Senin, 26 November 2012

Doa Tolak Bala



Doa Tolak Bala
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَأَى مُبْتَلَى فَقالَ: (الحمد لله الذي عافاني مما ابتلاه به وفضلني على كثير من خلقه تفضيلاً)، لَمْ يُصِبْهُ ذَلِكَ الْبَلاَءُ
“Barangsiapa yang melihat orang yang tertimpa bala lalu membaca: ALHAMDULILLAHILLADZI ‘AAFAANI MIMMABTALAAHU BIHI WAFADHDHALANI ‘ALA KATSIRIN MIN KHALQIHI TAFDHILAN (Segala pujian hanya milik Allah yang memberikan keselamatan kepadaku dari bala yang menimpa orang itu, dan Dia telah mengutamakan saya di atas kebanyakan makhluknya dengan keutamaan yang besar), niscaya bala itu tidak akan menimpanya.” (HR. At-Tirmizi no. 3431 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6248)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَما لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ يَقُوْلُ حَيْنَ يَأْتِي أَهْلَهُ: (بسم الله، اللهم جنبني الشيطان وجنب الشيطان ما رزقتنا)، ثُمَّ قُدِّرَ بَيْنَهُما فِي ذَلِكَ أَوْ قُضِيَ وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطانُ أَبَداً
“Ketahuilah, jika seandainya salah seorang dari kalian membaca -ketika dia melakukan hubungan intim dengan istrinya-: BISMILLAH ALLAHUMMA JANNIBNI ASY-SYAITHANA WA JANNIB ASY-SYAITHANA MAA RAZAQTANA (Bismillah. Ya Allah jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezkikan kepada kami), kemudian ditakdirkan -atau ditetapkan- untuknya anak dari hubungan tersebut, maka anak itu tidak akan dibahayakan oleh setan selama-lamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5165)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِذا سَمِعْتُمْ صِياحَ الدِّيْكَةِ فَاسْأَلُوا اللهَ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنَّها رَأَتْ مَلَكاً، وَإذا سمعتم نَهِيْقَ الْحِمارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ، فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطاناً
“Jika kalian mendengar kokok ayam maka mintalah keutamaan dari Allah karena sesungguhnya ayam itu melihat malaikat. Dan jika kalian mendengar suara ringkikan keledai maka berlindunglah kepada Allah dari setan karena sesungguhnya keledai itu melihat setan.” (HR. Al-Bukhari no. 3303)
Keutamaan Tahlilan
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قالَ: (لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير) فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مائةُ سَيِّئَةٍ وكانتْ له حِرْزاً مِنَ الشَّيْطانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يَمْسِي وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ. وَمَنْ قالَ: (سبحان الله وبحمده) في يومٍ مِائةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطاياهُ وَلَوْ كانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
“Barangsiapa yang membaca: LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAY`IN QADIR (tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya semua kekuasaan, hanya milik-Nya segala pujian, dan Dia Maha Mampu atas segala sesuatu) dalam sehari 100 kali, maka bagaikan telah membebaskan 10 orang budak, ditetapkan untuknya 100 kebaikan, dihapuskan darinya 100 kejelekan, dia mempunyai perlindungan dari setan sepanjang hari itu sampai sore, dan tidak ada seorangpun yang bisa mendatangkan amalan yang lebih baik daripada apa yang dia amalkan kecuali orang yang membaca bacaan ini lebih banyak daripada dirinya. Dan barangsiapa yang membaca: SUBHANALLAHI WABIHAMDIH (Aku menyucikan Allah dan segala pujian hanya untuk-Nya) dalam sehari 100 kali, maka semua kesalahannya akan diampuni walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Muslim no. 2691)
Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قالَ: (لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير) عَشْرَ مَرّاتٍ كانَ كَمَنْ أَعْتَقَ أَرْبَعَةَ أَنْفُسٍ مِنْ وَلَدِ إِسْماعِيْلَ
“Barangsapa yang membaca: LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAY`IN QADIR (tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya semua kekuasaan, hanya milik-Nya segala pujian, dan Dia Maha Mampu atas segala sesuatu) 10 kali maka dia bagaikan memerdekakan 4 jiwa dari anak keturunan Ismail.” (HR. Muslim no. 2693)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَأَنْ أَقُوْلَ: (سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر) أَحَبُّ إِلَيَّ مِمّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
“Saya membaca: ‘SUBHANALLAH WALHAMDULILLAH WALAA ILAHA ILLALLAHU WALLAHU AKBAR’, lebih saya senangi daripada semua yang matahari terbit atasnya (dunia seisinya).” (HR. Muslim no. 2695)
Perisai Dari Fitnah Dajjal
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِذا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنْ أَرْبَعٍ. يَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عذاب الْقَبْرِ ومن فِتْنَةِ الْمَحْيا وَالْمَماتِ ومن فتنة الْمَسِيْحِ الدَّجّالِ
“Jika salah seorang di antara kalian selesai membaca tasyahhud maka hendaknya dia meminta perlindungan kepada Allah dari empat perkara. Hendaknya dia membaca: ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MIN ‘ADZABI JAHANNAM, WA MIN ‘ADZABIL QABRI, WA MIN FITNATIL MAHYA WAL MAMATI, WA MIN FITNATIL MASIH AD-DAJJAL (Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksaan Jahannam, dari siksaan kubur, dari ujian kehidupan dan kematian, serta dari ujian Al-Masih Ad-Dajjal).” (HR. Muslim no. 588)
Dikatakan Dajjal sebagai Al-Masih, karena kedua matanya mamsuh (rusak).
Dalam sebuah riwayat Muslim dengan lafazh, “Jika salah seorang di antara kalian selesai membaca tasyahud akhir.”
Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ سَمِعَ بِالدَّجّالِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ. فَوَاللهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَأْتِيْهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَيَتْبَعُهُ مِمّا يَبْعَثُ بِهِ مِنَ الشُّبُهاتِ
“Siapa saja yang mendengar tentang Dajjal maka hendaknya dia menjauh. Karena demi Allah, ada seseorang yang mendatangi Dajjal dalam keadaan dia mengira kalau dirinya adalah orang yang beriman, akan tetapi akhirnya dia mengikuti Dajjal akibat besarnya syubhat/kerancuan yang dia datangkan.” (HR. Ahmad: 4/430, Abu Daud no. 4319, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 5488)
Dari Abu Ad-Darda` radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آياتٍ مِنْ أَوَّلِ سُوْرَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجّالِ
“Barangsiapa yang menghafal 10 ayat pertama surah Al-Kahfi maka dia akan dijaga dari Dajjal.” (HR. Muslim no. 809)
Zikir-Zikir Pagi Dan Petang
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِي: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ زَادَ عَلَيْهِ
“Barang siapa, ketika pagi dan sore, membaca doa: SUBHANALLAHI WABIHAMDIHI (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) sebanyak seratus kali, maka pada hari kiamat tidak ada orang lain yang melebihi pahalanya kecuali orang yang juga pernah mengucapkan bacaan seperti itu atau lebih dan itu.[1]” (HR. Muslim)
            Dan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu dia berkata:
كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمْسَى قَالَ أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ لِلَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهَا وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكَسَلِ وَسُوءِ الْكِبَرِ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ
وَإِذَا أَصْبَحَ قَالَ ذَلِكَ أَيْضًا: أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ
“Apabila sore hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan do’a yang berbunyi: “AMSAYNA WA AMSAL MULKU LILLAHI WALHAMDU LILLAH. LAA ILAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIKA LAHU. LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALA KULLI SYAY`IN QADIR. RABBI AS`ALUKA KHAYRA MAA FII HADZIHIL LAILAH, WA KHAYRA MAA BA’DAHA. WA A’UDZU BIKA MIN SYARRI MAA FII HADZIHIL LAILAH, WA SYARRI MAA BA’DAHA. RABBI A’UDZU BIKA MINAL KASALI WA SUU`IL KIBARI. RABBI A’UDZU BIKA MIN ‘ADZABIN FIN NAARI WA ‘ADZABIN FIL QABRI (Kami memasuki sore hari dan pada sore ini jagad raya tetap milik Allah. Segala puji bagi Allah tiada sembahan yang haq selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nyalah semua kekuasaan dan pujian, dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dari kebaikan malam ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang ada pada malam ini dan kejahatan sesudahnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan, kesengsaraan di masa tua. Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari azab neraka dan azab di dalam kubur).”
Apabila pagi hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengucapkan doa tersebut dengan diganti bagian pertamanya menjadi: ASHBAHNA ASHBAHAL MULKU LILLAHI (Kami memasuki pagi hari dan pada pagi hari ini jagad raya dan seisinya adalah milik Allah).[2]” (HR. Muslim)
            Dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
سَيِّدُ الِاسْتِغْفَارِ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
قَالَ: وَمَنْ قَالَهَا مِنْ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِيَ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَمَنْ قَالَهَا مِنْ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Sayyid al-istighfar (pimpinan doa istighfar) adalah kamu mengucapkan: ALLAHUMMA ANTA RABBI LAA ILAAHA ILLA ANTA KHALAQTANI WA ANA ‘ABDUKA WA ANA ‘ALA ‘AHDIKA WA WA’DIKA MASTATHA’TU A’UUDZU BIKA MIN SYARRI MAA SHANA’TU. ABUU`U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA WA ABUU`U LAKA BIDZANBI FAGHFIRLI. FA INNAHU LAA YAGHFIRU ADZ-DZUNUUBA ILLA ANTA (Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Engkau. Engkau telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui dosaku kepada-Mu dan aku akui nikmat-Mu kepadaku, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain-Mu).”
Beliau bersabda: “Jika ia mengucapkan di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk dari penghuni surga. Dan jika ia membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk dari penghuni surga.[3]” (HR. Al-Bukhari)

