beberapa derajat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa, dan mengangkat dengannya berapa derajat? Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ dalam keadaan susah (sulit), memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, karena demikian itulah yang dinamakan Ribath.” (H.R. Muslim no. 251)
4. Mendapat balasan seperti haji
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الحاَجِّ  المُحْرِمِ
“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan berwudhu’ untuk shalat lima waktu (secara berjama’ah di masjid), maka pahalanya seperti pahala orang berhaji yang berihram.” (H.R. Abu Dawud no. 554)
5. Mendapat cahaya sempurna pada hari kiamat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan malam menuju masjid, dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.” (H.R. Abu Dawud no. 561)
6. Disediakan baginya Al-Jannah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَدَا إِِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ رَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ فِي اْلجَنَّةِ نُزُلاً كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ
“Barangsiapa pergi ke masjid di waktu pagi atau petang, Allah ‘azza wa jalla akan menyediakan tempat baginya di Al-Jannah (Surga, red) setiap ia pergi di waktu pagi maupun petang.” (Muttafaqun ‘alaihi)
7. Mendapat dua puluh lima/dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً
”Shalat berjama’ah lebih utama daripada shalat sendirian dengan memperoleh dua puluh lima derajat (dalam riwayat  lain: dua puluh tujuh)”. (Muttafaqun ‘alaihi)
Ancaman Terhadap Orang Yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa sabdanya mengancam orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjama’ah di masjid tanpa adanya ‘udzur (alasan yang dibenarkan oleh syari’at). Ancaman-ancaman dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dijadikan dalil bagi yang berpendapat wajibnya shalat berjama’ah. Diantara ancaman-ancaman dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah:
1. Hatinya tertutup dari rahmat Allah ‘azza wa jalla
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat berjama’ah atau (jika tidak) pasti Allah ‘azza wa jalla benar-benar akan menutup hati-hati mereka, kemudian pasti mereka menjadi golongan orang-orang yang lalai.” (H.R. Ibnu Majah no. 794)
2. Enggan shalat berjama’ah menyerupai perbuatan orang-orang munafik
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa diantara sifat-sifat orang munafik adalah enggan melaksanakan shalat berjama’ah, sebagaimana dalam sabdanya:
“Tidak ada shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik daripada shalat fajar (shubuh, red) dan isya’.” (H.R. Al-Bukhari no. 657)
3. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengancam akan membakar rumah-rumah orang yang enggan menghadiri shalat berjama’ah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin menyuruh untuk mengumpulkan kayu bakar lalu aku perintahkan untuk dikumandangkan adzan, lalu aku perintah seseorang untuk menjadi imam, kemudian aku keluar mendatangi mereka (kaum laki-laki yang tidak menghadiri shalat berjama’ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka beserta penghuninya.” (H.R. Al-Bukhari no. 644)
Begitu kerasnya ancaman-ancaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang-orang yang enggan melaksanakan shalat berjama’ah. Oleh karena itu, tidak sepantasnya seorang muslim tidak menghadiri shalat berjama’ah lima waktu di masjid.
Para pembaca rahimakumulloh, ketahuilah bahwa yang diperintahkan untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid adalah kaum laki-laki saja. Sehingga tidak selayaknya bagi seorang muslim laki-laki yang benar-benar beriman kepada Allah ‘azza wa jalla meremehkan perihal shalat berjama’ah di masjid.
Adapun wanita muslimah, tidak ada larangan untuk shalat berjama’ah di masjid, meskipun shalat wanita di rumahnya lebih baik baginya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk mendatangi masjid-masjid (dalam rangka melaksanakan shalat berjama’ah), akan tetapi shalat mereka di rumah-rumah mereka itu lebih baik.” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)
Al-Imam Al-’Azhim Abadi rahimahulloh menjelaskan kalimat
وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌُ لَهُنَّ
“Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
Maksudnya shalat mereka di rumah-rumah mereka itu lebih baik daripada shalat mereka di masjid jika mereka mengetahuinya. Namun karena mereka tidak mengetahuinya, maka mereka meminta untuk pergi ke masjid dan meyakini bahwa pahalanya lebih besar.
Mengapa shalat mereka di rumahnya lebih utama? Karena yang demikian lebih aman dari fitnah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud)
Akhir kata, semoga tulisan yang sederhana ini dapat membuka hati saudara-saudara kita yang selama ini jauh dari masjid, dan semakin memperkokoh saudara-saudara kita yang selalu rutin shalat berjama’ah di masjid. Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.
Wallahu a’lam bish shawab.