Sebab-Sebab Ditolaknya Doa
Allah Ta’ala berfirman:
ادعوني أستجب لكم
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Ghafir: 60)
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيبُ دعوة الداعِ إذا دعان
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa doa adalah amalan yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan amalan yang sangat dianjurkan. Dan ini menunjukkan bahwa doa itu adalah ibadah dan amalan yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Karenanya telah shahih dalam hadits An-Nu’man bin Basyir radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Daud no. 1264, At-Tirmizi no. 2895, dan Ibnu Majah no. 3818)
Dan dalam hadits Abu Dzar radhiallahu anhu: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi:
يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ
“Hai hamba-hambaKu, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta semua jin dan manusia berdiri di atas dataran yang sama, lalu mereka semua memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuhi permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi apa yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti air yang melekat pada jarum jika dia dimasukkan ke dalam lautan.” (HR. Muslim no. 4674)

Sabtu, 24 November 2012

" SURAT UNTUK ISTRI SOLIKAH "




“ Surat dari Suami Untuk  Istri ”



Oleh : Kastari Aburidza Bin Katam

 Wahai istriku, ku teringat sebuah kewajiban yang harus ku tunaikan sebagai seorang suami, sebagai seorang nahkoda dalam kapal kita, sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga kita, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sebuah ayat dan hadist yang tak hanya sekali ku mendengarnya. Allah Ta’ala berfirman

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” (QS. An Nisa :34)


Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “ Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang suami pemimpin dirumahnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, dan seorang istri pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya”. ( HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah Bin Umar Radiyalallahu ‘Anhu)
Wahai istriku, ku akan berusaha menjadi suami yang baik, yang menyayangimu yang berusaha untuk berta’awun (saling tolong menolong) dalam kebaikan. Semoga aku bisa merealisasikan sebuah ayat yang tak jarang aku mendengarnya

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

” Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan “ ( Qs. Maidah : 2 )
atau ku bisa manjadi seperti seorang hamba yang Allah rahmati, sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadist
“ Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun malam lalu sholat dan membangunkan istrinya untuk sholat dan bila tidak mau bangun ia memercikinya dengan air diwajahnya dan semoga Allah merahmati seorang perempuan yang bangun malam lalu sholat dan membangunkan suaminya untuk sholat dan bila tidak mau bangun ia memercikinya dengan air diwajahnya” (HR. Ahmad, Ahlu sunan kecuali At Tirmidzi Hadist ini shahih)
Wahai istriku, ku akan selalu berusaha membuat dirimu senang, sebagaimana  ku senang jika diperlakukan seperti itu. Diantaranya ku akan berusaha selalu tampil rapih, wangi dihadapan dirimu. Sebagaimana ku senang jika ku diperlakukan seperti itu.

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya” (QS.AL-Baqarah : 228 )

Wahai istriku, jika engkau melihat dari diriku rasa cemburu itu bukti rasa cintaku padamu. Yang dengan itu, aku berusaha menjaga dan mencintaimu, semoga dengan sebab kecemburuanku yang syar’i menjadi sebab terjaganya dirimu, ku ingin seperti Sa’ad bin Ubadah bahkan ku ingin seperti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Berkata Sa’ad bin Ubadah :“ Seandainya aku melihat seorang bersama istriku, niscaya aku akan menebasnya dengan pedang yang tajam”, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “ Apakah kalian merasa heran dengan kecemburuan Sa’ad? Sungguh aku lebih cemburu dari padanya, dan Allah lebih cemburu dari padaku” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wahai istriku, engkau dalam pandanganku seorang yang sangat berharga bagi diriku, sosok yang luar biasa, ketaatanmu yang membuat diriku tambah mencintai dirimu. Engkau diantara anugrah yang terbesar yang Allah berikan kepada diriku, sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “ Dunia adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah ” (HR Muslim)
Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pun bersabda dalam hadist yang lain: “ Barang siapa yang dikaruniai oleh Allah seorang wanita yang shalihah, berarti dia telah menolongnya atas separuh agamanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada yang separuh yang kedua “(HR Al Hakim dan dia berkata sanadnya shahih dan disetujui oleh Adz Dzahabi)
Wahai istriku, kebaikanmu begitu besar kepada diriku, kasih sayang dan kelembutanmu, ketaatan dan kesetiaanmu, pelayanan dan pengorbananmu begitu terasa oleh diriku, wahai istriku, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan masukkanmu kedalam surga Nya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ Bila seorang shalat lima waktu, puasa pada bulan ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suminya ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang dia inginkan ” (HR.Ibnu Nuaim di hasankan oleh syaikh  Al AlBani)
Wahai istriku, ingatkanlah jika suamimu keliru, jika ada hakmu yang terlalaikan, wahai istriku jangan engkau ragu untuk menasehati jika suamimu keliru, jika suamimu salah, wahai istriku  ku ingin rumah tangga kita dibangun diatas saling menasehati didalam ketaatan kepada Allah, karena atas dasar inilah agama kita dibangun. sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “Agama itu adalah nasehat” (HR Muslim)
Wahai istriku, ku ingin hubungan kita dibangun atas saling percaya dan saling berkhusnudzan (berberbaik sangka) satu dengan yang lainnya,  karena dengan sebab inilah akan menutup celah hal-hal yang akan menimbulkan hubungan kita tidak harmonis.
Wahai istriku, sebagai seorang suami ku ingin mengajarkan perkara agama kepada dirimu, tentang permasalahan tauhid, sholat, puasa dan permasalahan agama yang lainnya, atau mari kita bersama-sama pergi kemajelis ilmu yang membahas perkara agama dengan pemahaman yang benar, karena hal ini adalah diantara kewajibanku sebagai seorang suami, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Hai orang-orang yang beriman, pelihara dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At Tahrim:6)
Wahai istriku, ku akan melangkahkan kaki ini, mengerahkan tenaga mencari rezeki yang halal yang Allah tetapkan untuk diriku, sebagai tanggung jawab seorang suami untuk menafkahi anak dan istrinya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“ Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberikan nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya “ (QS. Ath-Thalaq : 7)
Wahai istriku, ku akan selalu berusaha bergaul dengan pergaulan yang baik dengan dirimu, dengan kelembutan dan kasih sayang, dengan tutur kata yang sopan dan etika yang baik, dengan mendengar dan menghargai pendapatmu, dengan membantu dan meringankan pekerjaanmu, dengan bersikap yang baik dan menjaga perasaanmu, wahai istriku maafkan suamimu jika masih jauh dari hal itu, ku ingin berusaha berbuat yang terbaik untuki dirmu.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Seorang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik ahklaqnya, dan sebaik-baiknya kalian ialah yang terbaik kepada istrinya “ (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Wahai istriku, ku ingin engkau akrab dengan kedua orang tuaku. Ku ingin mereka menyayangimu seperti anaknya sendiri, wahai istriku mulailah dengan berlaku lemah lembut kepadanya, membantu pekerjaannya, niscaya engkau akan disayang seperti anaknya sendiri.
Wahai istriku semoga Allah menjaga dan melanggengkan rumah tangga kita diatas ketaatan kepada Allah hingga akhir hayat kita, dan memasukan kita kedalam surganya.

Selasa, 20 November 2012

KISAH SAHABAT NABI (UMAR BIN KHATTAB)

UMAR BIN KHATTAB


"Ya Allah...buatlah Islam ini kuat dengan masuknya salah satu dari kedua orang ini. Amr bin Hisham atau Umar bin Khattab." Salah satu dari doa Rasulullah pada saat Islam masih dalam tahap awal penyebaran dan masih lemah. Doa itu segera dikabulkan oleh Allah. Allah memilih Umar bin Khattab sebagai salah satu pilar kekuatan islam, sedangkan Amr bin Hisham meninggal sebagai Abu Jahal.
Umar bin Khattab dilahirkan 12 tahun setelah kelahiran Rasulullah saw. Ayahnya bernama Khattab dan ibunya bernama Khatmah. Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta warna kulitnya coklat kemerah-merahan.
Beliau dibesarkan di dalam lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari suku Quraisy. Beliau merupakan  khalifah kedua didalam islam setelah Abu Bakar As Siddiq.
Nasabnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin Razah bin 'Adiy bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada kakeknya Ka'ab. Antara beliau dengan Nabi selisih 8 kakek. lbu beliau bernama Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumiyah. Rasulullah memberi beliau "kun-yah" Abu Hafsh (bapak Hafsh) karena Hafshah adalah anaknya yang paling tua; dan memberi "laqab" (julukan) al Faruq.