Jumat, 14 Juni 2013

Celana Membawa Sengsara

Penampilan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Celana Setengah Betis
Perlu diketahui bahwasanya celana di atas mata kaki adalah sunnah dan ajaran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikhususkan bagi laki-laki, sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup telapak kakinya. Kita dapat melihat bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sebagaimana dalam keseharian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata :
سَمِعْتُ عَمَّتِي ، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ : بَيْنَا أَنَا أَمْشِي بِالمَدِيْنَةِ ، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ : « اِرْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّهُ أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ قَالَ : أَمَّا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارَهُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ
Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata,”Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)
Dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang salah satu atau kedua betisnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَذَا مَوْضِعُ الإِزَارِ فَإِنْ أَبِيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبِيْتَ فَلاَ حَقَّ لِلإِْزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ
“Di sinilah letak ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa lebih rendah lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih rendah lagi, akan tetapi tidak dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70, Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shohih)
Dari dua hadits ini terlihat bahwa celana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sampai pertengahan betis. Boleh bagi seseorang menurunkan celananya, namun dengan syarat tidak sampai menutupi mata kaki. Ingatlah, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai teladan terbaik bagi kita dan bukanlah professor atau doctor atau seorang master yang dijadikan teladan. Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab [60] : 21)
Menjulurkan Celana Hingga Di Bawah Mata Kaki
Perhatikanlah hadits-hadits yang kami bawakan berikut ini yang sengaja kami bagi menjadi dua bagian. Hal ini sebagaimana kami ikuti dari pembagian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’ padaBab Satrul ‘Awrot.
Pertama: Menjulurkan celana di bawah mata kaki dengan sombong
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaianya dalam keadaan sombong.” (HR. Muslim no. 5574).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الَّذِى يَجُرُّ ثِيَابَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 5576)
Masih banyak lafazh yang serupa dengan dua hadits di atas dalam Shohih Muslim.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata,
خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ
“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 306). Orang yang isbal (musbil) adalah orang yang menjulurkan pakaian atau celananya di bawah mata kaki.
Kedua: Menjulurkan celana di bawah mata kaki tanpa sombong
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ
“Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)
Dari hadits-hadits di atas terdapat dua bentuk menjulurkan celana dan masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda. Kasus yang pertama -sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Umar di atas- yaitu menjulurkan celana di bawah mata kaki (isbal) dengan sombong. Hukuman untuk kasus pertama ini sangat berat yaitu Allah tidak akan berbicara dengannya, juga tidak akan melihatnya dan tidak akan disucikan serta baginya azab (siksaan) yang pedih. Bentuk pertama ini termasuk dosa besar.
Kasus yang kedua adalah apabila seseorang menjulurkan celananya tanpa sombong. Maka ini juga dikhawatirkan termasuk dosa besar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam perbuatan semacam ini dengan neraka.
Perhatikan bahwasanya hukum di antara dua kasus ini berbeda. Tidak bisa kita membawa hadits muthlaq dari Abu Huroiroh pada kasus kedua ke hadits muqoyyad dari Ibnu Umar pada kasus pertama karena hukum masing-masing berbeda. Bahkan ada sebuah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri yang menjelaskan dua kasus ini sekaligus dan membedakan hukum masing-masing. Lihatlah hadits yang dimaksud sebagai berikut.
إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلاَ حَرَجَ – أَوْ لاَ جُنَاحَ – فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِى النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ
“Pakaian seorang muslim adalah hingga setengah betis. Tidaklah mengapa jika diturunkan antara setengah betis dan dua mata kaki. Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti).” (HR. Abu Daud no. 4095. Dikatakanshohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Al Jami’ Ash Shogir, 921)
Jika kita perhatikan dalam hadits ini, terlihat bahwa hukum untuk kasus pertama dan kedua berbeda.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa jika menjulurkan celana tanpa sombong maka hukumnya makruh karena menganggap bahwa hadits Abu Huroiroh pada kasus kedua dapat dibawa ke hadits Ibnu Umar pada kasus pertama. Maka berarti yang dimaksudkan dengan menjulurkan celana di bawah mata kaki sehingga mendapat ancaman (siksaan) adalah yang menjulurkan celananya dengan sombong. Jika tidak dilakukan dengan sombong, hukumnya makruh. Hal inilah yang dipilih oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan Riyadhus Shalihin, juga merupakan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Abdullah Ali Bassam di Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom -semoga Allah merahmati mereka-.
Namun, pendapat ini kurang tepat. Jika kita melihat dari hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwa hukum masing-masing kasus berbeda. Jika hal ini dilakukan dengan sombong, hukumannya sendiri. Jika dilakukan tidak dengan sombong, maka kembali ke hadits mutlak yang menunjukkan adanya ancaman neraka. Bahkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri dibedakan hukum di antara dua kasus ini. Perhatikan baik-baik hadits Abu Sa’id di atas: Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti). Jadi, yang menjulurkan celana dengan sombong ataupun tidak, tetap mendapatkan hukuman. Wallahu a’lam bish showab.