Umar bin Khattab masuk Islam
Sebelum masuk Islam, Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang yang keras permusuhannya dengan kaum Muslimin, bertaklid kepada ajaran nenek moyangnya, dan melakukan perbuatan-perbuatan jelek yang umumnya dilakukan kaum jahiliyah, namun tetap bisa menjaga harga diri. Beliau masuk Islam pada bulan Dzulhijah tahun ke-6 kenabian, tiga hari setelah Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam.
Ringkas cerita, pada suatu malam beliau datang ke Masjidil Haram secara sembunyi-sembunyi untuk mendengarkan bacaan shalat Nabi. Waktu itu Nabi membaca surat al-Haqqah. Umar bin Khattab kagum dengan susunan kalimatnya lantas berkata pada dirinya sendiri- "Demi Allah, ini adalah syair sebagaimana yang dikatakan kaum Quraisy." Kemudian beliau mendengar Rasulullah membaca ayat 40-41 (yang menyatakan bahwa Al Qur'an bukan syair), lantas beliau berkata, "Kalau begitu berarti dia itu dukun." Kemudian beliau mendengar bacaan Nabi ayat 42, (Yang menyatakan bahwa Al-Qur'an bukan perkataan dukun.) akhirnya beliau berkata, "Telah terbetik lslam di dalam hatiku." Akan tetapi karena kuatnya adat jahiliyah, fanatik buta, pengagungan terhadap agama nenek moyang, maka beliau tetap memusuhi Islam.
Kemudian pada suatu hari, beliau keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud membunuh Nabi. Dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Nu`aim bin Abdullah al 'Adawi, seorang laki-laki dari Bani Zuhrah. Lekaki itu berkata kepada Umar bin Khattab, "Mau kemana wahai Umar?" Umar bin Khattab menjawab, "Aku ingin membunuh Muhammad." Lelaki tadi berkata, "Bagaimana kamu akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah, kalau kamu membunuh Muhammad?" Maka Umar menjawab, "Tidaklah aku melihatmu melainkan kamu telah meninggalkan agama nenek moyangmu." Tetapi lelaki tadi menimpali, "Maukah aku tunjukkan yang lebih mencengangkanmu, hai Umar? Sesuugguhnya adik perampuanmu dan iparmu telah meninggalkan agama yang kamu yakini."
Kemudian dia bergegas mendatangi adiknya yang sedang belajar Al Qur'an, surat Thaha kepada Khabab bin al Arat. Tatkala mendengar Umar bin Khattab datang, maka Khabab bersembunyi. Umar bin Khattab masuk rumahnya dan menanyakan suara yang didengarnya. Kemudian adik perempuan Umar bin Khattab dan suaminya berkata, "Kami tidak sedang membicarakan apa-apa." Umar bin Khattab menimpali, "Sepertinya kalian telah keluar dari agama nenek moyang kalian." Iparnya menjawab, "wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran itu bukan berada pada agamamu?"  Mendengar ungkapan tersebut Umar bin Khattab memukulnya hingga terluka dan berdarah, karena tetap saja saudaranya itu mempertahankan agama Islam yang dianutnya, Umar bin Khattab berputus asa dan menyesal melihat darah mengalir pada iparnya.
Umar bin Khattab berkata, 'Berikan kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku ingin membacanya.' Maka adik perempuannya berkata," Kamu itu kotor. Tidak boleh menyentuh kitab itu kecuali orang yang bersuci. Mandilah terlebih dahulu!" lantas Umar bin Khattab mandi dan mengambil kitab yang ada pada adik perempuannya. Ketika dia membaca surat Thaha, dia memuji dan muliakan isinya, kemudian minta ditunjukkan keberadaan Rasulullah.
Tatkala Khabab mendengar perkataan Umar bin Khattab, dia muncul dari persembunyiannya dan berkata, "Aku akan beri kabar gembira kepadamu, wahai Umar! Aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Rasulullah pada malam Kamis, 'Ya Allah, muliakan Islam.dengan Umar bin Khatthab atau Abu Jahl (Amru) bin Hisyam.' Waktu itu, Rasulullah berada di sebuah rumah di daerah Shafa." Umar bin Khattab mengambil pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Ketika ada salah seorang melihat Umar bin Khattab datang dengan pedang terhunus dari celah pintu rumahnya, dikabarkannya kepada Rasulullah. Lantas mereka berkumpul. Hamzah bin Abdul Muthalib bertanya, "Ada apa kalian?" Mereka menjawab, 'Umar (datang)!" Hamzah bin Abdul Muthalib berkata, "Bukalah pintunya. Kalau dia menginginkan kebaikan, maka kita akan menerimanya, tetapi kalau menginginkan kejelekan, maka kita akan membunuhnya dengan pedangnya." Kemudian Nabi menemui Umar bin Khattab dan berkata kepadanya. "... Ya Allah, ini adalah Umar bin Khattab. Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khattab." Dan dalam riwayat lain: "Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar."
Seketika itu pula Umar bin Khattab bersyahadat, dan orang-orang yang berada di rumah tersebut bertakbir dengan keras. Menurut pengakuannya dia adalah orang yang ke-40 masuk Islam. Abdullah bin Mas'ud berkomentar, "Kami senantiasa berada dalam kejayaan semenjak Umar bin Khattab masuk Islam."

Kepemimpinan Umar bin Khattab
Keislaman beliau telah memberikan andil besar bagi perkembangan dan kejayaan Islam. Beliau adalah pemimpin yang adil, bijaksana, tegas, disegani, dan selalu memperhatikan urusan kaum muslimin. Pemimpin yang menegakkan ketauhidan dan keimanan, merobohkan kesyirikan dan kekufuran, menghidupkan sunnah dan mematikan bid'ah. Beliau adalah orang yang paling baik dan paling berilmu tentang al-Kitab dan as-Sunnah setelah Abu Bakar As Siddiq.
Kepemimpinan Umar bin Khattab tak seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar As Siddiq. Pada masa kepemimpinannya kekuasaan islam bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.
Dalam masa kepemimpinan sepuluh tahun Umar bin Khattab itulah, penaklukan-penaklukan penting dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar bin Khattab memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636), pasukan Islam berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan Islam telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639, pasukan Islam menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna.
Penyerangan Islam terhadap Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia telah mulai bahkan sebelum Umar bin Khattab naik jadi khalifah. Kunci kemenangan Islam terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637, terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Menjelang tahun 641, seseluruh Irak sudah berada di bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya itu, pasukan Islam bahkan menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend (642), mereka secara menentukan mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya Umar bin Khattab di tahun 644, sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala Umar bin Khattab wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika Utara.
Selain pemberani, Umar bin Khattab juga seorang yang cerdas. Dalam masalah ilmu diriwayatkan oleh Al Hakim dan Thabrani dari Ibnu Mas’ud berkata, ”Seandainya ilmu Umar bin Khattab diletakkan pada tepi timbangan yang satu dan ilmu seluruh penghuni bumi diletakkan pada tepi timbangan yang lain, niscaya ilmu Umar bin Khattab lebih berat dibandingkan ilmu mereka. Mayoritas sahabatpun berpendapat bahwa Umar bin Khattab menguasai 9 dari 10 ilmu. Dengan kecerdasannya beliau menelurkan konsep-konsep baru, seperti menghimpun Al Qur’an dalam bentuk mushaf, menetapkan tahun hijriyah sebagai kalender umat Islam, membentuk kas negara (Baitul Maal), menyatukan orang-orang yang melakukan sholat sunah tarawih dengan satu imam, menciptakan lembaga peradilan, membentuk lembaga perkantoran, membangun balai pengobatan, membangun tempat penginapan, memanfaatkan kapal laut untuk perdagangan, menetapkan hukuman cambuk bagi peminum "khamr" (minuman keras) sebanyak 80 kali cambuk, mencetak mata uang dirham, audit bagi para pejabat serta pegawai dan juga konsep yang lainnya.
Namun dengan begitu beliau tidaklah menjadi congkak dan tinggi hati. Justru beliau seorang pemimpin yang zuhud lagi wara’. Beliau berusaha untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dalam satu riwayat Qatadah berkata, ”Pada suatu hari Umar bin Khattab memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang sebagiannnya dipenuhi dengan tambalan dari kulit, padahal waktu itu beliau adalah seorang khalifah, sambil memikul jagung ia lantas berjalan mendatangi pasar untuk menjamu orang-orang.” Abdullah, puteranya berkata, ”Umar bin Khattab berkata, ”Seandainya ada anak kambing yang mati di tepian sungai Eufrat, maka umar merasa takut diminta pertanggung jawaban oleh Allah SWT.”
Beliaulah yang lebih dahulu lapar dan yang paling terakhir kenyang, Beliau berjanji tidak akan makan minyak samin dan daging hingga seluruh kaum muslimin kenyang memakannya…
Tidak diragukan lagi, khalifah Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan adil dalam mengendalikan roda pemerintahan. Bahkan ia rela keluarganya hidup dalam serba kekurangan demi menjaga kepercayaan masyarakat kepadanya tentang pengelolaan kekayaan negara. Bahkan Umar bin Khattab sering terlambat salat Jum'at hanya menunggu bajunya kering, karena dia hanya mempunyai dua baju.
Kebijaksanaan dan keadilan Umar bin Khattab ini dilandasi oleh kekuatirannya terhadap rasa tanggung jawabnya kepada Allah SWT. Sehingga jauh-jauh hari Umar bin Khattab sudah mempersiapkan penggantinya jika kelak dia wafat. Sebelum wafat, Umar berwasiat agar urusan khilafah dan pimpinan pemerintahan, dimusyawarahkan oleh enam orang yang telah mendapat ridha Nabi SAW. Mereka adalah Utsman bin AffanAli bin Abu ThalibThalhah bin UbaidilahZubair binl AwwamSa'ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Umar menolak menetapkan salah seorang dari mereka, dengan berkata, aku tidak mau bertanggung jawab selagi hidup sesudah mati. Kalau AIlah menghendaki kebaikan bagi kalian, maka Allah akan melahirkannya atas kebaikan mereka (keenam orang itu) sebagaimana telah ditimbulkan kebaikan bagi kamu oleh Nabimu.

Wafatnya Umar bin Khattab
Pada hari Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar Bin Kattab wafat, Beliau ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah, budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di samping Nabi saw dan Abu Bakar as Siddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.

KISAH SAHABAT NABI (ALI BIN ABI THALIB)

Ali bin Abi Thalib, Teladan Orang Berilmu

Sebagai manusia, pastinya kita butuh seorang figur yang bisa jadi panutan kita dalam hal ilmu. Setidaknya bisa kita contoh pada sisi-sisi tertentu dari kehidupannya.
Dan sebagai seorang yang beriman tentu kita musti mencontoh Rasulullah saw atau paling tidak orang-orang shalih di sekitar Rasulullah saw yang selalu berusaha meneladani suri teladan dari Rasulullah saw. Orang-orang yang kini dikenal sebagai shahabat nabi.
Para sahabat nabi semuanya adalah orang yang shalih dan adil. Islami cara berfikir dan tingkah lakunya.  Kepribadian mereka ini tidak hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Sang Pencipta mereka.
Di antara sahabat Rasulullah yang  menonjol keilmuannya adalah Ali bin Abi Thalib (karramallaahu wajhahu– semoga Allah memuliakan wajahnya). Keunggulannya ini semakin menyempunakan kepribadiannya, menyempurnakan cara berpikirnya dan tingkah lakunya.  Ketinggian ilmunya ini membuat Ali bin Abi Thalib menjadi seorang muslim yang mulia.
Bagaimana kemuliaan kepribadian Ali bin Abi Thalib ini?  Beginilah kisahnya…
* * *
Di hadapan masyarakat umum, Rasulullah saw pernah bersabda, “Anaa madiinatul ‘ilm wa ‘aliyu baabuha”
(Saya adalah kotanya ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya).
Keunggulan Ali bin Abi Thalib ini  bisa kita lihat pada dialog yang pernah terjadi antara beliau dengan 10 orang penanya dari kalangan Khawarij tentang lebih utama mana, ilmu atau harta.
Ketinggian ilmu Ali bi Abi Thalib ini sungguh luar biasa. Salah satu keunggulan Ali bin Abi Thalib adalah luasnya pengetahuannya terhadap ayat-ayat Allah. Wajar saja, karena sejak usia 10 tahun, hatinya telah dipenuhi oleh keindahan Al Qur`an, keagungan dan rahasia-rahasianya.  Disamping itu Ali menyaksikan turunnya ayat demi ayat secara langsung. Maka pantaslah jika dia berkata:
“Tanyailah aku, tanyailah aku, tanyailah aku tentang Kitab Allah sekehendak hatimu. Demi Allah, aku lebih tahu tentang ayat-ayat-Nya, baik yang diturunkan di waktu malam maupun di waktu siang.”
Hasan al Basri pernah berkomentar tentang pengetahuan Ali bin Abi Thalib soal ayat-ayat al-Qur`an: “Dia (Ali bin Abi Thalib) telah mencurahkan tekad dan ilmu serta amalnya kepada al-Qur`an. Baginya al-Qur`an ibarat kebun-kebun yang indah dan tanda-tanda yang jelas.”
DIDIKAN PEMIKIRAN ISLAM
Hasil pendidikan Rasulullah saw ini memang luar biasa.  Sejak awal Ali bin Abi Thalib dididik oleh Rasulullah dengan pemikiran-pemikiran Islam.
Dialah laki-laki pertama dari kalangan anak-anak yang menerima ajakan Rasulullah saw untuk masuk Islam. Lihatlah bagaimana Rasulullah saw mendidik Ali dengan pemikiran Islam yang menyebabkan Ali mengambil Islam sebagai jalan hidupnya.
Saat itu, Ali kecil yang berumur sekitar 8 tahun tinggal bersama Rasulullah saw sebagai sepupu sekaligus pengayomnya.  Saat itu Ali belum masuk Islam.  Suatu saat Ali melihat Rasulullah saw dan Khadijah, istri Rasulullah, shalat.
Ali bertanya kepada Rasulullah saw usai beliau mengerjakan shalat, “Wahai sepupuku, perbuatan apa yang kulihat engkau mengerjakannya?”
Rasul saw. menjawab, “Aku shalat kepada Allah, Tuhan yang memiliki seluruh alam.”
Ali bertanya lagi, “Siapakah yang memiliki sekalian alam?”
Rasulullah saw. menjelaskan, “Wahai Ali, sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang satu, tiada sekutu bagi-Nya. Dia memiliki segala makhluk dan di tangan-Nya terdapat segala urusan. Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Apa yang terjadi setelah Rasulullah mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Tak berapa lama setelah itu tanpa ragu-ragu lagi, Ali bin Abi Thalib remaja belia yang penuh berkah itu pun mengambil Islam sebagai jalan hidupnya, dia pun masuk Islam….
DIDIKAN NAFSIYAH ISLAMIYAH
Selain mendidik masyarakat Islam dengan pemikiran yang islami, Rasulullah saw juga mendidik nafsiyah atau pola kejiwaan masyarakatnya, termasuk di dalamnya Sahabat Nabi yang bernama Ali bin Abi Thalib.  Didikan Nafsiyah Islamiyah ini menjadikan masyarakat Islam menjadi masyarakat yang enerjik, penuh vitalitas melaksanakan aturan-aturan Allah, namun tetap rendah hati dan santun terhadap orang-orang yang beriman.
MEMBANGUN PERADABAN
Ketika Rasulullah saw dan para sahabat ra berhijrah ke Madinah untuk membangun peradaban Islam dalam bentuk Negara Islam, Ali turut serta berhijrah dan membangun peradaban dunia yang baru itu. Dalam struktur pemerintahan Islam , Ali bin Abi Thalib sempat ditugaskan oleh Rasulullah saw  menjadi seorang wali (gubernur) di wilayah Yaman selama beberapa tahun. Beliau juga pernah jadi Qadhi/ hakim.
Di masa pemerintahan Amirul Mu’minin Utsman bin Affan ra. Beliau diminta menjadi Muawin Tafwidh atau wakil khalifah, suatu kedudukan dan tanggung jawab satu tingkat di bawah khalifah sang kepala negara Islam.
Dan menjelang akhir hidupnya beliau dibaiat oleh kaum muslimin untuk menjadi Kepala Negara Islam, dengan sebutan Imam Ali.
MEMENTINGKAN PERSATUAN
Pemuda hasil didikan Islam ini memiliki jiwa yang besar yang selalu mengutamakan persatuan umat Islam di atas kepentingan kelompok. Ketika ia mengetahui ada dua orang pendukungnya yang memaki dan mengutuk Muawiyah yang saat itu memberontak kepada negara Khilafah Islam, maka disuruhlah dua orang pendukungnya itu untuk menghentikan makian dan kutukan itu.
Kedua orang itu datang kepada Ali dan bertanya, “Ya Amirul Mukminin, bukankah kita di atas kebenaran dan mereka di atas kebatilan?“
Imam Ali menjawab, “Benar, demi Tuhan yang memiliki Ka’bah.” Mereka bertanya lagi, “Kalau begitu, mengapa engkau mencegah kami memaki dan mengutuk mereka?”
Imam Ali menjawab, “Aku tidak suka kalian menjadi orang-orang yang suka memaki dan mengutuk. Akan tetapi katakanlah: ‘Ya Allah, jangan tumpahkan darah kami dan darah mereka. Perbaikilah hubungan antara kami dengan mereka, dan sadarkanlah mereka dari kesesatan hingga siapa yang tidak tahu bisa mengetahui kebenaran, dan yang membangkang bisa sadar dari kesesatannya.’”
PENDEKAR JIHAD
Sesuatu yang menonjol dari sosok Ali bin Abi Thalib ini adalah bahwa dia seorang pendekar sejati. Kejantanan seorang laki-laki dan kesucian hati seorang muslim telah membentuk cara bertarung dan akhlaqnya dalam pertempuran. Kita bisa lihat hal itu saat Perang Khaibar….
Saat itu Benteng Khaibar, benteng Yahudi Khaibar, sulit ditembus, bahkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Saat itulah dibutuhkan seorang yang Rasulullah dengan penuh optimis berkata tentangnya: “Besok, akan kuberikan bendera ini kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allah dan Rasul-Nya serta melalui kedua tangannya Allah memberikan kemenangan.”
Pagi harinya, setelah semua pasukan bersiap, Rasulullah dengan lantang berteriak: “Dimana Ali bin Abi Thalib?”
Maka bersegeralah Ali memenuhi seruan Rasul Allah itu, walau matanya sedang sakit, “Inilah aku, ya Rasulullah,” jawab Ali.
Rasulullah saw memberi isyarat dengan tangan kanannya agar Ali tampil ke depan. Maka tampillah pahlawan itu. Melihat kepedihan di mata Ali, Rasulullah saw membasahi jari-jarinya yang bercahaya dengan air ludahnya yang suci dan mengusap mata pahlawan itu. Kemudian Rasul saw menyuruh mengambil bendera. Dipegangnya bendera itu, diangkatnya ke atas serta dikibar-kibarkannya tiga kali. Setelah itu diletakkannya bendera tadi di tangan kanan Ali seraya berkata, “Ambillah bendera ini, lalu pergilah dengannya, sampai Allah memberikan kemenangan padamu.”
Maka, segeralah Ali membawa bendera dan pasukannya maju. Di depan pintu benteng ia berseru, “Aku, Ali bin Abi Thalib.” Sesaat kemudian Ali menerima pukulan kuat yang untungnya tidak mencederainya, namun berhasil melemparkan perisai dari tangannya.
Melihat dirinya harus menghadapi penjaga benteng yang bersenjata, berserulah Ali, “Demi Tuhan yang nyawaku ada di tangan-Nya, biarlah aku mati seperti Hamzah atau Allah memberikan kemenangan kepadaku.”
Mendapati dirinya tanpa perisai, Ali menuju salah satu pintu benteng, menjebol pintu benteng, seraya berteriak: “Allahu Akbar”. Maka, lepaslah pintu benteng itu dan jadilah pintu benteng itu sebagai perisainya. Kemudian pasukan Islam pimpinan Ali menyerbu, dan dalam waktu singkat pasukan Islam menang.
Maka berulang-ulanglah pasukan Islam meneriakkan “Allahu Akbar, robohlah Khaibar 2X.”
MENGHORMATI TEMAN-TEMAN SEPERJUANGANNYA
Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sangat mencintai dan menghormati para shahabat Rasulullah ra. Teman-teman seperjuangannya menegakkan syariat Islam dalam bentuk Negara Islam. Penghormatan Ali itu bisa kita lihat saat beliau usai mengimami shalat subuh di kota Kufah sebagai Amirul Mukminin.
Setelah shalat, beliau duduk dengan murung dan sedih. Dia tetap berada di tempatnya sedang orang-orang yang tadi jadi makmumnya mereka ikut tidak bergerak dari tempatnya, karena menghormati sikap diam Ali.  Ketika matahari naik dan sinarnya masuk ke dinding-dinding dalam masjid Imam Ali bangkit dan salat dua rakaat, lalu menggelengkan kepalanya dalam kesedihan seraya berkata: “Demi Allah, telah kulihat sahabat-sahabat Rasulullah saw, dan tidak kulihat sekarang ini orang-orang yang menyerupai mereka. Dulu, bila tiba waktu pagi, di antara kedua mata mereka terdapat bekas sujud kepada Allah di waktu malam sambil membaca Kitab-Nya dan bergerak melakukannya antara bersujud dan berdiri (dalam shalat). Apabila mereka menyebut Allah, tubuh mereka bergetar seperti pohon yang digoyang angin dan mata mereka berlinang air mata hingga baju mereka basah.”
MENJADI TELADAN KESEDERHANAAN SEBAGAI PEJABAT
Ali bin Abi Thalib.  Sosok hasil didikan Islam ini menjadi teladan kesederhanaan bagi para pejabat. Saat beliau menjadi kepala negara, kerap kali dia memakai baju yang sangat bersahaja. Para sahabatnya menawarkan untuk memberinya hak yang pantas bagi diri dan jabatannya, namun dia justru berkata: “Baju ini menjauhkan kesombongan dariku dan membantuku untuk bersikap khusyu` dalam shalatku, dan ini adalah contoh yang baik bagi orang-orang, supaya mereka tidak boros dan bermewah-mewah.”
* * *
Demikian tadi sekelumit kisah tentang Ali bin Abi Thalib.  Sosok hasil didikan Rasulullah saw. Didikan yang mencetak seorang manusia memiliki kepribadian yang Islami, yang cemerlang cara berpikirnya dan lurus pula tingkah lakunya.
Bisa kita bandingkan dengan para pemuda hasil sistem pendidikan  sekuler yang ada di sekitar kita. Pendidikan yang hanya menambah barisan pemuda yang lemah cara berpikirnya, dangkal pengetahuannya, salah orientasi hidupnya, dan rusak tingkah lakunya.
Insya Allah, jika kita mulai mengkaji hukum Islam tentang Sistem Pendidikan Islam dan menerapkannya dalam sistem yang Islami yaitu Khilafah Islam, maka insya Allah Ali Ali baru akan segera muncul seperti Ali bin Abi Thalib kw.  Amin allahumma amin.
(Doa)