Catatan: Perlu kami tambahkan bahwa para ulama yang menyatakan makruh seperti An Nawawi dan lainnya, mereka tidak pernah menyatakan bahwa hukum isbal adalah boleh kalau tidak dengan sombong. Mohon, jangan disalahpahami maksud ulama yang mengatakan demikian. Ingatlah bahwa para ulama tersebut hanya menyatakan makruh dan bukan menyatakan boleh berisbal. Ini yang banyak salah dipahami oleh sebagian orang yang mengikuti pendapat mereka. Maka hendaklah perkara makruh itu dijauhi, jika memang kita masih memilih pendapat yang lemah tersebut. Janganlah terus-menerus dalam melakukan yang makruh. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.
Sedikit Kerancuan, Abu Bakar Pernah Menjulurkan Celana Hingga di Bawah Mata Kaki
Bagaimana jika ada yang berdalil dengan perbuatan Abu Bakr di mana Abu Bakr dahulu pernah menjulurkan celana hingga di bawah mata kaki?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah mendapat pertanyaan semacam ini, lalu beliau memberikan jawaban sebagai berikut.
Adapun yang berdalil dengan hadits Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, maka kami katakan tidak ada baginya hujjah (pembela atau dalil) ditinjau dari dua sisi.
Pertama, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengatakan, ”Sesungguhnya salah satu ujung sarungku biasa melorot kecuali jika aku menjaga dengan seksama.” Maka ini bukan berarti dia melorotkan (menjulurkan) sarungnya karena kemauan dia. Namun sarungnya tersebut melorot dan selalu dijaga. Orang-orang yang isbal (menjulurkan celana hingga di bawah mata kaki, pen) biasa menganggap bahwa mereka tidaklah menjulurkan pakaian mereka karena maksud sombong. Kami katakan kepada orang semacam ini : Jika kalian maksudkan menjulurkan celana hingga berada di bawah mata kaki tanpa bermaksud sombong, maka bagian yang melorot tersebut akan disiksa di neraka. Namun jika kalian menjulurkan celana tersebut dengan sombong, maka kalian akan disiksa dengan azab (siksaan) yang lebih pedih daripada itu yaitu Allah tidak akan berbicara dengan kalian pada hari kiamat, tidak akan melihat kalian, tidak akan mensucikan kalian dan bagi kalian siksaan yang pedih.
Kedua, Sesungguhnya Abu Bakr sudah diberi tazkiyah (rekomendasi atau penilaian baik) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdan sudah diakui bahwa Abu Bakr tidaklah melakukannya karena sombong. Lalu apakah di antara mereka yang berperilaku seperti di atas (dengan menjulurkan celana dan tidak bermaksud sombong, pen) sudah mendapatkan tazkiyah dan syahadah(rekomendasi)?! Akan tetapi syaithon membuka jalan untuk sebagian orang agar mengikuti ayat atau hadits yang samar (dalam pandangan mereka, pen) lalu ayat atau hadits tersebut digunakan untuk membenarkan apa yang mereka lakukan. Allah-llah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus kepada siapa yang Allah kehendaki. Kita memohon kepada Allah agar mendapatkan petunjuk dan ampunan. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Darul Aqidah, hal. 547-548).
Marilah Mengagungkan dan Melaksanakan Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang menta’ati Rasul, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah.” (QS. An Nisa’ [4] : 80)
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nur [24] : 63)
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An Nur [24] : 54)
Hal ini juga dapat dilihat dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu seolah-olah inilah nasehat terakhir Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegangteguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiqradhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
”Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (Lihat Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini shohih)
Sahabat Sangat Perhatian dengan Masalah Celana
Sebagai penutup dari pembahasan ini, kami akan membawakan sebuah kisah yang menceritakan sangat perhatiannya salaf (shahabat) dengan masalah celana di atas mata kaki, sampai-sampai di ujung kematian masih memperingatkan hal ini.
Dalam shohih Bukhari dan shohih Ibnu Hibban, dikisahkan mengenai kematian Umar bin Al Khaththab setelah dibunuh seseorang ketika shalat. Lalu orang-orang mendatanginya di saat menjelang kematiannya. Lalu datanglah pula seorang pemuda. Setelah Umar ngobrol sebentar dengannya, ketika dia beranjak pergi, terlihat pakaiannya menyeret tanah (dalam keadaan isbal). Lalu Umar berkata,
رُدُّوا عَلَىَّ الْغُلاَمَ
“Panggil pemuda tadi!” Lalu Umar berkata,
ابْنَ أَخِى ارْفَعْ ثَوْبَكَ ، فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ 
“Wahai anak saudaraku. Tinggikanlah pakaianmu! Sesungguhnya itu akan lebih mengawetkan pakaianmu dan akan lebih bertakwa kepada Rabbmu.”
Jadi, masalah isbal (celana menyeret tanah) adalah perkara yang amat penting. Jika ada yang mengatakan ‘kok masalah celana saja dipermasalahkan?’ Maka cukup kisah ini sebagai jawabannya. Kita menekankan masalah ini karena salaf (shahabat) juga menekankannya. -Semoga kita dimudahkan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah-
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.