Ya Allah, ya Alim ya Fattah ya Arhamar raahimin,  jadikanlah kami para pemuda seperti Ali bin Abi Thalib.
Ya Allah jadikanlah kami para pemuda yang kaya dengan ilmu, yang berjiwa besar, yang selalu berpikir ke arah perbaikan.
Ya Allah jadikanlah kami para pendekar yang sejati, yang keras terhadap musuh-musuh agama-Mu dan kasih sayang terhadap pejuang-pejuang agama-Mu sebagaimana Ali bin Abi Thalib.
Ya Allah jadikanlah kami para pemuda yang mencintai, menghormati dan meneladani para shahabat Rasulullah yang telah berjuang di jalan-Mu dengan ikhlas sesuai syari’ah-Mu ya Allah.  Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa ash-haabihi wat taabi`in wat taabi`it taabi`iin wa man tabi’ahu ilaa yaumil qiyamah.
Walhamdu lillaahi rabbil ‘aalamin. Amin ya Allah, ya mujiibas saa`iliin…

Sabtu, 17 November 2012

Memahami Pengertian Ibadah



Memahami tauhid tanpa memahami konsep ibadah adalah mustahil. Oleh karena itu mengetahuinya adalah sebuah keniscayaan. Penulis syarah Al-Wajibat menjelaskan, “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).

Adapun secara istilah syari’at, para ulama memberikan beberapa definisi yang beraneka ragam. Di antara definisi terbaik dan terlengkap adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah.
Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah.” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).

Dari keterangan di atas kita bisa membagi ibadah menjadi tiga; ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan. Dalam ibadah hati ada perkara-perkara yang hukumnya wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah dan adapula yang makruh atau haram.
Dalam ibadah lisan juga demikian, ada yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Begitu pula dalam ibadah anggota badan. Ada yang yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Sehingga apabila dijumlah ada 15 bagian.
Demikian kurang lebih kandungan keterangan Ibnul Qayyim yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majid.

Ta’abbud dan Muta’abbad bih
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya yang sangat bagus berjudul Al Qaul Al Mufid menjelaskan bahwa istilah ibadah bisa dimaksudkan untuk menamai salah satu diantara dua perkara berikut:

1.Ta’abbud
. Penghinaan diri dan ketundukan kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Dzat yang memerintah dan melarang (Allah ta’ala).

2. Muta’abbad bihi. Yaitu sarana yang digunakan dalam menyembah Allah. Inilah pengertian ibadah yang dimaksud dalam definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir)”.

Seperti contohnya sholat. Melaksanakan sholat disebut ibadah karena ia termasuk bentuk ta’abbud (menghinakan diri kepada Allah). Adapun segala gerakan dan bacaan yang terdapat di dalam rangkaian sholat itulah yang disebut muta’abbad bihi. Maka apabila disebutkan kita harus mengesakan Allah dalam beribadah itu artinya kita harus benar-benar menghamba kepada Allah saja dengan penuh perendahan diri yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Allah dengan melakukan tata cara ibadah yang disyari’atkan (Al-Qaul Al- Mufid, I/7).

Pengertian ibadah secara lengkap
Dengan penjelasan di atas maka ibadah bisa didefinisikan secara lengkap sebagai: ‘Perendahan diri kepada Allah karena faktor kecintaan dan pengagungan yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan oleh syari’at-Nya.’ (Syarh Tsalatsati Ushul, hal. 37).

Oleh sebab itu orang yang merendahkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan keislaman secara fisik namun tidak disertai dengan unsur ruhani berupa rasa cinta kepada Allah dan pengagungan kepada-Nya tidak disebut sebagai hamba yang benar-benar beribadah kepada-Nya. Hal itu seperti halnya perilaku orang-orang munafiq yang secara lahir bersama umat Islam, mengucapkan syahadat dan melakukan rukun Islam yang lainnya akan tetapi hati mereka menyimpan kedengkian dan permusuhan terhadap ajaran Islam.

Macam-macam penghambaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa penghambaan ada tiga macam:

Penghambaan umum.
Penghambaan khusus.
Penghambaan sangat khusus.

Penghambaan umum adalah penghambaan terhadap sifat rububiyah Allah (berkuasa, mencipta, mengatur, dsb). Penghambaan ini meliputi semua makhluk. Penghambaan ini disebut juga ‘ubudiyah kauniyah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi melainkan pasti akan datang menemui Ar Rahman sebagai hamba.” (QS. Maryam [19] : 93).

Sehingga orang-orang kafir pun termasuk hamba dalam kategori ini.
Sedangkan penghambaan khusus ialah penghambaan berupa ketaatan secara umum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al Furqan [25] : 63).  
Penghambaan ini meliputi semua orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya.
Adapun penghambaan sangat khusus
ialah penghambaan para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Hal itu sebagaimana yang Allah firmankan tentang Nuh ‘alaihissalam (yang artinya), “Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang pandai bersyukur.” (QS. Al Israa’ [17]: 3).
Allah juga berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan apabila kalian merasa ragu terhadap wahyu yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)…” (QS. Al Baqarah [2] : 23).
Begitu pula pujian Allah kepada para Rasul yang lain di dalam ayat-ayat yang lain. penghambaan jenis kedua dan ketiga ini bisa juga disebut ‘ubudiyah syar’iyah (Al-Qaul Al-Mufid I/16, Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 38-39).

Di antara ketiga macam penghambaan ini, maka yang terpuji hanyalah yang kedua dan ketiga. Karena pada penghambaan yang pertama manusia tidak melakukannya dengan sebab perbuatannya. Walaupun peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini (nikmat, musibah, dsb) yang menimpanya bisa juga menyebabkan pujian dari Allah kepadanya. Misalnya saja ketika seseorang memperoleh kelapangan maka dia pun bersyukur. Atau apabila dia tertimpa musibah maka dia bersabar. Adapun penghambaan yang kedua dan ketiga jelas terpuji karena ia terjadi berdasarkan hasil pilihan hamba dan perbuatannya, bukan karena suatu sebab yang berada di luar kekuasaannya semacam datangnya musibah dan lain sebagainya (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 38-39).

Sumber: www.muslim.or.id

THOHAROH



A. Definisi Thoharoh secara morfologi (bahasa): Thoharoh berarti An-Nazhofah (pembersihan) atau An-Nazahah (pensucian). Secara Etimologi (istilah): membersihkan diri dari najis (kotoran) dan hadats. Atau mensucikan diri dari segala macam sifat/ perangai/ akhlak/ perilaku yang kotor/ tidak terpuji.
B. Macam-Macam Thoharoh Thoharoh ada dua macam, yaitu:
1. Thoharoh Bathiniyah Ma’nawiyah (pensucian jiwa). Yaitu mensucikan diri, hati dan jiwa dari noda syirik, syak (keraguan), subhat (racun kebohongan) dan bentuk-bentuk perbuatan maksiat lainnya. Cara-caranya dengan: · Mengikhlaskan ibadah hanya kepada Alloh semata, dengan memfokuskan tujuan dan sasaran ibadah hanya kepada-Nya saja. · Mutaba’ah (mengikuti) Rosululloh saw dalam beramal, berperilaku, bermuamalah dan berakhlak, bahkan dalam segala hal yang kita anggap remeh sekalipun. · Membersihkan diri dari pengaruh dan noda hitam perbuatan maksiat, dosa-dosa dan segala bentuk penyimpangan dalam syari’at, dengan taubat nashuhah (sungguh-sungguh)
2. Thoharoh Dzohiroh Hissiyah Yaitu membersihkan diri dari khobats (kotoran luar) dan hadats (dari dalam). Khobats adalah najis (kotoran) yang dapat dihilangkan dengan air seperti kotoran yang melekat dibaju orang sholat, dibadan dan ditempat sholatnya. Sedangkan hadats adalah thoharoh dari kotoran yang khusus dan tertentu cara menghilangkannya yaitu dengan wudhu, mandi atau tayamum. (inilah yang menjadi bahasan dalam bab ini).
C. Jenis-Jenis Air Ada empat (4) jenis air yaitu:
1) Air Mutlaq. Yaitu air yang secara dzat / dzohirnya suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci (suci mensucikan). Diantaranya adalah:
a) Air hujan, salju atau es (hujan es), embun, mata air dan air sungai. Alloh swt berfirman: Artinya:"Dan Alloh menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengan hujan itu". (QS. Al Anfaal:11) Dari itu Alloh menurunkan air hujan dari langit kepada kalian agar dia sucikan kalian dengan air hujan itu dari hadats dan khobats. (lihat Taisir Al-Aziz Ar-Rohman: 278). Abu Huroiroh ra berkata tentang doa iftitah Rosululloh saw: ”اللَّهُمَّ باعِدْ بَيني وَبَيْنَ خَطايايَ كَما باعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّني مِنْ خَطايايَ كَما يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللّهُـمَّ اغْسِلْني مِنْ خَطايايَ، بِالثَّلْجِ وَالمـاءِ وَالْبَرَدِ“. "Ya Alloh jauhkanlah antara aku dengan kesalahan-kesalahan sebagaimana engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Alloh sucikanlah aku dari segala kesalahan sebagaimana disucikannya baju putih dari kotoran. Ya Alloh cucilah kesalahanku dengan air, air salju dan air embun". (HR. Bukhori: 1/181 dan Muslim: 1/419)
b) Air Laut Abu Huroiroh ra berkata: "seorang laki-laki bertanya kepada Rosululloh saw seraya berkata: ya Rosululloh, saya sedang brlayar dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu memakai air minum itu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Rosululloh saw bersabda: laut itu suci airnya dan halal bangkainya". (HR. At-Tirmidzi: 63, ia berkata ini hadits hasan shohih)
c) Air zamzam. أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ دَعَا بِسَجْلٍ مِنْ مَاءِ زَمْزَمٍ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأَ Ali ra berkata:" sesungguhnya Rosululloh saw minta satu ketel air zamzam, lalu beliau meminumnya dan berwudhu dengannya". (lihat Irwaul Gholil: 13, shohih)
d) Air yang tercampur, karena telah lama tergenang pada suatu tempat atau karena bercampur dengan benda yang dapat merubah dzat air tersebut seperti air yang dipeuhi oleh lumut atau ganggang atau bercampur dengan daun-daun (yang membusuk).
2) Air Must’mal. Yaitu air sisa wudhu atau mandi. Air jenis ini hukumnya sama dengan hukum air mutlak yaitu suci mensucikan. اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ فِيْ جَفْنَةٍ فَأَرَادَ رَسُوْلَ اللهِ أَنْ يَتَوَضَّأَ مِنْهُ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّيْ كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ: "إِنَّ المَاءَ لَا يَجْنِبُ". ”sebagian isteri-isteri Nabi saw mandi disatu bak. Kemudian Nabi Muhammad saw hendak berwudhu dari air tersebut. Maka isterinya berkata:"Ya Rosulalloh saya tadi junub. Beliau menjawab: sesungguhnya air tidak menjadi junub". (HR. At-Tirmidzi: 65, ia berkata: ini hadits hasan shohih) Hadits ini dijadikan dalil atas sucinya air musta’mal. Dan air tidak menjadi junub dengan mandinya orang junub dari air dikolam tersebut.
3) Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci Seperti bercampur dengan sabun, minyak zaitun, za’faron, tepung dan sesuatu lainnya yang dapat merubah dzat air. Hukum air ini adalah suci selama masih dianggap sebagai air murni. Dan apabila secara adat sudah tidak dapat dikatakan sebagai air maka ia pun tetap suci, namun tidak dapat digunakan untuk bersuci. Ummu Athiyah berkata: دَخَلَ عَلَيْنَا النَّبِيِّ وَ نَحْنُ نَغْسِلُ ابْنَتَهُ فَقَالَ: اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ مِنْ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ "Nabi saw memasuki kami saat kami memandikan anak putrinya. Beliau bersabda: mandikanlah tiga kali, lima kali atau lebih jika dipandang perlu dengan campuran air dan daun bidara….". (HR. Bukhori : 1253 dan Muslim: 939)
4) Air yang bercampur dengan sesuatu yang najis. Hal ini masih mempunyai dua kemungkinan, yaitu: a. Jika najis tersebut merubah dzat (rasa, warna dan bau) air, maka airnya tidak dapat digunaka untuk thoharoh. b. Jika najis tersebut tidak merubah salah satu dari dzat air, sehingga secara adat pun air tersebut masih dianggap sebagai air, maka hukumnya suci mensucikan.
D. Hukum-Hukum Bejana Diantara hukum-hukum yang berkaitan dengan bejana (mangkok, cangkir, piring dan lainya) yang patut diketahui adalah:
1) Hukum bejana yang terbuat dari emas dan perak. Diharamkan mengunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak untuk tempat makan dan minum, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Rosululloh saw bersabda: "وَلَا تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوْا فِيْ صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِيْ الدُّنْيَا وَلَنَا فِيْ الآخِرَةِ". ".... dan janganlah kalian minum pada bejana emas dan perak dan jangan pula makan pada piring yang terbuat dari keduanya. Kedua bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) didunia dan akan menjadi milik kita diakherat kelak". (HR. Bukhori:5426 dan Muslim:5/2067) Hadits diatas menjadi dalil bagi pengharaman bejana serta piring yang terbuat dari emas dan perak sebagai tempat makan dan minum. Baik dari emas murni maupun emas yang dicampur dengan perak. Diharamakannya makan dan minum dalam bejana dan piring emas dan perak, baik laki-laki maupun perempuan adalah karena keduanya digunakan untuk orang-orang kafir didunia.
2) Bejana dari kulit bangkai Sama dengan hukum bejana yang terbuat dari emas dan perak yaitu haram menggunakannya, karena kulit bangkai adalah najis. Adapun jika kulit bangkai tersebut sudah didibagh atau disamak (dikeringkan setelah dicuci bersih),maka telah suci dan boleh digunakan sebagai bejana untuk mekan dan minum. Rosululloh saw bersabda: "إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ". "Apabila kulit bangkai telah didibagh, maka ia telah suci". (HR.Bukhori dan Muslim)
E. Benda-Benda Najis Benda-benda yang tergolong najis diantaranya:
1)Ssesuatu yang keluar dari salah satu dari dua jalan yaitu dari qubul dan dubur, seperti: · Tinja (kotoran/ tahi) Abdulloh bin Mas’ud berkata tentang cara istinja’ Rosululloh saw: وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ: "إِنَّهَا رِجْسٌ". "beliau saw membuang tinja (kering) dan beliau bersabda: sesungguhnya itu adalah najis". (HR. Muslim: 156) ·
Air kencing Anas bin Malik ra berkata: جَاءَ أعْرَابيّ فَبَاَلَ في طَائِفَةِ المَسْجدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَضَى بَولَهُ، أمَرَ النبي صلى الله عليه وسلم بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فأهْرِيقَ عَلَيْهِ. "Seorang Arab badui berdiri dan buang air kecil didalas masjid. Maka orang-orang mencelanya, lalu Nabi saw melarang mereka, ketika selesai kencinya, Nabi saw menyuruh dengan satu ember air untuk menyiram air kecil tersebut…". (HR. Bukhori:220 dan Muslim: 283) ·
Madzi (cairan encer akibat rangsangan sahwat yang keluar dengan tidak sengaja) · Wadi (cairan putih encer setelah selesai buang air kecil atau saat mengalami kecapaian) Ali bin Abi Tholib ra berkata: فَأمَرْتُ المِقْدادَ بْنِ الأسْوَد إِلَى النَّبِيِّ فَسَأَلَهُ عَنِ المَذِيِّ يَخْرُجُ مِنَ الإِنْسَانِ كَيْفَ يَفْعَلُ بِهِ؟، فَقَاَل : "تَوَضأ وَاْنضَحْ فَرْجَكَ" . "Kami mengutus miqdad bin Aswad kepada Rosululloh saw untuk menanyakan tentang madzi yang keluar dari manusia, apa yang harus diperbuat? Beliau menjawab: Wudhulah dan bersihkan kemaluannya". (HR. Muslim:303,19) ·
Darah Haid dan Nifas Asma’ binti Abu Bakar ra berkata: "Seorang wanita bertanya kepada Rosululloh saw: Ya Rosulalloh, apa pendapatmu apabila salah seorang kami darah haidnya mengenai baju, apa yang harus dilakukan? Rosululloh saw menjawab: apabila darah haid mengenai baju, maka keriklah kemudian bersihkanlah dengan air kemudian baru gunakan untuk sholat". (HR. Bukhori: 307 dan Muslim: 29)

2) Kulit bangkai (akan tetapi boleh memanfaatkannya apabila sudah disamak/ dikeringkan) Abdulloh bin Abbas ra berkata: aku mendengar Rosulalloh saw bersabda: "إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ". "Apabila kulit bangkai telah didibagh, maka ia telah suci". (HR.Bukhori dan Muslim)

Pentingnya Berbakti Terhadap Kedua Orang Tua




Ada setumpuk bukti, bahwa berbakti kepada kedua orang tua –dalam wacana Islam- adalah persoalan utama, dalm jejeran hukum-hukum yang terkait dengan berbuat baik terhadap sesama manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala sudah cukup menegaskan wacana ‘berbakti’ itu, dalam banyak firman-Nya, demikian juga RasulullahSallallahu ’Alaihi Wa Sallam dalam banyak sabdanya, dengan memberikan ‘bingkai-bingkai’ khusus, agar dapat diperhatikan secara lebih saksama. Di antara tumpukan bukti tersebut adalah sebagai berikut: Allah Subhanahu Wata’alamenggandengkan’ antara perintah untuk beribadah kepada-Nya, dengan perintah berbuat baik kepada orang tua:
“Allah Subhanahu Wata’ala telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23) Allah Subhanahu Wata’alamemerintahkan setiap muslim untuk berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun mereka kafir
“Kalau mereka berupaya mengajakmu berbuat kemusyrikan yang jelas-jelas tidak ada pengetahuanmu tentang hal itu, jangan turuti; namun perlakukanlah keduanya secara baik di dunia ini.” (Luqmaan : 15) Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Ayat di atas menunjukkan diharuskannya memelihara hubungan baik dengan orang tua, meskipun dia kafir. Yakni dengan memberikan apa yang mereka butuhkan. Bila mereka tidak membutuhkan harta, bisa dengan cara mengajak mereka masuk Islam..” Berbakti kepada kedua orang tua adalah jihad.
Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam, Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim) Taat kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Surga.
Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallambersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah menua, namun tidak bisa membuatnya masuk Surga.” (Riwayat Muslim) Beliau juga pernah bersabda: “Orang tua adalah ‘pintu pertengahan’ menuju Surga. Bila engkau mau, silakan engkau pelihara. Bila tidak mau, silakan untuk tidak memperdulikannya.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan beliau berkomentar, “Hadits ini shahih.” Riwayat ini juga dinyatakan shahih, oleh Al-Albani.) Menurut para ulama, arti ‘pintu pertengahan’, yakni pintu terbaik. Keridhaan Allah Subhanahu Wata’ala, berada di balik keridhaan orang tua.
“Keridhaan Allah Subhanahu Wata’alabergantung pada keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan Allah Subhanahu Wata’ala, bergantung pada kemurkaan kedua orang tua.” Berbakti kepada kedua orang tua membantu meraih pengampunan dosa.
Ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam sambil mengadu, “Wahai Rasulullah! Aku telah melakukan sebuah perbuatan dosa.” Beliau bertanya, “Engkau masih mempunyai seorang ibu?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” “Bibi?” Tanya Rasulullah lagi. “Masih.” Jawabnya. Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda, “Kalau begitu, berbuat baiklah kepadanya.” Dalam pengertian yang ‘lebih kuat’, riwayat ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu, dapat membantu proses taubat dan pengampunan dosa. Mengingat, bakti kepada orang tua adalah amal ibadah yang paling utama. Perlu ditegaskan kembali, bahwa birrul waalidain (berbakti kepada kedua orang tua), lebih dari sekadar berbuat ihsan (baik) kepada keduanya. Namun birrul walidain memiliki nilai-nilai tambah yang semakin ‘melejitkan’ makna kebaikan tersebut, sehingga menjadi sebuah ‘bakti’. Dan sekali lagi, bakti itu sendiripun bukanlah balasan yang setara untuk dapat mengimbangi kebaikan orang tua. Namun setidaknya, sudah dapat menggolongkan pelakunya sebagai orang yang bersyukur. Imam An-Nawaawi menjelaskan, “Arti birrul waalidain yaitu berbuat baik terhadap kedua orang tua, bersikap baik kepada keduanya, melakukan berbagai hal yang dapat membuat mereka bergembira, serta berbuat baik kepada teman-teman mereka.” Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birrul waalidain atau bakti kepada orang tua, hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi tiga bentuk kewajiban: Pertama: Menaati segala perintah orang tua, kecuali dalam maksiat. Kedua: Menjaga amanah harta yang dititipkan orang tua, atau diberikan oleh orang tua. Ketiga: Membantu atau menolong orang tua, bila mereka membutuhkan. وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24) “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (DQ. Al-Isra: 23-24) Ini adalah perintah untuk mengesakan Sesembahan, setelah sebelumnya disampaikan larangan syirik. Ini adalah perintah yang diungkapkan dengan kata qadha yang artinya menakdirkan. Jadi, ini adalah perintah pasti, sepasti qadha Allah. Kata qadha memberi kesan penegasan terhadap perintah, selain makna pembatasan yang ditunjukkan oleh kalimat larangan yang disusul dengan pengecualian: “Supaya kamu jangan menyembah selain Dia…” Dari suasana ungkapan ini tampak jelas naungan penegasan dan pemantapan. Jadi, setelah fondasi diletakkan dan dasar-dasar didirikan, maka disusul kemudian dengan tugas-tugas individu dan sosial. Tugas-tugas tersebut memperoleh sokongan dari keyakinan di dalam hati tentang Allah yang Maha Esa. Ia menyatukan antara motivasi dan tujuan dari tugas dan perbuatan. Perekat pertama sesudah perekat akidah adalah perekat keluarga. Dari sini, konteks ayat mengaitkan birrul walidain (bakti kepada kedua orangtua) dengan ibadah Allah, sebagai pernyataan terhadap nilai bakti tersebut di sisi Allah: Setelah mempelajari iman dan kaitannya dengan etika-etika sosial yang darinya lahir takaful ijtima’I (kerjasama dalam bermasyarakat), saat ini kita akan memasuki ruang yang paling spesifik dalam lingkaran interaksi sosial, yaitu Birrul walidain (bakti kepada orang tua). “Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
Dengan ungkapan-ungkapan yang lembut dan gambaran-gambaran yang inspiratif inilah Al-Qur’an Al-Karim menggugah emosi kebajikan dan kasih sayang di dahati anak-anak. Hal itu karena kehidupan itu terdorong di jalannya oleh orang-orang yang masih hidup; mengarahkan perhatian mereka yang kuat ke arah depan. Yaitu kepada keluarga, kepada generasi baru, generasi masa depan. Jarang sekali kehidupan mengarahkan perhatian mereka ke arah belakang..ke arah orang tua..ke arah kehidupan masa silam..kepada generasi yang telah pergi! Dari sini, anak-anak perlu digugah emosinya dengan kuat agar mereka menoleh ke belakang, ke arah ayah dan ibu mereka. Sebelum masuk ke inti pembahasan, ada catatan penting yang harus menjadi perhatian bersama dalam pembahasan birrul walidain; ialah Islam tidak hanya menyeru sang anak untuk melaksanakan birrul walidain, namun Islam juga menyeru kepada para walidain (orang tua) untuk mendidik anaknya dengan baik, terkhusus dalam ketaan kepada Allah dan Rasulul-Nya. Karena hal itu adalah modal dasar bagi seorang anak untuk akhirnya menjadi anak sholih yang berbakti kepada kedua orangtuanya. Dengan demikian, akan terjalin kerjasama dalam menjalani hubungan keluarga sebagaimana dalam bermasyarakat.
Gaya bahasa yang digunakan al-Quran dalam memerintahkan sikap bakti kepada orang tua ialah datang serangkai dengan perintah tauhid atau ke-imanan, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia“ . Dalam artian setelah manusia telah mengikrakan ke-imanannya kepada Allah, maka manusia memiliki tanggungjawab kedua, yaitu “Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”.
Jika kita bertanya, mengapa perintah birrul walidain begitu urgen sehingga ia datang setelah proses penghambaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala?? Al-Quran Kembali menjawab حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا “Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”(Al-Ahqaf: 15) Ketika orangtua berumur muda, kekuatan fisik masih mengiringinya, sehingga ia bertanggungjawab untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Namuun saat mereka berumur tua renta, dan anaknya sudah tumbuh dewasa berbaliklah roda tanggungjawab itu.
Para pembantu mungkin mampu merawatnya, menunjukkan sesuatu yang tidak lagi bisa dilihatnya, mengambilkan sesuatu yang tidak lagi bisa diambilnya dan mengiringnya dari suatu temnpat ke tempat lain. Namun ada satu hal yang tidak pernah bisa diberikan oleh pembantu, ialah cinta dan kasih sayang. Hanya dari sang buah hatilah rasa cinta dan kasih sayang dapat diraihnya. Kedua orang tua secara fitrah akan terdorong untuk mengayomi anak-anaknya; mengorbankan segala hal, termasuk diri sendiri. Seperti halnya tunas hijau menghisap setiap nutrisi dalam benih hingga hancur luluh; seperti anak burung yang menghisap setiap nutrisi yang ada dalam telor hingga tinggal cangkangnya, demikian pula anak-anak menghisap seluruh potensi, kesehatan, tenaga dan perhatian dari kedua orang tua, hingga ia menjadi orang tua yang lemah jika memang diberi usia yang panjang. Meski demikian, keduanya tetap merasa bahagia! Adapun anak-anak, secepatnya mereka melupakan ini semua, dan terdorong oleh peran mereka ke arah depan. Kepada istri dan keluarga. Demikianlah kehidupan itu terdorong. Dari sini, orang tua tidak butuh nasihat untuk berbuat baik kepada anak-anak. Yang perlu digugah emosinya dengan kuat adalah anak-anak, agar mereka mengingat kewajiban terhadap generasi yang telah menghabiskan seluruh madunya hingga kering kerontang!
Dari sinilah muncul perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dalam bentuk qadha dari Allah yang mengandung arti perintah yang tegas, setelah perintah yang tegas untuk menyembah Allah. Usia lanjut itu memiliki kesan tersendiri. Kondisi lemah di usia lanjut juga memiliki insprasinya sendiri. Kataعندكyang artinya “di sisimu” menggambarkan makna mencari perlindungan dan pengayoman dalam kondisi lanjut usia dan lemah. “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka…” Ini adalah tingkatan pertama di antara tingkatan-tingkatan pengayoman dan adab, yaitu seorang anak tidak boleh mengucapkan kata-kata yang menunjukkan kekesahan dan kejengkelan, serta kata-kata yang mengesankan penghinaan dan etika yang tidak baik. “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Ini adalah tingkatan yang paling tinggi, yaitu berbicara kepada orang tua dengan hormat dan memuliakan. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan…” Di sini ungkapan melembut dan melunak, hingga sampai ke makhluk hati yang paling dalam. Itulah kasih sayang yang sangat lembut, sehingga seolah-olah ia adalah sikap merendah, tidak mengangkat pandangan dan tidak menolak perintah. Dan seolah-olah sikap merendah itu punya sayap yang dikuncupkannya sebagai tanda kedamaian dan kepasrahan .Itulah ingatan yang sarat kasih sayang. Ingatan akan masa kecil yang lemah, dipelihara oleh kedua orang tua. Dan keduanya hari ini sama seperti kita di masa kanak-kanak; lemah dan membutuhkan penjagaan dan kasih sayang. Itulah tawajuh kepada Allah agar Dia merahmati keduanya, karena rahmat Allah itu lebih luas dan penjagaan Allah lebih menyeluruh. Allah lebih mampu untuk membalas keduanya atas darah dan hati yang mereka korbankan. Sesuat yang tidak bisa dibalas oleh anak-anak. Belaian anak saat orang tua telah berumur lanjut ialah kenikmatan yang tak terhingga. Wajarlah kiranya al-Quran memberikan pengkhususan dalam birrul walidain ini saat kondisi mereka tua renta, yaitu: 1. Jangan mengatakan kata uffin (ah) 2. Jangan membentak 3. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. 4. Rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan 5.Dan do’akanlah mereka. Kata uffin dalam bahsa Arab berati ar-rafdu (menolak). Jadi janganlah kita mengatakan kata-kata yang mengandung makna menolak, terkhusus dalam memenuhi kebutuhan mereka. Karena pada umur lanjut inilah kebutuhan mereka memuncak, hampir pada setiap hitungan jam mereka membutuhkan kehadiran kita disisinya.
Sedimikian pentingnya perintah birrul walidain ini, sehingga keridhoan mereka dapat menghantarkan sang anak kedalam surga-Nya. Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang menajalani pagi harinya dalam keridhoan orang tuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju syurga. Barang siapa yang menjalani sore keridhoan orang tuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju syurga. Dan barang siapa menjalani pagi harinya dalam kemurkaan orangtuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju neraka. Dan barang siapa menjalani sore harinya dalam kemurkaan orangtuanya, maka baginya dibukakan dua pintu menuju neraka ”.(HR. Darul Qutni dan Baihaqi) Dengan demikian merugilah para anak yang hidup bersama orang tuanya di saat tua renta namun ia tidak bisa meraih surga, karena tidak bisa berbakti kepada keduanya. Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallammengatakan tentang ihwal mereka عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِالْجَنَّةَ ». “Dari Suhaili, dari ayahnya dan dari Abu Hurairah. Rosulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda : ”Merugilah ia (sampai 3 kali). Para Shahabat bertanya : ”siapa ya Rosulullah?Rosulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda :“Merugilah seseorang yang hidup bersama kedua orang tuanya atau salah satunya di saat mereka tua renta, namun ia tidak masuk surga” (HR. Muslim). Terkait cara berbakti kepada orang tua, memulai dengan perkataan yang baik. Kemudian diiringi denganmeringankan apa-apa yang menjadi bebannya. Dan bakti yang tertinggi yang tak pernah dibatasi oleh tempat dan waktu ialah DOA. Do’a adalah bentuk bakti anak kepada orang tua seumur hidup-nya. Do’alah satu-satunya cara yang diajarkan Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallambagi anak-anak yang pernah menyakiti orangtuanya namun mereka meninggal sebelum ia memohon maaf kepadanya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallambersabda : “Bahwasanya akan ada seorang hamba pada hari kiamat nanti yang diangkat derajatnya, kemudian ia berkata “Wahai tuhanku dari mana aku mendapatkan (derajat yang tinggi) ini??. Maka dikatakanlah kepadanya “Ini adalah dari istighfar (doa ampunan) anakamu untukmu” (HR.Baihaqi) Adapun doa yang diajarkan, ialah sebagaimana termaktub dalam al-Quran : وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرً "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (Al-Isra’: 24). Itulah ingatan yang sarat kasih sayang. Ingatan akan masa kecil yang lemah, dipelihara oleh kedua orang tua. Dan keduanya hari ini sama seperti kita di masa kanak-kanak; lemah dan membutuhkan penjagaan dan kasih sayang. Itulah tawajuh kepada Allah agar Dia merahmati keduanya, karena rahmat Allah itu lebih luas dan penjagaan Allah lebih menyeluruh. Allah Subhanahu Wata’ala lebih mampu untuk membalas keduanya atas darah dan hati yang mereka korbankan. Sesuat yang tidak bisa dibalas oleh anak-anak. Al Hafizh Abu Bakar Al Bazzar meriwayatkan dengan sanadnya dari Buraidah dari ayahnya: “Seorang laki-laki sedang thawaf sambil menggendong ibunya. Ia membawa ibunya thawaf. Lalu ia bertanya kepada NabiSallallahu ’Alaihi Wa Sallam, “Apakah aku telah menunaikan haknya?” Nabi Sallallahu ’Alaihi Wa Sallammenjawab, “Tidak, meskipun untuk satu tarikan nafas kesakitan saat melahirkan.” Dalam ayat lain Al-Quran mengajar doa yang begitu indah, ialah doa yang mencakup bagi kita, orang tua dan keturunan kita : رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ "Ya Allah.., tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (Al-Ahqaf : 15). 
Wallahu a’lam.